Pengembangan arkanul bai’ah dan aplikasinya
Keberimanan terhadap Islam sebagai agama samawi yang diturunkan Allah SWT
memang sudah
final. Tetapi, pemahaman manusia terhadap Islam tidak dapat dikatakan sudah
mencapai final sehingga berhenti pada satu titik.
Jalan-jalan untuk
mencapai pemahaman Islam dalam konteks syumuliyah dan takamuliyahnya
adalah jalan-jalan yang sangat panjang dan beragam. Setiap zaman dan keadaan
memerlukan penyajian tersendiri dari ajaran Islam yang maha dalam maknanya ini.
Firman Allah SWT,
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“ Orang-orang yang
berjihad di jalan Kami sungguh akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. 29/Al-Ankabuut:
69).
Ibn Katsir mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan walladziina jaahduu fiinaa adalah Rasulullah
SAW, para sahabatnya, dan pengikutnya sampai hari kiamat nanti. Sedangkan yang dimaksud
subulanaa adalah jalan-jalan untuk urusan dunia dan akhirat.
Terkait dengan hadits
tentang Mu’adz bin Jabbal yang diutus oleh Rasulullah SAW ke negeri Yaman dan
menyatakan akan melakukan ijtihad apabila tidak diperoleh nash dalam Al-Quran
dan As-Sunnah dalam memutuskan perkara, banyak yang menekankan bahwasanya pintu
ijtihad belum tertutup. Dari waktu ke waktu muncul ulama-ulama besar dengan
pikiran dan pendapatnya yang segar dan baru berdasarkan pemahaman mereka
tentang nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah.
Sebagian kelompok
hanya memperhatikan aspek fiqh dalam masalah pembukaan ijtihad dari masa ke
masa ini. Tetapi, sesungguhnya lapangan ijtihad itu luas, tidak sekadar masalah
fiqh saja tetapi di dalam berbagai bidang yang terkait dengan urusan dunia dan
akhirat.
Seharusnya kejumudan
juga tidak terjadi pada aktivis kebangkitan Islam sebagaimana disampaikan Yusuf
Qaradhawi, “ Imam Hasan Al- Banna bukanlah seorang yang jumud/statis tetapi justru
progresif dan dinamis. Ia selalu memanfaatkan semua yang ada di
sekekelilingnya, melakukan dinamisasi diri dan dakwahnya. Seandainya ia berumur
panjang kita tidak tahu apa yang akan
diperbuatnya. Sebab itu
saudara-saudara dan pengikutnya tidak boleh statis dalam berbagai sarana, metode,
ataupun bagian pemikirannya.”
Pemahaman yang
terlalu kaku dengan pendapat yang terkait dengan situasi kontekstual tertentu akan
menyebabkan seorang aktivis dakwah tidak mampu berinteraksi dengan problema
yang dihadapinya pada masa kini.
Demikian pula arkanul
bai’ah yang disusun oleh Imam Hasan Al- Banna bukanlah sesuatu yang
bersifat mati atau jumud sehingga ia akan menjadi masa lalu dari para kader
dakwah. Padahal ia harus membaca, memahami, dan mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari yang terus berjalan.
Interaksi formal
dengan arkanul bai’ah sebagai sebuah pengantar ke dalam pergaulan jama’ah
dakwah mungkin saja telah berlalu satu, dua, lima , sepuluh, atau dua puluh tahun yang
lalu. Namun secara nilai penghayatan terhadap arkanul bai’ah terjadi setiap
saat dalam berbagai lapangan medan
dakwah.
Penghayatan tersebut
diharapkan justru semakin mendalam dari hari ke hari. Oleh karena itu, rukun
al-fahm (pemahaman) harus terus dikembangkan mengikuti jalan dakwah
menuju ke-syumuliyah-an dan ke-takamuliyah-an. Begitu juga rukun
ikhlas. Kualitas dan kapasitas ikhlas kita harus terus-menerus dikembangkan
mengikuti perjalanan dakwah yang terus diperlebar ruang lingkupnya sesuai
dengan tuntutan syumuliyah dan takamuliyah dakwah kita.
Begitu juga kualitas
dan kapasitas amal kita, jihad kita, tadhiyah (pengorbanan)
kita, tha’ah (ketaatan) kita, tsabat (kekokohan)
kita, tajarrud (kesungguhan) kita, al-ukhuwah
(persaudaraan) kita, dan tsiqah (kekokohan) kita harus
terus-menerus dikembangkan.
Seharusnya
peningkatan kualitas dan kapasitas interaksi dengan arkanul bai’ah mendahului
ekspansi dakwah yang dilakukan agar arkanul bai’ah itu menjadi pemicu,
pemacu, dan pemecut bagi akselerasi gerakan dakwah itu sendiri agar arkanul
bai’ah itu mempercepat tercapainya ahdafu da’wah (sasaran-sasaran
dakwah) dan ghayatu da’wah (tujuan-tujuan dakwah).
Interaksi dengan arkanul
bai’ah sangat berpengaruh terhadap kualitas komitmen kepada dakwah dan
kepada jamaah. Begitu interaksi dengan rukun-rukun itu tertinggal dan terhenti
pada pada satu titik, maka komitmen yang dihasilkannya tidak mumpuni lagi untuk
menyambut ekspansi dakwah yang terus-menerus berkembang.
Politik dan dakwah: pandangan Hasan
Al-Banna
Dakwah tidak dapat
dipisahkan dari politik (siyasah) karena tujuan dakwah itu sendiri adalah untuk
pengendalian (siyasah) sebagaimana firman Allah SWT,
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ
عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
“ Dialah yang
mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya
terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (Q.S. Al-Fath: 28).
Kehadiran Islam dalam
wujud sebuah institusi yang mengendalikan telah menjadi obsesi dari Imam Syahid
Hasan Al-Banna sebagaimana ungkapannya yang disampaikan kepada para pemuda, “
Adalah sangat mengherankan sebuah paham seperti komunisme memiliki negara yang melindunginya,
yang mendakwahkan ajarannya, yang menegakkan prinsip-prinsipnya, dan menggiring
masyarakat untuk menuju ke sana . Demikian juga paham
fasisme dan nazisme, keduanya memiliki bangsa yang mensucikan ajarannya,
berjuang untuk menegakkannya, menanamkan kebanggaan kepada para pengikutnya,
menundukkan seluruh ideologi bangsa-bangsa untuk mengekor kepadanya. Dan lebih
mengherankan lagi, kita dapati berbagai ragam ideologi sosial politik di dunia
ini bersatu untuk menjadi pendukung setianya. Mereka perjuangkan tegaknya
dengan jiwa, pikiran, pena, harta benda, dan kesungguhan yang paripurna, hidup
dan mati dipersembahkan untuknya. Namun sebaliknya, kita tidak mendapatkan
tegaknya suatu pemerintahan Islam yang bekerja untuk menegakkan kewajiban
dakwah Islam, yang menghimpun berbagai sisi positif yang ada di seluruh aliran
ideologi dan membuang sisi negatifnya. Lalu ia persembahkan itu kepada seluruh
bangsa sebagai ideologi alternatif dunia yang memberi solusi yang benar dan
jelas bagi seluruh persoalan umat manusia.” (Majmu Rasail I: 184).
Dalam kesempatan lain
Imam Hasan Al-Banna menyatakan, “ Sesungguhnya seorang muslim tidak sempurna
keislamannya kecuali jika ia bertindak sebagai politisi. Pandangannya jauh ke
depan terhadap persoalan umatnya, memperhatikan dan menginginkan kebaikannya.
Meskipun demikian,
dapat juga saya katakan bahwa
pernyataan ini tidak dinyatakan oleh Islam. Setiap organisasi Islam hendaknya
menyatakan dalam program-programnya bahwa ia memberi perhatian kepada persoalan
politik ummatnya. Jika tidak demikian, maka ia sendiri yang sesungguhnya butuh
untuk memahami makna Islam.”
Suatu catatan penting
dari Imam Hasan Al-Banna adalah peringatannya tentang adanya pemahaman yang
sempit bahwa jika disebut dengan politik maka orang-orang akan segera membayangkan
sebuah partai politik. Politik yang dimaksudkannya bukanlah sekadar sebuah
partai politik, tetapi keseluruhan aktivitas dakwah yang dilakukan untuk
mengurusi nasib umat hingga mengangkat mereka ke kedudukan sebagaimana yang
diperintahkan Al-Quran di tengah-tengah manusia.
Bahkan, terhadap
partai politik yang berkembang saat itu Al-Banna mempunyai kritikankritikan yang
mendasar, “ Ikhwanul Muslimun berkeyakinan bahwa partai-partai politik yang
ada di Mesir didirikan dalam suasana yang tidak kondusif. Sebagian besar
didorong oleh ambisi pribadi, bukan demi kemaslahatan umum …. Ikhwan juga
berkeyakinan bahwa partai-partai yang ada hingga kini belum dapat menentukan
program dan manhajnya secara pasti … ikhwan berkeyakinan bahwa hizbiyah (sistem
kepartaian) yang seperti itu akan merusak seluruh tatanan kehidupan,
memberangus kemaslahatan, merusak akhlak, dan memporakporandakan kesatuan
umat.”
Korelasi amal siyasi dengan arkanul
bai’ah
Amal siyasi sebagai
bagian penting dari keseluruhan amal Islami harus mendapat perhatian serius
dari para aktivis dakwah dan bai’at mereka kepada jalan dakwah adalah bai’at
mereka pula kepada amal siyasi.
Dakwah Islam tidak
menyerukan sikap memisahkan diri dari persoalan-persoalan kemasyarakatan yang
ada dalam tubuh umat Islam. Jika pun terdapat upaya-upaya memilah lingkungan
kehidupan para aktivis dakwah dari masyarakat umum, maka tujuannya bukan untuk
lari dari masyarakat yang menjadi tanggungjawab dakwahnya. Tetapi, hal itu
dilakukan hanya untuk konsolidasi internal mereka agar memiliki kekuatan yang
lebih besar dalam memecahkan persoalanpersoalan masyarakat tersebut. Atau, agar
mereka tidak tergelincir karena tarikan-tarikan dasyhat kemaksiatan sehingga ia
akhirnya justru menjadi bagian dari persoalan tersebut.
Allah Berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ . وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ
إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاءَ بِغَضَبٍ
مِنَ اللَّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan
orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi
mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka di waktu itu, kecuali
berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan
yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari
Allah, dan tempatnya adalah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.”
(Q.S.
8/Al-Anfaal: 16).
Kefahaman tentang amal
siyasi yang dikembangkan pada saat ini boleh jadi berbeda dengan sebelumnya
karena perbedaan-perbedaan situasi dan kondisi yang menyertainya. Pandangan
Imam Hasan Al-Banna tentang sistem kepartaian yang menyebabkan beliau tidak
mendirikan partai politik, tetapi membolehkan kesertaan dalam pemilihan umum
telah diposisikan secara aktual dalam beberapa kurun terakhir. Partai-partai
politik dalam berbagai bentuknya telah berdiri dan diusung oleh para aktivis
dakwah di berbagai negara dalam rangka amal siyasi mereka berdasarkan
syuro-syuro yang mereka lakukan.
Amal siyasi yang dilakukan
bukanlah sekadar untuk meraih kekuasaan dan mencapai kedudukan-kedudukan tinggi
dalam pemerintahan, tetapi semata-mata ditujukan bagi penegakkan hukum-hukum
Allah SWT di dalam masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keadilan yang telah digariskan-Nya.
Inilah rukun ikhlas yang akan menjauhkan aktivis dakwah dari perangkap kediktaktoran,
korupsi, dan kesombongan tatkala meraih suatu kedudukan dalam kekuasaan.
Setiap aktivis menyadari sungguh-sungguh
dengan kefahamannya dan keikhlasannya bahwa amal siyasi yang
dilakukannya adalah bagian dari kerja besar dari tangga-tangga mihwar
ta’sisi, mihwar tanzhimi, mihwar sya’bi, mihwar muasasi dan mihwar dauli.
Dalam kaitan koalisi kerja teknis Imam Hasan Al-Banna menyatakan, “ Tidaklah
mengapa menggunakan orang-orang non-muslim –jikakeadaan darurat- asalkan bukan
untuk posisi jabatan strategis (dalam pemerintahan).”
Kesungguhan dalam
kerja siyasi adalah bagian dari jihad yang harus dilakukan. Kesungguhan itu
akan terjadi jika aktivis dakwah menghargai dan mematuhi jalan dakwah yang
telah digariskan berdasarkan syuro. Tidak boleh ada seorang pun yang
bermalas-malasan dalam bidang ini hanya lantaran ia merasa bukan bidangnya atau
tidak sependapat dengan hasil-hasil syuro.
Apapun yang
disumbangkan dalam amal siyasi, mulai dari harta sampai dengan jiwa,
adalah bagian dari ruhul tadhiyah (jiwa pengorbanan) di jalan dakwah.
Tidak ada istilah mati sia-sia dalam suatu amal siyasi karena seluruh
pengorbanannya harus diyakini akan dihisab oleh Allah SWT dengan timbangan
kebaikan dakwah.
Ketaatan dalam janji
setia aktivis dakwah adalah ketaatan yang penuh selama masih dalam jalan Allah
dan Rasul-Nya. Tidak ada ketaatan yang bersifat setengah-setengah, misalnya
hanya kepada perintah-perintah atau kesepakatan-kesepakatan dalam bidang sosial
saja, sedang dalam politik ia membangkang. Termasuk dalam perkataan fi
makrahi (dalam keadaan tidak menyenangkan) adalah ketaatan kepada hal-hal
yang ketika bersyuro kita tidak sependapat dengan hasil keputusannya.
Keteguhan (tsabat)
adalah bagian penting dalam dakwah ini dan lebih istimewa lagi dalam amal siyasi.
Jika dalam amal ij’timaiy mungkin banyak pujian yang datang tetapi dalam
amal siyasi kondisinya terbalik, banyak orang yang merasa terancam
dengan kehadiran dakwah dan Islam di panggung politik, banyak orang yang
apriori dan bahkan memusuhinya sebagai bagian dari konspirasi global yang sudah
terjadi sejak masa Nabi Muhammad SAW.
Resiko-resiko yang
diterima tanpa ada keteguhan akan menjadi dasar penyesalan atas keputusan yang
telah disepakati, padahal waktu adalah bagian dari solusi. Keberhasilkan
perjuangan seringkali tidak dapat diukur dalam waktu yang pendek.
Amal siyasi yang diperjuangkan
adalah amal siyasi yang islami. Ini adalah komitmen yang tidak boleh
berubah, meskipun tawaran-tawaran berbagai ideologi sangat banyak dalam dunia
politik. Manhaj Islam sedemikian terang benderangnya, dan oleh karenanya
aktivis dakwah tidak akan terjebak pada pemikiran dan metode yang tidak jelas
hanya karena ketidak-sabarannya bekerja dengan waktu.
Ini adalah makna tajarrud
(kemurnian total) dalam arkanul bai’ah yang sepuluh. Dunia politik adalah
dunia yang memiliki karakteristik tersendiri sehingga banyak orang mengatakan
“politik itu kotor”. Perkataan itu sesungguhnya tidak benar karena dunia
sosial, perdagangan, bahkan dunia dakwah itu sendiri dapat saja menjadi “kotor”
oleh perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang tidak bertanggungjawab.
Namun demikian, memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak perpecahan,
persengketaan, permusuhan diantara teman, intrik dan fitnah terjadi di dunia
politik.
Oleh karena itu, jika
rukun ukhuwah diabaikan dan tidak bekerja maksimal dalam amal siyasi, semua
kemungkinan dan kekhawatiran itu dapat juga terjadi pada diri kita.
Terakhir, perlu
direnungkan makna tsiqah yakni menyiapkan rasa puas kepada pemimpin atas
kapasitas kemimpinannya dan maupun keikhlasan, dengan kepuasan yang mendalam
yang menghasilkan perasaan cinta, penghargaan, penghormatan, dan ketaatan.
Semakin jauh jenjang organisasi dari titik pusat pengambil keputusan rukun tsiqah
ini akan semakin signifikan dalam membangun komitmen.
Tentu, rukun ini
tidak menghilangkan fungsi pemimpin sebagai guru dan pembimbing kepada para
anggota sehingga kepuasan itu hadir dengan penuh qana’ah tidak terpaksa.
Keputusan-keputusan dalam amal siyasi dalam kadar tertentu kadangkala
memang begitu rumit karena demikian kompleksnya persoalan yang dihadapi.
Ketsiqahan diantara aktivis dakwah dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya degradasi soliditas
karena adanya keputusan-keputusan qiyadah yang belum terpahami.
Kontribusi komitmen bai’ah aktual
dalam dakwah
Kekuatan interaksi
terhadap arkanul bai’ah akan dapat mempertahankan penampilan kinerja dan
manhaj amaliy aktivis dakwah sehingga bisa diandalkan dalam persaingan
antaraliran, antarahzab (partai-partai) dengan aneka ragam mabadi (ideology).
Insya Allah dengan komitmen interaktif yang kontinyu terhadap arkanul bai’ah
jamaah dakwah akan mempunyai mazhhar (penampilan) yang sanggup
menghadapi tantangan rivalitas yang semakin tajam antaraliran ideologis dan
antarpemikiran yang ada di lapangan.
Ustadz Hilmi
Aminuddin menyatakan mazhhar jama’ah yang diharapkan tumbuh dan berkembang
dari interaksi dengan arkanul bai’ah yang terus-menerus itu ialah:
1.
Mazhhar atsbatu mauqifan (penampilan dalam
kekokohan sikap) yakni sikap yang paling teguh di antara sikap-sikap yang
ditampilkan oleh golongan-golongan, madzhab-madzhab dan aliran-aliran lain.
Sikap yang tidak mudzabdzab, (plin-plan), yang tidak mancla-mencle, yang
tidak memble menghadapi tantangan-tantangan yang semakin kuat dan
terang-terangan. Sekali lagi, tantangan yang semakin terang-terangan mengingat
kita sekarang ada di era jahriyah (keterbukaan). Sikap teguh kita harus
ditampilkan secara penuh dalam kinerja, performance dakwah jama’ah, dan
partai kita. Kekokohan sikap adalah tampilan awal yang merupakan buah dari kekuatan
yang ditumbuhkan oleh aqidah kita.
2.
Mazhar arhabu shadran. Keteguhan sikap itu
tidak melahirkan sikap yang kaku karena selain ada aqidah yang rasikh, aqidah
yang kuat, tetapi juga ada akhlaqul karimah yang akan melahirkan arhabu
shadran (kelapangan dada). Di atas kekokohan sikap itu kita paling bisa dan
paling sanggup berlapang dada dalam menghadapi realitas kehidupan, dalam
menghadapi tantangan, dalam bermuamalah menghadapi berbagai sikap-sikap lain.
Termasuk ketika kita berinteraksi dengan sesama kelompok Islam yang kebetulan
mereka belum satu manhaj dengan kita dengan perlakuan dan sikap-sikap mereka
yang tidak menyenangkan.
3.
Mazhar a’maqu fikran (penampilan kedalaman
dalam berfikir) dalam menghadapi aneka situasi dan kondisi sehingga kita tidak
meresponnya secara i’tijaliyah (ketergesa-gesaan). Kita selalu berfikir
secara muta’anni (sangat mendalam) dan mutama’in (intens), dalam
menentukan langkah-langkah kita dengan proses dan prosedur yang benar yang
sudah kita sepakati bersama. Tidak boleh ada satupun keputusan jamaah ini yang
tanpa melalui proses a’maqu fikran yang dalam praktiknya kita wujudkan
dalam wadah syuro yang selalu kita jaga. Sehingga tidak ada alasan dari kita untuk
tidak mendukung sikap yang diambil oleh jama’ah, karena proses dan prosedur
yang diambil sudah benar dengan tetap tidak terburu-buru.
4.
Dalam
memandang fenomena kehidupan dan perjuangan ini kita harus mempunyai mazhhar
awsa’ nazhoron (penampilan dengan pandangan yang lebih luas).
Kita harus mempunyai pandangan yang sangat luas, seluas ufuq yang bisa
dijangkau oleh mata kita. Kita tidak boleh mempunyai pandangan mutajamid (pandangan
kebekuan) yang sempit, hizbiyah (mengagungkan golongan) dan madzhabiyah
(mengagungkan aliran). Kita harus memiliki pandangan yang sangat luas karena
sasaran dari dakwah yang sudah dicanangkan adalah bina-ul fard (peminaan
individu), bina-ul mujtama’ (peminaan masyarakat), bina-ud daulah (pembangunan
negara), bina-ul khilafah (pembangunan khilfah) hingga ustadziyatul
‘alam (sokoguru semesta alam).
Di sana kita harus
memancangkan rahmatan lil ‘alamin sehingga setiap makhluk hidup—bukan manusia
saja--merasakan sentuhan rahmat dari kita. Tidak mungkin kita melakukan itu
bila kita tidak mempunyai pandangan yang sangat luas terhadap kehidupan ini.
5.
Kita
harus didukung dengan Mazhhar ansyathu ‘amalan (penampilan
sebagai pihak yang paling giat bekerja). Karena mazhhar-mazhhar sebelumnya
harus dibuktikan dalam ansyathu ‘amalan (kegiatan kerja). Hendaknya
beramal paling keras dan menjadi aktivis/amilin yang paling giat, efektif dalam
mengarahkan tenaga dan potensinya serta langkah-langkahnya selalu terarah
dengan tepat (khutuwat al athifah). Itu adalah refleksi dari aqidah dan
fikrah kita.
6.
Begitu
juga kita menyadari sepenuhnya bahwa syumuliyatul Islam tidak mungkin diperjuangkan
secara individual, tapi harus diperjuangkan secara jama’iy (kolektif).
Maka, kita pun harus menampilkan secara struktural ashlabu tanzhiman
(organisasi yang paling solid dan kokoh bagaikan baja). Tanzhim kita
tanzhim yang kokoh tidak gampang reot oleh benturan-benturan yang diarahkan
oleh lawan-lawan, musuh-musuh, pesaing-pesaing, atau oleh orang-orang yang
belum memahami dakwah kita.
Kita
tetap teguh. Keputusan jama’ah tidak pernah dihasilkan oleh pressure,
tekanan, ancaman apapun. Semuanya, yang penting, proses prosedur berjalan maka
kita putuskan dengan mengabaikan tekanan dari manapun. Ini sebagai pembuktian
dari ashlabu tanzhiman.
7.
Mazhhar aktsaru naf’an (penampilah sebagai
pihak yang paling banyak memberi manfaat). Dulu sering saya katakan bahwa kita
dituntut oleh Allah SWT untuk menjadi orang-orang yang produktif menghasilkan
kebajikan7 kebajikan. Sebab, pada dasarnya secara fitriyah kita sudah
menjadi orang-orang yang konsumtif. Kalau masalah konsumtif tidak perlu
didorong, tidak perlu diprogram, karena sudah sudah menjadi tabiat dasar.
Begitu lahir kita mengkonsumsi kebajikan ibu, kebajikan ayah, kebajikan
saudara-saudara kita, kebajikan tetangga-tetangga yang menimang-nimang kita. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment