Akhi
dan Ukhti fillah…
Pada
suatu saat seorang karyawan mengadukan kegundahannya kepada seorang ustadz. Ia
membeberkan hubungannya yang tidak harmonis terhadap atasnnya. Sebut saja
Ahmad. Ikutilah…
Ahmad: Saya berharap kiranya ustadz berkenan
memberikan bimbingan praktis agar saya lega terhadap posisi saya dalam sebuah
jabatan. Saya sekarang ini menjadi bawahan orang yang secara usia, pengalaman
organisasi, dan jenjang pendidikanya jauh di bawah saya. Saya mengharapkan
jawaban itu karena saya sendiri sedang tidak stabil, secara dakwah, keimanan,
dan kejiwaan. Tsiqah saya dalam organisasi ini demikian terganggu karena
fenomena ini
Ustadz: Akhi, terima kasih atas keparcayaan
antum kepada saya sehingga
sudi menyampaikan pertanyaan kepada saya. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua berada seperti kadar
kepercayaan tersebut.
Akhi, keterlibatan antum dalam aktifitas
Islam menurut saya merupakan sesuatu yang luar biasa.
Pertama-tama antum adalah seseorang yang
komitmen terhadap agama antum dan cinta kepadanya. Antum sadar sepenuhnya akan
tujuan dan peran yang mesti antum mainkan selaku makhluk yang diciptakan untuk
itu. Antum juga memiliki cara pandang yang jelas dan bashirah yang membuat
antum mampu mementukan jalan dan sarana yang akan antum tempuh untuk mencapai
tujuan dengan memainkan peran itu. Kita memohon kepada Allah kiranya menjadikan
bashirah itu memantulkan cahaya Allah Ta'ala.
Apa yang antum katakan itu menuntuku untuk
memberikan jawaban yang luas. Terutama ketika saya melihat umur yang antum sebutkan
itu. Dengan karunia Allah ternyata antum berada pada kematangan usia dan akal
pikiran yang membuat antum bisa meliai sesuatu secara terukur serta menjaga
antum dari ketergesaan seorang pemuda.
Saya ingin membagi jawabannya menjadi dua
bagian:
Pertama saya tujukan kepada antum
Kedua saya tujuan untuk semua qiyadah
dalam harakah Islamiyah dan semua organisasi dakwah Islam.
Untuk antum, saya tidak akan memperpanjang
kata, sebab saya yakin antum sering mendangar kata-kata semacam ini melalui
qiyadah antum. Juga antum telah sering membaca hal-hal yang berkaitan dengan
etika amal jama'i. Tugas saya kepada antum hanyalah mengingatkan dan
memfokuskan perhatian kepada hal-hal yang boleh jadi terlupakan.
Akhi Ahmad.
Saya akan memulai jawaban ini dengan
berita gembira dari kekasih kita Muhammad saw yang beliau sampaikan kepada
siapa saja yang berbuat untuk Islam seperti antum. Yang bisa jadi mereka tidak
mendapatkan hak manusiawinya atau penghargaan duniawinya. Rasulullah bersabda
dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, "Berbahagialah seorang
hamba yang memegang kendali kudanya, kusut masai rambutnya, dan berdebu
kakinya. Jika berjaga ia tetap berjaga. Jika bertugas di belakang ia tetap di
belakang. Ketika meminta izin tidak diberi izin dan ketika memberi bantuan
tidak diperkenankan."
Manurut saya, antum tidak perlu penjelasan
tentang hadits tersebut. Yang tentu saja tidak hanya berlaku dalam perang atau
kaitannya dengan pangkat dalam militer. Namun ia berlaku bagi semua amal di jalan Allah yang ditujukan untuk
berkhidmat bagi Islam.
Selamat bagi siapa saja yang tidak
mengagungkan dirinya di jalan Allah. Yang dengan ilmunya ia tidak menghendaki
kedudukan, jabatan, ketenaran, atau harta benda. Sikap ini harus selalu ada
dalam diri setiap orang yang bekerja untuk Islam. Bahkan termasuk hal utama
yang harus dipelajari seseorang ketika mulai menempuh jalan dakwah tersebut.
Ini bukan berarti seseorang harus
merahasiakan kemampuannya, mengubur bakatnya, dan mengebiri ide-idenya. Bahkan
seharusnya seorang aktivis
mengoptimalkan potensinya dan kemampuan intelektual, fisik, serta hartanya yang
dibarikan Allah kepadanya untuk memenangkan Islam.
Realita sirah Nabi sangat sarat dengan
contoh-contoh ideal. Seperti usulan Hubab bin Mundzir kepada Nabi saw untuk memindah kamp tentara Islam
dalam perang Badar. Kendatipun tempat yang semula adalah pilihan Nabi saw.
sendiri. Ini tidak membuatnya menahan gagasannya setelah ia memastikan bahwa
pendapat Nabi itu semata-semata pertimbangan manusiawinya, bukan bersumber dari
wahyu Allah. Maka tidak ada pilihan lain bagi Nabi selain menerima pendapat
tersebut lalu beliau memindahkan kamp tentara. Ternyata, ini menjadi salah satu
faktor kemenangan kaum Muslimin dalam perang tersebut.
Ini satu sisi, sisi lain, ya akhi, bahwa
Sirah juga menjelaskan kepada kita agar ketika menilai seseorang dalam kerja
jihad dan dakwah, seharusnya tidak menggunakan neraca duniawi –sebagaimana lazimnya
digunakan banyak orang terhadap suatu tugas, pekerjaan, dan jabatan.
Pertimbangan usia, level pendidikan, kedudukan, dan kekuatan fisik mestinya
tidak dijadikan sebagai skala prioritas dan tidak dijadikan sebagai penentu
keputusan. Ada hal-hal lain yang mestinya diprioritaskan seperti ketakwaan,
keikhlasan, kemampuan menyelesaikan tugas sebagaimana yang diharapkan,
pengetahuan terhadap hukum-hukum syar'i, khususnya yang berkaitan dengan tugas
yang diembannya. Disamping itu ia juga memiliki pemahaman segala aturan main
yang diberlakukan oleh suatu
organisasi, partai, atau
gerakan di mana ia berafiliasi kepadanya.
Kita tahu bagaimana Nabi saw. memilih para
pimpinan dan panglima. Yang intinya beliau mampu memberdayakan potensi dan
menempatkan posisi dengan sangat baik sehingga memberikan kontribusi positif
bagi Islam dan kaum Muslimin. Beliau mengangkat Khalid bin Walid -kendatipun
masuk Islamnya bekalangan- sebagai seorang panglima di beberapa operasi
militer. Padahal yang dipimpinnya para sahabat senior dalam Islam dan jihad.
Demikian pula ketika beliau mengangkat Usamah bin Zaid yang umurnya beluam
genap tujuh belas tahun sebagai panglima perang, di antara pasukannya terdapat
banyak sahabat yang lebih tua dan lebih senior dalam Islam.
Rasulullah tidak mempertimbangkan
senioritas dalam Islam dan jihad maupun usia. Beliau melihat potensi dan
kemampuan dalam menyelesaikan tugas dengan baik dengan hasil yang diridhai
Allah dan bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin.
Rasulullah juga menjadikan Bilal sebagai
tukang azan karena suaranya yang merdu. Mengangkat Hasan bin Tsabit sebagai
penyair Islam yang berjuang membela agama dan syariah. Bahkan beliau juga
memotivasinya dan memberi berita gembira kepadanya tentang dukungan Ruhul
Qudus, malaikat Jibril kepadanya. Kendatipun Hasan sendiri tidak ikut terlibat
di medan perang. Namun ia berjihad dengan lisan dan syairnya. Nabi pun telah
ridha kepadanya dengan model perjuangannya ini bahkan berterima kasih
kepadanya.
Rsaulullah juga tidak mau basa-basi kepada
seseorang demi kemaslahatan umum, terutama dalam memilih pimpinan. Lihatlah
akhi, bagaimana Abu Dzar yang meminta Nabi agar diangkat sebagai salah satu
pimpinan. Dan kendatipun Nabi snagat mencintainya, beliau pun menjawab seraya
menepuk pundaknya,
"Abu Dzar, kamu ini orang lemah.
Jabatan itu amanah. Dan pada hari Kiamat nanti ia menyebabkan kehinaan dan
penyesalan. Kecuali orang yang dapat menunaikan haknya dan menjalankan
tugasnya." (Muslim).
Di sini Nabi saw. meringkas kaidah penting
dengan dua kata, menunaikan haknya (haqqiha) dan menjalankan tugasnya
(adda al-ladzi alaihi fiiha). Betapa mulia Rasulullah dan betapa cerdasnya
panglima ulung ini, shalawat dan salam untuknya.
Olah karenanya saya mengajak antum, akhi,
pertama-tama mengalamatkan tuduhan kepada diri sendiri. Boleh jadi kita lebih
tua, lebih berpendidikan, dan lebih menguasai salah satu bidang. Namun untuk
sebuah tugas dakwah boleh jadi kita tidak memiliki sifat-sifat yang semestinya.
Atau bisa jadi kita memiliki sebagian sifatnya namun tidak nampak dan tidak
menonjol menurut qiyadah antum. Sebab antum belum menunjukkannya atau belum
memberitahukan hal itu kepada mereka. Mereka hanya melihat sifat-sifat lain
yang menonjol pada diri kita yang tidak dibutuhkan untuk suatu tugas tertentu.
Atau barangkali kondisinya sebaliknya,
yakni kita punya sifat-sifat negatif yang tidak kita sadari atau kita
menganggapnya tidak mempunyai pengaruh negatif. Namun saudara-saudara dan
qiyadah kita melihatnya lain dan menganggapnya serius yang membuat kita tidak
layak mengemban tugas tersebut.
Itulah akhi al-karim, beberapa hal yang
secara mendasar harus kita sepakati. Setelah itu marilah kita menentukan
beberapa langkah strategis sebagaimana yang antum minta. Agar terciptalah
keselarasan antar kita dengan Tuhan kita dan saudara kita. Keselarasan yang
sesuai kaidah tawazun imani, nafsi, dan da'awi.
Pertama: hendaknya kita mempertanyakan
beberapa hal ini kepada diri sendiri:
Mengapa kita di sini? Untuk siapa amal
yang kita lakukan? Dan apa yang kita kehendaki dengan amal ini?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan ini
perlu kejujuran terhadap diri yang memang sangat sulit. Ya, sungguh sulit.
Karena terkadang kita sering berbohong terhadap diri sendiri atau kita menipu
diri sendiri. Bisa jadi ada niat-niat lain yang tersembunyi di balik niat yang
kita tunjukkan kepada orang lain, dan niat-niat itu yang menggerakkan dan
mengarahkan kita.
Apakah kita hanya ingin memuaskan
keinginan tersembunyi kita itu hingga kita berharap mendapatkan kedudukan pada
suatu kaum agar kita mendapatkan hak untuk memerintah, melarang, dan
memutuskan?
Apakah ada keinginan untuk menunjukkan
kemampuan dalam diri, di mana kita melihatnya memiliki potensi yang luar biasa
dan bakat yang harus dinampakkan?
Apakah ada niat untuk menunjukkan
keberanian dan kemampuan kita dalam menyelesaikan suatu tugas yang sulit?
Apakah kita menginginkan kedudukan yang
bisa dilihat orang, hingga kita menjadi terkenal dan kita menjadi buah bibir di
banyak forum?
Ataukah untuk mendapatkan ridha Allah dan
meninggikan kalimat-Nya? Mengharapkan surga dan agar terjaga dari neraka?
Jawabannya ada pada diri kita sendiri...
Untuk siapakah kita beraktivitas?
Apakah kita persembahkan kerja kita untuk
atasan dan pimpinan kita dengan mengharapkan pujian dan sanjungan mereka atas
kontribusi kita lalu mereka mengalungkan medali pengharagaan? Lebih dari itu
agar kita mendapatkan pengharagaan dari pimpinan tertinggi?
Ataukah kita ingin mempersembahkannya
kepada Rabb kita agar kiranya Allah memberikan ridha dan surga-Nya kepada kita
lalu kedudukan kita menjadi tinggi di akhirat kelak?
Jawabannya juga ada pada diri kita
sendiri...
Saya ingin mengingatkan antum dan diri saya
sendiri serta kaum Muslimin, bahwa
Allah tidak pernah tertipu oleh seseorang. Allah dapat melihat apa saja yang
berada di balik dada dan membedah apa yang disembunyikan oleh jiwa. Allah meng-hisab
semua hamba-Nya sesuai dengan kenyataan sesungguhnya. Bukan secara simbolis,
menipu, atau kamuflase.
Ayat dan hadits tentang hal ini sangat
banyak. Misalnya hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya bahwa
seseorang datang kepada Nabi saw. seraya berkata,
"Seseorang berperang karena harta
rampasan, seseorang berperang karena popularitas, dan seseorang berperang agar
kedudukannya bisa diketahui orang. Maka siapakah di antara yang berada di jalan
Allah?" Beliau pun menjawab, "Barangsiapa berperang untuk meninggikan
kalimat Allah, maka orang itu berada di jalan Allah.
Di Shahih Tirmidzi juga diriwayatkan bahwa
(pada hari Kiamat) nanti akan didatangkan seseorang yang terbunuh di jalan
Allah (menurut anggapan orang). Allah bertanya kepadanya, "Karena apa kamu
terbunuh?" Ia menjawab, "Karena Engkau telah memerintahkan berjihad
di jalan-Mu, maka aku berperang lalu terbunuh." Allah berkata kepadanya,
"Kamu berbohong." Malaikat juga berkata kepadanya, "Kamu
berbohong." Allah berkata, "Sebenarnya kamu ingin agar orang
mengatakan, 'si fulan itu memang pemberani.' Dan sudah ada yang
mengatakannya.'" Lalu ia termasuk orang pertama yang masuh neraka."
Mari kita lihat, akhi. Seorang Arab Baduwi
datang kepada Nabi lalu beriman dan mengikuti beliau kemudian berhijrah ke
Madinah. Pada suatu peperangan, Nabi mendapat rampasan seorang wanita lalu
diberikan kepadanya. Ia berkata kepada Nabi saw, "Apa?" Beliau
berkata, "Aku membaginya untukmu." Ia berkata, "Bukan untuk ini
aku mengikutimu, yang aku inginkan adalah sekiranya aku dilempar anak panah ke
sini –ia menunjuk ke arah leher- lalu aku mati dan masuk surga." Nabi
menjawab, "Jika kamu jujur Allah akan membuktikan (kejujuranmu)."
Lalu orang itu pun terbunuh di peperangan. Nabi melihatnya dan orang itu
terkena panah di tempat yang ditunjuk itu." Baliau bertanya, "Apakah ia ini orangnya?" Mereka
menjawab, "Benar." Beliau bersabda, "Jika kamu jujur Allah akan
membuktikan (kejujuranmu)." Lalu beliau mengkafani dengan jubahnya,
meletakkannya, dan menshalatinya. Lalu berdoa untuknya, "Ya Allah, hamba-Mu
ini keluar untuk berhijrah di jalan-Mu lalu ia terbunuh sebagai syahid dan aku
menjadi saksi atasnya." (Imam Nasa'i dengan sanad shahih).
Benar akhi, siapa yang jujur Allah akan
membuktikan kejujurannya. Marilah kita duduk dengan penuh kejujuran terhadap
diri sendiri. Kita evaluasi niat dan tujuan kita. Tentunya dengan penuh
kesadaran bahwa Allah tidak akan menerima amal kecuali yang ikhlas mengharapkan
ridha-Nya. Kalau kita mampu memperbaiki niat –dan ini sangat penting namun
sangat sulit pada awalnya- itu akan lebih baik bagi kita, dunia dan akhirat.
Jika kita tidak mampu dan tetap saja ada ganjalan terhadap qiyadah kita serta
tidak ridha terhadap posisinya sekarang ini, bukan berarti kita harus
meninggalkan amal atau memutuskan hubungan dengan ikhwah. Namun hendaknya kita
tetap berjihad melawan diri kita untuk mendapatkan niat yang diridhai Allah.
Tentu saja berbagai kesulitan yang kita hadapi dalam hal ini menjadi asset kebaikan kita di sisi Allah. Ingatlah
firman Allah, "Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari jalan
Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepadanya jalan Kami."
Kedua: Kita menunaikan tugas yang telah
dibebankan kepada kita dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai ketidak-puasan kita
terhadap posisi kita itu membuat kita malas menunaikan tugas dan kewajiban.
Ketiga: Biasakan menunjukkan keahlian kita
dan memperkenalkannya kepada qiyadah. Jangan sampai kita memendam pendapat yang
menurut kita bermanfaat. Kendatipun pendapat qiyadah berbeda. Dalam hal ini
Hubab bin Mundzir ra. bisa menjadi contoh.
Keempat: Terus terang kepada sesama ikhwah
dan qiyadah tentang segala hal yang mengusik kita. Garis lurus itu biasanya
lebih dekat dengan kedua titik. Ketahuilah bahwa ketika kita mengeluarkan
uneg-uneg akan membuat kita puas dan tentram. Lalu permasalahan menjadi jelas
bagi kita dan bagi semuanya. Namun jika masalah kita itu kita pendam tentu
kegundahan kian membesar dan kian bercabang, lalu syetan pun beraksi untuk memperbesar dengan
godaan dan bisikannya. Kita jadi terbakar dari dalam. Lalu hal itu akan
mengganggu keimanan dan
kejiwaan kita. Kemudian pada
gilirannya berujung pada kerugian yang nyata.
Kelima: Selalu berhadap kepada Allah
melalui doa dalam shalat, kita, sujud kita, dan waktu-waktu mulia agar
dikaruniakan amal shalih yang mendekatkan kita kepada-Nya. Juga agar Allah
menuntun kita untuk melakukan kebaikan, kebenaran, dan merubah kita. Agar kita
diselamatkan dari fitnah kedudukan dan kepemimpinan di mana kita tidak mampu
menunaikannya. Sebab ia adalah –seperti sabda Rasulullah- amanah, yang pada
hari Kiamat nanti menyebabkan kehinaan dan penyesalan. Cukup di sini jawaban
untukmu, akhi. Mudah-mudahan dapat menghilangkan ganjalan di hati antum.
Kini tiba saatnya kita berada pada bagian
kedua pembicaraan kita. Yang saya tujukan kepada segenap qiyadah harakah dan
gerakan Islam. Apa yang saya sampaikan tadi kepada antum akhi, merupakan taujih
dan saran. Bukan berarti para qiyadah harakah dan jamaah terlepas dari tanggung
jawab. Atau membebaskan mereka dari kesalahan dan dosa. Bahkan mereka memiliki
tanggung jawab yang lebih besar dalam masalah ini. Agar parameternya seimbang
dan duduk perkaranya menjadi jelas, maka masalah ini harus dilihat dari dua
sisi, pribadi dan jamaah, yang terkait dengan hak-hak dan kewajiban.
Pertama: Kewajiban pertama kepada para
qiyadah jamaah, agar senantiasa mengikuti manhaj syariah dan cara Nabi dalam
memilih pimpinan di berbagai wilayah dalam rangka melaksanakan tugas-tugas
dakwah Islam. Hendaknya mereka berupaya menempatkan orang yang lebih cocok.
Kata cocok (munasib) di sini adalah sesuai dengan kapasitas syar'i yang membuat
orang itu layak menempati sebuah jabatan tertentu. Yakni pada qiyadah tersebut
terdapat sifat-sifat positif, dan yang paling penting adalah kafaah dan
kemampuan menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Menujukkan keikhlasan
dalam memberikan pengarahan kepadanya. Menjadi qudwah bagi bawahannya. Adil
dalam suka maupun tidak suka. Tidak menerima perantara. Tidak memihak kepada
salah satu pihak. Tidak marah karena nafsunya. Cinta dan benci karena Allah.
Tidak merasa lebih tinggi saat menasihati atau mengkritik. Tidak sibuk mencari
keuntungan materi maupun non materi dari jabatannya. Bersifat hormat kepada
bawahannya, fleksibel dan tidak kaku.
Yang lebih penting lagi agar loyalitasnya
diberikan kepada fikrah dan bukan kepada orang-orang yang mengangkatnya. Sifat
ini saya sebutkan secara khusus karena sangat urgen. Sebab kadang-kadang sebuah
fikrah itu dikesampingkan oleh qiyadah, jadinya loyalitas berubah dari untuk
fikrah menjadi untuk pribadi qiyadah, berjalan bersamanya, ke mana saja, lalu
berputar bersamanya mengikuti arah angin.
Kedua: Hendaknya qiyadah mendidik para
bawahan akan nilai-nilai Islam yang dengan nilai-nilai itu ia dapat menerima
berada di bawah kepemimpinan seorang yang lebih muda darinya. Atau tingkat
pendidikan dan wawasannya lebih rendah darinya. Atau hal-hal lain yang
berkaitan dengan parameter dunia kalau memang parameter syar'i terpenuhi.
Pendidikan nilai-nilai ini mestinya
diberikan kepada mereka sebelum fitnah datang menimpa, ambisi pribadi muncul,
dan godaan syetan mulai menggejala. Ujian tidak akan datang sebelum ada proses
belajar. Sebab kalau tidak, seorang murid akan gagal karena tidak menguasai
rumus-rumus dan logaritma yang diujikan. Di mana paramater yang biasa
dijumpainya dalam kesehariannya berbeda dengan parameter yang dijumpainya saat
ujian.
Ketiga: Para qiyadah hendaknya tidak
menjadikan nash-nash syar'i yang menyeru kepada pengingkaran jati diri dan keikhlasan
dalam amal, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, sebagai obat bius yang
memaksa masing-masing pribadi agar menyerah saja kepada posisi tertentu. Bisa
jadi mereka memang punya hak saat ia menolak atau meminta ada perubahan.
Keempat: senantiasa memotivasi
masing-masing anggota agar menunjukkan kemampuan mereka serta mengembangkan
bakat inovatif mereka. Bukannya memendam dan menahannya. Sangat disayangkan ada
sebagian orang yang mencoba intervensi terhadap niat mereka lalu memutuskan
persoalan berdasarkan niat tersebut. Seolah-olah ia telah membedah hati mereka
dan mengungkap niat itu. Ia menginterpretasikan upaya-upaya mereka dalam rangka
menunjukkan kemampuan dan mengklaim mereka memiliki sifat hubbudz-dzuhur
(exhibitionisme) atau berambisi kepada jabatan dan rakus kedudukan. Bisa jadi
memang benar. Namun orang-orang seperti itu perlu diuji sebelum dihakimi.
Kelima: Anggapan bahwa penilaian qiayadah
terhadap anggota, positif maupun negatif, adalah wahyu yang tidak bisa
dibantah, yang dengan dasar itu anggota dihukumi kredibel atau tidak. Anggapan
tersebut perlu ditinjau ulang dan dikoreksi. Sebab untuk menilai seseorang
harus dari berbagai sisi dan setelah melalukan berbagai ujian, untuk menjauhi
tendensi pribadi yang kadang bisa mempengaruhi qiyadah kendatipun ia berupaya
untuk mengenyampingkannya. Betapapun, qiyadah adalah manusia juga yg tidak terbebas dari kesalahan dan
kekeliruan dalam mengambil keputusan.
Keenam:
Hendaknya qiyadah bisa menjadi teladan dalam amal shalih. Agar apa yang
diucapkan serasi dengan apa yang dikerjakan. Ketahuilah bahwa keteladanan ini
mempunyai kesan yang kuat dan mendalam dalam diri anggotanya ketimbang
kata-kata yang terucap, apatah lagi kata-kata itu hanyalah pemanis bibir yang
tidak ada realita amalnya. Lebih ironis lagi jika amal perbuatannya bertolak
belakang dengan pernyataannya dan dengan syariah Islam.
No comments:
Post a Comment