Jika kita memperhatikan perjalanan hidup kita, kita akan menemukan bahwa
Allah telah memberikan kita nikmat dan karunia yang tidak terhingga kepada
kita. Dimulai ketika kita terlahir dalam keluarga muslim dan hingga sekarang
Allah masih memberikan kita nikmat iman dan Islam. Berapa banyak manusia yang
terlahir dalam lingkungan keluarga non-muslim hingga dewasa, bahkan sampai ajal
menjemput. Mereka tetap tidak mendapatkan atau menjaga fitrah penciptaannya,
yaitu Islam seperti disebutkan dalam hadits “kullu mauluudin yuuladu ‘alal
fithrah” (tiap bayi dilahirkan atas fitrah Islam). Bukankah ini karunia
besar yang patut kita syukuri? Allah mencela dan mengancam orang yang tidak
mensyukuri nikmat dengan siksa yang pedih nanti di akhirat,
وَإِذْ تَأَذَّنَ
رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي
لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala
Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Ibrahim:7)
Kelimpahan nikmat dan kebaikan yang Allah berikan kepada manusia disebutkan
dalam beberapa ayat, di antaranya:
تَبَارَكَ الَّذِي
بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Maha
suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas
segala sesuatu. (Al-Mulk:1)
Al-Quran mengungkapkan
keberlimpahan kebaikan Allah dengan ungkapan “tabaarak” yang arti sebenarnya
adalah Maha Pemberi kebaikan yang berlimpah dan tak terhingga. Pengertian ini
dapat kita lihat di ayat lain yang menyebutkan,
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا
Dan
jika kalian menghitung nikmat Allah, kalian tidak akan dapat menghitungnya. (Ibrahim:34)
Hal di atas cukup untuk menjadi alasan pribadi bagi seorang muslim untuk
bersyukur dan membela Islam. Dalam tinjauan yang lebih luas lagi, Islam bukan
hanya agama pribadi, tetapi juga sebuah arus dan ideologi yang harus
diperjuangkan agar nilai-nilainya berjalan di muka bumi. Untuk tujuan ini, maka
intima atau berafiliasi kepada Islam dan perjuangan dakwah Islam menjadi suatu
keharusan dan wujud dari rasa syukur manusia kepada Allah.
Islam adalah ideologi dan risalah Allah yang harus sampai kepada seluruh
manusia atau menjadi rahmat bagi semesta. Tugas besar ini memerlukan
orang-orang yang memiliki komitmen dan loyalitas serta keterikatan yang kuat
kepada Islam. Pembelaan dan keberpihakan kita kepada Islam merupakan wujud
intima kita kepada Islam dan gerakan dakwah. Ekspresi kesyukuran kita atas
semua nikmat ini harus benar-benar terwujud.
Ikhwati fillah…..
Intima kepada Islam bukan berarti mengungkung manusia, mengikat manusia dan
merasa tidak merdeka. Sisi lain dari pemahaman intima yang dapat diwujudkan
adalah seperti yang dikatakan Imam Syafi’i dalam suatu syi’irnya,
الحُرُّ مَنْ رَاعَى وِدَادَ
لحَظَةٍ أَو انْتَمَى لمِنَ أَفَادَهُ لَفْظَة
Orang yang merdeka adalah orang menjaga (merawat)
kasih sayang (ukhuwah) yang hanya sebentar atau orang yang berafiliasi kepada
orang yang telah memberikan manfaat meski hanya satu kata.
Dakwah dan tarbiyah telah memberikan sesuatu yang banyak kepada kita. Kita
bukan hanya menerima ukhuwah sesaat dari ikhwah lainnya, bahkan bertahun-tahun
kita telah hidup menjalin ukhuwah. Ilmu dan nilai yang bermanfaat buat
kehidupan telah banyak kita dapatkan dari murabbi kita, dari qiyadah kita dan
ikhwah sejawat kita. Jadi kita telah banyak berutang kepada dakwah dan pelaku
dakwah itu sendiri, apalagi kepada Allah, sumber segala kebaikan.
Dengan banyaknya kebaikan yang kita dapatkan dari dakwah dan tarbiyah, maka
kita belum dapat dikatakan merdeka jika kita tidak dapat berterima kasih kepada
para dai, murabbi, qiyadah, masul kita yang telah menunaikan hak ukhuwah kepada
kita. Bukan hanya “lahzhah,” beberapa menit, tetapi bertahun-tahun kita
merasakan kebaikan ukhuwah tersebut.
Manfaat yang kita dapatkan dari perkataan murabbi kita bukan hanya “lafzhah”
sepatah dua patah, tetapi ribuan kata dalam bentuk arahan, taujih, materi dan
berbagai pelajaran telah kita dapatkan, bahkan sebagian kita ada yang
membukukan materi yang mereka dapatkan.
Sudah sepantasnya dan tanpa ragu-ragu, kita harus memberikan kontribusi
kita kepada dakwah dan gerakan dakwah ini sebagai wujud dan bukti intima kita
kepada Islam.
Misi dakwah telah dibebankan kepada para dai. Mereka adalah manusia. Kepada
merekalah kita menunjukkan intima Islam kita. Kepada murabbi, kepada naqib,
kepada masul, kepada qiyadah dan kepada mereka yang urusan kita menjadi
tanggungannya kita bekerja sama dan beramal jamai.
Ketaatan kita kepada qiyadah dan masul merupakan cerminan intima kita
kepada gerakan dakwah, karena Allah memerintahkan kita untuk taat kepada
pemimpin.
Jika nikmat keislaman
kita syukuri dengan berwala kepada Allah, Rasul dan pemimpin Islam, maka nikmat
berukhuwah dapat kita syukuri dengan senantiasa berafiliasi kepada gerakan
dakwah dalam kerja dan ketaatan kepada kebijakan dakwah. Wallahu a’lam
No comments:
Post a Comment