Ikhwah wa
akhwat Ad-Da’iyyat hafizhakumuLLAH,
Salah satu mawqif (sikap) yang harus dimiliki oleh kader di dalam
mengemban amanah dakwah dan jihad menegakkan syari’ah ALLAH SWT di muka bumi
ini adalah sikap ber-husnuzhan (berprasangka baik) kepada saudara kita
sesama mu’min --siapapun dia dan dari kelompok apapun mereka-- sepanjang ia
atau mereka dikenal keikhlasannya dan perjuangannya untuk Islam dan meninggikan
kalimatuLLAH, maka hendaklah kita menahan diri dari berprasangka buruk dan
apalagi sampai memfitnah atau menyebar isu.
Sesama ikhwah, harakah dan jama'ah adalah kumpulan manusia, maka setiap
ijtihad wajib atasnya ihtimal al-khatha' (mengandung peluang untuk salah),
sebagaimana perkataan Imam Asy-Syafi'i -rahimahuLLAH- :
رَأْيِي
صَوَابٌ وَلَكِنْ يَحْتَمِلُ الْخَطَأُ وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ وَلَكِنْ
يَحْتَمِلُ الصَّوَابُ
(pendapatku benar tapi mungkin saja salah, dan pendapat selainku
adalah salah tapi mungkin saja benar). Ikhwah wa akhwat fiLLAH mencermati
banyaknya kader yang saat ini terjatuh ke jurang kehinaan dengan tertimpa
penyakit menyebar issu dan fitnah, maka semoga tulisan ini menjadi bermanfaat.
JIKA MENERIMA
HADITSUL-‘IFK MAKA WAJIB
TABAYYUN/TATSABBUT
Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa
suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu”. (Al-Hujurat : 6)
Dalam ayat ini ALLAH SWT memerintahkan kepada orang-orang yang benar-benar
shadiq kepada ALLAH dan Rasul-NYA (shaddaqu liLLAHI wa rasuliHI),
jika ada orang fasik membawa berita tentang sebuah kaum agar dilakukan tabayyun
(dalam qira’ah Ahlul-Madinah dikatakan tatsabbut), yaitu jangan
langsung diterima tanpa dilakukan pengecekan kebenarannya[1].
Sehingga Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa para ulama tidak mau menerima
riwayat dari orang yang majhul (tidak dikenal kepribadiannya) karena khawatir
adanya kefasikan dalam dirinya[2].
Sementara Imam Al-Alusi menyatakan bahwa makna fasik ialah orang yang masih
suka bermaksiat, atau suka melanggar salah satu aturan agama[3].
Dan caranya adalah hendaklah dengan mengecek ke qiyadah (Nabi SAW), atau kepada
Kitab wa Sunnah[4].
ADA DIKALANGAN
IKHWAH YANG DOYAN
MENYEBAR HADITSUL -‘IFK
Allah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong
itu adalah dari golongan kamu juga.” (An-Nuur : 11)
Ayat di atas
mengindikasikan kepada kita bahwa diantara para penyebar isu itu ada
diantaranya di kalangan para ikhwah kita sendiri, kata-kata ‘ushbah
dalam ayat tersebut dimaknai oleh para mufassir sbb ;
1. Jama’ah diantara kalian[5]
2. Mereka bukan hanya 1 atau 2 orang diantara Jama’ah, melainkan banyak
orang yang ikut pula terlibat[6]
3. Mereka lalu menjadi suatu firqah yang memiliki satu kesamaan dan saling bekerjasama
menyebar isu tersebut[7]
Hal ini memberikan pelajaran yang berharga pada kaum al-muslimin
al-mujahidin al-muttaqin bahwa para penyebar isu tanpa didukung fakta itu
sudah pernah terjadi di era terbaik, dan oleh karenanya sangat mungkin terjadi
di kalangan ikhwah kita saat ini, dan topik isu juga terjadi berkaitan dengan
pribadi al-qadah (yaitu Nabi SAW) atau saat ini kepada para qiyadah Jama’ah.
HADITSUL -‘IFK ITU
ADA HIKMAHNYA BAGI
JAMA’AH
Allah berfirman :
“Jangan kalian kira (dampat isu tersebut) buruk bagi kalian namun ada
kebaikan (dibalik itu) bagi kalian”. (An-Nuur : 11)
Maknanya
jangan kalian mengira dampak isu tersebut buruk bagi yang terkena fitnah tersebut
disisi ALLAH dan juga disisi manusia, bahkan ia baik bagi kalian[8]; berkata
Ibnu Katsir : Baik bagi kalian di dunia dan di akhirat yaitu, bukti kebenaran ALLAH
SWT atas perilaku kalian tersebut di dunia dan kedudukan yang tinggi bagi
kalian kelak di akhirat[9]; dan itu
berlaku bukan hanya bagi Nabi SAW dan keluarganya, melainkan juga bagi ummat yang
lainnya, sebagaimana khithab dalam konteks ayat ini yaitu bagi Shafwan
RA dan juga bagi keluarga Abubakar RA[10].
PELAKU HADITUSL-‘IFK AKAN MENDAPATKAN BALASAN
ALLAH SWT
Allah berfirman :
“Tiap-tiap
seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa
di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita
bohong itu baginya azab yang besar”. (An-Nuur : 11)
Maknanya
bahwa setiap orang yang punya andil dalam menyebarkan isu tersebut dalam
jama’ah telah tetap baginya dosanya disisi ALLAH SWT[11], dan bagi
gembong utama para pelaku penyebar isu tersebut (menurut Ibnu Katsir maknanya
adalah para pelaku utamanya, yang paling getol menyebarkannya, menambah-nambahinya[12]) baginya
azab yang amat pedih (menurut Imam Al-Baghawi maknanya ialah kepastiannya akan
dimasukkan ke neraka kelak[13]).
MENJAUHI SU’UZHAN dan
MEMASYARAKATKAN HUSNUZHAN DIKALANGAN IKHWAH
Allah SWT berfirman :
"Mengapakah di waktu kamu mendengar berita bohong itu
orang-orang mukminin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka
sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: Ini adalah suatu berita bohong yang
nyata?!” (An-Nuur : 12)
Berkata Imam At-Thabari bahwa digunakannya kata ‘anfusihim’ dalam
ayat ini menunjukkan bahwa kaum mu’minin itu ibarat satu tubuh karena keyakinan
mereka satu[14],
bahwa para penyebar isu yang busuk tersebut mencerminkan kondisi hati mereka yang
juga amat busuk di dalam, bahkan disanalah awal mulanya kebusukan tersebut
sehingga mereka menjadi suka menyebar isu, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dalam
ayat tersebut setelah lafzh ‘zhanna al-mu’minuna wal mu’minat’ (yang
merupakan pekerjaan hati) kemudian diikuti wa qalu (ya’ni bi alsinatihim= yaitu
pekerjaan mulut-mulut mereka)[15],
Imam Khazin menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa berprasangka baik thd
perbuatan ikhwah sblm ada bukti hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib pula
jika ada yang menyebar isu tersebut, maka yang mendengarnya wajib mengatakan di
depan mukanya : Ini hanyalah kedustaan yang terang-terangan![16]
PENYEBAR ISU HARUS SEGERA BERTAUBAT dan BERHENTI
AGAR BISA
DITERIMA
TAUBATNYA
Allah SWT berfirman :
“Sekiranya
tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di
akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang
berita bohong itu”. (An-Nuur : 14)
Imam At-Thabari menafsirkan makna ‘fadhluLLAH’ dalam ayat ini yaitu terhindar
dari disegerakannya turun azab di dunia bagi para pelakunya, sementara
‘rahmatuHU’ dimaknai pengampunan atas dosa2 tersebut[17];
sementara Imam Ats-Tsa’alabiy menambahkan bahwa besarnya dosa pelaku isu adalah
karena berita itu semakin menyebar akan semakin bertambah pula kebohongannya,
sehingga semakin besar pula dosanya bagi para pelakunya[18];
maka jika penyebar isu seorang mu’min maka hendaklah ia segera bertaubat dan
berhenti dari perbuatannya sebagaimana para pelaku isu di masa Nabi SAW yaitu Misthah
bin Utsatsah dan Hasan bin Tsabit, atau jika ia tidak mau bertaubat maka
baginya azab di akhirat sebagaimana pelaku isu lainnya yaitu AbduLLAH bin Ubay sang
munafik, wal ‘iyadzubiLLAH..
PENYEBAR ISU
MENGIRA PERBUATANNYA MENYEBAR
ISU ITU DOSANYA REMEH SAJA
Allah SWT berfirman :
“(Ingatlah)
di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan
dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya
suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”. (An-Nuur : 15)
Maknanya adalah : Ketika kalian berkata bahwa ia begini dan begitu,
padahal kamu tidak mengetahui hakikat kebenaran berita yang kamu katakan tersebut,
lalu kalian menyangka membicarakan isu tersebut hal yang sepele saja, padahal
disisi ALLAH SWT pembicaraan kalian tersebut adalah suatu dosa yang amat besar[19].
Bagaimana tidak besar dosanya? Sementara dalam Shahih Bukhari dan Muslim
disebutkan bahwa nabi SAW bersabda : “Ada
seseorang yang berbicara dengan satu kata saja yang dibenci ALLAH, yang ia tidak
menyadari betapa dosanya, sehingga nanti ia dilemparkan ke neraka dari jarak yang
lebih jauh dari Timur dan Barat.”[20]
SIKAP ORANG
MU’MIN SAAT MENDENGAR
HADITSUL-’IFK
Allah SWT berfirman :
“Dan
mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: Sekali-kali
tidaklah pantas bagi kita memperkatakan hal seperti ini. Maha Suci Engkau (Ya
Tuhan kami), ini adalah dusta yang amat besar.” (An-Nuur : 16)
Inilah sifat orang yang beriman saat mendengar haditsul-‘ifk,
yaitu tidak membenarkannya, Imam Ibnu katsir menyatakan bahwa wajib bagi
seorang muslim jika mendengar isu langsung menolaknya dan berprasangka baik, dan
jika terasa dihatinya ada hal tidak baik tapi ia tidak memiliki bukti-bukti
maka haram baginya menyebarkannya, semoga dengan demikian ia masih diampuni
berdasarkan hadits Nabi SAW : “Sesungguhnya ALLAH SWT mengampuni ummatku apa-apa
yang ada dalam hatinya, selama tidak ia ucapkan atau ia lakukan.”[21]
Imam At-Thabari menambahkan bahwa kalimat tasbih dalam ayat ini
menunjukkan tidak cukup hanya menolak isu, tapi juga harus diikuti sifat bara’
(berlepas-diri) terhadap para penyebar isu tersebut[22].
Oleh
karena itu, suatu saat sifat akan menghinggapi orang-orang yang beriman jika
tidak diantisipasi dan diluruskan, maka IA Yang maha Rahman-pun mengingatkan
kepada hamba-hambaNYA yang beriman dengan firman-NYA: “Wahai
orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian
besar dari prasangka itu adalah dosa...”(Al-Hujurat :12) ; juga sebagaimana
sabda kekasih kita SAW: “Jauhilah prasangka itu, karena prasangka itu
sedusta-dusta ucapan.”[23]
MENGULANGI MENYEBAR
ISU DAPAT MENGELUARKAN
SEORANG DARI KEIMANAN
Allah SWT berfirman :
“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali
memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman”. (An-Nuur : 17)
Maknanya adalah
ALLAH SWT benar-benar memperingatkan dengan sangat keras (mutawa’idan) agar
orang beriman tidak mengulang lagi perbuatan tersebut selama-lamanya (abadan)[24], berkata
Imam Al-Biqa’iy bahwa lafzh ‘in kuntum mu’minin’ bermakna : Jika kamu layak
untuk disifati beriman maka kamu tidak akan mengulanginya, dan jika kamu
mengulanginya maka kamu tidak layak untuk disifati sebagai orang beriman[25].
Berkata Imam Asy-Syaukaniy bahwa dalam ayat ini benar-benar nampak ada
dosa yang amat besar dan teguran yang paling keras[26]
bagi yang berani mengulangi perbuatan tersebut, Sayyid Quthb menambahkan bahwa
lafzh ‘ya’izhukum’ menggunakan uslub-tarbiyyah (gaya mendidik) agar menimbulkan
kesan yang mendalam bagi yang mendengar/membaca ayat ini[27].
ORANG YANG
SENANG KEBURUKAN SAUDARANYA
TERSEBAR KEMANA2 MENDAPAT
2 AZAB
Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita)
perbuatan yang Amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi
mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang,
kamu tidak mengetahui”. (An-Nuur : 19)
Maknanya adalah bahwa azab di dunia dalam ayat ini yaitu berupa hukuman
dera/cambuk bagi pelakunya dan azab di akhirat yaitu berupa siksa ALLAH SWT[28].
Imam Al-Baghawi berkata bahwa makna ALLAH lebih Mengetahui dalam ayat ini yaitu
kedustaan dalam perkataan kalian tersebut[29], sementara Imam Al-Alusiy menambahkan bahwa walaupun telah dilakukan hukum had/dera
tapi belum tentu ALLAH SWT mengampuni dosanya tersebut[30].
Oleh sebab itu maka telah bersabda Nabi SAW : Barangsiapa yang menutupi aurat
saudaranya sesama muslim di dunia, maka ALLAH SWT akan menutup auratnya di Hari
Kiamat nanti[31].
WAJIB MENYERAHKAN
INFORMASI dan MENERIMA
KLARIFIKASINYA DARI QIYADAH ‘ULYA
Allah berfirman :
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah
kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu).” (An-Nisa:
83)
Berkata Imam Abu Ja’far At-Thabari bahwa maknanya adalah jika ada berita
tentang kekalahan kaum beriman oleh musuh, atau adanya isu tentang kekuatan dan
persiapan musuh maka mereka segera menyebarkan dan menyiarkannya sebelum
menanyakan kebenarannya pd Nabi SAW[32];
sementara Imam Ibnu Katsir menafsirkannya bahwa mereka mudah menyebarkan berita-berita
sebelum mengecek kebenarannya, melainkan langsung disampaikan kembali dan disebarkan,
tanpa mengetahui ke-shahih-an berita yang mereka dengar tersebut[33];
Padahal menyampaikan berita yang belum pasti (tsabit) kebenarannya
adalah terlarang, sehingga Imam Muslim menyebutkan hadits dalam muqaddimmah
shahih-nya sbb ; “Cukuplah seorang itu disebut pendusta jika ia menyampaikan
semua yang ia dengar (tanpa mencek dulu kebenarannya).”[34]
Dalam hadits lainnya Nabi SAW melarang kita untuk melakukan ‘qila wa
qala’ (banyak-omong) yang disebutkan oleh beliau SAW, bahwa maknanya yaitu
: “Orang yang banyak menyampaikan berita yang banyak dibicarakan orang tanpa
melakukan re-check (tatsabbut), juga merenungkan dalam-dalam akan kebenarannya
(tadabbur) dan juga mencari bukti-bukti (tabayyun).”[35]
Apalagi jika ia sendiri sudah meragukan kebenaran berita tersebut tapi
masih juga disampaikannya, perbuatan ini diancam dengan sebuah hadits : “Barangsiapa
menceritakan sebuah berita, lalu ia sendiri menyangka bahwa berita tersebut
tidak benar, maka ia termasuk diantara 2 orang yang berdusta (bersama pembawa
beritanya).” [36]
Kalau engkau katakan padaku, bahwa ayat di atas ini berlaku hanya bagi
berita tentang peperangan kaum muslimin dan bukan tentang kebijakan khusus
qiyadah, maka aku jawab : Bahkan ayat ini sabab nuzulnya adalah berkaitan dengan
isu kebijakan qiyadah (yaitu Nabi SAW) yang kemudian digunjingkan orang
(padahal isu tersebut tidak benar), sebagaimana dalam hadits Shahih Bukhari dan
Muslim sbb ; Dari Umar Ibnil Khaththab RA mendengar orang-orang mengatakan bahwa
Nabi SAW telah menceraikan istri-istrinya , maka iapun datang ketika masuk ke masjid
ia mendengar orang-orang menyampaikan kabar tersebut, maka ia tidak berkata-kata
melainkan langsung mendatangi Nabi SAW lalu menanyakannya : “Apakah antum
benar telah men-thalaq mereka?” Jawab Nabi SAW : “Tidak.” Maka Umar
RA langsung ke mesjid lalu berteriak sekuat tenaganya : “ALLAHu akbar! Nabi
SAW tidak men-thalaq istri-istrinya!” Maka turunlah ayat ini : “Dan jika
mereka mendengar berita ttg keamanan atau ketakutan mereka lengsung
menyebarkannya…”[37]
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk
dosa-dosa besar, Imam Al-Baghawi dan Imam As-Suyuthi dalam tafsir keduanya
sampai langsung menyebutkan bahwa para pelakunya adalah kaum munafiqin[38];
hal ini dikuatkan oleh Sayyid Quthb[39],
beliau –rahimahuLLAH- menambahkan bahwa sifat seperti ini hanya keluar dari orang-orang
yang munafiq, karena dalam ayat2 sebelumnya telah disebutkan sifat-sifat lain yang
mengiringi sifat ini, yaitu : Pertama, mulai berlambat-lambat dalam tugas-tugas
dakwah dan jihad (la yubath-thi’anna)[40];
kemudian Kedua, kalau ia melihat ikhwah yang mendapat kesulitan dalam dakwah
maka ia berkata ALLAH melindungiku dari tugas tersebut, tapi jika ia melihat
ikhwah dapat bagian yang nikmat dari dakwah maka ia menyesal mengapa tidak ialah
yang diberi tugas tersebut[41];
lalu Ketiga, mereka selalu bicara ingin berjihad, namun saat sudah diberi tugas
jihad maka mereka mundur dan beralasan belum siap dsb[42];
kemudian Keempat, mereka selalu mencela kebijakan qiyadah (Nabi SAW), jika
menang maka mereka menyatakan kemenangan ini dari ALLAH, tapi saat kalah atau
terjadi kesalahan maka mereka berkata ini dari (kebodohan/kesalahan) kamu wahai
Muhammad[43];
lalu Kelima, jika mereka di depan qiyadah maka mereka diam/seolah-olah setuju,
tapi begitu di luar maka mereka mengatakan apa yang tidak berani mereka katakan
saat di forum qiyadah tersebut[44];
Barulah sifat Keenam dari mereka adalah menyebar isu, yang telah kita bahas di
atas, Ya ALLAH lindungi kami dari segala sifat kemunafikan, dan jadikan
teguhkan kaki kami untuk menjadi mujahid yang istiqamah menegakkan kalimah-MU,
yaitu orang-orang yang sebagaimana disabdakan oleh lisan kekasih kami, Nabi-MU yang
mulia SAW :
طُوبَى
لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ، أَشْعَثَ رَأْسُهُ
مُغْبَرَّةٍ قَدَمَاهُ ، إِنْ كَانَ فِى الْحِرَاسَةِ كَانَ فِى الْحِرَاسَةِ ،
وَإِنْ كَانَ فِى السَّاقَةِ كَانَ فِى السَّاقَةِ ، إِنِ اسْتَأْذَنَ لَمْ
يُؤْذَنْ لَهُ ، وَإِنْ شَفَعَ لَمْ يُشَفَّعْ
“Alangkah berbahagianya seorang hamba, yang selalu siap memacu kendaraannya
di jalan ALLAH, rambutnya telah kusut-masai dan kakinya telah penuh dengan
debu, tetapi jika ia ditugaskan digaris belakang maka ia lakukan dengan
sebaik-baiknya, dan jika ia ditugaskan di garis depan maka iapun melakukannya dengan
sebaik-baiknya, tetapi jika ia meminta izin maka tidak pernah diizinkan dan
jika ia memberi syafa’at maka tidak diterima syafa’atnya (karena miskinnya dan
tidak dianggap).” [45]
KEHORMATAN SEORANG
MUSLIM HARAM DILECEHKAN
Alangkah
banyaknya taujih dari Yang Maha Rahman kepada kita untuk bagaimana kita selalu
mengedepankan prasangka yang baik dan menolak syubuhat yang dituduhkan kepada
saudara-saudara kita sesama muslim -siapapun dia dan dari kelompok manapun
mereka- jika mereka adalah muslim dan bukan orang yang menunjukkan sifat-sifat
kemunafikan maka baginya haram darah, harta dan kehormatannya, sebagaimana
dalam hadits shahih dikatakan: “Jangan kalian saling hasad, jangan saling
membenci, jangan saling membelakangi, jangan membeli barang yang sudah dibeli
oleh saudaramu, dan jadilah kalian hamba-hamba ALLAH yang bersaudara, seorang
muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menzhalimi dan
menghina serta mengucilkannya, Taqwa itu disini –sambil beliau SAW menunjuk
dadanya 3 kali- cukup disebut seorang itu jahat jika ia menghina saudaranya
sesama muslim, setiap muslim atas muslim yang lain haram darahnya, hartanya dan
kehormatannya.”[46]
MUDAH BERPRASANGKA
ADALAH CIRI KEMUNAFIKAN
Dan jika kita
berinteraksi secara mendalam dengan Al-Qur’an, maka akan kita dapatkan bahwa
sifat mudah berprasangka itu merupakan watak dari orang-orang yang kafir dan
munafiq, sebagaimana firman-NYA berkenaan dengan sifat orang-orang kuffar : “...
mereka tidak lain hanya mengikuti sangkaan-sangkaan, serta apa yang diingini
oleh hawa nafsu mereka ...”[47]
Atau firman-NYA dalam ayat yang lain: “Dan mereka tidak memiliki suatu
pengetahuanpun ttg itu. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan, sedangkan
persangkaan itu tidak bermanfaat sedikitpun thd kebenaran.”[48]
Demikian pula
Allah menyebutkan tentang sifat kaum munafiqin yang selalu berprasangka buruk
kepada orang-orang yang beriman, dan merasa senang jika orang mu’min mendapat
fitnah, sebagaimana dalam taujih-NYA: “... dan kalian menyangka dengan
sangkaan yang buruk sehingga kalian menjadi kaum yang binasa.”[49]
Namun
kendatipun demikian, ternyata ada pula kalangan kaum beriman (yang mungkin karena
belum mengenal saudaranya ataupun mungkin karena kualitas keimanannya yang
belum baik) yang terpengaruh dan terjangkiti virus su’uzhan tersebut, bahkan
kemudian menelan berbagai isu yang tidak baik itu, bahkan ikut
menyebar-nyebarkannya tanpa melakukan tabayyun ke sumber pertama dan tanpa –setelah
tabayyun- menunggu klarifikasi dari sumbernya tersebut: Sebenarnya substansi
permasalahannya seperti apa? Ataukah dalam konteks apa hal tersebut terjadi
atau kata-kata itu diucapkan? Atau bagaimana dikaitkan dengan pribadi yang
menyampaikannya, apakah mungkin dengan segala kapasitas kehidupannya,
perjuangannya, konsistensinya dalam dakwah dan jihad sampai saat ini ia berani melakukan
atau menyampaikan seperti itu? Dst.
PELAJARAN DARI
SIRAH PARA SHAHABAT
R.A
Ketahuilah
bahwa hal yang demikian itu pernah terjadi pula pada masa Nabi SAW dan bahkan
fitnah itu malah menimpa diri pribadi nabi SAW sendiri dan keluarganya, yaitu
isu yang menerpa salah seorang istri beliau SAW, yaitu Ummul Mu’minin A’isyah
RA yang diisukan ada ‘affair’ –na’udzubiLLAH- dengan salah seorang
sahabat yaitu Shafwan bin Mu’aththal RA yang berwajah ganteng saat pasca perang
Bani Musthaliq (hadits selengkapnya dapat dirujuk dalam Kitab Ash-Shahihain[50]),
yang jika kita teliti lebih mendalam hadits tersebut maka dapat kita simpulkan
beberapa hukum fiqh sebagai berikut :
Bahwa data
memang ada (yaitu Aisyah RA berjalan berdua dengan Shafwan RA), namun data tersebut
-oleh orang yang menyebarkannya- tidak
dikonfirmasi dahulu kepada sumbernya.
Kenapa itu
sampai terjadi? Lalu kalaupun mereka memang berjalan berdua (tepatnya Shafwan
RA menuntun Unta yang membawa Aisyah RA) maka apakah penyebabnya? Lalu apakah
benar itu dilakukan oleh mereka dengan sengaja? Lalu apa saja yang mereka
lakukan dalam perjalanan tersebut?
Lalu
perhatikanlah baik-baik -wahai ikhwah wa akhwat fiddin
a’azzakumuLLAH- renungkanlah bagaimana RABB kita, Pemilik kita dan
Pembimbing kita yang Maha Mengajari dan Maha Mendidik telah mengajari kita
dikala menyampaikan taujih Rabbani-NYA, IA –Jalla wa ‘Ala- yaitu IA tidak
langsung memberikan klarifikasi tentang duduk peristiwanya atau benar atau
tidaknya tuduhan tersebut, melainkan IA malah meluruskan mawaqif kaum mu’min jika
mendengar berita seperti itu, yaitu agar membersihkan hati-hati
mereka, mengarahkan ittijah (arah) mereka agar naik ke langit dan agar lepas
dari tujuan-tujuan duniawi yang kotor, dan
memberikan taujih yang membuat berlinangan airmata orang-orang yang bertaqwa dan
gemetar hati orang-orang yang ikhlas:
“Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah
baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar
dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. Mengapakah di waktu
kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak
berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata:
Ini adalah suatu berita bohong yang nyata?! Mengapa mereka (yang menuduh itu)
tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?! Oleh karena mereka tidak mendatangkan
saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.
Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan
di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu
tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu
dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui
sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada
sisi Allah adalah amat besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu
mendengar berita bohong itu: Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita
memperkatakan hal seperti ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah
dusta yang amat besar.”[51]
MENYIARKAN ISU
TANPA TABAYYUN ADALAH
DOSA BESAR
Perhatikanlah
bagaimana Allah -Yang tidak pernah tidur dan Maha Mengawasi- menegur dengan amat
keras kepada sang penyebar isu dan orang-orang yang membenarkannya, sebagaimana
dapat difahami dari susunan kalimat dan gaya bahasa yang digunakan-NYA saat
menyampaikan kalimat di surat An-Nuur di atas. Perhatikanlah saat IA berfirman:
“...Dan kamu menganggapnya (menyiarkan berita yang belum di-tabayyun itu)
adalah suatu (dosa) yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah (dosanya)
adalah amat besar.” Imam Ibnu Katsir –rahimahuLLAH- saat menafsirkan ayat
ini[52], menukil
sebuah hadits yang diriwayatkan dalam Ash-Shahihain: “Ada seorang laki-laki
yang mengucapkan 1 kata (yang membuat ALLAH murka) yang ia tidak menyangkanya
akan demikian itu, sehingga akibatnya ia dilemparkan ke neraka dari jarak yang
lebih jauh dari Timur dan Barat.”[53]
Sementara
Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya[54] menyatakan
bahwa makna ‘bi-anfusihim’ (terhadap diri mereka sendiri) dalam ayat tersebut
sebagai ‘bi-ikhwanihim’ (terhadap saudara mereka sendiri), kemudian
beliau –rahimahuLLAH- melanjutkan: “Bahwa ALLAH SWT mewajibkan kepada
seluruh orang beriman jika ada orang yang mencela orang lain ataupun
menyebarkan isu, sementara yang menyampaikannya tidak dikenal (keadilan dan
ke-wara’-annya) maka hendaklah ia menolaknya dan mendustakannya.”
ISU MEMBONGKAR
KEMUNAFIKAN dan KEFASIKAN
PARA PELAKUNYA
Asy-Syahid (insya
ALLAH) Sayyid Quthb –rahimahuLLAH- menegaskan bahwa makna ‘bal huwa
khayrul lakum’ (bahkan isu tersebut adalah baik bagi kalian), bahwa
maknanya adalah : “karena ia menyingkap tipudaya dan para pelakunya terhadap
Islam... dan ia juga menyampaikan kepada seluruh jama’ah islam akan urgensinya
diharamkan menuduh dan hukuman dera bagi para pelakunya... sebenarnya yang
penting bukan sekedar hukuman tersebut, tetapi perlunya mengarahkan jama’ah ini
menuju tujuan yang suci, cita-cita yang tinggi dan perilaku yang bersih dan
suci..”[55]
Para Ulama
Salafus Shalihin juga memberikan penekanan terhadap hal ini. Berkata Imam
Al-Muhasibi –rahimahuLLAH- : Cinta itu ada 3 macam, tidaklah seorang itu
disebut sebagai orang yang mencintai ALLAH SWT kecuali dengan ketiga sifat tersebut,
yaitu :
1.
Mencintai orang mu’min karena ALLAH dan tanda-tandanya
adalah : Menahan diri dari menyakiti mereka, memberikan manfaat pd mereka;
2.
Mencintai Rasul karena ALLAH SWT dan
tanda2nya adalah mengikuti sunnahnya;
3.
Dan mencintai ALLAH SWT dan tanda-tandanya
adalah dengan taat pada-NYA dan tidak bermaksiat pada-NYA.
Imam
al-Muhasibi menambahkan : Dan diantara tanda menahan diri dari menyakiti sesama
muslim adalah dengan tidak buruk-sangka kepadanya.
Berkata Imam
Al-Qasimi –rahimahuLLAH- : “Dan sebagaimana kamu diwajibkan untuk
menghentikan lisanmu dari menyakitinya, maka demikian pula kamu diwajibkan
untuk menghentikan hatimu dari menyakitinya pula yaitu dengan tidak
berburuk-sangka padanya, karena buruk-sangka adalah meng-ghibbah dengan hati dan
sama pula dilarang melakukannya. Maka menutupi aib dan kelemahannya serta
melupakannya merupakan salah satu tanda orang-orang yang ahli agama. Dan
ketahuilah bahwa tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya
sesama muslim sama seperti ia mencintai dirinya sendiri. Dan derajat terendah
dari ukhuwwah adalah bergaul dengan saudaranya sesama muslim dengan hal yang ia
sukai dan melupakan kekurangan dengan menutup kekurangannya dan berusaha
menghilangkan sifat iri dan dengki, maka barangsiapa yang masih ada kedengkian
dalam hatinya maka saksikanlah bahwa imannya lemah, dirinya berpenyakit dan
hatinya busuk sehingga tidak pantas ia untuk berjumpa dengan ALLAH SWT.”
Ikhwah wa
akhawat fiLLAH hafizhakumuLLAH,
Kita tidak
mengkuatirkan apabila isu dan fitnah itu disebarkan oleh para musuh Islam atau
kaum munafiqin, karena mereka memang ditaqdirkan untuk memerangi Islam dan
syariat ALLAH SWT, tetapi yang kita kuatirkan adalah jika isu atau fitnah itu
disebarkan oleh sesama kaum muslimin –baik itu karena kejahilan atau karena
keburukan akhlaq mereka- (kita berlindung kepada ALLAH SWT dari keduanya), bahkan
yang lebih parah lagi jika isu itu juga ditelan oleh para kader dakwah,
sehingga mereka disibukkan dengan mendengar haditsul-’ifki (berita
bohong) sementara wazhifah-yaumiyyah tidak dikerjakan, mereka sibuk
membicarakan dan menyebarkannya dalam berbagai liqa’at, sehingga melemahkan
shaff dan memudarkan semangat jihad mereka, maka dengan demikian para qiyadah
akan disibukkan terus-menerus untuk meng-counter isu demi isu –dan inilah yang
diinginkan oleh para musuh Islam- padahal isu tersebut amat jauh dari keadaan mereka,
bahkan jangankan mereka berani mengkhianati ummat, sementara anak dan istri
merekapun sering terabaikan demi dakwah, pekerjaan tetappun tidak punya dan
penghasilanpun tidak jelas karena makin bertambah beratnya beban dakwah dan
makin meluasnya jaringan yang harus dikelola. Jikapun kita tidak mau membantu
mereka karena kesibukan ma’isyah ataupun studi kita, maka janganlah perberat
beban mereka dengan menambah kerja mereka dengan hal-hal yang membuat fikiran
semakin penat dan rambut semakin memutih, sebaliknya doakanlah mereka dan
mintakan ampun bagi mereka disela-sela sujud dan tahajjud kita semua.
Ikhwah wa
akhwat fiddin a’azzakumuLLAH,
Saat-saat
jihad siyasah sudah dekat, orang-orang telah merapatkan barisannya untuk
menekan kebangkitan ini dan mengalahkan barisan para du’at, genderang perang
sudah mulai ditabuh, isu sudah mulai ditebarkan kemana-mana untuk
mencerai-beraikan pasukan dan melemahkan semangat juang. Maka al-akh ad-da’i
dan al-ukh ad-da’iyyah dituntut untuk berprasangka baik pada dirinya dan
orang lain, dan bagi seorang al-akh agar senantiasa berprasangka baik pada
qiyadah-nya, murabbi-nya dan para ikhwah-nya yang lain. Dan jangan melawan isu
dengan isu, jangan melawan fitnah dengan fitnah pula, jangan melakukan
provokasi, karena kita tidak berjuang demi dunia dan kenikmatan sesaat, mendekatlah
kepada ALLAH SWT, bersabarlah juga karena ALLAH SWT karena Dia melipatgandakan
pahala bagi mereka yang bersabar, ikhlas dan teguhlah dalam berjuang karena
kita tidak berjuang karena si Fulan atau si Fulanah, sebab si Fulan atau si
Fulanah akan mati dan akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di yaumil
Mahsyar, tetapi perjuangan kita adalah demi li I’la kalimatiLLAH, maka siapa
yang menyimpang dari tujuan tersebut, maka saksikanlah bahwa ia telah bersiap-siap
untuk menyimpang ke neraka. Maka berbaik-sangka pada sesama saudara seiman adalah
tanda iman dan merupakan tuntutan ukhuwwah dan tidak ada ukhuwwah tanpanya,
sebagaimana sabda nabi SAW : “Jadilah kalian hamba-hamba ALLAH yang
bersaudara.”[56]
Akhirnya saya akhiri tulisan ini dengan doa seorang hamba yang mu’min dalam
Al-Qur’an: “Wahai RABB kami, ampunilah dosa-dosa kami dan saudara-saudara
kami yang yang telah mendahului kami dalam keimanan, dan janganlah ENGKAU
jadikan dalam hati kami kedengkian thd orang-orang yang beriman, wahai RABB
kami, sesungguhnya ENGKAU adalah Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
WAllahu
a’lamu bish-Shawaab...
Abi AbdiLLAH
[1] Tafsir At-Thabari, XX/286
[2] Tafsir Ibnu Katsir, VII/370
[3] Tafsir Al-Alusi, VIII/152
[23] HR Bukhari, XVII/210
& Muslim, XVI/413; bahkan Imam Muslim menulis dalam shahih-nya bab:
Haramnya Su’uzhan, Mencari2 Kesalahan Orang Lain... (XVI/412)
[31] HR Ahmad, IV/62;
Al-Hakim, IV/383; Muslim, VIII/21, dg tambahan : ..Akan ditutupi aibnya baik
di dunia maupun di akhirat; Ibnu Majah, II/112, dg tambahan : ..Dan
barangsiapa yg membuka aib saudaranya, maka akan dibuka aibnya oleh ALLAAH SWT
sampai pada rahasia dlm rumahtangganya.”
[46] HR Muslim, no. 2564;
Tirmidzi, no. 1928
[47] QS An-Najm, 53/23
[48] QS An-Najm, 53/28
[49] QS Al-Fath, 48/12
[50] HR Bukhari, Bab: Law
Laa Idz Sami’tumuuhu Qultum..., XV/457
[51] QS An-Nuur, 24/11-16
[52] Tafsir Al-‘Azhim,
VI/28
[53] HR Bukhari, no. 6478
dan Muslim, no. 2988
[54] Tafsir Al-Ahkam,
XII/202
[55] Tafsir Az-Zhilal,
V/265
[56] HR Bukhari, XX/205;
& Muslim, XVI/400
No comments:
Post a Comment