Assalamu’alaikum
wr. wb.
Alhamdulillaah
wasshalaatu wassalaamu ‘alaa Rasuulillah, wa ‘alaa aalihi wa dhahbihi wa mantabi’ahu
wawaalaah. Ammaa Ba’du!
Ikhwah fillaah!
Seorang Syeikh mengingatkan muridnya bahwa dakwah harus terus berlangsung dan
tidak boleh berhenti sedikit pun meski
wadahnya sebagai media
aspirasi perjuangannya dibubarkan
pemerintah setempat. “Sekalipun
wadah kita bubar, aktivitas dakwah kita tidak boleh bubar dan tidak bisa
dibubarkan”, demikian penegasan syeikh tersebut.
Kalimat itu
menghentakkan kesadaran muridnya akan kewajiban mereka untuk senantiasa
berdakwah dengan berbagai kondisi dan keadaan. Bukan malah bingung untuk
melakukan sesuatu lantaran wadahnya sudah dibubarkan. Karena hakikat asasiyat
bagi aktivis adalah berdakwah untuk memberikan kontribusi amal shalih dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan kata lain dakwah adalah mutlak
bersifat tetap (tsawaabit), artinya tetap harus berlangsung dan di jalankan,
sedangkan sarana (wasilah), gaya
pendekatan (uslub) dan strategi termasuk hal-hal yang dapat berubah (mutaghayyiraat) sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang
ada.
Ayyuhal ikhwah
rahimakumullah.
Suatu keadaan
pahit sering kali membuat orang sock dan berat menerimanya. Meski pun kenyataan
berat seperti itu sangat manusiawi. Akan tetapi sebagai aktivis dakwah
selayaknya tidak berada pada titik keadaan tersebut. Namun
hendaknya menyikapi situasi
tersebut dengan berpegang
pada dhawabith (patokan-patokan)
yang jelas dalam amal dakwah ini. Sehingga tidak kehilangan keseimbangan ketika
berada di dalamnya. Melalui patokan itu kita dapat melangkahkan kaki bersama
dakwah dengan gegap tanpa ragu dan bingung.
Dhawabit ini
akan memandu ke arah mana jalan yang harus ditempuh dan menjadi rambu yang akan
memberitahu apa yang mesti dilakukannya.
Ayyuhal ikhwah
rahimakumullah.
Keterikatan
aktivis terhadap dakwah tidak boleh mengalami penurunan dalam situasi yang
terjepit sekalipun. Akan tetapi peningkatan dan pengokohanlah yang mesti
dilakukan mereka. Bersama dakwah prinsip hidup mukmin terus terjaga, komitmen
kepada Islam semakin kuat. Sebaliknya tanpa bersama dakwah jurang menganga
selalu di hadapan dan bahaya senantiasa mengancam. Bahkan yang perlu kita
camkan adalah tanpa kesertaan dakwah eksistensi kita dalam barisan itu akan
tergantikan oleh mereka yang lebih baik kesertaannya daripada diri kita. Dalam
keadaan bahaya sekalipun keterlibatan diri terhadap dakwah harus langgeng
apalagi dalam keadaan tenang. Rasulullah SAW. Mengatakan bahwa Islam adalah
roda yang berputar maka berputarlah bersama Islam bagaimanapun putarannya. Sebagaimana
sabdanya :
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: أَلاَ إِنَّ رَحَى الإِسْلامِ دَائِرَةٌ، فَدُورُوا
مَعَ الْكِتَابِ حَيْثُ دَارَ (رواه الطبراني)
Dari Muadz bin Jabal RA berkata : “aku pernah
mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Ketahuilah sesungguhnya roda Islam akan
terus berputar, maka berputarlah kalian bersama Al-Qur’an kemana Ia berputar”
(lihat Al-Mu’jam al-Kabir Litthabrany bab 4 juz 14 hal 499)
Ucapan beliau
ini menegaskan bahwa aktivis dakwah harus selalu menyertainya dalam setiap
keadaan karena kesertaan yang lemah menjadi sebab
untuk diganti dengan orang lain yang lebih baik. Sebagaimana Allah SWT berfirman :
untuk diganti dengan orang lain yang lebih baik. Sebagaimana Allah SWT berfirman :
“………jika kamu
berpaling niscaya Dia akan mengganti kamu dengan kaum yang lain dan mereka
tidak seperti (kualitas) kamu ini”. (QS. Muhammad: 38)
Kontek ayat ini
membicarakan tentang seruan berinfak, dan ancaman bagi satu bangsa dan kaum
yang tidak mau berinfak, baik infak waktu, tenaga, ide, gagasan, pemikiran dan
harta, merka akan digantikan oleh Allah SWT perannya dalam melanjutkan estafeta
dakwah ini oleh bangsa lain. Oleh karena itu ikhwah fillah!, ketika kita
melibatkan diri kita dalam dakwah ini, dan terus meningkatkan komitmen
(iltizam) kita dengan tandzhim harakah ini, menjalankan semampu mungkin segala
bentuk wadzhifah mashiriyah-tandzhimiyah, menghadiri liqo-at-liqo’at
tandzhimiyah tarbawiyah da’awiyah tasqifiyah siyaasiah, seperti rapat-rapat
structural, halaqah, usrah, daurah, dan multaqa siayasy baik internal maupun
eksternal, Insya Allah, Allah SWT tidak akan menggantikan kita dengan yang
lain. Keterlibatan kita dalam dakwah ini mengharuskan kita tidak boleh kikir
dan bakhil, artinya hendaknya kita tidak segan-segan dan selalu bersemangat
memberikan kontribusi sebagian waktu, ide, gagasan, pemikiran dan uang yang
kita miliki, demi keberlangsungan dakwah ini dan demi bila kita tidak ingin
digantikan dengan yang lain.
Imam At-Tabary dalam kitan Tafsirnya
menjelaskan ayat ini dengan mengutip hadits riwayat Imam Tarmidzi dari Abu
Hurairah RA, Ia berkata :
"نَزَلَتْ
هَذِهِ اْلآَيَةِ وَسَلْمَانُ اْلفَارِسِيّْ إِلَى جَنْبِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحُكّ ُرُكْبَتُهُ رُكْبَتَهُ قاَلُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنِ اَّلذِيْنَ إِنْ تَوَلَّيْنَا اِسْتَبْدَلُوْا
بِنَا ثُمَّ لاَ يَكُوْنُوْا أَمْثَالُنَا، قَالَ: فَضَرَبَ فَخِذَ سَلْمَانَ ثُمَّ
قَالَ: هَذَا وَقَوْمُهُ".
Ayat ini turun pada saat Salman
Al-Farisy berada di samping Rasulullah SAW dengan saling berhimpitan lutut
keduanya, para sahabat bertanya : Ya Rasulallah!, Siapakah mereka yang apabila
kita berpaling mereka akan menggantikan kita dan mereka tidak seperti kita?.
Sambil menepuk paha salman Rasulullah SAW bersabda : “Orang ini dan kaumnya
(Bangsa Persia )”.
Abdurrahman bin Jabir dan Syuraih bin Ubaid
menafsirkan kaum pengganti dalam ayat tersebut adalah Bangsa Yaman. Hal ini
mungkin karena bangsa yang paling dekat dengan bangsa Arab pada saat itu dan
yang sudah mulai berbondong-bondong masuk Islam adalah Bangsa Yaman. Wallahu
‘A’lam
Maksudnya adalah bangsa Persia
atau Bangsa Yaman akan menggantikan
bangsa Arab dalam memimpin dan mengelola dakwah ini, bila mereka bakhil dan
kikir. Walaupun Rasulullah SAW sendiri berasal dari bangsa Arab, tetapi beliau
objektif dakwah ini akan dihendel oleh bangsa lain, bila bangsa Arab tidak mau
berkorban untuk dakwah ini. Demikian pula hal itu akan terjadi pada kita
sekalian Wal – ‘iaadzu billah!!!
Sayyid Qutub dalam Tafsir Dzhilalnya
menambahkan penjelasan ayat tersebut di atas dengan mengatakan bahwa ayat
tersebut adalah gambaran tentang karakter yang muncul terkait dengan realiita
jamaah dakwah pada saat itu (masa Rasulullah SAW), juga terkait dengan realitas
setiap manusia yang dihadapkan kekikiran dan kebakhilannya sendiri untuk
berkorban demi dakwah dalam segala situasi dan kondisi. Oleh karena itulah
Al-Qur’an mengngatkan kita akan ancaman yang dapat membuat kita digantikan oleh
yang lain dalam memimpin dan mengelola dakwah ini.
Ayyuhal ikhwah
rahimakumullah.
Tarbiyah sebagai
sarana pembentukan diri bagi aktivis tidak boleh kendur dan macet dalam kondisi
apapun, karena hal itu merupakan tsawabit yang tidak boleh hilang dan berhenti.
Dan mereka yang berada dalam barisan dakwah mentarbiyah diri menjadi aktivitas
yang mesti berjalan tidak mandeg dan berhenti sejenak pun. Karena tarbiyah
merupakan titik tolak bagi aktivis dalam membina diri menuju kepribadian muslim
yang shalih mushlih. Apalagi iklim yang terjadi di sekitarnya sangat berperan
menjadi penghalang untuk mencapai cita-cita mulia tersebut. Tikungan-tikungan
tajam yang berbahaya berada di kiri dan kanan jalan yang akan menjerumuskannya
ke dalam jurang terjal. Maka tarbiyah sebagai jawaban untuk membina diri bagi
aktivis dalam menghadapi keadaan tersebut harus tetap berjalan.
Kemandegan
tarbiyah dapat berpengaruh pada ketahanan mental dan ma’nawiyah aktivis yang
melemah. Kelemahan ini terkadang menjadi sebab dari berbagai problematika
aktivis baik skala personal maupun sosial. Oleh sebab itu tarbiyah dalam
situasi apapun harus terus berjalan. Bila ia mendapatkan rintangan dari kiri ia
harus memutar haluan dengan cepat ke kanan. Begitu juga bila ada gangguan dari
sebelah kanan ia pun harus menyikapinya dengan cepat berbelok ke kiri. Artinya
meskipun banyak yang menghalangi, tarbiyah harus terus bergulir dari berbagai
arah sehingga ia selalu mengalir dengan lancar.
Ayyuhal ikhwah
rahimakumullah.
Banyak kita temukan
keterangan dalam Al
Qur’an dan Hadits
yang menjelaskan bahwa
berjamaah merupakan suatu keharusan untuk setiap muslim. Oleh karenanya
berjamaah dan beramal jama’i juga merupakan tsawabit. Dengan
berjamaah kita dapat keberkahan yang melimpah. Yang lemah akan kuat, yang
kurang akan mendapatkan tambahan, yang menyimpang akan terluruskan dan kebaikan
lainnya. Karena itu berjamaah
menjadi kebutuhan yang
asasi bagi aktivis.
Ia akan mampu menghadapi segala keadaan dengan
berjamaah. Keberadaannya dalam jamaah ini tentu bukan sekadar hadir di dalamnya
melainkan ia aktif dan terlibat penuh dengan berbagai aktivitasnya. Dengan
sikap begitu ia akan merasakan keberadaan jamaah pada dirinya.
Allah SWT.
memandang orang mukmin selalu berjamaah sebagaimana shighat dalam nash qur’an.
Hal ini sekaligus untuk menyuruh orang-orang mukmin dalam keadaan berjamaah.
Orang yang infiradi berpeluang mendapatkan mara bahaya. Apalagi dalam situasi yang
terjepit dan sulit. Oleh karena itu Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk
selalu berjamaah, sebagaimana sabdanya :
أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ
بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ ثَلَاثَ مِرَارٍ
قَالَهَا إِسْحَاقُ
“Wahai sekalian manusia!, Hendaknya kalian berjamaah dan hindarilah
perpecahan!, Ishaq meriwayatkan Rasulullah SAW mengucapkan hal itu tigakali”
(Musnad Ahmad, Ahaditsurrasul min ashaabinnaby
juz 47 hal 117)
Abdullah bin
Mas’ud juga telah mengingatkan kita agar kita terikat pada jamaah. Beliau
berkata :
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ ، فَإِنَّ اللهَ لَنْ يَجْمَعَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ضَلاَلَةٍ حَتَّى يَسْتَرِيْحَ بِرٌّ أَوْ يُسْتَرَاحَ مِنْ
فَاجِرٍ
“Hendaknya
kalian berjamaah, kaena sesungguhnya Allah SWT tidak mengumpulkan ummat Nabi
Muhammad SAW di atas kesesatan, sampai orang yang baik dapat beristirahat
tenang atau tidak disibukkan oleh para
durjana dan pembuat dosa”
(Sya’bul Iman
lil baihaqi, fashlun fii fadlil jamaa’ah wal ulfah juz 16 hal 65)
Ayyuhal ikhwah
rahimakumulla.
Peran Qiyadah dalam
hal ini adalah menetapkan suatu kebijakan yang akan menjadi arahan dan patokan yang
jelas bagi prajuritnya. Kebijakan
tersebut untuk dilaksanakan oleh bawahannya secara cepat dan tepat. Dalam
situasi yang pelik
seorang pemimpin tidak
boleh lambat dalam
mengambil suatu keputusan. Keputusan yang lambat dapat
membawa kekeliruan dalam menyikapinya. Keliru dalam menyikapi suatu keadaan
akan berakibat fatal bagi perjalanan dakwah. Namun keputusan yang cepat tidak
berarti asal
ditetapkan sebagai sebuah keputusan melainkan berasal dari pemikiran dan perhitungan yang tajam akan keputusan tersebut.
ditetapkan sebagai sebuah keputusan melainkan berasal dari pemikiran dan perhitungan yang tajam akan keputusan tersebut.
Di samping itu,
peran qiyadah adalah untuk memberikan arahan dan taujihat yang sangat
dibutuhkan prajuritnya. Taujihat yang tepat dan mengena dari qiyadah menjadi
cucuran air hujan di musim kemarau. Prajurit yang aktif memerlukan arahan
apalagi setelah letih melakukan operasional kerja besar. Disinilah perlunya
kiadah dan disinilah perlunya tidak semuanya harus terjun ke medan perang, harus adal sebagian yang
berkutat dengan ilmu pengetahuan agar dapat memberikan arahan, sebagaimana
Allah SWT berfirman :
“Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya ke medan perang. Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga diri”. (QS At Taubah:
122)
Sedangkan peran
jundiyah maksudnya ialah
bersikap sigap dan
patuh dalam menjalani
tugas dan kewajibannya. Sikap
yang selalu melekat pada setiap prajurit. Bukan sikap ngambek, mutung, apalagi
patah semangat dalam menjalani tugas dan kewajibannya. Prajurit yang baik
adalah mereka yang selalu berusaha maksimal dalam menjalani tugasnya.
Ditugaskan di barisan terdepan
ia akan berada
pada posisinya. Ditempatkan di
bagian belakang ia selalu menunaikannya. Diperintahkan ia laksanakan dengan
segera. Sebaliknya prajurit yang diam terpaku dan termenung menghadapi tugasnya
akan memperlambat kerja dan tugasnya. Bahkan akan berakibat buruk bagi
keseluruhannya.
Ayyuhal ikhwah
rahimakumullah
Dalam perjalanan dakwah dan harakah ada hal-hal
yang dapat berubah. Perubahan ini dapat terjadi karena situasi dan kondisi yang
berkembang di sekitarnya. Perubahan tersebut asal tidak merubah prinsip dan
arah harakah dakwah ini melainkan sebagai upaya untuk tetap melanggengkan
perjalanannya. Perubahan itu dapat meliputi perubahan nama, bentuk, mekanisme
dan prosedural. Perubahan nama merupakan sesuatu yang biasa dalam dinamika
dakwah dan pergerakannya. Perubahan nama dapat terjadi beberapa kali. Hal ini terjadi
karena faktor yang tidak dapat memunculkan nama
lamanya sehingga perlu menampilkan diri dengan nama barunya. Perubahan
bentuk juga mungkin dapat terjadi hingga beberapa kali untuk dapat diterima masyarakat
luas sehingga perjalanannya tetap berkesinambungan. Semua perubahan itu sangat
mungkin
dapat terjadi, karenanya aktivis dakwah tidak boleh mengalami sock yang berkepanjangan lantaran hal itu.
dapat terjadi, karenanya aktivis dakwah tidak boleh mengalami sock yang berkepanjangan lantaran hal itu.
Perubahan
kebijakan yang dilakukan oleh qiadah, baik melalui mekanisme syuro maupun
langsung oleh qiyadah itu sendiri, dapat saja dilakukan sesuai dengan tuntutan
situasi dan kondisi yang ada. Walaupun demikian kebijakan yang bersifat
langsung dari qiyadah tidak boleh sering terjadi, tetapi sebaiknya lebih banyak
dihasilkan melalui mekanisme syura. Disinilah para jundiyah dihadapakan dengan
ujian ketsiqohan terhadap qiyadahnya, dan jama’ah sebagai lembaga juga tengah
diuji soliditas strukturalnya.
Setiap kebijakan
memang seringkali menimbulkan kekagetan dan ketidaksiapan psikologis untuk
menerimanya, contohnya ketika terjadi perubahan arah kiblat, dimana kaum
Muslimin sudah terbiasa shalat menghadap ke Baitul Maqdis, lalu turunlah firman
Allah SWT :
142.
Orang-orang yang kurang akalnya[93] diantara manusia akan berkata: "Apakah
yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu
mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah
timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke
jalan yang lurus"[94].
143.
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
144.
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96], Maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke
arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab
(Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu
adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang
mereka kerjakan.
[93]
Maksudnya: ialah orang-orang yang kurang pikirannya sehingga tidak dapat
memahami maksud pemindahan kiblat.
[94]
Di waktu Nabi Muhammad s.a.w. berada di Mekah di tengah-tengah kaum musyirikin
beliau berkiblat ke Baitul Maqdis. tetapi setelah 16 atau 17 bulan Nabi berada
di Madinah ditengah-tengah orang Yahudi dan Nasrani beliau disuruh oleh Tuhan
untuk mengambil ka'bah menjadi kiblat, terutama sekali untuk memberi pengertian
bahwa dalam ibadat shalat itu bukanlah arah Baitul Maqdis dan ka'bah itu
menjadi tujuan, tetapi menghadapkan diri kepada tuhan. untuk persatuan umat
Islam, Allah menjadikan ka'bah sebagai kiblat.
[95]
Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi
saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun
di akhirat.
[96]
Maksudnya ialah Nabi Muhammad s.a.w. sering melihat ke langit mendoa dan
menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke
Baitullah.
Rangkaian ayat
tersebut di atas intinya berbicara tentang arah perubahan kiblat dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsa. Namun hal itu bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan
atau dipertentangkan, sebab yang penting adalah beribadahnya kepada Allah SWT
bukan menghadapnya. Baik Masjidil Aqsha maupun Masjidil Haram memiliki
kemuliaan dan warisan sejarah nubuwwah
yang sama. Ketetapan Allah SWT merubah arah kiblat kaum Muslimin, semata-mata
hanya untuk menjadikan Masjidil Haram dimana Ka’bah berada sebagai sentral
persatuan ummat dan focus perjuangan untuk membebaskan Ka’bah dari
symbol-simbol kemusyrikan.
Di sisi lain
perubahan arah kiblat juga menjadi sarana taqwim bagi para sahabat dalam hal
ketsiqohan mereka terjadap Allah SWT dan Rasulullah SAW sebagai qiadah,
sebagaimana Allah SWT berfirman :
dan
Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar
Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang
membelot
Bila kita
renungkan perubahan arah kiblat adalah perubahan sebuah kebijakan yang
datangnya dari Allah SWT, yang disampaikan melalui lisan Rasul-NYA, di sisi
lain perubahan kebijakan ini juga menjadi ujian bagi soliditas dan keutuhan
jamaah, ketsiqohan jundi dengan qiyadahnya, apakah merika masih loyal mengikuti
Rasulullah SAW atau malah membelot. Memang, terkadang perubahan kebijakan dalam
kehidupan berjamaah seringkali menimbulkan kekagetan dan ketidaksiapan
psikologis, jangankan kita, seorang sahabat sekaliber Umar bin Khattab RA saja
pernah kaget dengan kebijakan Rasulullah SAW yang menerima begitu saja
butir-butir kesepakatan perjanjian Hudaybiyah yang disodorkan oleh delegasi Kafir Quraisy, padahal selama ini
kaum Muslimin selalu menunjukan ssemangatnya memnangkan peperangan dan tidak
mau dikalahkan begitu saja dalam setiap peperangan melawan kafir Quraisy,
sehingga Umar bin Khattab RA berkata kepada Rasul “Fa ‘alaamaa
nu’tiihimuddaniyyah?”, “Mengapa kita mau direndahkan begitu saja oleh mereka?”.
Namun Rasulullah SAW meyakinkan Umar bahwa sikap yang diambilnya tidak akan
sia-sia. Dengan kata lain akan ada hikmah yang dating dari Allah SWT di balik
kebijakan ini. Ternyata memang benar, sikap menerima tawaran perdamaian
meskipun dirasakan isi perjanjiannya tidak adil dan seimbang, tetapi menjadikan
peluang dakwah semakin besar, suasananya semakin aman dan kondusif, serta aman
dari ancaman gangguan peperangan.
Demikian pula
perubahan-perubahan yang terjadi di jamaah kita ini, sepanjang hal itu ti
menyangkut hal-hal yang bersifat muthagayyirot bukan tsawabit, artinya perubahan
kebijakn hanyalah perubahan dalam hal uslub dan wasilah, taktis dan pendektan, sepertinya
berubahnya format kepengurusan DPP menjadi Tim Pemenangan Pemilu Nasional
(TPPN), maka hal itu hendaknya kita sikap dengan ketsiqohan terhadap jajaran
qiadah di Majlis Syuro sebagai qaidah fikriyyah dalam merumuskan berbagai
ijtihaadat maidaniyyah, demi kemaslahatan dan keberlangsungan dakwah ke depan. Perubahan-perubahan itu
adalah bahagian dari
dinamika perjalanan sunnah
dakwah dari masa
ke masa. Semoga selalu ada hikmah positif di balik perubahan wasilah dan
uslub yang terjadi dalam jamaah ini. Amin Ya Mujiibassaa’ilin. Wallaahu
muwaafiq ilaa aqwamitthariq wa a’lamu bisshawab. (DHY & MSD)
No comments:
Post a Comment