Ikhwah wal akhwat rahimakumullah
Kebanyakan orang
memahami kewajiban sebagai beban berat yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan
di hadapan pemberi kewajiban itu. Sehingga yang terbayang adalah pemberat-pemberat
yang ada di pundak. Dan semakin banyak kewajiban yang ada maka semakin terasa
berat pula beban hidupnya. Sungguh kasihan hidup yang penuh beban, selalu
merasa dalam penderitaan dan tekanan.
Berbeda dengan orang
beriman, ia memahami kewajiban yang telah Allah tetapkan dengan pemahaman yang
indah dan menyenangkan, ia memahami kewajiban itu sebagai :
·
Peluang
terbesar untuk mendekatkan diri kepada-Nya,
·
Peluang
untuk meningkatkan kualitas diri, dan
·
Tangga
untuk memperoleh cinta Allah, yang dengan cinta itu manusia akan terjaga dirinya,
·
Menjauhkan
diri dari tarikan dunia dan menfokuskan diri pada sikap rabbani.
Rasulullah saw
bersabda: Sesungguhnya Allah swt berfirman dalam hadits Qudsi. “Barang siapa
yang memusuhi kekasih-Ku maka Aku nyatakan perang kepadanya. Dan tidak ada amal
ibadah yang dilakukan hamba-Ku untuk mendekatkan diri kepada-Ku lebih Aku
cintai dari pada kewajiban yang telah Aku tetapkan atasnya. Dan hamba-Ku akan
terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya.
Maka ketika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang dia gunakan
untuk mendengar, mata yang dipergunakan untuk melihat, tangan yang dipergunakan
untuk memegang, kaki yang dipergunakan untuk berjalan. Jika ia meminta-Ku pasti
akan Aku berikan, dan jika ia meminta perlindungan-Ku pasti akan Aku lindungi.
(HR Bukhari).
Ikhwani wa akhawati hafidzamumullah
Allah swt telah
mendistribusikan kewajiban bagi manusia ini sesuai dengan kapasitas dan kemampuan
setiap orang, Firman Allah: “Dan Allah tidak membebankan kepada seseorang
kecuali sesuai dengan apa yang dimampui”. (QS. 2/Al Baqarah: 286)
Kewajiban guru
berbeda dengan kewajiban murid, kewajiban imam berbeda dengan kewajiban makmum,
kewajiban orang miskin berbeda dengan kewajiban orang kaya dan seterusnya
masing-masing telah mendapatkan porsi kewajiban yang sebanding dengan kebutuhan
kebaikan yang hendak dicapai; Kewajiban dzatiyah (pada
diri sendiri) menjadi kebutuhan orang untuk mendapatkan kualitas pribadi yang
unggul, sehingga ia menjadi shalih bagi dirinya secara fisik, intelektual, dan
spiritual. Dan Kewajiban kepada Allah, berfungsi untuk tautsiqushshilah
(menguatkan hubungan dengan Allah), sehingga setiap saat pertolongan Allah
dapat diraih untuk mendapatkan sukses hidup dunia dan akhirat. Kewajiban
kepada sesama manusia berfungsi untuk menata harmoni kehidupan dalam ikatan
nilai dan kebaikan.
Dimana posisi kita
dari semua kewajiban diatas?
·
Jika
kita hanya dapat menunaikan kewajiban dzatiyah maka, kita baru dapat menshalihkan
diri sendiri, secara fisik, intelektual, dan spiritual. Dan jika kita tidak
mampu menshalihkan diri dalam apek-aspek penting itu, bagaimana mungkin kita
akan mampu meshlihkan orang lain.
·
Jika
kewajiban kepada Allah tidak terpenuhi dengan baik, maka akankah ada kedekatan
jarak dengan Allah? Jika tidak dekat dengan Allah, akankah pertolongan Allah dapat
diterima.
·
Jika
kewajiban kepada sesama manusia dalam berbagai statusnya tidak dapat dilaksanakan
dengan baik, akankah mereka bersimpati dan berbaik sikap dengan kita?
Rasulullah saw yang senantiasa bersikap baik, menunaikan kewajiban kemanusiaan
kepada siapapun masih saja mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan.
Ikhwah wal wakhwat
yar’akumullah
Dari
ketiga model kewajiban diatas, sebagai kader dakwah yang memiliki komitmen
melakukan perbaikan internal dan eksternal, kita sadar bahwa dihadapan kita
segudang kewajiban yang harus kita tunaikan, baik kewajiban kepada kedua orang
tua, kewajiban suami isteri, kewajiban kepada anak, kewajiban kepada kerabat, kewajiban
kepada tetangga, kewajiban kepada saudara, dan kewajiban kepada manusia pada
umumnya serta kewajiban kepada jamaah dan dakwah.
Semakin besar
pemahaman kita terhadap kewajiban yang kita emban maka semakin besar pula
kesadaran akan kurangnya waktu yang disediakan, sehingga memacu kita untuk
memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar tidak terlewatkan begitu saja.
Rasulullah saw
bersabda :
اغْتَنِمْ
خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ
، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِك
“Jagalah 5 perkara
sebelum datang 5 perkara lainnya: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, waktu
sehatmu sebelum waktu sakitmu, waktu kayamu sebelum datang waktu miskinmu,
waktu senggangmu sebelum datang waktu sibukmu, dan waktu hidupmu sebelum datang
kematianmu”. (HR. Baihaqi dan Hakim)
Manusia banyak
terlena dengan kesempatan yang dimiliki dan tidak mampu menjadikannya sebagai
peluang untuk berbuat baik dan melaksanakan kewajiban secara maksimal. Padahal
dihadapannya begitu banyak kewajiban yang sudah menunggu. Namun bagi seorang
kader tidak boleh demikian, karena tidak ada waktu istirahat baginya kecuali
kematian itupun pada –la samahallah- pada kemaksiatan dan keburukan, namun
terhadap kebaikan hidupnya di dedikasikan untuk mencarinya dan menggapainya
sebanyak-banyaknya. Sebagaimana dalam doa yang diajarkan nabi saw kepada kita :
وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ
“Dan
jadikanlah kematian sabagai masa istirahat (penghenti) bagi saya dari segala
kejahatan” (HR. Muslim)
Ikhwah wal akhawat as’adakumullah hayatakum
Prinsip seorang kader adalah sebagaimana firman Allah : “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (Al-Insyirah : 7) Sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu
(Muhammad) telah selesai berdakwah Maka beribadatlah kepada Allah; apabila kamu
telah selesai mengerjakan urusan dunia Maka kerjakanlah urusan akhirat, dan ada
lagi yang mengatakan: apabila telah selesai mengerjakan shalat berdoalah.
Dan keberuntungan seseorang dalam
hidupnya setelah keimanan adalah orang yang mampu memanfaatkan masa hidupnya
untuk beramal shaleh dan berdakwah (saling berwasiat pada kesabaran dan
kebaikan). Allah berfirman : “Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran”. (Al-‘Ashr : 2-3)
Karena itulah waktu untuk
kepentingan dakwah dan penataan
kehidupan yang lebih baik dan lebih mulia. Tidak akan berarti apa-apa
keshalihan pribadi yang kita bangun tinggi jika tidak memberi dampak bagi
keshalihan lingkungan.
Semakin banyak peran yang ingin kita mainkan,
maka semakin banyak pula kewajiban yang harus kita tegakkan. Banyak peran
dengan sedikit kewajiban tertunaikan adalah kebangkrutan, dan banyak kewajiban
tanpa peran adalah kemandulan. Dan kita hanya ingin memiliki kader yang berperan
aktif, produktif, dan dinamis. Dan untuk semua itu, kewajiban di semua
tingkatan harus terpenuhi. Wallahu a’ lam.
No comments:
Post a Comment