Akhi dan ukhti fillah
Kalau kita membaca Al-Qur'an, kita akan
sering mendapati kisah-kisah yang Allah paparkan. Kisah merupakan salah satu
metode mentarbiyah ummat Islam. Oleh karenanya, kisah-kisah itu tentu bukan
sekedar kisah, di balik itu ada banyak kandungan hikmah dan pelajarannya bagi
ummat Islam.
Di antara kisah yang ditayangkan dalam Al-Qur'an
adalah kisah burung Hud-hud dengan nabi Sulaiman a.s. Seekor burung yang melakukan
kerja dakwah tanpa menunggu perintah terlebih dahulu. Ia mengintai aktivitas
suatu kaum yang dengan sebab kabar itulah, segolongan umat mendapat hidayah
Allah dan masuk Islam. Allah berfirman,
وَتَفَقَّدَ
الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لاَ أَرَى الْهُدْهُدَ أَمْ كَانَ مِنَ الْغَائِبِينَ.
لَأُعَذِّبَنَّهُ عَذَاباً شَدِيداً أَوْ لَأَذْبَحَنَّهُ أَوْ لَيَأْتِيَنِّي
بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ. فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطْتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ
بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَأٍ بِنَبَأٍ يَقِينٍ. إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً
تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ (النمل:20-23)
“Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata,
"Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir. Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya
dengan azab yang keras, atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika
benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang." Maka tidak
lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata, "Aku telah mengetahui
sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba ' suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya
aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala
sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (An-Naml:22-23)
Tindakan burung Hud-hud janganlah dijadikan dalil
untuk tasayyub (lepas kontrol), tetapi harus dipahami dengan positif
bahwa yang dilakukan burung Hud-hud merupakan tindakan memanfaatkan furshah
untuk menjalankan misi dakwah. Dakwah yang diawali dengan mengetahui keadaan
spiritual mereka.
Burung Hu-hud tidak keluar dari tujuan jamaah dan
sarananya, juga tidak melanggar prinsip-prinsip umum atau mengabaikan perintah
lainnya yang lebih utama. Tetapi kisah tersebut menunjukkan bahwa pada diri
prajurit terebut terdapat ciri yaqzhah (selalu sadar akan misi), diqqah
(teliti) dalam beramal dan semangat untuk menyadarkan kaum. Juga
menunjukkan bahwa pada diri pemimpin terdapat sifat atau sikap kontrol,
ketegasan pemimpin dan penyelesaian persoalan anggotanya, sekecil apapun
persoalan itu dan dilakukan oleh anggota serendah apapun jenjangnya.
Kecerdasan dan kecemerlangan berfikir burung Hud-hud
tersebut telah ia manfaatkan untuk mengambil kesempatan untuk mencari berita
dan kabar suatu kaum karena ia berkeinginan untuk menyampaikan risalah Islam
kepada mereka, mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah diserta dengan tindakan
yang bijak, presentasi yang gemilang serta keberanian dalam mengemukakan uzur.
Kisah ini banyak mengandung pelajaran untuk para
da'i maupun para masul atau murabbi, di antaranya:
1. Seorang
dai tentu lebih mulia dari seekor burung Hud-hud yang memiliki inisiatif
positif dan mencari-cari kebaikan. Seorang dai lagi mukmin lebih terpanggil
untuk berinisiatif dan melakukan perbuatan baik tanpa harus menunggu perintah.
2. Memandang
kepada para pemimpin dakwah bahwa tidak seluruh rencana dan program dapat
dikerjakan dan dapat dimutaba'ahi, karena itu pengarahan terhadap semua
perintah dan kebijakan adalah lebih diutamakan. Kita dapat menyimak bahwa Nabi
Sulaiman a.s. yang dikuatkan dengan wahyu Allah dan ditundukkan untuknya jin
dan burung-burung tidak mampu mengetahui semua perkara dan tidak mampu menyerap
semua informasi. Karenanya ia memerlukan sedikit informasi dari burung yang
kecil yang secara positif merupakan masukan besar bagi dakwah.
3. Dari
kisah tersebut kita menyaksikan pengecekkan atas keterlambatan burung Hud-hud.
Dengan sikap ijabiyah (positif) yang dikembangkan burung Hud-hud, maka
alasannya itu diterima. Di lain pihak, قَالَ سَنَنْظُرُ أَصَدَقْتَ أَمْ
كُنْتَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (النمل:27) (Sulaiman berkata,
"Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang
berdusta.) menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus menerima alasan
keterlambatan tersebut dan membatalkan hukuman yang telah ia janjikan karena
alasan burung itu. Alasan burung Hud-hud tersebut mengandung kemungkinan benar
dan dusta. Tetapi kenyataannya adalah bahwa yang dikabarkan oleh burung hud-hud
adalah benar dan dari kabar itulah nabi Sulaiman a.s. kemudian menyerukan untuk
berjihad.
4.
Dari kisah tersebut kita dapat melihat adanya i’tidzar
lil qa'id fi ada'il wajib. Jika kita jadikan kisah ini sebagai amal ijabi
(positif), maka kita akan melihat bahwa dalam ma’dzirah (pemaafan) dan i’tidzar
(menyampaikan alasan) terdapat sesuatu yang berharga, ketika pengetahuan burung
Hud-hud memberikan manfaat kepada pemimpin, nabi Sulaiman yang mempunyai segala
jenis kekuatan. Bahkan burung Hud-hud tersebut menyampaikan dengan ungkapan naba'
yaqin (berita penting dan besar yang diyakini kebenarannya), suatu jenis
kekuatan yang dimiliki burung Hud-hud ketika menyampaikan alasan
keterlambatannya di harapan kekuasaan nabi Sulaiman yang telah berniat akan
menyiksa dengan siksaan yang pedih atau ia akan menyembelihnya. Suatu kekuatan
yang dimiliki burung Hud-hud yang digunakan secara positif untuk taat kepada
pemimpin, kekuatan ilmu pengetahuan. Sehingga ia selamat dari hukuman berupa
siksaan dan penyembelihan dengan ilmu pengetahuan.
فَمَكَثَ
غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطْتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَأٍ
بِنَبَأٍ يَقِينٍ (النمل:22)
“Maka
tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata, "Aku telah
mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari
negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.”
(An-Naml: 22)
Keberanian
burung Hud-hud untuk berbicara kepada nabi Sulaiman a.s. karena kabar yang
dibawa burung Hud-hud merupakan kabar penting dan nabi Sulaiman a.s. belum
mempunyai kabar tersebut. Kalaulah ia terlambat tanpa ada hal yang akan ia
sampaikan, maka dengan kelemahannya dari segala hal, maka ia tidak akan mampu
untuk berbicara dari lantang di hadapan pemimpinnya.
Akhi dan
unkhti fillah…
Kalaulah
bukan karena ijabiyah burung Hud-hud, maka uzur dan alasan burung Hud-hud pasti
tidak akan diterima, karena loyalitas kita kepada jamaah menuntut kita untuk
melaksanakan amal dan kerja sebaik mungkin dalam kerangka mencapai sasaran yang
telah ditetapkan. Tidak menjadi keharusan seorang da'i atau bawahan atau binaan
atau anggota jamaah melaksanakan perintah saja, tetapi amal dan kerja yang
dilakukan harus ijabi atau memiliki bobot yang memadai untuk tercapainya tujuan
dakwah dan tarbiyah.
5. Kita
sebagai da'i dapat menyimpulkan sebagai pelajaran buat kita bahwa hudhur
(kehadiran) yang dapat menyelamatkan kita dari uzur kita di hadapan qaid, mas'ul,
naqib atau murabbi adalah hudhur da’wi tarbawi. Sejalan dengan semangat
kita untuk meningkatkan mutu diri dan memperbanyak kader baru dengan segala
jenis tajnid (rekkruitmen), maka kita dituntut untuk selalu hadhir
secara da’wiyan dan tarbawiyan, bukan hanya kehadiran di halaqah
atau di usrah atau di ijtima’. Kita seharusnya selalu hadir dalam segala
aktivitas da’wah dan tarbiyah. Boleh jadi seseorang tidak pernah absen untuk
hadir di setiap pertemuan, akan tetapi keikutsertaannya di setiap aktivitas
sangatlah minim atau ia sendiri tidak ada inisiatif positif untuk melakukan
aktivitas da’wah dan tarbiyah. Karenanya di antara ijabiyah seorang pemimpin,
mas'ul, naqib, atau murabbi adalah memperhatikan dan mengontrol binaannya agar
kehadirannya dalam da’wah dan tarbiyah tidak pernah absen. Karena itu kalaupun
ia uzur untuk hadir di pertemuan karena alasan syar’i, maka tidak serta merta
disimpulkan sebagai ketidakhadirannya dalam da’wah, sebelum dilihat
kehadirannya pada aktivitas da’wah dan tarbiyah lainnya.
6. Untuk
para mas'ulin dan qiyadiyyin juga dapat mengambil beberapa pelajaran yang dapat
dicermati dan diperhatikan dari sikap dan respon Nabi Sulaiman terhadap kerja
burung Hud-hud. Di antara pelajaran yang dapat kita ambil dari sikap Nabi
Sulaiman a.s. adalah:
a. Tafaqqudul amiir lil atba’ (rasa
kehilangan seorang pemimpin terhadap pengikutnya). Seorang mas'ul harus
memperhatikan siapa yang tidak hadir dalam setiap pertemuan dan kegiatan. Karena
perhatiannya terhadap kehadiran binaannya merupakan bagian dari tanggungjawab
yang harus diemban. Nabi Sulaiman a.s. mempertanyakan ketidakhadiran burung
Hud-hud dalam pertemuan itu.
b. Akhdzul
amri bil hazm (sangat perhatian terhadap perkara). Seorang pemimpin harus
memiliki haibah (wibawa) di hadapan pengikutnya dengan menyatakan sikap
tegasnya di hadapan pengikutnya.
c. Muhasabah
(evaluasi). Seorang mas'ul harus berinisiatif untuk mengevaluasi proses tarbiyah dan hasil
perjalanan tarbiyah yang ia lakukan.
d. Tabayyunul
‘udzr (klarifikasi uzur). Mengklarifikasi alasan keuzuran binaan agar
penyikapan dan perlakukan yang akan diambil lebih berdampak positif.
e. Taqdir
kulli udhwin (menghargai masing-masing anggota). Seperti Sulaiman yang
gusar atas ketidakhadiran burung hud hud. Padahal ia hanyalah seekor burung
kecil. Selain burung kecil ini tentu masih banyak pengikutnya yang lebih besar
dan berkualitas. Seperti komentar Sayyid Quthb, burung hud-hud itu satu ekor
dari sekawanan burung hud-hud yang lain dan dari sekian banyak burung yang
menjadi pendukung kerajaannya. Seorang anggota, betapapun kondisinya harus
dihargai sebagai anggota dan tidak boleh dipandang sebelah mata.
7. Dengan
kerja yang kelihatannya kecil, hanya sekadar mengetahui keadaan dan kondisi
keagamaan suatu kaum, dapat menghasilkan prestasi besar, yaitu keislaman Ratu
dan rakyatnya, tunduk untuk beribadah kepada Allah bersama nabi Sulaiman a.s.
Akhi dan Ukhti fillah…
Karena itu pula dalam dunia peradaban materi kita
melihat banyak karya dan hasil penemuan besar awalnya dirintis oleh kerja dan
inisiatif satu orang. Hasil kerja seorang ini kemudian didukung dan didanai
oleh kelompok atau negara. Seperti penemuan sepeda, mesin cetak, telegraf, bola
lampu dan lain-lain. Demikan pula dalam medan
dakwah, banyak yang awalnya merupakan terobosan pribadi kemudian menjadi
garapan jamaah.
Jadi dengan sikap ijabiyah
seorang dai, akan banyak amal Islam yang dapat dihasilkan seiring dengan hasil
yang gemilang. Di antaranya adalah dengan merasa kurang di hadapan Allah dalam
menjalankan semua kewajiban yang telah dibebankan kepadanya, maka akan muncul
rasa pada diri seorang mukmin untuk berusaha mengerjakan satu kewajiban dengan
sebaik-baiknya dan dengan niat yang lurus. Dengan demikian ia telah mengerti
maksud dari taklif Allah, yaitu agar manusia berusaha memperbaiki amalnya
dengan cara meluruskan niat dan menyesuaikan segala perbuatan dan ibadahnya
sesuai dengan syariat Islam.
Di antara sikap ijabiyah adalah tidak meremehkan
perkara kecil, karena seringkali sesuatu yang besar menjadi kecil nilainya
karena niat yang kurang ikhlas dan kadang beberapa kalimat akan mendatangkan
kebaikan yang banyak karena niat dan keluar dari hati yang tulus. Pernah
seorang ulama ditanya, “Sampai kapan Anda terus menulis hadits? Lalu ia
menjawab, “Mungkin kalimat yang akan menyelamatkanku masih belum aku tulis.”
Untuk menunjukkan betapa perkara ringan itu tidak
boleh dianggap ringan, Rasulullah saw. menegaskan bahwa banyak perkara ringan
atau sepele, tetapi di sisi Allah mempunyai bobot pahala dan kebaikan bagi yang
melakukannya.
عن أَبِي ذَرّ قالَ قالَ
رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم: تَبَسّمُكَ في وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ،
وَأَمْرُكَ بِالمَعْروفِ ونهيُكَ
عن المُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وإِرْشَادُكَ الرّجُلَ في أَرْضِ الضّلاَلِ لَكَ
صَدَقَةٌ، وبَصَرُكَ لِلرّجُلِ الرّدِيءِ البَصَرِ لَكَ صَدَقَةٌ، وإِمَاطَتُكَ
الْحَجَرَ والشّوْكَ والعَظْمَ عن الطّرِيقِ لَكَ صَدَقَةٌ، وإِفْرَاغُكَ مِنْ
دَلْوِكَ في دَلْوِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَة. (رواه البخاري والترمذي)
Dari Abu Dzar r.a. ia berkata bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah bagimu, perintahmu
mengerjakan kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah sedekah bagimu, kamu
menunjuki orang yang tersesat juga merupakan sedekah bagimu, membantu orang
yang kurang penglihatannya juga merupakan sedekah bagimu, menyingkirkan batu,
duri dan tulang dari jalan juga merupakan sedekah bagimu, kamu menuangkan air
dari timbamu ke timba saudaramu juga merupakan sedekah bagimu.” (H.R.
Bukhari dan Tirmidzi)
Allah juga berfirman dalam surah Az-Zalzalah ayat
7-8,
فَمَنْ
يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
شَرّاً يَرَهُ (الزلزلة:7-8)
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan
seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa
yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan) nya pula.” (Az-Zalzalah: 7-8)
Bagi dai kata-kata ma’tsur tersebut dapat
menjadi motivator untuk tidak menganggap remeh amal dan aktivitas kecil atau
kata-kata nasihat dalam dakwah. Karena itu janganlah kikir untuk mengajak
bicara keluarganya atau bercakap-cakap dengan anak-anak atau memberikan
senyuman kepada tetangga atau memberi nasihat dan bimbingan kepada teman kerja
atau dia mendengarkan bacaan Al-Qur'an. Semua itu dapat dilakukan dai jika
dirinya memiliki ijabiyah.
Akhi dan Ukhti fillah…
Dalam konteks amar ma’ruf nahi munkar, kita akan
menemukan medan
dan lapangannya yang cukup luas dan lebar. Di mana kita akan menemukan setiap
hari fenomena atau suasana kemungkaran yang mesti kita hilangkan dari
masyarakat. Maka dengan kata-kata yang bijak kita dapat menuliskan keprihatinan
kita atau analisa kritis kita di meda cetak. Atau sekadar mendukung artikel
bagus yang mengangkat permasalahan yang sedang kita cermati. Atau mungkin
dengan mengirimkan surat
ke pejabat atau wakil kita di DPR pusat maupun daerah. Yang penting dalam diri
seorang dai adalah keinginan dan kemauan untuk mengadakan perubahan ke arah
positif dengan cara yang dapat ia tempuh sebatas otoritas yang ia miliki.
Karena itu keberadaan kita pada posisi yang memiliki otoritas yang luas dan
besar akan membantu dan mengefektifkan usahan dakwah dalam perbaikan
masyarakat.
Meskipun dengan menjadi ketua RT atau RW kita dapat
lebih maksimal dan efektif untuk membuat perubahan di lingkungan sekitar tempat
tinggal kita, kenapa kita tidak lakukan? Kenapa kita tidak peduli dengan hal
ini, sehingga membiarkan posisi itu dipegang atau berada pada orang yang
pemahaman perubahan islamnya masih minim.
Atau posisi struktural di tempat pekerjaan yang
menyebabkan kita memiliki otoritas terhadap bawahan kita, maka merupakan suatu
bekal dan modal untuk menjadi bagian dari anashir taghyir di tempat tersebut.
taghyir yang mengarah kepada model dan prilaku Islam.
Atau bahkan bagi mereka yang kerap mengadakan
perjalanan ke daerah atau pelosok dan menemukan informasi obyektif, kemudian
informasi tersebut dapat menjadi pintu untuk proyek dakwah yang lebih efektif,
maka itu juga bagian dari ijabiyah yang diperankan oleh seorang dai. Karena di era
dakwah yang sudah terbuka ini keperluan kita akan informasi obyektif terhadap
keadaan dan kondisi suatu daerah atau suatu kelompok orang (segmen tertentu).
Wallahu A'lam
No comments:
Post a Comment