Ikhwati
fillah….
Marlah i kita
tadabburi ayat berikut ini....
“Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah
bahwasesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya
kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan. ” (Q.S. Al-Anfaal: 24).
Ikhwah dan akhwat fillah….
Dakwah dan jihad adalah dua kata yang
selamanya harus ada dan terpatri dalam diri seorang muslim yang menghendaki al-manzilah
al- ‘ulya (kedudukan tinggi) di sisi Allah
SWT. Setiap mukmin yang memahami dan menghayati hakikat kehidupan pasti akan
menempuh jalan kebahagiaan abadi disisi Allah SWT. Ia akan mendekat, berlari, dan terbang menuju
keridhaan-Nya “fafirruu ilallaah ”(Q.S.
Adz-Dzaariyaat/51/50). Dan setiap al-akh yang di dalam relung hatinya
terhunjam keyakinan bahwa kematian itu kepastian yang cuma terjadi sekali, maka
ia akan memilih seni kematian yang paling mulia di sisi Allah. Imam Syahid
Hasan Al-Banna rahimahullah mengungkapkan bahwa umat yang dapat memilih seni
kematian dan memahami bagaimana mencapai kematian yang mulia, maka pasti Allah
berikan kepada mereka kemuliaan hidup di dunia dan kenikmatan abadi di akhirat
(Risalah Jihad-Majmu ’ah Rasail Al-Banna).
Akhil
kariim, adakah jalan
yang lebih mulia dan dapat membawa kita menuju puncak
kebahagiaan
selain jalan dakwah yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW dan yang beliau
nyatakan menjadi jalan pengikutnya? Allahumma laa. Dan adakah kematian
yang lebih terpuji di sisi-Nya yang selalu didambakan oleh hamba-hamba yang
beriman sejak dulu hingga hari kiamat selain mati dalam jihad fii
sabiililllah? Allahumma laa.
Katakanlah, “Inilah jalan (agama) ku, aku dan
orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik. (Q.S. Yusuf: 108)
Apakah
(orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus
Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan
hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah;
dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zhalim. Orang-orang yang
beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri
mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang
yang mendapat kemenangan. (Q.S. At-Taubah: 19-20)
Ikhwati, tidak ada yang telah membuat usia para sahabat
dan para ulama sekaliber Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan
Imam Ahmad r.a. seolah terus memanjang hingga akhir zaman, kecuali dakwah yang
mereka lakukan. Tidak ada sesuatu yang telah membuat lisan orang-orang mukmin
menyebut dan mendoakan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan
Khalid bin Walid r.a. atau tokoh-tokoh seperti Shalahuddin Al-Ayyubi, Thariq
bin Ziyad, dan Al-Muzhaffar Quthuz selain jihad fii sabilillah. Kehidupan
mereka menjadi amat berarti dan berharga karena mereka sigap menyambut seruan
Allah dan Rasul-Nya.
Namun akhil
kariim, kesigapan itu bukanlah suatu hal yang muncul begitu saja, melainkan
adalah buah keimanan kepada Allah sebagai Pemberi dan Pencipta kehidupan, buah
keimanan yang kokoh kepada hari akhir saat terwujudnya kehidupan dan
kebahagiaan hakiki. Kesigapan itu lahir dari hati yang tidak lalai dari hakikat
ini berkat taufiq dan ri ’ayah rabbaniyah. Oleh sebab itu, Allah SWT berfirman: “…dan ketahuilah bahwa Allah membentengi
antara seseorang dengan hatinya, dan ketahuilah bahwa hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (di mahsyar).
Maka kita patut
bertanya dan mengevaluasi diri. Seberapa kuatkah hakikat kehidupan abadi
diakhirat telah tertanam dalam hati sehingga kita berhak mendapatkan ri ’ayah rabbaniyyah tersebut yang membuat ruhul istijabah menjadi
karakter dalam diri kita? Seberapa kuat hakikat ini mewarnai atau men-shibghah
(QS 2:138) diri dan perilaku kita sehingga segala resiko duniawi dalam
dakwah dan jihad fi sabililillah menjadi kecil di mata kita? Kekuatan
inilah yang menyebabkan Anas bin An-Nadhr r.a.--paman Anas bin Malik r.a.) memberikan
respon spontan kepada Saad bin Muadz r.a. tatkala pasukan mukmin terdesak oleh musyrikin
di perang Uhud dengan ucapannya: “Ya Saad! Surga…surga… aku mencium baunya di bawah bukit Uhud. ” Kemudian beliau maju menjemput syahid hingga
jenazahnya tidak dapat dikenali, kecuali oleh saudara perempuannya lewat jari tangannya (Muttafaq ‘alaih
- Riyadhus shalihin, Kitab Al-Jihad, hadits No 1317).
Hal itu pula
yang menjadikan Hanzhalah Sang ‘Ghasiil Al-malaikat’ segera merespon panggilan jihad, meski ia
baru menikmati malam pengantin dan belum sempat mandi hadats besar. Perhatikan pula
respon ‘Umair Ibn Al-Humam r.a. tatkala beliau mendengar
sabda Rasulullah SAW, “Quumuu ilaa
jannatin ‘ardhuhas-samaawaatu wal-ardh ” (Bangkitlah menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi). Beliau mengucapkan kata “bakh-bakh ” (ungkapan takjub terhadap kebaikan dan pahala) semata-mata karena ingin menjadi
penghuni surga, lalu segera membuang beberapa biji kurma yang
sedang
dikunyahnya sambil berkata, “La-in ana hayiitu hattaa aakula tamaraatii haadzihii innahaa lahayaatun
thawiilah ” (Jika saya hidup sampai selesai memakan kurma ini, oh betapa lamanya (menanti
surga)). Lalu beliau maju hingga gugur di perang Badar. (H.R. Muslim, dalam Riyadhus shalihin, Kitab Al-Jihad, hadits
No 1314).
Atau seperti
Imam Al-Banna yang berangkat menunaikan tugas dakwah meskipun anaknya terbaring
sakit. Beliau meyakini bahwa setelah usahanya optimal untuk mengobati putranya,
Allah SWT yang diharapkan ridha-Nya dalam menunaikan tugas dakwahnya, tidak
pernah akan mengecewakan dirinya.
Akhil ‘aziiz, ruhul istijabah juga muncul karena
pemahaman kita tentang qhadhaya ummah (fahmul qhadaya) dan
tanggung jawab (ruhul mas ’uliyyah) kita untuk
mencari solusinya. Orang yang tidak mengetahui bahaya yang mengancam
dirinya, sangat sulit kita harapkan responnya untuk menghindari apalagi
menghilangkan bahaya tersebut. Imam Syahid Hasan Al-Banna bahkan menghendaki
agar setiap al-akh memiliki kepekaan perasaan (daqiiq asy-syu ’uur), bukan sekadar pengetahuan teoritis, tetapi
harus menjadi kepekaan perasaan yang membuatnya tersentuh bahagia dengan
kebaikan, dan
terluka karena
keburukan dan kebatilan. Bukankah dakwah adalah upaya kita menegakkan al-haq
dan menghancurkan kebatilan?
Sifat daqiiq
asy-syu ’uur dan ruuhul mas
’uuliyyah berarti mengharuskan kita untuk selalu berinteraksi
dengan qhadhaya ummah dan terus memahaminya tanpa menunggu orang lain memahamkannya
untuk kita. Sifat ini juga seharusnya membuat respon kita menjadi spontan dan
penuh energi sehingga melahirkan kekuatan dahsyat, betapapun lemahnya kondisi fisik.
Lihatlah,
bagaimana Al-Qur’an menceritakan kemampuan Maryam AS, ibunda Isa
AS,
menggoyang
batang pohon kurma sehingga buahnya berjatuhan ketika beliau dalam keadaan
lemah tak berdaya, semata-mata karena rasa tanggung jawabnya akan kelahiran dan
keselamatan putranya yang akan mengemban risalah dakwah? (periksa Q.S. Maryam:
22-25).
Ikhwah
fillah, beban kehidupan dunia yang kita hadapi,
apapun bentuknya, jangan sampai membuat kita kehilangan kepekaan dan kesigapan
memenuhi seruan dakwah dan jihad. Kita patut meneladani mujahidin Palestina
yang tidak pernah mengendor semangat dan aktivitas jihadnya meskipun perjalanan
panjang telah melewati dan terus menanti mereka. Juga, meskipun kesulitan
hidup, bahkan tekanan bertubi-tubi terus menghantam. Yakinlah bahwa kebersamaan
kita dengan Rasulullah SAW, shiddiqin, syuhada, dan shalihin di surga – insya Allah – ditentukan oleh sejauh mana kita
meneladani mereka dalam kesigapan memenuhi seruan dakwah dan jihad.
Ingatlah selalu
kecaman Allah dan Rasul-Nya terhadap orang-orang munafik yang selalu
mencaricari alasan (tafannun fil ‘udzr) untuk menghindar dari kebutuhan berdakwah dan
berjihad (lihat Q.S. 9/At-Taubah: 94). Tadabburi pula ayat lainnya di
dalam surat At-Taubah, terutama ayat 41-47, yang mengungkapkan kemalasan dan
keengganan mereka agar kita senantiasa terhindar dari sifat-sifat
mereka.
Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya
dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya. ” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq. (Q.S. At-Taubah: 24).Wallahu a ’lam
No comments:
Post a Comment