(Oleh: Arida Sahputra)
Ikhwah fillah, yang dimaksud dengan musyarakah siyasiyyah adalah keterlibatan jamaah dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan kemaslahatan umum di lembaga-lembaga politik formal maupun informal, di tingkat nasional atau daerah beserta seluruh aktivitas yang mengikutinya seperti pemilihan umum, koalisi, dan aktivitas politik lainnya.[1]
Diantara tuntutan syumuliyyatud da'wah adalah keterlibatan dan kehadiran
kita dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama memasuki kancah
pengambilan keputusan. Ikhwah fillah, manfaat yang kita inginkan dari keberadaan
ikhwah di lembaga-lembaga kenegaraan adalah mampu menyuarakan dakwah di sana dengan meminimalisir
keputusan-keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam dan memperbesar
peluang diberlakukannya keputusan yang lebih memudahkan dakwah Islam untuk
semakin kuat dan tersebar. Syaikh Abdurrahman As-Sa'di dalam tafsirnya berkata:
"Allah swt membela orang-orang yang beriman dengan berbagai cara,
ada yang mereka ketahui dan ada pula yang tidak mereka ketahui. Diantaranya adalah faktor kabilah (kesamaan suku
antara da'i dengan ummat) seperti yang dialami oleh Nabi Syuaib as.
Ikatan-ikatan yang dapat membantu membela Islam dan kaum muslimin seperti ini
boleh diusahakan bahkan dalam keadaan tertentu menjadi wajib diwujudkan, karena
ishlah (perbaikan) itu wajib dilakukan sesuai kemampuan dan kemungkinan. Oleh
karena itu upaya ummat Islam yang berada di Negara atau wilayah kafir kemudian
berusaha mengubah keadaan negara itu menjadi republik yang demokratis sehingga
masyarakat bisa menikmati kebebasan beragama dan hak-hak sipilnya, semua usaha
itu adalah lebih baik daripada berdiam diri menyerahkan pengambilan keputusan
ini kepada orang kafir semuanya. Memang jika semua urusan berada di tangan
ummat Islam itu adalah semestinya, namun jika tidak bisa, maka yang bisa kita
lakukan harus kita lakukan untuk melindungi agama dan dunia." [2]
Ikhwah fillah, asas utama
musyarakah siyasiyyah adalah tahshilul mashalih dan taqlilul mafasid
(meraih maslahat dan mengurangi mafsadat). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
أَنَّ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ بِتَحْصِيلِ
الْمَصَالِحِ وَتَكْمِيلِهَا وَتَعْطِيلِ الْمَفَاسِدِ وَتَقْلِيلِهَا وَأَنَّهَا تُرَجِّحُ
خَيْرَ الْخَيْرَيْنِ وَشَرَّ الشَّرَّيْنِ وَتَحْصِيلِ أَعْظَمِ الْمَصْلَحَتَيْنِ
بِتَفْوِيتِ أَدْنَاهُمَا وَتَدْفَعُ أَعْظَمَ الْمَفْسَدَتَيْنِ بِاحْتِمَالِ أَدْنَاهُمَا...
“Bahwa
syariat datang untuk menghasilkan maslahat dan kesempurnaannya, menghilangkan
dan meminimalisir kerusakan. Syariat lebih mengutamakan dan menguatkan kebaikan
yang lebih besar diantara dua kebaikan (jika harus memilih salah satunya) dan
mendukung keburukan yang lebih ringan diantara dua keburukan (jika harus
memilih salah satunya), lalu memilih dan mengambil yang paling maslahat dengan
mengabaikan yang lebih rendah, dan menghilangkan yang lebih besar madharatnya
dengan menanggung resiko yang lebih rendah dan ringan…”
Selanjutnya beliau
juga berkata:
Dari sisi inilah Yusuf as menjabat perbendaharaan
Mesir bahkan memintanya kepada raja
Mesir agar menjadikannya pemegang perbendaharaan bumi. Sementara raja dan
kaumnya dalam keadaan kafir, sebagaimana firman Allah SWT;
“Sungguh telah datang kepada kalian Yusuf, sebelumnya
dengan keterangan yang nyata, dan kalian senantiasa dalam keraguan terhadap apa
yang ia bawa”. (Ghafir (40): 34).
“Wahai kedua
penghuni penjara, apakah tuhan-tuhan yang berpecah belah, lebih baik dari Allah
yang Maha Esa dan kuat?, apa yang kalian sembah selain Allah tiada lain kecuali
nama-nama yang kalian dan nenek moyang kalian namakan”. (Yusuf (12): 39-40).
Dapat dimaklumi bahwa dengan kekafiran yang ada pada
mereka, mengharuskan mereka memiliki kebiasaan dan cara tertentu dalam memungut
dan mendistribusikan harta kepada raja, keluarga raja, tentara dan rakyatnya.
Tentunya cara itu tidak sesuai dengan ketentuan bagi para nabi dan utusan Allah.
Namun bagi Nabi Yusuf as tidak memungkinkan untuk menerapkan apa yang ia
inginkan berupa ajaran Allah, karena rakyat tidak menghendaki hal itu. Akan
tetapi Yusuf melakukan sesuatu yang mungkin ia lakukan, berupa keadilan dan
perbuatan baik. Dengan kekuasaan itu, ia
dapat memuliakan orang-orang yang beriman diantara keluarganya, hal yang tidak akan mungkin dia dapatkan tanpa
kekuasaan itu. Semua ini masuk dalam firman Allah “Bertakwalah kepada Allah
sesuai kemampuanmu” (At-Taghabun (64): 16).[3]
Dalam Siyasah Syar'iyyah-nya, Ibnu Taimiyah rahimahullah
juga menegaskan prinsip muwazanah antara maslahat dengan madhorot ini seraya
berkata:
"Berkumpulnya kekuatan dan amanah sekaligus pada
diri seseorang sangat jarang ditemukan, oleh karenanya Umar bin Khathab radhiyallahu
'anhu mengadu kepada Allah swt:
اللَّهُمَّ أَشْكُو إِلَيْكَ جَلَدَ الْفَاجِرِ وَعَجْزَ
الثِّقَةِ
Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu tentang kekuatan
orang yang berdosa dan kelemahan orang yang terpercaya.
Maka yang wajib ditempatkan untuk setiap jabatan
adalah yang paling besar maslahatnya sesuai jabatan itu sendiri. Bila hanya ada
dua pilihan untuk sebuah jabatan, dimana yang satu lebih amanah dan yang lain
lebih kuat, maka yang didahulukan adalah yang lebih bermanfaat dan lebih
sedikit madharatnya untuk jabatan itu. Untuk jabatan tempur, lebih diutamakan
laki-laki yang lebih kuat meskipun pada dirinya ada kemaksiatan daripada
laki-laki yang lemah meskipun lebih shalih. Hal ini seperti ungkapan Imam Ahmad
bin Hambal rahimahullah ketika ditanya tentang dua calon pemimpin perang yang
satu kuat tapi pendosa sedangkan yang lain shalih tapi lemah. Jawaban Imam
Ahmad: "Orang yang pendosa, kekuatannya akan bermanfaat bagi ummat Islam
dan dosa-dosanya untuk dirinya sendiri, sedangkan orang shalih yang lemah,
keshalihannya untuk dirinya dan kelemahannya merugikan kaum muslimin." Rasulullah
saw bersabda:
وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ
الْفَاجِرِ (رواه البخاري)
Oleh karena itu pula Rasulullah saw mengangkat
Khalid bin Walid sebagai pemimpin perang sejak ia masuk Islam dan beliau
berkata bahwa Khalid adalah pedang yang dihunuskan Allah kepada orang-orang
musyrik, meskipun terkadang Khalid melakukan perbuatan yang diingkari oleh
Rasulullah saw, sehingga Rasulullah pernah mengangkat kedua tangannya ke langit
sambil berdoa: "Ya Allah, aku berlepas diri dari apa yang telah dilakukan
Khalid." Yaitu tatkala Rasulullah saw mengutus Khalid ke suku Judzaimah
lalu Khalid membunuh mereka dan mengambil harta mereka dengan alasan yang mengandung syubhat, padahal itu tidak
diperbolehkan. Begitu pula para sahabat yang bersama Khalid telah
mengingkarinya…
Sementara itu Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu
'anhu lebih baik dari Khalid dalam amanah dan kejujuran, meskipun begitu
Rasulullah saw berkata kepada Abu Dzar: "Wahai Abu Dzar, aku melihatmu
sebagai orang yang lemah, aku menginginkan untukmu apa yang kuinginkan untuk
diriku. Jangan engkau memimpin dua orang dan jangan mengurusi harta anak
yatim." (HR. Muslim). Rasulullah saw melarang Abu Dzar untuk memimpin dan
menjabat jabatan karena beliau menilainya lemah padahal Rasulullah saw pernah
bersabda: Tidak ada di dunia ini yang lebih jujur ungkapannya selain Abu Dzar.
Rasulullah saw juga mengangkat 'Amr bin 'Ash ra
pada perang Dzatus-Salasil untuk melembutkan hati kerabatnya karena Rasulullah
saw mengutus Amr bin 'Ash kepada mereka padahal ada yang lebih baik keimanannya
dari Amr bin Ash. Rasulullah saw juga mengangkat Usamah bin Zaid sebagai
pemimpin pasukan untuk dapat membalas gugurnya sang ayah (Zaid bin Haritsah).
Jadi, Rasulullah saw mengangkat seseorang dengan pertimbangan maslahat tertentu
meskipun ada yang lebih baik dari orang tersebut keilmuan dan keimanannya.
Demikian Ibnu Taimiyah.[5]
Salah seorang ulama Saudi
Arabia, Dr. Nashir bin Sulaiman Al-Umar dalam salah satu fatwanya mengatakan:
"Ketahuilah bahwa hukum
asal musyarakah adalah al-jawaz (boleh). Salah satu yang bisa kita
jadikan pertimbangan hukum tentang bolehnya musyarakah ini adalah dibolehkannya
jihad (perang) bersama imam yang fajir (pendosa). Perlu diketahui bahwa
berjihad bersama pemimpin yang fajir tidak akan lepas dari kerusakan yang
pasti. Namun kerusakan ini menjadi lebih kecil nilainya jika dibanding dengan
besarnya maslahat berjihad. Dan
kerusakan yang timbul dari tidak berjihad bersamanya jauh lebih besar dari
kerusakan yang timbul dari berjihad bersamanya."[6]
Dalam situasi seperti di atas
hukum asal yang mubah (boleh) dapat berubah menjadi sunnah bahkan wajib jika
maslahatnya jelas-jelas nyata dan wajib diwujudkan atau jika ditinggalkan mengakibatkan
mudharat yang amat banyak.
Musyarakah siyasiyyah juga
membuka peluang bagi ikhwah untuk mengetahui dan mengakses informasi penting
terkait maslahat harakah dan dakwah baik informasi amniyah, politik, ekonomi,
sosial kemasyarakatan dan lain-lain. Sesuatu yang amat sulit kita peroleh tanpa
musyarakah. Musyarakah siyasiyyah juga bermanfaat sebagai ajang menimba
pengalaman memimpin negara, berdialog dengan berbagai pihak dalam institusi
negara, dan melakukan pelayanan publik dalam skala yang lebih besar.
Ikhwah fillah, kita mengambil
pilihan musyarakah yang merupakan al-khiyar al-ashwab (pilihan yang
paling tepat) meskipun kita menyadari bahwa ia juga merupakan al-khiyar al-ash'ab (pilihan paling
sulit), karena musyarakah berarti pilihan iqtihamul 'aqabah (menempuh
jalan terjal mendaki), at-tadafu' al-yaumi (pertarungan harian), pilihan
merealisasikan kebersihan dan istiqamah di tengah berbagai penyimpangan dan
kekotoran, dan pilihan mempengaruhi secara bertahap tanpa larut dalam
penyimpangan tersebut.
Apabila terjadi kasus-kasus
penyimpangan pada personil dalam musyarakah siyasiyyah maka penyimpangan itu
adalah bukti kelemahan personil tersebut. Sementara penilaian baik atau
buruknya pelaksanaan musyarakah haruslah dilihat dari capaian hasil secara
keseluruhan dengan menggunakan timbangan maslahat dan mudharat yang menyeluruh
dari berbagai sudut pandang. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Syaikh Ahmad
Ar-Raisuni, tokoh Harakah Tauhid wal Ishlah di Maroko: "Penyimpangan
personil merupakan bukti kelemahan orang yang bersangkutan, namun bukan berarti
tidak ada lagi diantara ummat ini yang akan berhasil dalam musyarakah.
Orang-orang baik jangan hanya berpikir tentang dua kemungkinan dalam
musyarakah: gagal lalu keluar atau larut dalam penyimpangan. Di
dalam ummat dan jamaah ini pasti ada tambang berharga yang mampu berhasil dalam
musyarakah. Kita melakukan ta'awun dalam shaf yang solid dan kokoh dalam rangka
terus mewujudkan keberhasilan musyarakah ini."[7]
Ikhwah fillah, tentunya kita
sepakat bahwa tarbiyah yang baik adalah syarat keberhasilan segala aktivitas
da'wah, karena tarbiyah adalah munthalaq dan asas kebaikan serta perubahan yang
kita inginkan dalam perjuangan ini. Oleh karenanya kader yang terlibat dalam
musyarakah siyasiyyah haruslah memiliki kualifikasi tarbawi yang baik sesuai
kebutuhan jabatan publik yang ia emban. Di samping itu kita juga harus
bersama-sama berusaha mewujudkan mashlahat musyarakah itu dan terus
mengawalnya, terutama di bidang tarbiyah nukhbawiyyah (pengkaderan) maupun
tarbiyah jamahiriyyah (perbaikan masyarakat secara umum). Pencapaian kemenangan
politik dalam musyarakah siyasiyyah hanyalah sarana da'wah guna mewujudkan
tujuan utamanya yakni tahqiqul' ubudiyyah lillahi wahdah (mewujudkan
penghambaan hanya kepada Allah semata) dalam naungan keadilan Islam. Apabila
tujuan utama da'wah ini terlupakan, lalu sarana menjadi tujuan, saat itulah
penyimpangan terjadi – semoga Allah menjaga kita.
[1]Fatwa
Mujamma Fuqaha Syariah di Amerika dalam mu'tamarnya yang ke-4 di Kairo
Mesir 28 Juli s/d 2 Agustus 2006 dengan sedikit perubahan.
[4]
Potongan hadits riwayat
Bukhari dalam shahihnya Bab "Sesungguhnya Allah akan membantu agama ini
dengan laki-laki pendosa" no 2834.
[5]
Siyasah Syar'iyyah, pasal
tentang "Sedikitnya sifat amanah dan kekuatan berkumpul pada
seseorang."
Wawasan saya jadi bertambah banyak, terima kasih banyak atas sharing ilmu yang diberikan.
ReplyDeleteBoleh donk folbacknya :) salam kenal bang.
Tes tes
ReplyDeleteWlkmslm..
ReplyDelete