Al
Qur'an banyak menjelaskan akan keterlibatan wanita dalam pergerakan da'wah
sehingga ini menjadi alasan bahwa wanita memiliki peran dalam amal jama’i (kerja
kolektif) dalam sebuah pergerakan yang terorganisasi, di samping itu,
berdasarkan pertimbangan lain bahwa seluruh peribadatan dalam Islam bersifat
kolektif, dan seluruh arahannya bersifat kolektif. Islam merupakan agama jamaah
yang tidak akan tegak kecuali dengan jamaah. Dalil dalil yang mendukung wanita
berada dalam sebuah jamaah pergerakan da'wah di antaranya:
Allah
berfirman: 'dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan (islam), menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar.' (Ali
Imron:104)
Allah
berfirman: 'orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka
menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar.' (At Taubah:71)
Allah
berfirman: 'Barang siapa yang mengerjakan amal-amal soleh baik laki-laki maupun
perempuan sedang dia beriman maka mereka itu masuk ke dalam surga dan tidak
dianiaya sedikitpun.' (QS 4:124)
Ayat-ayat
di atas merupakan dalil bagi wajibnya amal jama'i. Kata segolongan umat pada
bagian yang pertama bermakna jika umat ini seluruhnya tidak sanggup melakukan
da'wah kepada Allah, maka minimal ada sekelompok dari umat lain yang
melaksanakan tugas, baik dari kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Sedangkan
pada ayat yang kedua menegaskan pentingnya keterlibatan dan partisipasi
perempuan dalam amal ma'ruf dan nahi mungkar bersama laki-laki. Sebab aktivitas
da’wah bukan hanya pekerjaan kaum laki-laki saja, perempuan harus ikut ambil
bagian di dalamnya.
Karena itulah kedudukan wanita dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan
sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang
sangat besar serta kedudukan terhormat kepada wanita.
Syaikh
imam Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam
kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: “Kalau kita mengembalikan pandangan
ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan wanita menikmati
keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh wanita-wanita
di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan
keadaan wanita-wanita Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian
serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.”( Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu’attalat, Kairo, Dar
Al-Kutub Al-Haditsah, 1964, h. 138.)
Jika seluruh manusia baik laki-laki maupun wanita itu
diciptakan oleh Rabb mereka dari jiwa yang satu (Adam), dan dari jiwa yang satu
itu Allah menciptakan isterinya agar keduanya saling menyempurnakan– sebagaimana
dijelaskan oleh Al Qur’an–kemudian dari satu keluarga itu Allah
mengembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak, yang kesemuanya adalah
hamba-hamba bagi Tuhan yang Esa, dan merupakan anak-anak dari satu bapak dan
satu ibu, maka persaudaraanlah yang semestinya menyatukan mereka.
Oleh karena itu Al Qur’an memerintahkan kepada manusia
untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah dan memelihara hubungan kasih sayang
antara mereka. Firman Allah: .” .. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan
mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim.” (An-Nisa’: 1)
Dengan penjelasan Al Qur’an, ini maka laki-laki adalah saudara wanita dan wanita
adalah saudara kandung laki-laki.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya tiada lain wanita adalah saudara sekandung
kaum pria.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Thirmidzi)
Tentang persamaan antara wanita dan pria di dalam
kebebasan kewajiban beragama dan beribadah, Al Qur’an mengatakan sebagai
berikut:
“Sesungguhnya laki-laki dan wanita yang Muslim, laki-laki
dan wanita yang mu’min, laki-laki dan wanita yang tetap dalam ketaatannya,
laki-laki dan wanita yang jujur, laki-laki dan wanita yang sabar, laki-laki danwanita
yang khusyu ‘, laki-laki dan wanita yang bersedekah, laki-laki dan wanita yang
berpuasa, laki-laki dan wanita yang memelihara kehormatanrya, laki-laki dan wanita
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar.” (Al Ahzab: 35)
Di dalam masalah takalif (kewajiban-kewajiban) agama dan
sosial yang pokok, Al Qur’an menyamakan antara keduanya, sebagaimana firman
Allah SWT:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan wanita,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (At Taubah: 71)
Wanita dengan laki-laki adalah sama dalam hal bahwa
keduanya akan menerima pembalasan dari kebaikan mereka dan masuk surga. Allah
SWT berfirman:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki atau wanita. (karena) sebagian kamu adalah turunan
dari sebagian yang lain ….” (Ali ‘Imran: 195)
Dari ayat ini jelas sekali bahwa amal perbuatan seseorang
itu tidak akan sia-sia di sisi Allah SWT, baik laki-laki maupun wanita.
Keduanya adalah berasal dari tanah yang satu dan dari tabiat yang satu. Allah
SWT juga berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki
maupun wanita dalam keaanan beriman, maka Sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnnya akan Kami berikan balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” (An-Nahl: 97)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shalih, baik
laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke
dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (An-Nisa’: 124)
Karena
itu wanita memiliki peran yang sangat besar dalam hidupnya sebagaimana lelaki,
hal itu karena Allah telah memberikan kepada masing-masing peran yang dapat
diimplementasikan dalam segala aspek kehidupannya. Adapun peran wanita dalam
hidupnya dalam ditinjau pada beberapa aspek:
Islam datang, sementara kebanyakan manusia mengingkari
kemanusiaan wanita dan sebagian yang lain meragukannya. Ada pula yang mengakui
akan kemanusiaannya, tetapi mereka menganggap wanita itu sebagai makhluk yang
diciptakan semata-mata untuk melayani kaum laki-laki.
Maka merupakan ‘izzah dan kemuliaan Islam, karena dia
telah memuliakan wanita dan menegaskan eksistensi kemanusiaannya serta
kelayakannya untuk menerima taklif (tugas) dan tanggung jawab, pembalasan, dan
berhak pula masuk surga. Islam menghargai wanita sebagai manusia yang
terhormat. Sebagaimana kaum laki-laki, wanita juga mempunyai hak-hak
kemanusiaan, karena keduanya berasal dari satu pohon dan keduanya merupakan dua
bersaudara yang dilahirkan oleh satu ayah (bapak) yaitu Adam, dan satu ibu
yaitu Hawwa.
Islam telah menjadikan wanita sebagai istri yang
merupakan kekayaan paling berharga bagi suaminya dan menganggap istri yang
shalihah sebagai salah satu sebab kebahagiaan suami dalam membentuk rumah
tangga Islami.
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرًا
لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا
سَرَّتْهُ وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ
فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
“Seorang mukmin tidak memperoleh kemanfaatan
setelah bertaqwa kepada Allah Azza wa jalla yang lebih baik selain istri yang
shalihah, jika suami menyuruhnya dia taat, jika dipandang dia menyenangkan,
jika ia bersumpah kepadanya dia mengiyakan, dan jika Suami pergi (jauh dari
pandangan) maka dia memelihara diri dan harta (suami)nya” (HR. Ibnu Majah)
Rasulullah SAW bersabda:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا
الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia
adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR.
Muslim)
Rasulullah SAW bersabda:
مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ
آدَمَ ثَلَاثَةٌ وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ
الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ وَالْمَسْكَنُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الصَّالِحُ وَمِنْ
شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ الْمَرْأَةُ السُّوءُ وَالْمَسْكَنُ السُّوءُ وَالْمَرْكَبُ السُّوءُ
“Di
antara kebahagiaan anak Adam ada tiga dan kesengsaraan anak Adam ada tiga;
(adalah) istri shalihah, tempat tinggal yang baik, dan
kendaraan yang baik. Adapun kesengsaraan anak Adam adalah istri yang jahat,
tempat tinggal yang buruk dan kendaraan yang buruk”. (HR. Ahmad)
Islam mengangkat nilai wanita sebagai istri dan
menjadikan pelaksanaan hak-hak suami-istri itu sebagai jihad di jalan Allah.
Dalam
hadits disebutkan :
جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ، فَقَالَتْ: إِنِّي رَسُولُ
النِّسَاءِ إِلَيْكَ، وَمَا مِنْهُمِ امْرَأَةٌ عَلِمَتْ أَوْ لَمْ تَعْلَمْ إِلا وَهِيَ
تَهْوَى مَخْرَجِي إِلَيْكَ، اللَّهُ رَبُّ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالَهُهُنَّ،
وَأَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ إِلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ كُتِبَ الْجِهَادُ عَلَى الرِّجَالِ،
فَإِنْ أَصَابُوا أَثْرُوا، وَإِنِ اسْتُشْهِدُوا كَانُوا أَحْيَاءً عِنْدَ رَبِّهِمْ
فَمَا يَعْدِلُ ذَلِكَ مِنْ أَعْمَالِهِمْ؟ قَالَ:طَاعَةُ أَزْوَاجِهِنَّ وَالْمَعْرِفَةُ
بِحُقُوقِهِمْ وَقَلِيلٌ مِنْكُنَّ تَفْعَلُهُ.
Ada seorang wanita datang kepada Nabi SAW bertanya,
“Wahai RasuIullah, sesungguhnya aku adalah delegasi wanita yang diutus kepadamu
dan tidak ada satu wanita pun kecuali agar aku keluar untuk menemui engkau.” Kemudian
wanita itu mengemukakan permasalahannya dengan mengatakan, “Allah adalah
Rabb-nya laki-laki dan wanita dan ilah mereka. Dan engkau adalah utusan Allah
untuk laki-laki dan wanita, Allah telah mewajibkan jihad kepada kaum laki-laki
sehingga apabila mereka memperoleh kemenangan akan mendapat pahala, dan apabila
mati syahid mereka akan tetap hidup di sisi Rabb-nya dan diberi rizki. Amal
perbuatan apakah yang bisa menyamai perbuatan mereka dari ketaatan? Nabi SAW
menjawab, “Taat kepada suami dan memenuhi hak-haknya tetapi sedikit dari kaum
yang bisa melaksanakannya.” (HR. Tabrani)
Isteri yang baik secara total akan mudah melahirkan
rumahtangga bahagia tetapi sebaliknya isteri yang tidak memahami akan
tanggungjawabnya sudah pasti akan melahirkan rumahtangga yang kucar-kacir. Kita sedar
dan faham rumahtangga yang bahagia lahir daripada isteri yang soleh. Dan wanita
adalah penentu buruk dan baik suatu masyarakat. Seabagaimana masyarakat yang
baik lahir dari rumahtangga dan keluarga yang bahagia. Rumahtangga yang bahagia
berasal dari isteri yang memiliki akhlakul karimah, memenuhi tanggungjawab dan
memahami hak dan kewajibannya terhadap suami.
a.
Kewajiban istri terhadap suami
·
Memahami hak-hak suami
Suami shaleh kebanyakan dibelakangnya ada istri shalehah.
Laki-laki dalam menjalankan tugasnya baik di dalam atau di luar rumah sering
mendapat kendala ujian dan cobaan. Kegoncangan jiwanya kadang-kadang tidak
mampu mengendalikannya sendiri. Nah, saat-saat seperti inilah peran dan bantuan istri sangat dibutuhkan. Istri yang shalehah selalu memberi dorongan
untuk terus maju memberi siraman ruhiyyah agar tetap semangat dalam menapaki
duri-duri jalanan, memberi bensin untuk tetap berjalan di atas rel Islam.
Ketika suami sedang panas tidak selayaknya istri mengompori, tapi berusaha
untuk meredam dan mendinginkan agar suami sadar dan sabar.
Banyak sekali suami terjerumus ke lembah hina disebabkan
istrinya tidak bisa membimbing ke arah yang baik. Juga tidak sedikit suami
dulunya kurang baik setelah beristri justru ia makin membaik. Oleh sebab itu,
wahai para ibu-ibu shalehah marilah kita dukung suami kita untuk menjadi suami
yang shaleh. Mencurahkan tenaga, pikiran, bahkan nyawa untuk tegaknya Islam di
muka bumi dengan tidak membebaninya dengan tugas-tugas rumah yang mana pabila
kita mengerjakannya dengan ikhlas, kita akan dapat pahala dan suami kita
semakin sayang pada kita.
Semangat di medan dakwah dan juang, marilah kita berikan
waktu seluas-luasnya pada suami kita untuk mencurahkan waktu hidupnya untuk
Islam tercinta. Istri selain sebagai motor bagi suami, ia juga dibebani
kewajiban-kewajiban terhadap suaminya agar tercipta keluarga-keluarga yang
sakinah, mawaddah warohmah. Karena dari keluarga inilah akan terbentuk mujama’ mitsaly dan dari mujtama’- mujtama’ ini akan terbentuk daulah Islamiyyah.
Diantara sifat wanita shalihah adalah menjadi istri yang
baik terhadap suaminya, memahami dirinya sebagai pendamping suami yang memiliki
kewajiban terhadap orang yang dikasihi, dan diantara kewajiban tersebut adalah
memahami hak-hak suami, antara lain:
- Taat
Suami
memiliki hak terhadap istrinya untuk ditaati dalam seluruh perkara asalkan
bukan perkara maksiat kepada Allah SWT.
Rasulullah
Saw bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Hanyalah
ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan
beliau Saw pun memperingatkan:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak
ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah SWT.” (HR. Ahmad)
Taat ini merupakan asas ketenangan karena suami sebagai
qawwam (pemimpin) tidak akan bisa melaksanakan kepemimpinannya tanpa ketaatan.
Dan ketaatan kepada suami ini lebih didahulukan daripada melakukan
ibadah-ibadah sunnah. Nabi saw bersabda:
لاَ يِحِلُّ لِلْمَرْأَةِ
أَْنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا
شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara
suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapatkan izin suaminya.” (HR.
Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Hadits ini
menunjukkan bahwa lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami
daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah, karena hak suami itu wajib
sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara
yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/356)
“Wajib bagi wanita/ istri untuk taat kepada suaminya
dalam perkara yang ia perintahkan dalam batasan kemampuannya, karena hal ini
termasuk keutamaan yang Allah berikan kepada kaum lelaki di atas kaum wanita, sebagaimana
dalam ayat:
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa
: 34).
dan ayat:
“Dan bagi kaum
lelaki kedudukannya satu derajat di atas kaum wanita.”
(Al-Baqoroh : 228)
- Menjaga
rahasia dan kehormatan suami
Menjaga rahasia suami dan kehormatannya adalah
kewajiban istri terhadap suaminya sehingga menumbuhkan
kepercayaan suami secara penuh terhadapnya. Apalagi dalam hal menjaga harta suami.
Rasulullah Saw bersabda:
خَيْرُ نِسَاءِ رَكِبْنَ اْلإِبِل صَالِحُ نِسَاءِ فُرَيْشٍ: أَحْنَاهُ عَلَى
وَلَدٍ فِي صَغِيْرِهِ, وَأَرْعَاهُ
عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
“Sebaik-baik wanita penunggang unta, wanita Quraisy yang
baik, adalah yang sangat penyayang terhadap anaknya ketika kecilnya dan sangat
menjaga suami dalam apa yang ada di tangannya.” (HR. Al-Bukhari)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Hadits ini
menunjukkan keutamaan sifat kasih sayang (dari seorang ibu), tarbiyah yang
baik, mengurusi anak-anak, menjaga kesucian dan kehormatan suami dan hartanya,
mengurusi dan mengaturnya dengan cara yang baik.” (Fathul Bari, 9/152)
- Memberikan
pelayanan tiada henti
Diantara
kewajiban istri terahdap suami adalah berusaha memberikan pelayanan yang
maksimal terhadap suami, sehingga suami dapat terpuaskan olehnya. Baik
pelayanan dari segi dzahir dan bathin, materi dan inmateri, dan pelayanan
lainnya.
Betapa
agungnya hak suami terhadap istrinya andai ada manusia yang boleh bersujud
kepadanya, maka suamilah yang tertuju, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh
Rasulullah saw.:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةََ
أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى
لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Seandainya
aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku
perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.Dan tidaklah seorang
istri dapat menunaikan seluruh hak Allah SWT terhadapnya hingga ia menunaikan
seluruh hak suaminya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya
jima’) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta)
maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).”. (HR. Ahmad)
Al-Hushain
bin Mihshan rahimahullahu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat
Nabi Saw karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut,
Rasulullah Saw bertanya kepadanya:
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ.
قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ.
قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah
engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap)
engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah
mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah
bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu,
karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad).
- Selalu tersenyum
Wanita
shalihah itu murah senyum, karena senyum sendiri adalah shadaqah. Namun, tentu
saja senyumnya proporsional. Tidak setiap laki-laki yang dijumpainya diberikan
senyuman manis. Intinya, senyumnya adalah senyum ibadah yang ikhlas dan tidak
menimbulkan fitnah bagi orang lain. Karena itula ciri wanita shalihah dan istri
yang taat adalah selalu tersenyum dihadapan suami walau dalam keadaan
bagaimanapun, berusaha menjadi penghibur dikala duka, dan menjadi pelipur lara
disaat luka.
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرًا
لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا
سَرَّتْهُ وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ
فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mukmin tidak memperoleh
kemanfaatan setelah bertaqwa kepada Allah Azza wa jalla yang lebih baik selain
istri yang shalihah, jika suami menyuruhnya dia taat, jika dipandang dia
menyenangkan, jika ia bersumpah kepadanya dia mengiyakan, dan jika Suami pergi
(jauh dari pandangan) maka dia memelihara diri dan harta (suami)nya” (HR. Ibnu
Majah)
Selain
senyum wanita sholihah juga dapat memperlihatkan diri dengan berhias untuk
suaminya sehingga selalu terlihat cerah dan indah. Diriwayatkan bahwa sesungguhnya Ibnu Abbas pernah berdiri di depan cermin
untuk memperbagus penampilannya. Ketika ditanya beliau menjawab, “Aku berhias
untuk istriku sebagaimana istriku berhias untukku,” kemudian membacakan ayat
yang artinya: “Dan para wanita mernpunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
.” (Al Bagarah: 228)
·
Meningkatkan pelayanan secara proporsional
Wajib bagi istri untuk berusaha sekuat tenaga lebih profesional di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dan tidak mempersoalkan
kekurangan-kekurangan yang ada pada suaminya. Wajib baginya untuk memperbaiki
kekurangan-kekurangan ini dengan cara tidak memberitahukan kepada suaminya.
Maka seandainya seorang suami tidak memperhatikan dalam meletakkan pakaian pada
tempat yang semestinya dan dia meletakkan pakaian-pakaian tersebut di atas
kursi dan sofa, maka mau tidak mau sang istri dituntut untuk mengambil dan
meletakkan pada tempatnya yang sekiranya tempat tersebut dapat menjaga
keindahan/keserasiannya.Bila kebiasaan itu telah terjadi dan istri sedang dalam
keadaan sakit, maka sang suami merasakan kesusahan, dia akan berusaha untuk
menggantikan posisi sang istri dalam mengurus rumahnya, dia akan meletakkan
pakaian pada tempat yang semestinya dan mulai dari sanalah dia akan
melaksanankan kebiasaan yang baik tersebut.
b.
Hak-hak istri dari suaminya
Islam telah menetapkan untuk istri hak-hak yang wajib
dipenuhi oleh suaminya. Hak-hak itu tak sekedar tinta di atas kertas, akan
tetapi Islam menjadikan lebih dari itu yaitu yang mampu memelihara dan
mengawasi.
Memahami
hak-hak istri
1. Mendapat
nafkah
Seorang suami diwajibkan untuk mencukupi makanan,
pakaian, tempat tinggal dan pengobatan kepada istrinya.
Allah SWT berfirman: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannnya. Dan orang
yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadannya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
(sekedar) apa yang Allah berikan kesanggupan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (At-Thalaq:7)
Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari
ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah ra. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah Saw:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا
حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا
عَلَيْهِ؟ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ
تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ
وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari
kami terhadap suaminya?” Rasulullah Saw menjawab: “Engkau beri makan istrimu apabila
engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau
memukul wajahnya, jangan menjelekkannya Maksudnya: mengucapkan kepada istri
ucapan yang buruk, mencaci makinya, atau mengatakan padanya, “Semoga Allah
menjelekkanmu”, atau yang semisalnya. dan jangan memboikotnya (mendiamkannya)
kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits ‘Aisyah ra, ia mengabarkan bahwa Hindun
bintu ‘Utbah ra, istri Abu Sufyan ra datang mengadu kepada Rasulullah Saw:
يَا رَسُوْلَ اللهِ،
إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ
شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ.
فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ
بِالْمَعْرُوْفِ
“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit [Hindun tidaklah menyatakan bahwa Abu Sufyan bersifat pelit dalam
seluruh keadaannya. Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama suaminya
di mana suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan untuk anaknya. Hal ini
tidaklah berarti Abu Sufyan memiliki sifat pelit secara mutlak. Karena betapa
banyak di antara para tokoh/ pemuka masyarakat melakukan hal tersebut kepada
istrinya/keluarganya dan lebih mendahulukan/mementingkan orang lain (bersifat
dermawan kepada orang lain). (Fathul Bari, 9/630)]. Ia tidak memberiku
nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari
hartanya tanpa sepengetahuannya [Dalam riwayat Muslim, Hindun bertanya:
فَهَلْ عَلَيَّ فِي
ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟
“Apakah aku berdosa bila melakukan hal itu?”].” Bersabdalah Rasulullah Saw, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang
dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR.
Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)
2.
Mempergauli istri dengan baik.
Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut
(ma’ruf) dan dengan akhlak mulia. Allah SWT berfirman:
“Bergaullah kalian
dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka
bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Rasulullah Saw bersabda:
أَكْمَلُ
الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling
baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap
istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan
ayat dalam surah An-Nisa` di atas, menyatakan: “Yakni perindahlah ucapan kalian
terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian
sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian,
maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah SWT berfirman dalam hal
ini:
“Dan para istri
memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.”
(Al-Baqarah: 228)
Rasulullah Saw sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya
(istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap
keluarga (istri)-ku.”
Sirah Nabawiyah secara aplikatif telah membuktikan
kelembutan RasuIullah SAW terhadap keluarganya dan akhlaq beliau sangat mulia
terhadap para istrinya. Sampai-sampai Rasulullah SAW sering membantu para
istrinya untuk menyelesaikan tugas-tugas di rumah dan di antara kelembutan
Rasulullah SAW adalah bahwa beliau pernah mendahului Aisyah berlomba lari dua
kali, lalu Aisyah mengalahkan beliau sekali dan sekali lagi dalam kesempatan
yang lainnya. Maka beliau berkata kepada Aisyah “Ini dengan itu (skor sama).”
Ketika haji Wada’, Rasulullah Saw menyampaikan khutbah di
hadapan manusia. Di antara isi khutbah beliau adalah:
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ
عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا،
وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ،
وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ
لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri
kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka
adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk
menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian
benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah
kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR.
At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
3.
Mendapat
nasihat yang baik
Suami
yang baik adalah yang selalu member nasihat (saling menasihati diantara
keduanya), karena dengan itulah akan terjalin saling membantu dalam kebaikan
dan mencegah kemungkaran.
Allah SWT
berfirman :
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran. (Al-Ashr : 1-3)
Adab
nemberi nasihat :
1. Berikan nasihat dengan niat ikhlash, jangan mengharap apapun di balik
nasihat itu selain keridhaan Allah ., sehingga anda terlepas dari kewajiban.
Bukan untuk tujuan riya` atau mendapat perhatian orang atau ketenaran atau niat
membalas menjatuhkan orang yang anda nasihati.
2. Sampaikanlah nasihat dengan cara yang baik dan tutur kata yang lembut
dan mudah dipahami hingga dapat berpengaruh kepada orang yang anda nasihati dan
mau menerimanya. Allah . berfirman, “Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah, nasihat yang baik dan debatlah ia dengan cara yang lebih baik.”
(An-Nahl: 125)
3. Nasihatilah seseorang di saat sendirian, karena yang demikian itu lebih
mudah ia terima. Sebab jika anda menasihati saudara anda ketika sedang bersama
banyak orang maka berarti anda telah mencemarkannya, dan jika anda
menasihatinya secara rahasia maka anda telah menghiasinya. Imam Syafi`i
berkata, “Berilah aku nasihat secara berduaan, dan jauhkan aku dari nasihatmu
di tengah orang banyak; karena nasihat di tengah-tengah orang banyak itu
mengandung makna celaan yang aku tidak suka mendengarnya.”
4. Fahami betul dengan apa yang anda nasihatkan, dan berhati-hatilah dalam
menukil pembicaraan agar anda tidak dipungkiri, dan suruhlah berdasarkan ilmu;
karena itulah yang lebih mudah untuk diterima.
5. Perhatikan kondisi orang yang akan anda nasihati. Janganlah menasihati
di saat seseorang sedang kalut, atau sedang bersama rekan-rekan atau
kerabatnya. Dan pahamilah perasaan, kedudukan, pekerjaan dan kesulitan orang
yang anda nasihati.
6. Jadilah teladan bagi orang yang akan anda nasihati. Allah . berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu
perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tiada kamu kerjakan.” (Ash-Shaff : 2-3)
7. Jadilah orang yang sabar dan bersabarlah terhadap kemungkinan yang
menimpa. Allah berfirman, “Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang ma`ruf dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
munkar dan sabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman: 17) Luqman menyuruh
anaknya untuk sabar terhadap kemungkinan yang terjadi karena ia memerintah
orang lain mengerjakan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Ingatlah beramar
ma’ruf dan nahi mungkar dengan cara sabar adalah kewajiban setiap muslim.
4. Hak
mendapat pendidikan dan pengajaran
Terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang
berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada
lelaki maupun wanita. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau
belajar,
Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan… Keistimewaan
manusia yang menjadikan para malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah
karena makhluk ini memiliki pengetahuan (QS 2:31-34).
Baik lelaki maupun wanita diperintahkan untuk menimba
ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar.
Nabi
saw bersabda :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ
عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (HR. Ibnu Majah).
Para wanita di zaman Nabi saw. menyadari benar kewajiban
ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu
tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan.
Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi saw.
Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang
berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran
menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia
alam raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang
dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum wanita.
Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan
di atas. Setelah Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya
bahwa:
Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan
berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal
di antara kamu, baik lelaki maupun wanita…” (QS 3:195).
Ini berarti bahwa kaum wanita dapat berpikir, mempelajari
dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta
apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya
tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat
dipahami bahwa wanita bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan
dan kecenderungan mereka masing-masing.
Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam
berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh
lelaki. Istri Nabi, Aisyah ra, adalah seorang yang sangat dalam pengetahuannya
serta dikenal pula sebagai kritikus. Sampai-sampai dikenal secara sangat luas
ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad
saw.:
Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari
Al-Humaira’ (Aisyah).
Demikian juga Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali
bin Abi Thalib. Kemudian Al-Syaikhah Syuhrah yang digelari Fakhr Al-Nisa’
(Kebanggaan Wanita) adalah salah seorang guru Imam Syafi’i
(tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di
seluruh dunia), dan masih banyak lagi lainnya.
Imam Abu Hayyan mencatat tiga nama wanita yang menjadi
guru-guru tokoh mazhab tersebut, yaitu Mu’nisat Al-Ayyubiyah (putri Al-Malik
Al-Adil saudara Salahuddin Al-Ayyubi), Syamiyat Al-Taimiyah, dan Zainab putri
sejarahwan Abdul-Latif Al-Baghdadi. Kemudian contoh
wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat adalah
Al-Khansa’, Rabi’ah Al-Adawiyah, dan lain-lain.
Rasul saw. tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar
hanya terhadap wanita-wanita merdeka (yang memiliki status sosial yang tinggi),
tetapi juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena
itu, sejarah mencatat sekian banyak wanita yang tadinya budak belian mencapai
tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam
belum lagi sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak
membedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga
seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka
tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang
berkembang dewasa ini.
Dalam hal ini, Syaikh Muhammad ‘Abduh menulis: “Kalaulah
kewajiban wanita mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka
sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan
rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan
persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu,
tempat dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal keagamaan.
Demikian sekilas menyangkut hak dan kewajiban wanita
dalam bidang pendidikan.
Tentunya masih banyak lagi yang dapat dikemukakan
menyangkut hak-hak kaum wanita dalam berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir
yang dapat ditarik adalah bahwa mereka, sebagaimana sabda Rasul saw., adalah
Syaqa’iq Al-Rijal (saudara-saudara sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya
serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan,
maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan
kepada masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaan yang ada tidak
mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain,
karena bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi wanita
juga ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bermohonlah kepada
Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS
4:32).
Seorang suami hendaknya memotivasi istrinya untuk
menuntut ilmu dan berusaha menjadikan ilmu sebagai ladang untuk saling
meningkatkan kapasitas kehidupan rumah tangganya, keharmonisan, sakinah
mawaddah warahmah akan terwujud jika masing-masing dari suami istri memiliki
pengetahuan akan hak dan kewajibannya.
·
Ridlo dengan kondisi suami
Hendaknya
isteri selalu rela dan bersuka ria dengan kondisi suami serta bersyukur
(berterima kasih) atas segala pemberian dan kebaikan suami kepadanya dan
janganlah isteri mengingkari kebaikan suaminya.
Dapat
mendampingi suami dalam suka dan duka. Karena roda kehidupan selalu berputar,
kadang manusia mengalami saat-saat yang menggembirakan dimana kehidupan
berjalan sesuai dengan harapan. Adakalanya manusia mengalami hal yang
sebaliknya. Nah, apapun keadaan yang dialami suami, berusahalah istri menjadi
pendampingnya yang setia. Disaat suka menjadi pengingat agar suami tidak
terlena, disaat duka menjadi pelipur lara.
c.
Adab-adab suami istri
·
Saling menyebutkan kebaikan masing-masing
·
Saling menghormati dan menghargai
·
Saling memberikan pelajaran dan tauladan
kepada anak
2.
Wanita sebagai ibu
Keberadaan seorang wanita sebagai istri dan ibu dalam
keluarga memiliki arti yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan dia merupakan
satu tiang yang menegakkan kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam
mencetak “orang-orang besar.” Sehingga tepat sekali bila dikatakan: “Di balik
setiap orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya.”
Peran
wanita sebagai ibu adalah sangat penting dan berharga dalam kehidupan suatu
keluarga, terutama untuk anak-anaknya.
·
Hak-hak
anak-anaknya
Tumbuh dan berkembangnya satu generasi pada awalnya
berada dalam asuhan wanita. Dengan ini kewajiban wanita adalah memperbaiki
masyarakat.
Hendaklah dipahami oleh para wanita bahwa pekerjaan
berkhidmat pada keluarga merupakan satu ibadah kepada Allah SWT. Pekerjaan di
dalam rumahnya bukanlah semata-mata gerak tubuhnya, namun pekerjaan itu memiliki
ruh yang bisa dirasakan oleh orang yang mengerti tujuan kehidupan dan rahasia
terwujudnya insan.
Rasulullah Saw pernah bersabda:
إِذَا صَلَّتِ
الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا،
وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu,
puasa di bulan Ramadhan, ia menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya maka
ia akan masuk surga dari pintu surga mana saja ia inginkan”. (HR. Ahmad,
“Hadits ini hasan atau shahih, ia memiliki banyak jalan.”)
Surga sebagai tempat yang sarat dengan kenikmatan yang
kekal abadi dapat dimasuki seorang wanita yang menyibukkan dirinya dengan
ibadah kepada Allah, menjaga kehormatan dirinya dan taat kepada suaminya, dan
tentunya semua ini dilakukan oleh seorang wanita di dalam rumahnya.
-
Ibu
merangkap sebagai murabbiyah
Seorang ibu harus mampu
menjadi seorang murabbiyah yang selalu memberikan arahan dan taujih kepada
anaknya, mengajarkan islam secara kaffah dan menjadi tauladan yang dapat ditiru
oleh anaknya secara baik. Sehingga tumbuh-kembangnya anak menjadi lebih optimal
oleh karena pengawasan orang tua terutama seorang ibu terhadap anaknya
sekaligus menjadi pembimbing dalam kehidupannya. Allah SWT berfirman : “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim : 6)
1.
Memahami bagaimana mendidik anak
Seorang
ibu harus memahami bagaimana mendidik anak-anak dengan
baik, karena mendidik anak merupakan salah satu tanggung jawab yang agung, tugas itu
merupakan tanggung jawab yang besar. Oleh karena laki-laki
lebih banyak kesibukannya daripada wanita dan lebih sedikit tinggal di rumah.
Adapun seorang ibu lebih dekat kepada anak-anaknya dan lebih banyak di rumah.
Seorang wanita hendaknya bisa mendidik anak-anaknya
dengan baik, karena anak-anak adalah harapan di masa depan. Pada awal
pertumbuhan-nya, anak-anak lebih banyak bergaul dengan ibu mereka. Jika sang
ibu memiliki akhlak dan perilaku yang baik, maka kelak anak-anak tersebut akan
mempunyai andil yang sangat besar di dalam memperbaiki masyarakat.
Oleh karenanya, seorang wanita yang memiliki anak-anak
harus memperhatikan pendidikan mereka. Seandainya ia sendiri tidak mampu untuk
memperbaiki dan mendidik mereka maka hendaknya ia meminta bantuan dari ayah
anak-anak tersebut. Jika anak-anak sudah tidak punya ayah, maka bisa meminta
bantuan kepada wali mereka, seperti: Saudara, paman, anak saudara (keponakan)
dan selainnya.
Seorang wanita juga tidak boleh menyerah dengan keadaan
dan berdiam diri sebab jika demikian maka perubahan dan perbaikan tak akan bisa
terlaksana dengan baik.
Syauqi mengatakan “Ibu ibarat madrasah, jika kau
persiapkan maka sesungguhnya anda sedang menyiapkan bangsa (besar) yang wangi
keringatnya.”
Wanita adalah guru pertama bagi sang anak, sebelum
dididik orang lain. Sejak ruh ditiupkan ke dalam rahim, proses pendidikan sudah
dimulai. Sebab mulai saat itu, anak telah mampu menangkap rangsangan-rangsangan
yang dberikan oleh ibunya. Ia mampu mendengar dan merasakan apa yang dirasakan
ibunya. Bila ibunya sedih dan cemas, ia pun merasakan demikian. Sebaliknya,
bila ibunya merasa senang, ia pun turut senang.
Allah
SWT berfirman :
"Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An-Nisa 4:9)
Pendidikan
anak sangat disarankan dimulai sejak dini, bahkan sejak dalam kandungan. Ketika
sang ibu rajin beribadah, insya Allah, kelak janin yang dikandungnya akan
menjadi ahli ibadah. Ketika sang ibu rajin membaca Al Qur’an, insya Allah,
kelak anak yang dilahirkannyanya pun akan mencintai Al Qur’an. Ketika sang ibu
sangat berhati-hati menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan, insya Allah,
kelak anaknya pun akan menjadi hamba-Nya yang ikhsan.
Betapa
besarnya peranan seorang wanita dalam mencetak generasi robbani. Sebagaimana
visi pernikahannya untuk menjadikan rumah tangga sebagai lahan tumbuhnya
generasi yang akan menegakkan panji islam. Generasi yang tumbuh dalam rumah
tangga yang menjadi pusat kaderisasi terbaik.
Ketika
sang anak hadir ke dunia, sebuah tugas sangat berat telah diemban di pundak
seorang ibu. Tugas mendidiknya, membekalinya dengan life-skill, agar kelak
anaknya siap terjun ke dunia yang berubah dengan cepatnya setiap hari. Sepuluh
atau 15 tahun lagi, akan sangat berbeda kondisinya dengan masa kini.
Ketika sang anak mulai banyak bertanya, “Ini apa?”, “Itu apa?”, ”Kenapa begini?”, Kenapa begitu?”, seorang ibu dituntut untuk dapat memberikan jawaban yang terbaik. Jawaban yang tidak mematikan rasa ingin tahu anak, bahkan sebaliknya, jawaban yang membuat anak semakin terpacu untuk belajar.
Ketika sang anak mulai banyak bertanya, “Ini apa?”, “Itu apa?”, ”Kenapa begini?”, Kenapa begitu?”, seorang ibu dituntut untuk dapat memberikan jawaban yang terbaik. Jawaban yang tidak mematikan rasa ingin tahu anak, bahkan sebaliknya, jawaban yang membuat anak semakin terpacu untuk belajar.
Masa
yang penting ini, yang disebut golden-age, masa di mana anak sangat mudah
menyerap segala informasi, belajar tentang segala sesuatu. Dan ibu adalah orang
yang terdekat dengan anak, yang lebih sering berinteraksi dengan anak.
Menjadilah ibu sebagai sumber ilmu, pendidik pertama bagi anak-anak, yang
menanamkan pondasi awal dan utama bagi generasi yang akan menjadi pemimpin masa
depan ini.
Ketika anak
mulai memasuki dunia sekolah, tugas ibu tak lantas menjadi tergantikan oleh
sekolah. Bahkan sang ibu dituntut untuk dapat mengimbangi apa yang diajarkan di
sekolah.
Peran
yang demikian strategis ini, menuntut wanita untuk membekali dirinya dengan
ilmu yang memadai. Maka, wanita harus terus bergerak meningkatkan kualitas
dirinya. Karena, untuk mencetak generasi yang berkualitas, dibutuhkan pendidik
yang berkualitas pula. Hal itu berarti, seorang wanitia tidak boleh berhenti
belajar.
2.
Kewajiban ibu terhadap anak-anaknya
Kewajiban
seorang ibu terhadap anak-anaknya adalah memberikan pendidikan yang terbaik,
sehingga kelak ketika dewasa mereka akan menjadi generasi penerus bagi agama
dan bangsa.
Dan
dalam mendidik anak bagi seorang ibu perlu memperhatikan hal berikut :
A. Tarbiyah Ruhiyyah.
1. Pendidikan Akidah.
Bagaimana seorang ibu mampu menanamkan akidah sedini
mungkin, sehingga anak meyakini bahwa kita hidup tidak semau kita. Tapi di sana
ada pengatur, pengawas tujuan hidup, akhir dari kehidupan. Kemudian meyakini
bahwa apa yang terjadi pada kita, pasti akan kembali pada sang khalik. Hal itu
terangkum dalam rukun iman yang enam. Ketika ia besar, ia tidak lagi ragu dan
bingung mencari jati diri. Siapakah aku? untuk apa aku hidup? siapakah yang
harus aku ikuti dan dijadikan idola ? Dan seterusnya.
2. Pendidikan Ibadah
Ketika ibu menjalani kehamilan sampai melahirkan,
tidaklah berat baginya untuk mengajak si calon bayi untuk ikut serta dalam
melakukan ibadah harian. Seperi: sholat, puasa, baca Alquran, berdoa,
berdzikir, dan lain sebagainya. Walau mungkin anak tidak paham apa yang
dilakukan dan diinginkan ibunya, tapi ketika ia menginjak dewasa (baligh), Insya Allah ibadah-ibadah tadi akan mudah diajarkan. Sebab sudah sering melihat dan
mendengar, sehingga takkan terasa berat menjalaninya.
3. Pendidikan Akhlak.
Pembiasaan akhlak yang baik tidak perlu menunggu anak
dewasa. Dari sini harus sudah dibiasakan. Sebab kebiasaan yang baik, kalau
tidak dibiasakan dalam waktu yang lama, sangat sulit untuk menjadi akhlak. Justru
ketika kebiasaan baik tidak ada dalam diri kita, dengan sendirinya kebiasaan
buruk akan menghiasinya tanpa harus dibiasakan.
Jika semenjak dalam kandungan seorang anak dibiasakan
mencintai orang lain, maka ketika lahir, ia pun akan berusaha untuk mencintai
orang lain. Apabila sfat-sifat sabar, tawadlu, itsar, tabah, pemurah, suka
menolong orang lain dan sebagainya dibiasakan, insya Allah ketika anak sudah
paham dan mengerti, akhlak-akhlak tadi akan menghiasi kehidupannya.
Oleh sebab itu, Rasul menganjurkan kepada para pemuda
yang sudah waktunya nikah, untuk memilih calon istrinya seorang wanita yang
beragama dan berakhlak baik. Sebab dari wanita inilah, akan terlahir generasi
yang beragama dan berakhlak baik juga. Ibu seperti inilah yang akan mengajarkan
tuntunan agama yang telah terbiasa dan tertathbiq dalam dirinya. Di antara
tuntunan tersebut adalah akhlak yang mulia. Sedangkan wanita yang cantik,
pintar, atau kaya tidak menjamin akan melahirkan anak-anak yang berakhlak
mulia.
B. Tarbiyah Aqliyyah.
Kata seorang penulis puisi, “Otak tidak diasah, akan
tumpul”. Pengasahan otak semenjak kecil akan lebih bagus, ketimbang jika sudah
besar. Bagai sebuah pisau, semakin lama waktu mengasahnya, maka akan semakin
tajam. Dalam nasyid juga disebutkan, “Belajar diwaktu kecil, bagai mengukir di
atas batu”. Tapi seorang ibu juga harus bijaksana dalam hal ini. Jangan
sembarangan dalam memberikan buku-buku bacaan, untuk mengasah otak. Cukup
banyak buku-buku yang ingin menghancurkan generasi Islam.
C. Tarbiyah Jasadiyyah.
Pendidikan inilah yang sering mendapat perhatian dan jadi
topik pembicaraan para ibu yang baru mempunyai anak. Rangsangan-rangsangan ibu
berupa olah-raga balita, sangat membantu anak dalam perkembangan tubuhnya.
Percepatan proses semenjak si anak tengkurap, merangkak, jalan dan lari, tidak
bisa dibiarkan sendiri. Namun bantuan ibu untuk melakuan gerakan-gerakan itu
sangatlah dibutuhkan anak. Karena pada hakikatnya, insting yang dimiliki anak
belum mampu menjangkau apa yang harus ia lakukan agar bisa berbuat seperti
orang dewasa. Contoh kecilnya, ketika lahir, Rasulullah menyuruh para orang tua
untuk mentahniq dengan memijat langit-langit mulut agar mampu mengisap air susu
ibunya. Olah raga atau tarbiyyah jasadiyyah ini tidak terbatas pada usia
balita, tapi bahkan sampai dewasa dan tua.
-
Ibu
yang merangkap sebagai dokter dan teman
Seorang
ibu juga harus mampu menjadi seorang dokter yang senantiasa menjaga anaknya
dari sakit, mengarahkannya untuk hidup sehat dan bersih sehingga terhindar dari
sakit. Seorang dokter adalah orang yang mampu mendiagnosa pasien begitupun
seorang ibu harus mampu mendiagnosa anaknya jika jatuh sakit, apalagi jika
sakitnya adalah sakit maknawi seperti gelisah, suka marah, suka bingung dan
lain-lainnya.
Sebagaimana
seorang ibu juga harus mampu menjadi seorang teman bagi anaknya, siap diajak
bermain dan bercanda kapan dan dimana saja, teman untuk ngobrol, curhat dan
bertukar fikiran sehingga anaknya merasa ada tempat berbagi dan bertukar
pendapat.
·
Mengkondisikan anak-anak dengan kehidupan
dakwah
Seorang
ibu hendaknya berusaha untuk menkondisikan anak dengan kehidupan dakwah
terutama dalam hal amar ma’ruf dan nahi mungkar (saling mengajak pada kebaikan
dan mencegah kemungkaran), saling nasihat menasihati, tolong menolong dalam
kebaikan, sehingga mereka terbiasa untuk berdakwah dan mengajak orang lain pada
kebaikan.
3.
Wanita sebagai anak
- Memahami
hak-hak dan kewajiban orang tua dan keluarga
Dalam
Al-Quran banyak disebutkan hak orang tua atas anaknya, seperti dalam
ayat-ayatnya :
Dan
Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.(Al-Isra :
23) dan firman Allah : “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu. (Luqman : 14) dan firman Allah : “Dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik. (Luqman : 15).
Dan
nabi saw menjadikan berbakti kepada kedua orang tua sebagai kerja yang besar
dan mendatangkan pahala yang besar pula seakan berjihad di jalan Allah,
sebagaimana durhaka pada kedua orang tua merupakan perbuatan dosa besar.
Karena
itu wanita muslimah hendaknya menunaikan hak orang tua; dengan berbakti kepada
keduanya, mentaati keduanya selama bukan pada maksiat kepada Allah, berusaha
mendahulukan semampunya untuk membantu dan menolong kedua orang tua selama
hidupnya, menyambung tali silaturrahim kepada kerabat dan kolega selama
hidupnya setelah keduanya meninggal, dan selalu mendoakan kedua orang tuanya.
Berbakti
kepada kedua orang tua dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi,
bahkan disejajarkan dengan dua kewajiban besar yang wajib ditunaikan oleh
seorang muslim; yaitu shalat dan jihad di jalan Allah. Dalam hadits disebutkan
:
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ
إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ
الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Ketika
Rusulullah saw ditanya : Amal apakah yang paling dicintai Allah ? beliau
bersabda : “Shalat tepat pada waktunya”. Dia berkata : kemudian apa? Baliau
menjawab : “Berbakti kepada kedua orang tua”. Dia berkata : kemudian apa? Dia
berkata : “Jihad di jalan Allah”. (HR. Bukhari).
4.
Wanita sebagai anggota masyarakat
Dalam
kehidupan bermasyarakat wanita memiliki peranan yang sangat penting, apalagi
jika dikalkulasi jumlah wanita sama banyak dengan jumlah laki-laki, bahkan
bisa lebih banyak dari laki-laki sebagai-mana pernah disebutkan dalam hadits
Rasulullah saw. Akan tetapi, perbandingan ini terkadang berubah-ubah setiap waktunya atau
berbeda-beda antara tempat yang satu dengan yang lain. Kadangkala di suatu
negara wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki, namun di negara lain
sebaliknya, laki-lakinya yang lebih banyak.
Demikian pula pada suatu waktu terkadang wanita lebih
banyak dari laki-laki dan di waktu lain terjadi sebaliknya laki-laki yang lebih
banyak. Yang jelas bagaimanapun keadaannya, wanita tetap memiliki peran yang
penting dalam perbaikan masyarakat.
Dan
pertumbuhan generasi muda pada awalnya pasti beranjak
dari pangkuan seorang ibu (wanita). Dengan demikian, maka tampak jelas
bagaimana pentingnya peran yang harus diemban oleh para wanita dalam
memperbaiki masyarakat.
Adapun
peran yang dapat dilakukan oleh wanita dalam kehidupan bermasyarakat sehingga
dapat melakukan perbaikan adalah sebagai berikut :
Kesalehan Wanita
Hendaknya wanita yang berperan dalam memperbaiki
masyarakat adalah wanita yang shalihah agar ia dapat menjadi contoh dan teladan
bagi wanita lain. Agar seorang wanita mencapai derajat shalihah, maka ia harus
memiliki ilmu, yaitu ilmu syar’i yang dapat ia pelajari melalui kitab-kitab
(buku) atau melalui apa yang ia dengar dari lisan para ulama. Ia dapat
mendengarkan rekaman ceramah-ceramah mereka, dan media kaset ini cukup berperan
dalam mengarahkan masyarakat menuju perbaikan dan keshalehan.
Fasih di Dalam
Berbicara
Hendaknya wanita tersebut adalah wanita yang dianugerahi
oleh Allah kefasihan dalam berbicara. Dengan kata lain ia mampu berbicara
dengan lancar dan mampu mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya dengan baik
dan benar. Sehingga dapat menyingkap semua makna yang ada dalam hati dan
jiwanya. Apalagi makna tersebut kadang juga ditemukan dalam diri orang lain,
namun ia tidak mampu untuk meng-ungkapkannya dengan kata-kata atau mungkin ia
mampu mengungkapkannya, akan tetapi kurang jelas dan kurang tepat sehingga
perbaikan yang diharap-kan tidak mencapai hasil yang optimal.
Agar seorang wanita (juga pria, red) dapat berbicara
dengan lancar dan fasih serta mampu mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya
secara benar dan jelas, maka hendaknya ia mempunyai pengetahuan bahasa Arab
baik nahwu, sharaf dan balaghah. Demikian pula (tambahan, red) ia harus
menguasai bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang di dakwahinya.
Hikmah
Hikmah dan sikap bijaksana merupakan anugerah yang
diberikan oleh Allah kepada hambaNya, sebagaimana firmanNya, artinya, “Allah
memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang
diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang
dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (Al Baqarah: 269)
Betapa sering tujuan tak tercapai, bahkan
kesalahpahamanlah yang timbul karena tidak adanya hikmah dan sikap bijaksana
dalam berdakwah. Termasuk dalam kategori hikmah dalam berdakwah adalah
memposisikan orang yang didakwahi pada posisi yang semestinya. Jika ia seorang
jahil, maka ia diperlakukan sesuai keadaannya. Jika ia seorang yang memiliki
ilmu, namun pada dirinya ada sikap tafrith (menyia-nyiakan), ihmal (meremehkan)
dan ghaflah (melalaikan) maka hendaknya diperlakukan sesuai kondisinya. Begitu
pula, jika seorang yang berilmu namun suka bersikap sombong dan menolak
kebenaran, maka ada cara tersendiri dalam memperlakukannya.
Bisa Mendidik
dengan Baik.
Seorang wanita hendaknya bisa mendidik anak-anaknya
dengan baik, karena anak-anak adalah harapan di masa depan. Pada awal
pertumbuhan-nya, anak-anak lebih banyak bergaul dengan ibu mereka. Jika sang
ibu memiliki akhlak dan perilaku yang baik, maka kelak anak-anak tersebut akan
mempunyai andil yang sangat besar di dalam memperbaiki masyarakat.
Oleh karenanya, seorang wanita yang memiliki anak-anak
harus memperhatikan pendidikan mereka. Seandainya ia sendiri tidak mampu untuk
memperbaiki dan mendidik mereka maka hendaknya ia meminta bantuan dari ayah
anak-anak tersebut. Jika anak-anak sudah tidak punya ayah, maka bisa meminta
bantuan kepada wali mereka, seperti: Saudara, paman, anak saudara (keponakan)
dan selainnya.
Giat di dalam
Berdakwah
Hendaknya seorang wanita giat di dalam meningkatkan taraf
keilmuan kaumnya. Hal itu dapat dilakukan di tengah-tengah masyarakat, baik
sekolah, universitas ataupun jenjang yang lebih tinggi lagi. Hal itu juga dapat
dilakukan disela-sela ziarah atau kunjungan antara sesama wanita dengan
menyampaikan beberapa kalimat yang mungkin bermanfaat bagi mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa peran aktif kaum wanita di
dalam berdakwah, mengadakan kajian-kajian ilmu syar’i, pengajaran Bahasa Arab
khusus bagi mereka merupakan amalan yang bagus dan layak mendapat acungan
jempol. Pahala dari ilmu yang bermanfaat akan terus mengalir, sekalipun mereka
telah meninggal dunia, sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw.
No comments:
Post a Comment