Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Wednesday, October 3, 2012

PERAN WANITA DALAM AMAL JAMA’I


Al Qur'an banyak menjelaskan akan keterlibatan wanita dalam pergerakan da'wah sehingga ini menjadi alasan bahwa wanita memiliki peran dalam amal jama’i (kerja kolektif) dalam sebuah pergerakan yang terorganisasi, di samping itu, berdasarkan pertimbangan lain bahwa seluruh peribadatan dalam Islam bersifat kolektif, dan seluruh arahannya bersifat kolektif. Islam merupakan agama jamaah yang tidak akan tegak kecuali dengan jamaah. Dalil dalil yang mendukung wanita berada dalam sebuah jamaah pergerakan da'wah di antaranya:
Allah berfirman: 'dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (islam), menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar.' (Ali Imron:104)
Allah berfirman: 'orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang mungkar.' (At Taubah:71)
Allah berfirman: 'Barang siapa yang mengerjakan amal-amal soleh baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman maka mereka itu masuk ke dalam surga dan tidak dianiaya sedikitpun.' (QS 4:124)
Ayat-ayat di atas merupakan dalil bagi wajibnya amal jama'i. Kata segolongan umat pada bagian yang pertama bermakna jika umat ini seluruhnya tidak sanggup melakukan da'wah kepada Allah, maka minimal ada sekelompok dari umat lain yang melaksanakan tugas, baik dari kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Sedangkan pada ayat yang kedua menegaskan pentingnya keterlibatan dan partisipasi perempuan dalam amal ma'ruf dan nahi mungkar bersama laki-laki. Sebab aktivitas da’wah bukan hanya pekerjaan kaum laki-laki saja, perempuan harus ikut ambil bagian di dalamnya.
Karena itulah kedudukan wanita dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada wanita.
Syaikh imam Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis: “Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan wanita menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh wanita-wanita di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan wanita-wanita Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.”( Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu’attalat, Kairo, Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1964, h. 138.)
Jika seluruh manusia baik laki-laki maupun wanita itu diciptakan oleh Rabb mereka dari jiwa yang satu (Adam), dan dari jiwa yang satu itu Allah menciptakan isterinya agar keduanya saling menyempurnakan– sebagaimana dijelaskan oleh Al Qur’an–kemudian dari satu keluarga itu Allah mengembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak, yang kesemuanya adalah hamba-hamba bagi Tuhan yang Esa, dan merupakan anak-anak dari satu bapak dan satu ibu, maka persaudaraanlah yang semestinya menyatukan mereka.
Oleh karena itu Al Qur’an memerintahkan kepada manusia untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah dan memelihara hubungan kasih sayang antara mereka. Firman Allah: .” .. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.” (An-Nisa’: 1)
Dengan penjelasan Al Qur’an, ini maka laki-laki adalah saudara wanita dan wanita adalah saudara kandung laki-laki.
Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya tiada lain wanita adalah saudara sekandung kaum pria.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Thirmidzi)
Tentang persamaan antara wanita dan pria di dalam kebebasan kewajiban beragama dan beribadah, Al Qur’an mengatakan sebagai berikut:
“Sesungguhnya laki-laki dan wanita yang Muslim, laki-laki dan wanita yang mu’min, laki-laki dan wanita yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan wanita yang jujur, laki-laki dan wanita yang sabar, laki-laki danwanita yang khusyu ‘, laki-laki dan wanita yang bersedekah, laki-laki dan wanita yang berpuasa, laki-laki dan wanita yang memelihara kehormatanrya, laki-laki dan wanita yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzab: 35)
Di dalam masalah takalif (kewajiban-kewajiban) agama dan sosial yang pokok, Al Qur’an menyamakan antara keduanya, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan wanita, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At Taubah: 71)
Wanita dengan laki-laki adalah sama dalam hal bahwa keduanya akan menerima pembalasan dari kebaikan mereka dan masuk surga. Allah SWT berfirman:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau wanita. (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain ….” (Ali ‘Imran: 195)
Dari ayat ini jelas sekali bahwa amal perbuatan seseorang itu tidak akan sia-sia di sisi Allah SWT, baik laki-laki maupun wanita. Keduanya adalah berasal dari tanah yang satu dan dari tabiat yang satu. Allah SWT juga berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun wanita dalam keaanan beriman, maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shalih, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (An-Nisa’: 124)
Karena itu wanita memiliki peran yang sangat besar dalam hidupnya sebagaimana lelaki, hal itu karena Allah telah memberikan kepada masing-masing peran yang dapat diimplementasikan dalam segala aspek kehidupannya. Adapun peran wanita dalam hidupnya dalam ditinjau pada beberapa aspek:

1.    Wanita sebagai istri
Islam datang, sementara kebanyakan manusia mengingkari kemanusiaan wanita dan sebagian yang lain meragukannya. Ada pula yang mengakui akan kemanusiaannya, tetapi mereka menganggap wanita itu sebagai makhluk yang diciptakan semata-mata untuk melayani kaum laki-laki.
Maka merupakan ‘izzah dan kemuliaan Islam, karena dia telah memuliakan wanita dan menegaskan eksistensi kemanusiaannya serta kelayakannya untuk menerima taklif (tugas) dan tanggung jawab, pembalasan, dan berhak pula masuk surga. Islam menghargai wanita sebagai manusia yang terhormat. Sebagaimana kaum laki-laki, wanita juga mempunyai hak-hak kemanusiaan, karena keduanya berasal dari satu pohon dan keduanya merupakan dua bersaudara yang dilahirkan oleh satu ayah (bapak) yaitu Adam, dan satu ibu yaitu Hawwa.
Islam telah menjadikan wanita sebagai istri yang merupakan kekayaan paling berharga bagi suaminya dan menganggap istri yang shalihah sebagai salah satu sebab kebahagiaan suami dalam membentuk rumah tangga Islami.
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
 “Seorang mukmin tidak memperoleh kemanfaatan setelah bertaqwa kepada Allah Azza wa jalla yang lebih baik selain istri yang shalihah, jika suami menyuruhnya dia taat, jika dipandang dia menyenangkan, jika ia bersumpah kepadanya dia mengiyakan, dan jika Suami pergi (jauh dari pandangan) maka dia memelihara diri dan harta (suami)nya” (HR. Ibnu Majah)
Rasulullah SAW bersabda:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)
Rasulullah SAW bersabda:
مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ ثَلَاثَةٌ وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ وَالْمَسْكَنُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الصَّالِحُ وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ الْمَرْأَةُ السُّوءُ وَالْمَسْكَنُ السُّوءُ وَالْمَرْكَبُ السُّوءُ
“Di antara kebahagiaan anak Adam ada tiga dan kesengsaraan anak Adam ada tiga; (adalah) istri shalihah, tempat tinggal yang baik, dan kendaraan yang baik. Adapun kesengsaraan anak Adam adalah istri yang jahat, tempat tinggal yang buruk dan kendaraan yang buruk”. (HR. Ahmad)
Islam mengangkat nilai wanita sebagai istri dan menjadikan pelaksanaan hak-hak suami-istri itu sebagai jihad di jalan Allah.
Dalam hadits disebutkan :
جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ، فَقَالَتْ: إِنِّي رَسُولُ النِّسَاءِ إِلَيْكَ، وَمَا مِنْهُمِ امْرَأَةٌ عَلِمَتْ أَوْ لَمْ تَعْلَمْ إِلا وَهِيَ تَهْوَى مَخْرَجِي إِلَيْكَ، اللَّهُ رَبُّ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالَهُهُنَّ، وَأَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ إِلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ كُتِبَ الْجِهَادُ عَلَى الرِّجَالِ، فَإِنْ أَصَابُوا أَثْرُوا، وَإِنِ اسْتُشْهِدُوا كَانُوا أَحْيَاءً عِنْدَ رَبِّهِمْ فَمَا يَعْدِلُ ذَلِكَ مِنْ أَعْمَالِهِمْ؟ قَالَ:طَاعَةُ أَزْوَاجِهِنَّ وَالْمَعْرِفَةُ بِحُقُوقِهِمْ وَقَلِيلٌ مِنْكُنَّ تَفْعَلُهُ.
Ada seorang wanita datang kepada Nabi SAW bertanya, “Wahai RasuIullah, sesungguhnya aku adalah delegasi wanita yang diutus kepadamu dan tidak ada satu wanita pun kecuali agar aku keluar untuk menemui engkau.” Kemudian wanita itu mengemukakan permasalahannya dengan mengatakan, “Allah adalah Rabb-nya laki-laki dan wanita dan ilah mereka. Dan engkau adalah utusan Allah untuk laki-laki dan wanita, Allah telah mewajibkan jihad kepada kaum laki-laki sehingga apabila mereka memperoleh kemenangan akan mendapat pahala, dan apabila mati syahid mereka akan tetap hidup di sisi Rabb-nya dan diberi rizki. Amal perbuatan apakah yang bisa menyamai perbuatan mereka dari ketaatan? Nabi SAW menjawab, “Taat kepada suami dan memenuhi hak-haknya tetapi sedikit dari kaum yang bisa melaksanakannya.” (HR. Tabrani)
Isteri yang baik secara total akan mudah melahirkan rumahtangga bahagia tetapi sebaliknya isteri yang tidak memahami akan tanggungjawabnya sudah pasti akan melahirkan rumahtangga yang kucar-kacir. Kita sedar dan faham rumahtangga yang bahagia lahir daripada isteri yang soleh. Dan wanita adalah penentu buruk dan baik suatu masyarakat. Seabagaimana masyarakat yang baik lahir dari rumahtangga dan keluarga yang bahagia. Rumahtangga yang bahagia berasal dari isteri yang memiliki akhlakul karimah, memenuhi tanggungjawab dan memahami hak dan kewajibannya terhadap suami.

a.    Kewajiban istri terhadap suami
·         Memahami hak-hak suami
Suami shaleh kebanyakan dibelakangnya ada istri shalehah. Laki-laki dalam menjalankan tugasnya baik di dalam atau di luar rumah sering mendapat kendala ujian dan cobaan. Kegoncangan jiwanya kadang-kadang tidak mampu mengendalikannya sendiri. Nah, saat-saat seperti inilah peran dan bantuan istri sangat dibutuhkan. Istri yang shalehah selalu memberi dorongan untuk terus maju memberi siraman ruhiyyah agar tetap semangat dalam menapaki duri-duri jalanan, memberi bensin untuk tetap berjalan di atas rel Islam. Ketika suami sedang panas tidak selayaknya istri mengompori, tapi berusaha untuk meredam dan mendinginkan agar suami sadar dan sabar.
Banyak sekali suami terjerumus ke lembah hina disebabkan istrinya tidak bisa membimbing ke arah yang baik. Juga tidak sedikit suami dulunya kurang baik setelah beristri justru ia makin membaik. Oleh sebab itu, wahai para ibu-ibu shalehah marilah kita dukung suami kita untuk menjadi suami yang shaleh. Mencurahkan tenaga, pikiran, bahkan nyawa untuk tegaknya Islam di muka bumi dengan tidak membebaninya dengan tugas-tugas rumah yang mana pabila kita mengerjakannya dengan ikhlas, kita akan dapat pahala dan suami kita semakin sayang pada kita.
Semangat di medan dakwah dan juang, marilah kita berikan waktu seluas-luasnya pada suami kita untuk mencurahkan waktu hidupnya untuk Islam tercinta. Istri selain sebagai motor bagi suami, ia juga dibebani kewajiban-kewajiban terhadap suaminya agar tercipta keluarga-keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah. Karena dari keluarga inilah akan terbentuk mujama mitsaly dan dari mujtama- mujtama ini akan terbentuk daulah Islamiyyah.
Diantara sifat wanita shalihah adalah menjadi istri yang baik terhadap suaminya, memahami dirinya sebagai pendamping suami yang memiliki kewajiban terhadap orang yang dikasihi, dan diantara kewajiban tersebut adalah memahami hak-hak suami, antara lain:
-       Taat
Suami memiliki hak terhadap istrinya untuk ditaati dalam seluruh perkara asalkan bukan perkara maksiat kepada Allah SWT.
Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan beliau Saw pun memperingatkan:

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah SWT.” (HR. Ahmad)
Taat ini merupakan asas ketenangan karena suami sebagai qawwam (pemimpin) tidak akan bisa melaksanakan kepemimpinannya tanpa ketaatan. Dan ketaatan kepada suami ini lebih didahulukan daripada melakukan ibadah-ibadah sunnah. Nabi saw bersabda:
لاَ يِحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَْنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapatkan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bahwa lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah, karena hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/356)
“Wajib bagi wanita/ istri untuk taat kepada suaminya dalam perkara yang ia perintahkan dalam batasan kemampuannya, karena hal ini termasuk keutamaan yang Allah berikan kepada kaum lelaki di atas kaum wanita, sebagaimana dalam ayat:
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa : 34).
dan ayat:
 “Dan bagi kaum lelaki kedudukannya satu derajat di atas kaum wanita.” (Al-Baqoroh : 228)

-       Menjaga rahasia dan kehormatan suami
Menjaga rahasia suami dan kehormatannya adalah kewajiban istri terhadap suaminya sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya. Apalagi dalam hal menjaga harta suami. Rasulullah Saw bersabda:
خَيْرُ نِسَاءِ رَكِبْنَ اْلإِبِل صَالِحُ نِسَاءِ فُرَيْشٍ: أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صَغِيْرِهِ, وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
“Sebaik-baik wanita penunggang unta, wanita Quraisy yang baik, adalah yang sangat penyayang terhadap anaknya ketika kecilnya dan sangat menjaga suami dalam apa yang ada di tangannya.” (HR. Al-Bukhari)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan keutamaan sifat kasih sayang (dari seorang ibu), tarbiyah yang baik, mengurusi anak-anak, menjaga kesucian dan kehormatan suami dan hartanya, mengurusi dan mengaturnya dengan cara yang baik.” (Fathul Bari, 9/152)

-       Memberikan pelayanan tiada henti
Diantara kewajiban istri terahdap suami adalah berusaha memberikan pelayanan yang maksimal terhadap suami, sehingga suami dapat terpuaskan olehnya. Baik pelayanan dari segi dzahir dan bathin, materi dan inmateri, dan pelayanan lainnya.  
Betapa agungnya hak suami terhadap istrinya andai ada manusia yang boleh bersujud kepadanya, maka suamilah yang tertuju, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Rasulullah saw.:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةََ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah SWT terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya jima’) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).”. (HR. Ahmad)
Al-Hushain bin Mihshan rahimahullahu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi Saw karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah Saw bertanya kepadanya:
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad).

- Selalu tersenyum
Wanita shalihah itu murah senyum, karena senyum sendiri adalah shadaqah. Namun, tentu saja senyumnya proporsional. Tidak setiap laki-laki yang dijumpainya diberikan senyuman manis. Intinya, senyumnya adalah senyum ibadah yang ikhlas dan tidak menimbulkan fitnah bagi orang lain. Karena itula ciri wanita shalihah dan istri yang taat adalah selalu tersenyum dihadapan suami walau dalam keadaan bagaimanapun, berusaha menjadi penghibur dikala duka, dan menjadi pelipur lara disaat luka.
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ مَا اسْتَفَادَ الْمُؤْمِنُ بَعْدَ تَقْوَى اللَّهِ خَيْرًا لَهُ مِنْ زَوْجَةٍ صَالِحَةٍ إِنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِنْ نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْهُ وَإِنْ غَابَ عَنْهَا نَصَحَتْهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mukmin tidak memperoleh kemanfaatan setelah bertaqwa kepada Allah Azza wa jalla yang lebih baik selain istri yang shalihah, jika suami menyuruhnya dia taat, jika dipandang dia menyenangkan, jika ia bersumpah kepadanya dia mengiyakan, dan jika Suami pergi (jauh dari pandangan) maka dia memelihara diri dan harta (suami)nya” (HR. Ibnu Majah)
Selain senyum wanita sholihah juga dapat memperlihatkan diri dengan berhias untuk suaminya sehingga selalu terlihat cerah dan indah. Diriwayatkan bahwa sesungguhnya Ibnu Abbas pernah berdiri di depan cermin untuk memperbagus penampilannya. Ketika ditanya beliau menjawab, “Aku berhias untuk istriku sebagaimana istriku berhias untukku,” kemudian membacakan ayat yang artinya: “Dan para wanita mernpunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya .” (Al Bagarah: 228)

·         Meningkatkan pelayanan secara proporsional
Wajib bagi istri untuk berusaha sekuat tenaga lebih profesional di dalam melaksanakan tugas-tugasnya, dan tidak mempersoalkan kekurangan-kekurangan yang ada pada suaminya. Wajib baginya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan ini dengan cara tidak memberitahukan kepada suaminya. Maka seandainya seorang suami tidak memperhatikan dalam meletakkan pakaian pada tempat yang semestinya dan dia meletakkan pakaian-pakaian tersebut di atas kursi dan sofa, maka mau tidak mau sang istri dituntut untuk mengambil dan meletakkan pada tempatnya yang sekiranya tempat tersebut dapat menjaga keindahan/keserasiannya.Bila kebiasaan itu telah terjadi dan istri sedang dalam keadaan sakit, maka sang suami merasakan kesusahan, dia akan berusaha untuk menggantikan posisi sang istri dalam mengurus rumahnya, dia akan meletakkan pakaian pada tempat yang semestinya dan mulai dari sanalah dia akan melaksanankan kebiasaan yang baik tersebut.

b.    Hak-hak istri dari suaminya
Islam telah menetapkan untuk istri hak-hak yang wajib dipenuhi oleh suaminya. Hak-hak itu tak sekedar tinta di atas kertas, akan tetapi Islam menjadikan lebih dari itu yaitu yang mampu memelihara dan mengawasi.

Memahami hak-hak istri
1.    Mendapat nafkah
Seorang suami diwajibkan untuk mencukupi makanan, pakaian, tempat tinggal dan pengobatan kepada istrinya.
Allah SWT berfirman: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannnya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadannya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kesanggupan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (At-Thalaq:7)
Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah ra. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah Saw:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?” Rasulullah Saw menjawab:  “Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian. Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya Maksudnya: mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk, mencaci makinya, atau mengatakan padanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau yang semisalnya. dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud)
Dalam hadits ‘Aisyah ra, ia mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah ra, istri Abu Sufyan ra datang mengadu kepada Rasulullah Saw:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit [Hindun tidaklah menyatakan bahwa Abu Sufyan bersifat pelit dalam seluruh keadaannya. Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama suaminya di mana suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan untuk anaknya. Hal ini tidaklah berarti Abu Sufyan memiliki sifat pelit secara mutlak. Karena betapa banyak di antara para tokoh/ pemuka masyarakat melakukan hal tersebut kepada istrinya/keluarganya dan lebih mendahulukan/mementingkan orang lain (bersifat dermawan kepada orang lain). (Fathul Bari, 9/630)]. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya [Dalam riwayat Muslim, Hindun bertanya:
فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟
“Apakah aku berdosa bila melakukan hal itu?”].” Bersabdalah Rasulullah Saw, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)

2.    Mempergauli istri dengan baik.
Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (ma’ruf) dan dengan akhlak mulia. Allah SWT berfirman:
 “Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Rasulullah Saw bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah An-Nisa` di atas, menyatakan: “Yakni perindahlah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah SWT berfirman dalam hal ini:
 “Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah Saw sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku.”
Sirah Nabawiyah secara aplikatif telah membuktikan kelembutan RasuIullah SAW terhadap keluarganya dan akhlaq beliau sangat mulia terhadap para istrinya. Sampai-sampai Rasulullah SAW sering membantu para istrinya untuk menyelesaikan tugas-tugas di rumah dan di antara kelembutan Rasulullah SAW adalah bahwa beliau pernah mendahului Aisyah berlomba lari dua kali, lalu Aisyah mengalahkan beliau sekali dan sekali lagi dalam kesempatan yang lainnya. Maka beliau berkata kepada Aisyah “Ini dengan itu (skor sama).”
Ketika haji Wada’, Rasulullah Saw menyampaikan khutbah di hadapan manusia. Di antara isi khutbah beliau adalah:
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

3.    Mendapat  nasihat yang baik

Suami yang baik adalah yang selalu member nasihat (saling menasihati diantara keduanya), karena dengan itulah akan terjalin saling membantu dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Allah SWT berfirman :
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Al-Ashr : 1-3)
Adab nemberi nasihat :
1. Berikan nasihat dengan niat ikhlash, jangan mengharap apapun di balik nasihat itu selain keridhaan Allah ., sehingga anda terlepas dari kewajiban. Bukan untuk tujuan riya` atau mendapat perhatian orang atau ketenaran atau niat membalas menjatuhkan orang yang anda nasihati.
2. Sampaikanlah nasihat dengan cara yang baik dan tutur kata yang lembut dan mudah dipahami hingga dapat berpengaruh kepada orang yang anda nasihati dan mau menerimanya. Allah . berfirman, “Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik dan debatlah ia dengan cara yang lebih baik.” (An-Nahl: 125)
3. Nasihatilah seseorang di saat sendirian, karena yang demikian itu lebih mudah ia terima. Sebab jika anda menasihati saudara anda ketika sedang bersama banyak orang maka berarti anda telah mencemarkannya, dan jika anda menasihatinya secara rahasia maka anda telah menghiasinya. Imam Syafi`i berkata, “Berilah aku nasihat secara berduaan, dan jauhkan aku dari nasihatmu di tengah orang banyak; karena nasihat di tengah-tengah orang banyak itu mengandung makna celaan yang aku tidak suka mendengarnya.”
4. Fahami betul dengan apa yang anda nasihatkan, dan berhati-hatilah dalam menukil pembicaraan agar anda tidak dipungkiri, dan suruhlah berdasarkan ilmu; karena itulah yang lebih mudah untuk diterima.
5. Perhatikan kondisi orang yang akan anda nasihati. Janganlah menasihati di saat seseorang sedang kalut, atau sedang bersama rekan-rekan atau kerabatnya. Dan pahamilah perasaan, kedudukan, pekerjaan dan kesulitan orang yang anda nasihati.
6. Jadilah teladan bagi orang yang akan anda nasihati. Allah . berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (Ash-Shaff : 2-3)
7. Jadilah orang yang sabar dan bersabarlah terhadap kemungkinan yang menimpa. Allah berfirman, “Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang ma`ruf dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan sabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman: 17) Luqman menyuruh anaknya untuk sabar terhadap kemungkinan yang terjadi karena ia memerintah orang lain mengerjakan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Ingatlah beramar ma’ruf dan nahi mungkar dengan cara sabar adalah kewajiban setiap muslim.

4.    Hak mendapat pendidikan dan pengajaran
Terlalu banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan kepada lelaki maupun wanita. Wahyu pertama dari Al-Quran adalah perintah membaca atau belajar, Bacalah demi Tuhanmu yang telah menciptakan… Keistimewaan manusia yang menjadikan para malaikat diperintahkan sujud kepadanya adalah karena makhluk ini memiliki pengetahuan (QS 2:31-34).
Baik lelaki maupun wanita diperintahkan untuk menimba ilmu sebanyak mungkin, mereka semua dituntut untuk belajar.
Nabi saw bersabda :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (HR. Ibnu Majah).
Para wanita di zaman Nabi saw. menyadari benar kewajiban ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka dalam rangka menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi saw.
Al-Quran memberikan pujian kepada ulu al-albab, yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran menyangkut hal tersebut akan mengantar manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia alam raya ini, dan hal tersebut tidak lain dari pengetahuan. Mereka yang dinamai ulu al-albab tidak terbatas pada kaum lelaki saja, tetapi juga kaum wanita. Hal ini terbukti dari ayat yang berbicara tentang ulu al-albab yang dikemukakan di atas. Setelah Al-Quran menguraikan tentang sifat-sifat mereka, ditegaskannya bahwa:
Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun wanita…” (QS 3:195).
Ini berarti bahwa kaum wanita dapat berpikir, mempelajari dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui dari alam raya ini. Pengetahuan menyangkut alam raya tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat dipahami bahwa wanita bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing.
Banyak wanita yang sangat menonjol pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan yang menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki. Istri Nabi, Aisyah ra, adalah seorang yang sangat dalam pengetahuannya serta dikenal pula sebagai kritikus. Sampai-sampai dikenal secara sangat luas ungkapan yang dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi Muhammad saw.:

Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira’ (Aisyah).
Demikian juga Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian Al-Syaikhah Syuhrah yang digelari Fakhr Al-Nisa’ (Kebanggaan Wanita) adalah salah seorang guru Imam Syafi’i (tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia), dan masih banyak lagi lainnya.
Imam Abu Hayyan mencatat tiga nama wanita yang menjadi guru-guru tokoh mazhab tersebut, yaitu Mu’nisat Al-Ayyubiyah (putri Al-Malik Al-Adil saudara Salahuddin Al-Ayyubi), Syamiyat Al-Taimiyah, dan Zainab putri sejarahwan Abdul-Latif Al-Baghdadi. Kemudian contoh wanita-wanita yang mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat terhormat adalah Al-Khansa’, Rabi’ah Al-Adawiyah, dan lain-lain.
Rasul saw. tidak membatasi anjuran atau kewajiban belajar hanya terhadap wanita-wanita merdeka (yang memiliki status sosial yang tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka yang berstatus sosial rendah. Karena itu, sejarah mencatat sekian banyak wanita yang tadinya budak belian mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Harus diakui bahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam belum lagi sebanyak dan seluas masa kita dewasa ini. Namun, Islam tidak membedakan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya, sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas hidup pada masa kita ini, maka tidak mustahil mereka akan tekun pula mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini.
Dalam hal ini, Syaikh Muhammad ‘Abduh menulis: “Kalaulah kewajiban wanita mempelajari hukum-hukum agama kelihatannya amat terbatas, maka sesungguhnya kewajiban mereka untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga, pendidikan anak, dan sebagainya yang merupakan persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan perbedaan waktu, tempat dan kondisi) jauh lebih banyak daripada soal-soal keagamaan.
Demikian sekilas menyangkut hak dan kewajiban wanita dalam bidang pendidikan.
Tentunya masih banyak lagi yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak kaum wanita dalam berbagai bidang. Namun, kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa mereka, sebagaimana sabda Rasul saw., adalah Syaqa’iq Al-Rijal (saudara-saudara sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada yang membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bagi wanita juga ada bagian dari apa yang mereka peroleh (usahakan) dan bermohonlah kepada Allah dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS 4:32).
Seorang suami hendaknya memotivasi istrinya untuk menuntut ilmu dan berusaha menjadikan ilmu sebagai ladang untuk saling meningkatkan kapasitas kehidupan rumah tangganya, keharmonisan, sakinah mawaddah warahmah akan terwujud jika masing-masing dari suami istri memiliki pengetahuan akan hak dan kewajibannya.

·         Ridlo dengan kondisi suami
Hendaknya isteri selalu rela dan bersuka ria dengan kondisi suami serta bersyukur (berterima kasih) atas segala pemberian dan kebaikan suami kepadanya dan janganlah isteri mengingkari kebaikan suaminya.
Dapat mendampingi suami dalam suka dan duka. Karena roda kehidupan selalu berputar, kadang manusia mengalami saat-saat yang menggembirakan dimana kehidupan berjalan sesuai dengan harapan. Adakalanya manusia mengalami hal yang sebaliknya. Nah, apapun keadaan yang dialami suami, berusahalah istri menjadi pendampingnya yang setia. Disaat suka menjadi pengingat agar suami tidak terlena, disaat duka menjadi pelipur lara.


c.    Adab-adab suami istri
·         Saling menyebutkan kebaikan masing-masing
·         Saling menghormati dan menghargai
·         Saling memberikan pelajaran dan tauladan kepada anak


2.    Wanita sebagai ibu
Keberadaan seorang wanita sebagai istri dan ibu dalam keluarga memiliki arti yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan dia merupakan satu tiang yang menegakkan kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak “orang-orang besar.” Sehingga tepat sekali bila dikatakan: “Di balik setiap orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya.”
Peran wanita sebagai ibu adalah sangat penting dan berharga dalam kehidupan suatu keluarga, terutama untuk anak-anaknya.

·        Hak-hak anak-anaknya
Tumbuh dan berkembangnya satu generasi pada awalnya berada dalam asuhan wanita. Dengan ini kewajiban wanita adalah memperbaiki masyarakat.
Hendaklah dipahami oleh para wanita bahwa pekerjaan berkhidmat pada keluarga merupakan satu ibadah kepada Allah SWT. Pekerjaan di dalam rumahnya bukanlah semata-mata gerak tubuhnya, namun pekerjaan itu memiliki ruh yang bisa dirasakan oleh orang yang mengerti tujuan kehidupan dan rahasia terwujudnya insan.
Rasulullah Saw pernah bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, ia menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya maka ia akan masuk surga dari pintu surga mana saja ia inginkan”. (HR. Ahmad, “Hadits ini hasan atau shahih, ia memiliki banyak jalan.”)
Surga sebagai tempat yang sarat dengan kenikmatan yang kekal abadi dapat dimasuki seorang wanita yang menyibukkan dirinya dengan ibadah kepada Allah, menjaga kehormatan dirinya dan taat kepada suaminya, dan tentunya semua ini dilakukan oleh seorang wanita di dalam rumahnya.

-      Ibu merangkap sebagai murabbiyah
Seorang ibu harus mampu menjadi seorang murabbiyah yang selalu memberikan arahan dan taujih kepada anaknya, mengajarkan islam secara kaffah dan menjadi tauladan yang dapat ditiru oleh anaknya secara baik. Sehingga tumbuh-kembangnya anak menjadi lebih optimal oleh karena pengawasan orang tua terutama seorang ibu terhadap anaknya sekaligus menjadi pembimbing dalam kehidupannya. Allah SWT berfirman : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim : 6)

1.    Memahami bagaimana mendidik anak
Seorang ibu harus memahami bagaimana mendidik anak-anak dengan baik, karena mendidik anak merupakan salah satu  tanggung jawab yang agung, tugas itu merupakan tanggung jawab yang besar. Oleh karena laki-laki lebih banyak kesibukannya daripada wanita dan lebih sedikit tinggal di rumah. Adapun seorang ibu lebih dekat kepada anak-anaknya dan lebih banyak di rumah.
Seorang wanita hendaknya bisa mendidik anak-anaknya dengan baik, karena anak-anak adalah harapan di masa depan. Pada awal pertumbuhan-nya, anak-anak lebih banyak bergaul dengan ibu mereka. Jika sang ibu memiliki akhlak dan perilaku yang baik, maka kelak anak-anak tersebut akan mempunyai andil yang sangat besar di dalam memperbaiki masyarakat.
Oleh karenanya, seorang wanita yang memiliki anak-anak harus memperhatikan pendidikan mereka. Seandainya ia sendiri tidak mampu untuk memperbaiki dan mendidik mereka maka hendaknya ia meminta bantuan dari ayah anak-anak tersebut. Jika anak-anak sudah tidak punya ayah, maka bisa meminta bantuan kepada wali mereka, seperti: Saudara, paman, anak saudara (keponakan) dan selainnya. Seorang wanita juga tidak boleh menyerah dengan keadaan dan berdiam diri sebab jika demikian maka perubahan dan perbaikan tak akan bisa terlaksana dengan baik.
Syauqi mengatakan “Ibu ibarat madrasah, jika kau persiapkan maka sesungguhnya anda sedang menyiapkan bangsa (besar) yang wangi keringatnya.”
Wanita adalah guru pertama bagi sang anak, sebelum dididik orang lain. Sejak ruh ditiupkan ke dalam rahim, proses pendidikan sudah dimulai. Sebab mulai saat itu, anak telah mampu menangkap rangsangan-rangsangan yang dberikan oleh ibunya. Ia mampu mendengar dan merasakan apa yang dirasakan ibunya. Bila ibunya sedih dan cemas, ia pun merasakan demikian. Sebaliknya, bila ibunya merasa senang, ia pun turut senang.
Allah SWT berfirman :
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS An-Nisa 4:9)
Pendidikan anak sangat disarankan dimulai sejak dini, bahkan sejak dalam kandungan. Ketika sang ibu rajin beribadah, insya Allah, kelak janin yang dikandungnya akan menjadi ahli ibadah. Ketika sang ibu rajin membaca Al Qur’an, insya Allah, kelak anak yang dilahirkannyanya pun akan mencintai Al Qur’an. Ketika sang ibu sangat berhati-hati menjaga dirinya dari hal-hal yang diharamkan, insya Allah, kelak anaknya pun akan menjadi hamba-Nya yang ikhsan.
Betapa besarnya peranan seorang wanita dalam mencetak generasi robbani. Sebagaimana visi pernikahannya untuk menjadikan rumah tangga sebagai lahan tumbuhnya generasi yang akan menegakkan panji islam. Generasi yang tumbuh dalam rumah tangga yang menjadi pusat kaderisasi terbaik.
Ketika sang anak hadir ke dunia, sebuah tugas sangat berat telah diemban di pundak seorang ibu. Tugas mendidiknya, membekalinya dengan life-skill, agar kelak anaknya siap terjun ke dunia yang berubah dengan cepatnya setiap hari. Sepuluh atau 15 tahun lagi, akan sangat berbeda kondisinya dengan masa kini.
Ketika sang anak mulai banyak bertanya, “Ini apa?”, “Itu apa?”, ”Kenapa begini?”, Kenapa begitu?”, seorang ibu dituntut untuk dapat memberikan jawaban yang terbaik. Jawaban yang tidak mematikan rasa ingin tahu anak, bahkan sebaliknya, jawaban yang membuat anak semakin terpacu untuk belajar.
Masa yang penting ini, yang disebut golden-age, masa di mana anak sangat mudah menyerap segala informasi, belajar tentang segala sesuatu. Dan ibu adalah orang yang terdekat dengan anak, yang lebih sering berinteraksi dengan anak. Menjadilah ibu sebagai sumber ilmu, pendidik pertama bagi anak-anak, yang menanamkan pondasi awal dan utama bagi generasi yang akan menjadi pemimpin masa depan ini.
Ketika anak mulai memasuki dunia sekolah, tugas ibu tak lantas menjadi tergantikan oleh sekolah. Bahkan sang ibu dituntut untuk dapat mengimbangi apa yang diajarkan di sekolah.
Peran yang demikian strategis ini, menuntut wanita untuk membekali dirinya dengan ilmu yang memadai. Maka, wanita harus terus bergerak meningkatkan kualitas dirinya. Karena, untuk mencetak generasi yang berkualitas, dibutuhkan pendidik yang berkualitas pula. Hal itu berarti, seorang wanitia tidak boleh berhenti belajar.

2.    Kewajiban ibu terhadap anak-anaknya
Kewajiban seorang ibu terhadap anak-anaknya adalah memberikan pendidikan yang terbaik, sehingga kelak ketika dewasa mereka akan menjadi generasi penerus bagi agama dan bangsa.
Dan dalam mendidik anak bagi seorang ibu perlu memperhatikan hal berikut :
A. Tarbiyah Ruhiyyah.
1. Pendidikan Akidah.
Bagaimana seorang ibu mampu menanamkan akidah sedini mungkin, sehingga anak meyakini bahwa kita hidup tidak semau kita. Tapi di sana ada pengatur, pengawas tujuan hidup, akhir dari kehidupan. Kemudian meyakini bahwa apa yang terjadi pada kita, pasti akan kembali pada sang khalik. Hal itu terangkum dalam rukun iman yang enam. Ketika ia besar, ia tidak lagi ragu dan bingung mencari jati diri. Siapakah aku? untuk apa aku hidup? siapakah yang harus aku ikuti dan dijadikan idola ? Dan seterusnya.
2. Pendidikan Ibadah
Ketika ibu menjalani kehamilan sampai melahirkan, tidaklah berat baginya untuk mengajak si calon bayi untuk ikut serta dalam melakukan ibadah harian. Seperi: sholat, puasa, baca Alquran, berdoa, berdzikir, dan lain sebagainya. Walau mungkin anak tidak paham apa yang dilakukan dan diinginkan ibunya, tapi ketika ia menginjak dewasa (baligh), Insya Allah ibadah-ibadah tadi akan mudah diajarkan. Sebab sudah sering melihat dan mendengar, sehingga takkan terasa berat menjalaninya.
3. Pendidikan Akhlak.
Pembiasaan akhlak yang baik tidak perlu menunggu anak dewasa. Dari sini harus sudah dibiasakan. Sebab kebiasaan yang baik, kalau tidak dibiasakan dalam waktu yang lama, sangat sulit untuk menjadi akhlak. Justru ketika kebiasaan baik tidak ada dalam diri kita, dengan sendirinya kebiasaan buruk akan menghiasinya tanpa harus dibiasakan.
Jika semenjak dalam kandungan seorang anak dibiasakan mencintai orang lain, maka ketika lahir, ia pun akan berusaha untuk mencintai orang lain. Apabila sfat-sifat sabar, tawadlu, itsar, tabah, pemurah, suka menolong orang lain dan sebagainya dibiasakan, insya Allah ketika anak sudah paham dan mengerti, akhlak-akhlak tadi akan menghiasi kehidupannya.
Oleh sebab itu, Rasul menganjurkan kepada para pemuda yang sudah waktunya nikah, untuk memilih calon istrinya seorang wanita yang beragama dan berakhlak baik. Sebab dari wanita inilah, akan terlahir generasi yang beragama dan berakhlak baik juga. Ibu seperti inilah yang akan mengajarkan tuntunan agama yang telah terbiasa dan tertathbiq dalam dirinya. Di antara tuntunan tersebut adalah akhlak yang mulia. Sedangkan wanita yang cantik, pintar, atau kaya tidak menjamin akan melahirkan anak-anak yang berakhlak mulia.
B. Tarbiyah Aqliyyah.
Kata seorang penulis puisi, “Otak tidak diasah, akan tumpul”. Pengasahan otak semenjak kecil akan lebih bagus, ketimbang jika sudah besar. Bagai sebuah pisau, semakin lama waktu mengasahnya, maka akan semakin tajam. Dalam nasyid juga disebutkan, “Belajar diwaktu kecil, bagai mengukir di atas batu”. Tapi seorang ibu juga harus bijaksana dalam hal ini. Jangan sembarangan dalam memberikan buku-buku bacaan, untuk mengasah otak. Cukup banyak buku-buku yang ingin menghancurkan generasi Islam.
C. Tarbiyah Jasadiyyah.
Pendidikan inilah yang sering mendapat perhatian dan jadi topik pembicaraan para ibu yang baru mempunyai anak. Rangsangan-rangsangan ibu berupa olah-raga balita, sangat membantu anak dalam perkembangan tubuhnya. Percepatan proses semenjak si anak tengkurap, merangkak, jalan dan lari, tidak bisa dibiarkan sendiri. Namun bantuan ibu untuk melakuan gerakan-gerakan itu sangatlah dibutuhkan anak. Karena pada hakikatnya, insting yang dimiliki anak belum mampu menjangkau apa yang harus ia lakukan agar bisa berbuat seperti orang dewasa. Contoh kecilnya, ketika lahir, Rasulullah menyuruh para orang tua untuk mentahniq dengan memijat langit-langit mulut agar mampu mengisap air susu ibunya. Olah raga atau tarbiyyah jasadiyyah ini tidak terbatas pada usia balita, tapi bahkan sampai dewasa dan tua.

-      Ibu yang merangkap sebagai dokter dan teman
Seorang ibu juga harus mampu menjadi seorang dokter yang senantiasa menjaga anaknya dari sakit, mengarahkannya untuk hidup sehat dan bersih sehingga terhindar dari sakit. Seorang dokter adalah orang yang mampu mendiagnosa pasien begitupun seorang ibu harus mampu mendiagnosa anaknya jika jatuh sakit, apalagi jika sakitnya adalah sakit maknawi seperti gelisah, suka marah, suka bingung dan lain-lainnya.
Sebagaimana seorang ibu juga harus mampu menjadi seorang teman bagi anaknya, siap diajak bermain dan bercanda kapan dan dimana saja, teman untuk ngobrol, curhat dan bertukar fikiran sehingga anaknya merasa ada tempat berbagi dan bertukar pendapat.

·         Mengkondisikan anak-anak dengan kehidupan dakwah
Seorang ibu hendaknya berusaha untuk menkondisikan anak dengan kehidupan dakwah terutama dalam hal amar ma’ruf dan nahi mungkar (saling mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran), saling nasihat menasihati, tolong menolong dalam kebaikan, sehingga mereka terbiasa untuk berdakwah dan mengajak orang lain pada kebaikan.

3.    Wanita sebagai anak
-       Memahami hak-hak dan kewajiban orang tua dan keluarga
Dalam Al-Quran banyak disebutkan hak orang tua atas anaknya, seperti dalam ayat-ayatnya :
Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.(Al-Isra : 23) dan firman Allah : “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. (Luqman : 14) dan firman Allah : “Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (Luqman : 15).
Dan nabi saw menjadikan berbakti kepada kedua orang tua sebagai kerja yang besar dan mendatangkan pahala yang besar pula seakan berjihad di jalan Allah, sebagaimana durhaka pada kedua orang tua merupakan perbuatan dosa besar.
Karena itu wanita muslimah hendaknya menunaikan hak orang tua; dengan berbakti kepada keduanya, mentaati keduanya selama bukan pada maksiat kepada Allah, berusaha mendahulukan semampunya untuk membantu dan menolong kedua orang tua selama hidupnya, menyambung tali silaturrahim kepada kerabat dan kolega selama hidupnya setelah keduanya meninggal, dan selalu mendoakan kedua orang tuanya.
Berbakti kepada kedua orang tua dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan disejajarkan dengan dua kewajiban besar yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim; yaitu shalat dan jihad di jalan Allah. Dalam hadits disebutkan :
أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Ketika Rusulullah saw ditanya : Amal apakah yang paling dicintai Allah ? beliau bersabda : “Shalat tepat pada waktunya”. Dia berkata : kemudian apa? Baliau menjawab : “Berbakti kepada kedua orang tua”. Dia berkata : kemudian apa? Dia berkata : “Jihad di jalan Allah”. (HR. Bukhari).

4.    Wanita sebagai anggota masyarakat

Dalam kehidupan bermasyarakat wanita memiliki peranan yang sangat penting, apalagi jika dikalkulasi jumlah wanita sama banyak dengan jumlah laki-laki, bahkan bisa lebih banyak dari laki-laki sebagai-mana pernah disebutkan dalam hadits Rasulullah saw. Akan tetapi, perbandingan ini terkadang berubah-ubah setiap waktunya atau berbeda-beda antara tempat yang satu dengan yang lain. Kadangkala di suatu negara wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki, namun di negara lain sebaliknya, laki-lakinya yang lebih banyak.
Demikian pula pada suatu waktu terkadang wanita lebih banyak dari laki-laki dan di waktu lain terjadi sebaliknya laki-laki yang lebih banyak. Yang jelas bagaimanapun keadaannya, wanita tetap memiliki peran yang penting dalam perbaikan masyarakat.
Dan pertumbuhan generasi muda pada awalnya pasti beranjak dari pangkuan seorang ibu (wanita). Dengan demikian, maka tampak jelas bagaimana pentingnya peran yang harus diemban oleh para wanita dalam memperbaiki masyarakat.
Adapun peran yang dapat dilakukan oleh wanita dalam kehidupan bermasyarakat sehingga dapat melakukan perbaikan adalah sebagai berikut :
Kesalehan Wanita
Hendaknya wanita yang berperan dalam memperbaiki masyarakat adalah wanita yang shalihah agar ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi wanita lain. Agar seorang wanita mencapai derajat shalihah, maka ia harus memiliki ilmu, yaitu ilmu syar’i yang dapat ia pelajari melalui kitab-kitab (buku) atau melalui apa yang ia dengar dari lisan para ulama. Ia dapat mendengarkan rekaman ceramah-ceramah mereka, dan media kaset ini cukup berperan dalam mengarahkan masyarakat menuju perbaikan dan keshalehan.
Fasih di Dalam Berbicara
Hendaknya wanita tersebut adalah wanita yang dianugerahi oleh Allah kefasihan dalam berbicara. Dengan kata lain ia mampu berbicara dengan lancar dan mampu mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya dengan baik dan benar. Sehingga dapat menyingkap semua makna yang ada dalam hati dan jiwanya. Apalagi makna tersebut kadang juga ditemukan dalam diri orang lain, namun ia tidak mampu untuk meng-ungkapkannya dengan kata-kata atau mungkin ia mampu mengungkapkannya, akan tetapi kurang jelas dan kurang tepat sehingga perbaikan yang diharap-kan tidak mencapai hasil yang optimal.
Agar seorang wanita (juga pria, red) dapat berbicara dengan lancar dan fasih serta mampu mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya secara benar dan jelas, maka hendaknya ia mempunyai pengetahuan bahasa Arab baik nahwu, sharaf dan balaghah. Demikian pula (tambahan, red) ia harus menguasai bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang di dakwahinya.
Hikmah
Hikmah dan sikap bijaksana merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya, sebagaimana firmanNya, artinya, “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (Al Baqarah: 269)
Betapa sering tujuan tak tercapai, bahkan kesalahpahamanlah yang timbul karena tidak adanya hikmah dan sikap bijaksana dalam berdakwah. Termasuk dalam kategori hikmah dalam berdakwah adalah memposisikan orang yang didakwahi pada posisi yang semestinya. Jika ia seorang jahil, maka ia diperlakukan sesuai keadaannya. Jika ia seorang yang memiliki ilmu, namun pada dirinya ada sikap tafrith (menyia-nyiakan), ihmal (meremehkan) dan ghaflah (melalaikan) maka hendaknya diperlakukan sesuai kondisinya. Begitu pula, jika seorang yang berilmu namun suka bersikap sombong dan menolak kebenaran, maka ada cara tersendiri dalam memperlakukannya.
Bisa Mendidik dengan Baik.
Seorang wanita hendaknya bisa mendidik anak-anaknya dengan baik, karena anak-anak adalah harapan di masa depan. Pada awal pertumbuhan-nya, anak-anak lebih banyak bergaul dengan ibu mereka. Jika sang ibu memiliki akhlak dan perilaku yang baik, maka kelak anak-anak tersebut akan mempunyai andil yang sangat besar di dalam memperbaiki masyarakat.
Oleh karenanya, seorang wanita yang memiliki anak-anak harus memperhatikan pendidikan mereka. Seandainya ia sendiri tidak mampu untuk memperbaiki dan mendidik mereka maka hendaknya ia meminta bantuan dari ayah anak-anak tersebut. Jika anak-anak sudah tidak punya ayah, maka bisa meminta bantuan kepada wali mereka, seperti: Saudara, paman, anak saudara (keponakan) dan selainnya.
Giat di dalam Berdakwah
Hendaknya seorang wanita giat di dalam meningkatkan taraf keilmuan kaumnya. Hal itu dapat dilakukan di tengah-tengah masyarakat, baik sekolah, universitas ataupun jenjang yang lebih tinggi lagi. Hal itu juga dapat dilakukan disela-sela ziarah atau kunjungan antara sesama wanita dengan menyampaikan beberapa kalimat yang mungkin bermanfaat bagi mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa peran aktif kaum wanita di dalam berdakwah, mengadakan kajian-kajian ilmu syar’i, pengajaran Bahasa Arab khusus bagi mereka merupakan amalan yang bagus dan layak mendapat acungan jempol. Pahala dari ilmu yang bermanfaat akan terus mengalir, sekalipun mereka telah meninggal dunia, sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw.

No comments:

Post a Comment