Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Friday, August 31, 2012

HIDUP ITU ANTARA AZAN DENGAN SHALAT

(Oleh: Arida Sahputra)

Di sela-sela kesibukan ana menyempatkan untuk menulis sedikit dari ringkasan satatus Facebook ana. Ide ini muncul dari karena banyaknya status selalu di update hehehee ^_^. Dari situ ana ingin mengganti status menjadi satu tulisan. Semoga bermanfaat.

Saudara-saudaraku yang dicintai Allah. Setiap kita dilahirkan ke dunia ini, terlebih dahulu kita diazankan.  Dan setelah minggal kita di shalatkan. Itulah jarak kehidupan didunia ini, hanya sekejap saja. Sekejap azan dengan shalat (kok jadi bahasa malaye ya? Hehe). Oleh karena itu, perlu kita ketahui tujuan kita diturunkan kedunia ini hanyalah untuk ibadah. Sesuai dengan firman Allah yang setiap shalat kita ucapkan "Sesungguhnya shalatku, ibdahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam" (Al-An'am 162). Ini merupakan jaji setia kita kepada Allah yg telah memberi kesempatan kepada kita untuk beribadah dalam rangka menyeleksi calon-calon penghuni surga dan penghuni neraka.

Dunia ini adalah pentas ujian untuk manusia, seperti kisah nabi adam dan hawa yang awalnya di surge dan tergoda oleh godaan syetan sehingga adam dan hawa melanggar larangan Allah. Nabi adam akhirnya taubat dan Allah menerima taubat adam sehingga Allah mengeluarkan nabi adam dari surge dan menurunkannya ke dunia. Kenapa syetan menggoda nabi adam dan keturunannya? Hal ini dikarenakan pada saat penciptaan malaikat dari cahaya, jin dari api dan manusia dari tanah. Ketika Allah menyerukan kepada malaikat untuk sujud kepada manusia, malaikat ta’at kepada Allah. Sedangkan jin ketika disuruh sujud kepada manusia, jin titak patuh dengan perintah Allah. Jin merasa lebih tinggi derajatnya dibandingkan manusi. Karena manusia diciptakan dari tanah. Lalu jin dihukum masuk neraka karena tidak patuh dengan perintah Allah. Saat itulah jin memohon kepada Allah agar diberikan wewenag kepada mereka untuk menggoda manusia. Allah mengijinkan kepada jin untuk menggoda manusia.

Oleh karena itulah jin selalu akan mencari kader mereka yang akan dijadikan kayu bakar di neraka. Sampai kita di shalat kan (meninggal) jin selalu akan menggoda kita. Nah! Dari sini sudah kita ketahui tujuan hidup kita hanyalah untuk ta’at kepda Allah dari apa-apa yang dilarangnya dan dari apa yang di perintahnya. Mungkin menurut kita yang dilarang tidak masuk akal, seharusnya kita tidak perlu lagi banyak bertanya mengenai hal-hal yang sudah ditentukan Allah. Seperti nabi Adam dilarang memakan buah kuldi. Mungkin hal sepele, tetapi itulah sebenarnya ujian. Allah menguji kita apakah kita taat atau sebaliknya. Hmmm ini sebenarnya udah masuk kedalam bab tha’ah dan tsiqah.

Baik kembali ke laptob ^_^
Itulah tujuan hidup kita dalam rentang waktu yang sangat singkat sebenarnya. Ada kata yang sudah pameliar pada anak-anak muda jaman sekarang ini, “waktu muda hura-hura, waktu tua baru taubat”. Hal ini dipengaruhi oleh hadis yang mengatakan bahwa Barangsiapa akhir ucapannya di dunia ini adalah Laa Ilaha Ilallah, dia masuk surga.” (HR. Abu Dawud, dan al-Hakim) ini berkaitan dengan Husnul Khatimah (meninggal dalam keadaan baik). Mereka berasumsi waktu dekat meninggal aja mereka baik.

Nah! Kondisinya sekarang apakah kita tahu kapan ajal itu akan datang. Ingatlah bahwa, tidak ada seorangpun yang tau kapan ajal itu datang. Mama louren saja yang katanya ramalannya tidak pernah meleset tidak mengetahui kapan beliau meninggal.

Inilah rahasia Allah. Kenapa Allah merasiakan ini? Tentunya ada maksud yang baik dari Allah. Coba bayangkan jika tanggal kematian kita itu sudah diberi tahu kepada kita. Seandainya Allah memberitahukan kepada kita, bahwa pada umur 50 kita akan meninggal. Tentnya pada umur 0-25 atau 40 tahun kita hura-hura. Dan 25 atau 10 tahun terakhir kita taubat agar mendapatkan khusnul katimah. Atau diberitahukan kepada kita besok kita akan meninggal, mungkin hari ini ana tidak sempat menulis tulisan ini, dan juga kita tidak peduli sama siapun, makan ajapun tidak selera lagi. Tidak mau mencari nafkah lagi, tetapi kita fokus kepada ibadah-ibadah dan ibadah.

Ana juga yakin pasti malam ini kita tidak bisa tidur dengan lelap, malam ini pasti fokus ibadah-ibadah dan ibadah juga. Sehingga kehidupan kita sudah tidak seimbang lagi. Inilah alasan kenapa Allah merahasiakan hari itu. Agar kita selalu seimbang dalam kehidupan di dunia ini.
Oleh karena itu, hasan Al-Banna juga mengatakan pada wasiatnya; “Al Wajibaat Aktsaru Minal Auqat.” Kewajiban kita lebih banyak daripada waktu yang ada. Waktu kita Cuma singkat, jaraknya dari azan sampai shalat. Saudara-saudaraku yang dicintai Allah. Pergunakanlah waktu diselal-sela azan ini untuk terus beribadah kepada Allah, sebelum shalat itu tiba.

Wallahu a'lam bishawab

Wednesday, August 29, 2012

Lyrik Lagu Gayo - MANAT

(Cipt. Iwan || Voc. Iwan)



Nge ikhlas aku, wo anak ku meluah i kao
Bier wan ni ate terasa karu, turah kuterime
Besilo anak ku, nge ara judu, morep wan denie
Buge bahgie, kao roan mu, i wan rumah tenge

Gelah mengerti, suami istri, gelah saling setie
Gelah saling jujur, enti ara tuni, iwan ni kekire
Resie diri, kujema rami enti i cerite e ee
Paleng pe jema, kedek mulawi, si mongot kite

Oya le mulo, ari ama ine, kujantong rasa
Buge mulie wan rumah tenge, aman sejahtera

Ke ara masalah enti i emah akhire ku dewe
Gelah roan mu bermusyawarah saling menerime
Ike beret musalah gelah mulangkah ko jema tue
Enti ku jema mai arah, kemel kese kite

Ine rum ama suntuk berdo'a, jep waktu si lime
Buge anak ku jarak ri mara selisihmi bele
Rajen semiang, ko ku mushala, enti ara lupe
Ike jeroh ibadah wan rumah tangga mudah rejeki te

Oya le mulo, ari ama ine, kujantong rasa
Buge mulie wan rumah tenge, aman sejahtera

Wednesday, August 22, 2012

Lyrik Lagu Gayo - Mongot

(Cipt: Alm. Safruddin || Voc. Sakdiah.)


Kucak berkaol, konot bernaru
Lanyut umur mu, mudah rejeki
Mutuah bahgie mi, kao anak ku
Kejang payah ku, buge muarti

Perange perasat, gelah jeroh lagu
Gelah mutentu, do'a ari kami
Ku laililahen kao anak ku
Mes ko matamu lale wan nipi

Wuoooooiiii, Wuoooooiiii
Woi anaku bantal nulu ken ules nome.
Mongot enti mongot 2x
Oteh item onot, gere nae mokot
Kao munemeng time

Gelah bicer jinger, sediken ku talu
Sana mangku, ules niperi
Tingkah serakah, seriet bersebu
Kekire natengku enti kukuen kukiri

Kul nate ken anak, lagu jelen muliku
Gere mera buntu naru ni dene
Peri berabun tungker langkahmu
Kusipe beloh mu, mubudipekerti

Wuoooooiiii, Wuoooooiiii
Konot ken penikot, naru ken penegu anak ku

Mongot enti mongot 2x
Oteh item onot, gere nae mokot
Kao munemeng time

Thursday, August 9, 2012

ANALISA SWOT

     SWOT (Strength, Weakness, Oportunity, and Treatment) adalah serangkaian analisa mengenai Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Tantangan untuk mengetahui seberapa besar ruang kemungkinan atas suatu grand design pekerjaan a/tau aktivitas yang akan kita lakukan. Analisa SWOT sangat penting dalam manajemen suatu organisasi atau aktivitas yang sejenis. Setelah membuat SWOT kita akan mengetahui sejauhmana kemungkinan tercapainya semua rencana strategis yang akan kita realisasikan. Dengan demikian SWOT akan memperkuat perisai organisasi dengan pengetahun tentang titik kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh organisasi atau harakah dakwah.
Strength and weakness (kekuatan dan kelemahan) sifatnya internal meliputi SDM baik secara kualitas maupun kuantitas, stategi yang telah ada, atau progress kinerja yang sudah dijalani selama ini. Sedangkan oportunity and treatment (peluang dan hambatan) sifatnya eksternal meliputi kecenderungan politik, ekonomi, sosial atau teknologi, pihak luar yang merasakan hasil aktifitas organisasi kita, dan pesaing/kompetitor serta mitra kerja (jaringan).
Misalnya, di suatu kampus akan dirintis sebuah lembaga dakwah akademik di tingkatan universitas. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa lembaga-lembaga tingkatan fakultas sudah cukup seattle, namun hampir semua kader strategis sudah disibukkan dengan amanah-amanah di wajihah-wajihah yang sudah ada. Keadaan ini menyulitkan perintisan lembaga tingkat universitas tadi karena tidak ada kader yang bisa konsen disana. Keadaan seperti ini merupakan kelemahan (weakness). Namun dukungan birokrasi kampus terhadap perintisan lembaga tingkat universitas itu sangat besar, mengingat belum adanya lembaga sejenis ditingkatan universitas. Maka keadaan ini masuk ke dalam peluang. Misalnya lagi semua lembaga akademik tingkatan fakultas statusnya sebagai pemegang dalam arti kader dakwah mayoritas berada dalam posisi-posisi yang strategis. Nah ini merupakan kekuatan, sehingga kelompok study fakultas yang sudah ada dapat ikut menginisiasi lembaga akademik tingkat universitas. Namun ternyata kampus antum merupakan kampus yang sangat politis, sehingga bentuk perintisan wajihah apapun jika itu diketahui dilakukan oleh kader dakwah maka dianggap sebagai penguatan basis politik oleh mereka, maka ini merupakan ancaman bagi perintisan lembaga tadi.
Pada saat kita menyusun SWOT, kita dapat mengenali satu tingkat daripada hanya menganalisa keadaan mana yang benar-benar merupakan kekuatan atau kelemahan dan keadaan mana yang merupakan peluang atau ancaman. Oleh karena itu menyusun SWOT harus dilakukan seobyektif dan sejujur-jujurnya.
Jika semua SWOT telah kita susun dan kita koreksi kembali dengan seksama, sekarang sesuaikan dengan misi awal yang kita bangun tatkala menyusun SWOT tersebut. Apakah yang kita tulis memiliki korelasi atau berbasis kenyataan atau tidak? Kenyataan ini adalah kondisi kekuatan kita pada saat ini. Maka hasil SWOT inilah yang akan menuntun kita pada langkah selanjutnya. Apakah lembaga akademik tingkat universitas tadi akan kita rintis sekarang atau ditangguhkan?
SWOT juga bisa berlaku untuk analisa diri sendiri. Misalnya, saya bercita-cita ingin menjadi peneliti. Daya dukung apa yang harus saya miliki? Jenjang pendidikan, bahasa karena sebagian jurnal-jurnal yang relevan adalah jurnal internasional, karakter analitis dan teliti, dsb. Kapan daya dukung ini harus saya miliki semuanya? Padahal saat ini saya hanya mahir bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, jenjang pendidikanpun baru S1 dan pengalaman riset saya masih sangat minim. Berarti yang tidak saya miliki adalah skill dan pengalaman. Skill dan pengalaman ini bisa dibangun.
Sekarang saya menyusun kapan saatnya saya harus menguasai bahasa Inggris. Berapa banyak saya harus menginvestasikan waktu saya dalam sehari untuk belajar bahasa Inggris? Langkah-langkah apa saja yang harus saya lakukan untuk mempersiapkan study lanjut? TOEFL, finansial, dll. Sekarang saya telah memiliki cara berfikir yang terstruktur. Disinilah akan tergabung antara mimpi dan pikiran, antara imajinasi dan perencanaan. Jadi tidak hanya berkhayal. Disini sifat realistis saya diuji.
Inilah metode SWOT yang bisa kita aplikasikan, baik untuk SWOT diri kita sendiri maupun SWOT organisasi. Sekarang kita isi dulu form SWOT kondisi masing-masing kampus anda (secara berkelompok 4-5 orang). Dan bayangkanlah bahwa anda ingin memenangkan (memfutuhkan) dakwah kampus tahun 2012. Dapat dimengerti bahwa pertama kali mengisi kita akan kesulitan, namun jika kita melakukannya terus menerus (secara berkala), maka kita akan terbiasa menganalisa kondisi-kondisi di sekeliling kita. Selamat bekerja!
Jika sudah selesai mohon untuk dipresentasikan (diambil perwakilan) dan dipaparkan kesulitan-kesulitan dalam menyusun SWOT. Dan diskusikanlah dengan pemateri anda!

Wednesday, August 8, 2012

KEUTUHAN DAKWAH KAMPUS


Revolusi Akademik! Menyeimbangkan Da’wah Kampus Yang Belum Tuntas!

Oleh : Arie Wibowo S.T


Sejak masuk dan bergulirnya da’wah Islam di kampus-kampus hingga saat ini, telah banyak perkembangan dan perubahan serta hasil-hasil yang terlihat dari sepak terjang dan formulasi yang dilakukan dalam mengarahkan dan pengelolaan  da’wah kampus. Bergulirnya secara masif konsep dan format da’wah kampus yang didasarkan pada  tiga kompetensi peran dan fungsi mahasiswa telah juga memperlihatkan capaian–capaian dan perkembangan yang dapat dicermati. Mengacu pada konsep dan format da’wah kampus yang telah digulirkan, yaitu bahwa mahasiswa memilki setidaknya 3 peran dan fungsi besar diantaranya;
1.   Peran dan fungsi da’wiyah, sebagai benteng moral
Dimana seorang mahasiswa muslim dengan keIslamannya menjadi sesosok manusia berkepribadian Islam yang hidup ditengah masyarakat kampus dan menyebarkannya kepada yang lainnya. Dengan berpagar pada prinsip, nilai dan norma Islam, pribadi–pribadi ini hidup bersama dan berjalan dalam lingkungan kampus, yang dikemudian hari diharapkan terbangun sebuah komunitas mahasiswa sebagai sebuah entitas moral yang masif (moral credibility).
2.   Peran dan fungsi intelektual, sebagai iron stock (cadangan keras)
Tak dapat dipungkiri, keberadaan mahasiswa di kampus pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang mencari tetes demi tetes tinta ilmu yang mengalir dalam bangku kuliah. Ini adalah misi asasi ketika seseorang memasuki dunia kampus sebagai mahasiswa. Sehingga budaya, kebiasaan dan cara berfikirnya pun di sinergikan dengan berbagai hal yang melingkupinya sebagai intelektual. Cerdas, objektif ,argumentatif, ilmiah dan semangat berprestasi. Itulah kira-kira serentetan sosok yang melekat pada dirinya.
Dan secara futuristik kelompok masyarakat terbatas inilah yang akan banyak berperan dalam banyak partisipasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara langsung. Jumlahnya memang terbatas dibandingkan orang kebanyakan. Karena memang kesempatan memperoleh pendidikan yang layak di negeri ini masih terbatas. Inilah yang coba dikembangkan oleh da’wah kampus untuk membangun barisan intelektual yang cerdas, objektif, argumentatif, ilmiah dan semangat berprestasi yang berafiliasi pada Islam. Sehingga komintas yang terbangun menjadi sebuah entitas intelektual yang bervisi keummatan (Intelectual credibility).
3.    Peran dan fungsi siyasiyah sebagai agent of change (agen perubahan).
Sudah menjadi tabiat sosial politik di dunia berkembang, dimana dalam proses penyelenggaraan bernegara dan bermasyarakat acapkali terjadi ketimpangan sosial yang tak terjembatani dan  unbalancing power. Pada kondisi seperti ini biasanya, kampus dan mahasiswa sebagai bagian dari gerakan pro-demokrasi dan perubahan, memainkan perannya secara signifikan sebagai jembatan sosial dan balancing power. Tak pelak lagi, layaknya kekuatan politik, gerakan mahasiswa mengambil perannya sebagai ‘oposisi’ bagi kekuasaan dengan ciri dan gayanya yang khas. Dalam kondisi yang demikian, da’wah kampus mengambil bagian perannya dalam menjembatani ketimpangan sosial tersebut, dan  menjadi penyeimbang kekuasaan melalui gerakan mahasiswanya, dan tentunya dengan visi mengarahkan itu semua agar terjadi perubahan kearah yang lebih baik serta berpihak kepada ummat (Social Political Crediblity).
Demikianlah peran dan fungsi mahasiswa muslim,  seperti yang dirumuskan oleh para mu’asis da’wah kampus dengan kejelian bashirah dan keluasan wawasan yang jauh kedepan serta bacaannya pada medan yang cukup tajam. Lalu pertanyaannya adalah: “Sudah sejauh apakah perjalanan da’wah kampus yang sudah bergulir sedemikian lama dan penuh dinamika?” “Juga seberapa pesat perkembangan dan capaian-capaian yang terjadi dari apa yang  telah digariskan dalam ketiga peran dan fungsi yang dirumuskan?”

 

Da’wah K ampus Mengevaluasi Diri

Pada mulanya da’wah kampus memberikan fokus yang sangat besar hanya pada peran dan fungsi da’wiyah. Ini ditandai dengan banyaknya upaya perekrutan (tarbiyah) yang dilakukan oleh aktifis da’wahnya. Disamping syi’ar-sy’iar Islam yang terus dikembangkan. Hal ini terus menerus dilakukan hingga saat ini. Bahkan, formulasi dan modifikasinya juga terus berkembang lebih maju dan modern, sejalan dengan semakin menjamurnya lembaga da’wah kampus di setiap kampus yang ada, sebagai basis pergerakan, pemikiran dan konsolidasi kekuatan Da’wah dalam kelembagaan formal dan terlegitimasi.
Prestasi besar yang pernah tercatat dalam kaitan peran ini dalam kehidupan sosial kemasyarakatan adalah dengan diizinkannya pelajar dan mahasiswi muslimah mengenakan jilbab sebagai tuntutan syari’at dan indentitas muslimah. Selain itu kultur dan kebiasaan  Islam seperti pengucapan salam, pakaian Islami, penerbitan buku dan majalah Islam, dan lain-lain kini marak ditemukan dalam suasana yang masif. Pengaruh ini juga membias di dalam kehidupan masyarakat umum. Sampai saat ini, peran dan fungsi yang satu ini terus mengartikulasikan peran dan fungsinya dalam skala kualitatif dan kuantitatif. Bisa dikatakan untuk peran dan fungsi yang sudah cukup lama dilakukan ini, da’wah kampus hanya melanjutkan apa yang sudah ada dan menjadi nafas da’wah, sambil mengoreksi dan memodifikasinya sesuai tuntutan zaman.
Pada perkembangannya kemudian, da’wah kampus yang sebelumnya hanya memainkan peran dan fungsi da’wiyah serta berbasis di masjid dan musholla, dengan payung Lembaga Da’wah Kampus, dalam bentuk syi’ar dan mentoring keislaman, mengembangkan peran dan fungsi siyasiyah sebagai agen perubahan, dengan mulai berpartisipasi dalam dunia kemahasiswaan yang lebih umum. Da’wah kampus bermetamorfosa  dalam bentuknya yang lebih ‘umum’ dan partisipatip dengan terlibat dalam aktivitas kemahasiswaan di lembaga kemahasiswaan umum, seperti Senat Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Jurusan, Koperasi Mahasiswa, Kelompok Studi Mahasiswa dan lain-lain. Para aktifis da’wah kampus merasa perlu mengembangkan dan memperluas wilayah da’wahnya ditempat lain, selain masjid dan musholla dengan gaya serta cara yang ‘berbeda’.
Memang diawalnya ada kegamangan dari aktifis da’wah kampus pada waktu itu. Baik dalam sikap terhadap keputusan tersebut maupun cara dan gaya yang harus dikembangkan. Cukup lama inkubasi da’wah yang dihadapi pada waktu itu untuk bisa mendapatkan  proporsi dan posisi yang seimbang dalam kerangka da’wah. Apalagi menanggulangi ekses negatif dari sebuah konsekwensi ekspansi da’wah. Seperti misalnya, terjadinya ketimpangan SDM antara yang terlibat dalam  menopang fungsi dan peran Da’wiyah dengan Siyasiyah. Atau ekses, shock culture yang terjadi dikalangan aktifis da’wah kampus, dikarenakan ekslusivitas yang selama ini terbangun baik sengaja atau tidak disengaja. Namun lambat laun sebagai The Fast Learner, aktifis da’wah kampus mampu menanganinya secara wajar dan seimbang hingga saat ini. Mereka terus berinovasi dan mengembangkan model serta pendekatannya terhadap peran dan fungsi siyasi ini.
Bahkan dikemudian hari, peran dan fungsi yang satu ini, menemukan momentum dan sejarahnya yang  pas pada kondisi sosial politik Indonesia mutakhir. Hal ini ditandai dengan terlibat secara aktif dan berpengaruhnya aktifis da’wah kampus memainkan peran dan fungsi siyasi sebagai agen perubahan dalam peta demokrasi dan politik Indonesia. Tinta emas sejarah mencatat dengan sangat kuat ketika pada tahun 1998, ketika gelombang Reformasi dinegeri ini bergejolak dengan sangat kuat hingga melengserkan simbol orde baru dari kursi kepemimpinannya. Dimana orde baru ini diyakini sebagai sumber pengekangan, otoriterianisme, kediktatoran, anti demokrasi dan perubahan, pemasungan hak–hak asasi manusia serta  penghalang kebangkitan dan kebebasan da’wah Islam. Pada waktu itu elemen yang paling kritis dan berani mengoreksinya adalah mahasiswa dengan payung kemahasiswaannya semisal Senat Mahasiswa. Dimana pada saat itu Lembaga-lembaga Kemahasiswaan yang ada, dipimpin oleh aktifis da’wah kampus sebagai hasil dari investasi fungsi dan peran siyasi yang sejak lalu dilakukan. Ditambah lagi dengan terkonsolidasinya kekuatan Lembaga Da’wah Kampus dengan payung Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang sangat memainkan peran perubahan di negeri ini. Tercatatlah beberapa tokoh aktifis da’wah sebagai pelopor bergulirnya Gelombang reformasi, mereka menjadi tokoh nasional bahkan internasional karena dianggap mempelopori dan menggerakan arus reformasi di negeri ini. Sejak saat itu hingga kini peran siyasi dalam konteks perubahan yang dimainkan oleh aktifis da’wah tetap berjalan disetiap rezim yang ada di negara ini.
Ada satu sisi peran dan fungsi lain dari da’wah kampus yang tertinggal dan belum menampakan wujud dan pergerakannya secara konsolidatif dan jama’i. Kalaupun ada pertumbuhan dan perkembangan lebih banyak disebabkan oleh faktor pribadi dan ‘pembawaan sejak lahir’. Yaitu peran dan fungsi intelektual sebagai iron stock. Memang sejak digulirkannya da’wah kampus hingga kini, laju peran dan fungsi intelektual sebagai iron stock ini jauh tertinggal dibelakang peran dan fungsi da’awi dan siyasi. Seolah-olah satu peran dan fungsi ini diserahkan oleh da’wah kampus sepenuhnya kepada tanggung jawab pribadi. Sehingga yang terjadi cukup dramatis. Bahwa tradisi kejama’ian  aktifis da’wah kampus hanya hadir pada segmen kerja yang sifatnya sy’iar dan pembinaan atau da’wah siyasi. Tetapi untuk masalah akademis dan study masuk kewilayah privacy dan nafsi-nafsi.
Ekses yang terjadi akibat hal ini juga sangat dramatis, aktifis da’wah kehilangan kesempatan untuk berprestasi, menjalani tradisi intelektual yang dinamis dan berbobot, membangun lingkar kerja dan da’wah yang luas, serta berpartisipasi atas keilmuan yang dimilikinya selain membiaskan masa depan yang dibangunnya. Memang membincangkan satu hal ini sangat sensitif lantaran berkaitan dengan kemampuan intelegence dan kerajinan seseorang. Tetapi bukan kemudian da’wah tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap permasalahan ini, apalagi melalaikannya secara sistemik dengan tidak adanya orang atau badan yang berusaha mengelola dan menangani perkembangan serta pertumbuhan sisi tersebut. Adakalanya memang seseorang memiliki kemampuan intelegensia yang biasa-biasa saja, tetapi treatment yang wajar dan perhatian yang seimbang sebenarnya bisa sedikit mengatasi permasalahan tersebut. Tetapi ada juga beberapa aktifis da’wah yang memiliki prestasi yang cukup baik dikampus lantaran kemampuan pribadi.
Pada realitas yang sebenarnya,  terjadi gejala yang fenomenal, bahwa seolah-olah ada keterpisahan jarak yang cukup dalam antara progresifitas da’wiyah dan siyasiyah dengan akademis. Siyasi dan Da’wy di sebuah gunung  yang sama, sementara akademik di sebuah lembah yang lain, ironis! Ada beberapa kemungkinan faktor yang mempengaruhi mengapa laju peran dan fungsi akademik (fanniyah) tidak begitu cepat progresnya dibandingkan peran dan fungsi siyasi dan da’wy, diantaranya :
1.    Tidak seimbangnya para aktifis da’wah kampus memahami manhaj da’wah kampus. Hal ini mudah terlihat dari tidak diberikannya perhatian yang cukup memadai terhadap fungsi dan peran fanniyah (akademik)
2.    Tidak seriusnya penataan dan penanganan seputar permasalahan akademik dikalangan aktifis da’wah kampus. Misalnya, minimnya konsolidasi yang dilakukan untuk mem-backup permasalahan akademik seperti konsolidasi dosen aktivis, konsolidasi orang-orang pintar dll.
3.    Cara pandang yang salah terhadap komunitas ‘orang-orang pintar’ dikampus yang tidak terlibat dalam ‘kegiatan’ teknis dilapangan da’wah kampus. Ada kesan bahwa komunitas orang-orang pintar tersebut pragmatis dan egois, sehingga dijauhi dari perputaran da’wah, padahal mereka bisa diajak beramal islami dalam wilayah yang lain.
4.    Paradigma terbalik yang sering menjadi kebiasan mahasiswa umum, bahwa menjadi aktifis harus berantakan kuliahnya menyergap dan diamini secara diam-diam ataupun terang-terangan oleh aktifis da’wah juga.
5.    Mentalitas terbelakang dan primitif tentang makna prestasi yang belum menjadi atmosfir dan kebiasaan dikalangan ADK.
6.    Tidak ada treatment yang seimbang terhadap pengembangan dan peningkatan permasalahan ini. Kalau di kampus ada daurah/training tentang da’wah ataupun siyasi mengapa tidak difasilitasi daurah/training serupa untuk kebutuhan akademik, seperti training kecapakan akademik berupa, kemampuan membaca dan menghapal cepat, cara belajar ffektif, atau asistensi dan mentoring mata kuliah dengan pengajar dari komunitas orang-orang pintar, dll.
7.    Sempitnya pemahaman amal jama’I. Seolah-olah amal jamai hanya milik kegiatan syiar atau siyasi, tetapi untuk akademik nafsi-nafsi..
Padahal membicarakan peran dan fungsi intelektual ini, begitu penting dan urgentnya sebagaimana peran dan fungsi lainnya. Seperti dikemukakan di awal, bahwa peran dan fungsi yang berbasis kepada kemampuan dan penguasaan disiplin ilmu ini sangatlah investatif, karena dengan penguasaan dan kemampuan tersebut, kekuatan kaum muslimin dapat memainkan perannya secara langsung dalam berbagai peran kehidupan, disektor-sektor strategis dengan kredibilitas intelektualnya. Dan tidak banyak orang yang mendapat kesempatan untuk mereguk dan menguasai berbagai disiplin ilmu selain mahasiswa muslim yang study di kampus. Merekalah cadangan masa depan yang siap menggantikan generasi yang rapuh dan tua dinegeri ini. Lima, sepuluh, duapuluh tahun dan hari-hari kedepan adalah milik mereka yang memiliki kompetensi keilmuan dan professional. Apalagi mencermati gejala globalisasi yang semakin dahsyat dan akan mengancam, apabalia da’wah tidak siap mengahadapinya. Ketika zaman semakin meritokratif, the right man on the right place!
Peran dan fungsi fanniyah dari da’wah kampus ini, sebenarnya lebih kedepan juga merupakan anak tangga yang sangat diharapkan bisa mengisi diwilayah-wilayah da’wah profesionalitas berdasarkan pada kompetensi yang dibangunnya dikampus. Melihat peta dan perkembangan amal da’wah mihani (profesi) kekuatan ummat Islam masih belum cukup memadai untuk hal tersebut. Siapa lagi yang paling mungkin memberikan raw material yang mumpuni terhadap da’wah profesi yang memiliki imbas da’wah yang signifikan dalam kehidupan nyata, kalau bukan support dari da’wah kampus.
Dr. Musthafa Muhammad Thahhan mengatakan dalam bukunya Khuttah Amal Thullaby, bahwa :
“ Amal Thullabi yang terefleksi pada buku, guru/dosen, sekolah, kampus, tulisan ilmiah, lembaga kemahasiswaan, baik di tingkat fakultas atau perguruan tinggi, adalah lingkaran awal masyarakat madani. Selanjutnya diikuti oleh organisasi profesi yang mengembangkan amal thullabi di berbagai spesialisasi profesi, diteruskan oleh partai yang menjaga iklim kemerdekaan dan demokratisasi sebagai lingkaran akhir untuk membentuk masyarakat dengan nilai-nilai Islam yang lurus. Dengan semua itu, ummat akan mampu memperoleh tempatnya yang terhormat di tengah masyarakat manusia “

Simultansi antara da’wah kampus, da’wah profesi dan partai politik merupakan sebuah estafeta yang berkelanjutan dalam membangun ummat serta anak tangga yang harus dilalui. Sudah saatnya da’wah kampus kini menyeimbangkan kembali peran dan fungsinya secara proporsional agar kerja-kerja da’wahnya memberikan arti dan sumbangan yang bukan hanya signifikan dalam  akses dan ekses, tetapi dia juga bisa menjadi pijakan yang kuat bagi keberlanjutan da’wah pada anak tangga berikutnya. Sekarang pertanyaannya kemudian, apa yang harus dilakukan untuk menyeimbangkan fungsi dan peran yang sudah berjalan ini? Saat ini masanya da’wah kampus melakukan penataan ulang tawazunitas dan sinergisitas dakwah kampus, terhadap sistem penataan da’wah, paradigma, semangat (spirit), mentalitas, perhatian (concern), kultur dan kebiasaan, serta perangkat pendukungnya, baik secara individu maupun sistem yang bekerja didalamnya, agar da’wah yang sudah digariskan dapat berjalan secara seimbang, faktual dan kokoh serta berkelanjutan dengan tetap komitmen merujuk pada trilogi dakwah kampus, yakni:
Þ      Membangun kompetensi akademik dan persiapan profesi
Þ      Membangun pemahaman sosial dan politik
Þ      Melaksanakan tugas harokah dan dakwah
          Ada beberapa konsideran penting dan mendesak yang bukan lagi untuk didiskusikan, tetapi lebih kepada langkah taktis dan teknis yang harus dilakukan sehubungan dengan Revolusi Akademik ini, diantaranya :
1.   Secara manhaji fungsi dakwah kampus yang belum tertangani dengan sistemik adalah fungsi akademik, selain yang telah mapan tarbiyah, dan yang nampak semakin mapan fungsi social politik.
2.   Tantangan perguruan tinggi yang semakin pragmatis menuju dunia kerja dan masa kuliah yang semakin pendek dengan jadual yang padat, harus dijawab dengan amal khidamy di bidang akademik.  Lagi pula prestasi akademik adalah nilai tertinggi yang mengikat dan menjadi kepentingan seluruh civitas akademika.
3.   Tahap berikutnya pasca dakwah kampus adalah dakwah profesi baik itu sebagai akademisi, entrepreneur maupun professional.    
4.   Selain fungsi dakwah kampus di bidang tarbiyah yang ditandai oleh terkelolanya lembaga-lembaga keagamaan di kampus, dan fungsi social politik yang ditandai oleh terkelolanya BEM/Senat Mahasiswa, pada tahap berikutnya dakwah kampus harus merambah ke himpunan-himpunan mahasiswa jurusan untuk meningkatkan kompetensi dibidang ilmu yang digelutinya dan membina jaringan profesinya sedini mungkin, selain meningkatkan skill dan kompetensi ilmiah setiap individu..
5.   Kebutuhan dakwah di mihwar muasasi dan persiapan ke arah mihwar dauliy kelak sangat membutuhkan SDM, konsep, dan infrastruktur yang matang.  Proses Islamisasi negara dan sebuah peradaban pada umumnya membutuhkan proses Islamisasi mulai dari tingkat normative, teory, hingga ke tingkat model-model aplikatif.  Hal ini mau tidak mau, siap tidak siap, bisa tidak bisa harus dimulai dari fungsi akademik dakwah kampus.
6.   Jaringan di dunia akademik tanpa tapal batas.  Apabila berkembang ikatan, asosiasi, atau lembaga-lembaga atas dasar bidang akademik tertentu akan terjalin suatu “benang hijau” yang menjadi infrastruktur dakwah ditingkat ‘alamiy (internasional)
          Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan secara seksama dari para penyelenggara da’wah kampus (semacam kaidah), agar Revolusi Akademik ini berjalan secara efektif dan efesien serta meminimalisir ekses yang mungkin terjadi dari sebuah perubahan dan reengineering da’wah kampus, diantara kaidah itu adalah :
1. Tidak Menjadi Bandul Pergerakan.
Belajar dari pengalaman yang pernah ada dan dilakukan dari proses da’wah kampus yang telah lampau, dimana menjadi kebiasan yang tidak baik dalam pergerakan da’wah kampus, selalu terjadi ketidakseimbangan sistem, baik tingkat distribusi SDM maupun performance kerja, dalam setiap perubahan dan ekspansi da’wah ke wilayah garap yang baru. Ini pernah terjadi ketika fungsi siyasi waktu itu baru dihembuskan urgensi dan kepentingannya. Maka banyak kampus mengalami bandul pergerakan yang tak seimbang, dimana para aktifis da’wahnya berbondong-bondong aktif berpartisipasi dalam aktifitas lembaga kemahasiswaan umum (bedol ikhwah) sehingga yang menjaga gawang peran dan fungsi da’awy tidak ada serta tidak menarik  lagi, sehingga pembinaan (tarbiyah) dan syi’ar tidak berjalan sebagaimana mestinya. Walaupun kemudian recovery permasalahan ini cepat tertangani. Hal ini terjadi lantaran aktifis da’wah kampus terlalu kaget dengan kejutan-kejutan pergerakan yang memang sudah menjadi tabi’atnya senantiasa dinamis dan penuh pergerakan. Revolusi Akademik yang didengungkan nanti tidak harus memunculkan kejutan-kejutan pergerakan yang akan menyebabkan terganggunya sistem yang sudah berjalan. Disamping apa yang selama ini sudah berjalan (da’wiyah dan siyasiyah) tidak harus terbengkalai dengan adanya peneguhan dan perbaikan fungsi yang lainnya (fanniyah)
2. Spesialisasi Bukan Parsialisasi
Tiga peran dan fungsi yang telah digariskan dalam manhaj da’wah kampus sebenarnya hendak menjadikan mahasiswa dalam peran strategisnya itu menjadi gerakan yang dinamis dan masif, bukan pada upaya mengklasisfikasi, mengkotakkan peran dan fungsi apalagi kalau dipandang sebagai sebuah parsialisasi peran dan fungsi. Ketiganya adalah peran dan fungsi umum yang harus dimainkan dan dimasifkan secara bersamaan sabagai sebuah komunitas dan indentitas. Walaupun pada kenyataannya dilapangan masing-masing peran dan fungsi tersebut menemukan wilayah dan  kecenderungan yang berbeda terhadap berbagai jenis dan tipe orang. Akhirnya yang ada adalah sebuah upaya memberi jalan bagi kecenderungan yang lebih besar dari para aktifis da’wah sebagai spesialisasi peran dan fungsi yang dimilikinya. Tetapi ketiga tetap harus berjalan beriring bersamaan, tidak saling mengeliminasi.
3. Dari dalam keluar dan dari luar ke dalam
Revolusi Akademik ini, harus mampu melakukan mobilisasi pergerakan atas nama intelektualisme, kesegenap elemen dan masyarakat yang ada didalam kampus.Dalam hal ini mahasiswa muslim secara umum. Ada proses timbal balik antara aktifs da’wah dan masyarakat kampus yang ammah baik dosen maupun mahasiswanya. Misalnya, mentoring dan asistensi yang diperuntukan mahasiswa muslim diisi oleh dosen / mahasiswa dengan fasilitatornya aktifis da’wah. Atau membuka networking kerja –kerja ilmiah dan akademis, seperti asisten lab, asdos, penelitian dll, dengan para dosen potensial dsb.
Diantara ciri khas manhaj Islam adalah bersifat utuh dan menyeluruh serta meliputi berbagai sistem yang dapat memenuhi beraneka kebutuhan manusia. Sedangkan sektoralisasi (juz’iyah) sama ibaratnya seperti mempreteli sebuah alat yang tersusun dari beberapa bagian yang saling menyempurnakan. Akibatnya alat tersebut akan rusak dan tidak akan berfungsi lagi. Seperti itulah logika dakwah kampus harus menjaga keutuhannya. Maka disini berlaku logika tawazun dalam membangun dakwah kampus. Jika totalitas dan integralitas adalah suatu kewajiban dalam dakwah, maka tawazunitas dakwah kampus tidak diragukan lagi merupakan tuntutan yang harus dipenuhi. Jika setiap lini dakwah tidak mensinergikan dirinya dalam mata rantai perjuangan dakwah kampus, niscaya kegiatan-kegiatan siyasi, da’awi maupun ilmi akan tetap merupakan aktivitas individu, sektoral, temporal, terancam eksistensinya serta memperlambat kemenangan dakwah kampus. Sebab dakwah yang syamil mensyaratkan keterlibatan seluruh potensi yang dimiliki oleh para kadernya.

TRANSFORMASI SAINS UMAT


Oleh: Hadi Teguh Yudistira[1]

Sejak Nabi Adam a.s. diturunkan oleh Allah SWT ke bumi, Allah telah menurunkan nikmat ilmu pengetahuan (sains). Allah telah mengajar nabi Adam a.s. tentang benda-benda yang ada di muka bumi. Selanjutnya pengetahuan yang diperoleh oleh nabi Adam a.s. berkembang sampai saat ini sehingga melahirkan teknologi yang merupakan perpaduan antara sains dan nilai-nilai lain seperti seni, budaya, ekonomi, dsb. Teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yg diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.(1) Teknologi sudah diperkenalkan sejak zaman pra sejarah. Pada zaman tersebut, manusia pra sejarah sudah menggunakan teknologi. Pembabakan zaman prasejarah berdasarkan arkeologi terbagi atas dua zaman yaitu zaman batu dan zaman logam.(2) Pada zaman batu, manusia prasejarah sudah mengenal teknologi yang terbukti dengan ditemukan peninggalan prasejarah berupa kampak dari batu. Kampak ini merupakan hasil teknologi manusia pra sejarah yang digunakan untuk keberlangsungan hidup mereka.
Teknologi merupakan perpaduan antara sains dan seni (science and art). Hal ini yang telah dilakukan oleh manusia pra sejarah. Mereka membutuhkan suatu alat yang digunakan untuk memburu hewan dan juga mengambil tumbuh-tumbuhan. Dengan adanya kebutuhan tersebut, manusia pra sejarah berusaha membuat suatu alat yang memiliki bentuk yang cocok dengan anatomi tangan manusia (seni) dan yang cukup tajam untuk memotong (sains). Tetapi saat ini, teknologi bukan hanya perpaduan sains dan seni tetapi perpaduan sains, seni dan nilai ekonomi (science, art and economic). Jika suatu teknologi tidak memiliki nilai ekonomi yang bersaing di pasar maka teknologi tersebut akan punah. Perubahan perpaduan makna teknologi ini dikarenakan kebutuhan manusia.
Sains memiliki peran dalam transformasi teknologi. Baik secara langsung maupun tidak langsung, teknologi dapat mempengaruhi budaya yang berkembang di kehidupan masyarakat dan begitu juga sebaliknya budaya yang berkembang di tengah masyarakat akan menentukan teknologi tersebut dapat diterima atau tidak. Oleh karena itu konsep Islam diperlukan dalam perkembangan sains maupun teknologi. Pentingnya nilai-nilai Islam dalam pengembangan sains dan teknologi tidak hanya dipicu oleh faktor pengaruh terhadap budaya namun lebih jauh karena sains yang berkembang pada era iptek yang bertumpu pada paradigma probabilistik relativistik Newton yang berkembang sebelum abad 20 sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Paradigma probabilistik relativistik artinya sesuatu memiliki banyak kemungkinan alternatif pemecahan persoalan, sehingga iptek pun mempunyai kemampuan prediksi yang lebih baik dalam pemecahan masalah. Iptek yang bertumpu pada paradigma ini kemudian melahirkan masyarakat yang sekuleristik dan mengabaikan nilai-nilai agama (mengabaikan unsur-unsur Tuhan karena berfikir bahwa mereka mampu memprediksi apa yang akan terjadi). Benturan iptek dan agama semakin hebat terjadi tatkala pada abad ke-19 muncul buku The Original Spesies karya Charles Darwin. Dan selama puluhan tahun lamanya buku ini dijadikan diktat kuliah pokok di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi termasuk di Indonesia.
Pergeseran nilai-nilai sains inilah yang memicu para ilmuwan muslim dan para filsuf muslim kontemporer memuculkan konsep Islamisasi sains. Mereka prihatin terhadap pergeseran nilai metodologi keilmuan yang memang telah menghasilkan temuan dan produk ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat. Namun dibalik itu semua sesungguhnya kebenaran dan kemanfaatan yang dihasilkan meniscayakan ketimpangan dari suatu objek kajiannya dengan melakukan reduksisasi dan manipulasi kebenaran. Dampak yang dirasakan oleh umat manusia diantaranya menjadikan sains penguasa kehidupannya, seolah-olah nasib manusia ditentukan dan ditaklukan oleh sains bahkan sains menghilangkan jati dirinya. Begitu pula dalam kehidupan: terpinggirkannya nilai-nilai kemanusiaan, moral, agama dan nilai-nilai budaya yang luhur. Pernah menonton film 2012? Itulah salah satu contohnya, bahwa ternyata kekuatan sains dan teknologi menurut “prediksi” ilmuwan barat non muslim dapat menghindari takdir yang sudah pasti terjadi, yakni kiamat. Atau kasus lain, ditemukannya DNA (Deoksirobosa Nucleid Acid) sebagai konsitusi genetik makhluk hidup disatu sisi meningkatkan kualitas genetik manusia, namun disisi lain jika salah penerapan seperti klonning pada manusia maupun hewan, jika disikapi dengan minimnya keimanan kepada Sang Maha Pencipta akan menimbulkan perasaan lebih unggul dari Tuhan karena merasa telah berhasil menciptakan produk yang lebih unggul lewat eksperimen DNA. Bahaya lain bagi manusia yakni akan menghancurkan martabat manusia itu sendiri sebagai makhluk rasional yang seharusnya mampu menjalankan amanah Allah swt.
Keprihatinan yang dihasilkan oleh metodologi sains barat modern inilah yang memunculkan metodologi keilmuan kontemporer yang intinya memberikan solusi agar kebenaran dan produk IPTEK yang dihasilkan mengarah pada kebenaran eksistensi dan esensi obyeknya. IPTEK bukan merupakan hasil rekayasa manipulatif manusia atau bukan pula hasil seeing is beliving semata yang merupakan paradigma metodologi ilmu pengetahuan modern selama ini. Secara umum metodologi sains Islam berangkat pada beberapa hal:
1.      Alur pemikiran filosofis-analitis, metode ini menekankan pada penafisran yang islami atas sains-sains yang dipelajari dan dikembangkan. Sehingga kesimpulan akhir sains mengarah pada pengakuan dan keyakinan adanya zat yang Maha Kuasa serta tetap mempertahankan eksistensi umat manusia dan jagad raya(4).
2.      Alur pemikiran metodologi metodis-praktis, metode ini menekankan pada upaya metodis dalam kerja aktivitas sains sehingga meniscayakan lahirnya sains yang rahmatan lil’alamin(4).
3.      Applied Ethics, yakni menerapkan aplikasi moral dalam membuat keputusan moral tentang tindakan tertentu yang menyangkut kebijakan profesional dalam membuat keputusan teknologi. Kriterianya digali dari teori moral: HAM dan keadilan, sehingga keputusan yang dibuat diikuti dengan filter azas manfaat(5).
Islamisasi sains merupakan istilah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Istilah ini bukan berarti bahwa semua sains saat ini tidak Islami. Kebingungan dengan istilah Islamisasi merupakan suatu hal kewajaran. Hal ini dikarenakan dari cara berfikir yang tidak membedakan antara ilmu sains dan fenomena alam. Allah SWT menurunkan fenomena-fonemena alam namun tidak menurunkan formulasinya. Ilmu sains adalah aproksimasi fenomena-fenomena alam tersebut, sehingga keduanya tidak selalu sama persis.(6) Proses Islamisasi ilmu adalah proses pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan yang ada kepada prinsip yang hakiki, yakni tauhid, kesatuan makna kebenaran dan kesatuan sumber. Melalui prinsip pertama (tauhid), sains tidak hanya digunakan pada praktis, tetapi juga digunakan untuk memahami eksistensi yang hakiki alam dan manusia. Prinsip kedua (kesatuan makna kebenaran) akan membebaskan ilmu sains dari sekularisme. Dalam prinsip ini tidak ada istilah kebenaran ilmiah dan kebenaran relijius. Dikarenakan sains telah membenarkan isi dari Al-Qur’an. Hal ini berbeda dengan kasus kebenaran yang dikeluarkan oleh pihak gereja pada masa lalu (sekitar abad 17). Kebenaran yang dikeluarkan gereja ternyata salah berdasarkan penemuan yang dilakukan oleh Galileo. Prinsip ketiga menjadikan alam dan Al-Qur'an sebagai sumber ilmu sains. Dari prinsip ketiga ini dapat disimpulkan bahwa ayat kauniyah maupun ayat qouliyah merupakan sumber ilmu sains. Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah kitab ilmu sains. Walaupun beberapa ayat Al-Qur’an berisikan tentang sains, tapi Al-Qur’an harus tetap dalam posisi petunjuk hidup umat manusia.(6,7)
Secara sunatullah, para ilmuwan di bumi ini melakukan penelitian sesuai dengan arahan dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an mengatakan bahwa bumi akan hancur dikarenakan oleh perbuatan manusia, dan saat ini banyak para ilmuwan telah memperhatikan isu ramah lingkungan dalam menghasilkan teknologi. Di salah satu international conference tahun 2009, seorang peneliti sudah memberikan alasan kebijakan kelompok risetnya untuk melakukan riset yang ramah lingkungan untuk menghindari pemanasan global.(3) Dalam bidang Teknik Kondisi Lingkungan (TKL), beberapa peneliti sudah mulai melakukan penelitian untuk menemukan refrigerant yang ramah lingkungan (non-CFC). Saat ini, teknologi bukan hanya perpaduan antar sains, seni dan nilai ekonomi saja tetapi sudah memasukan ramah lingkungan sebagai factor tambahan. Sudah saatnya ilmuwan muslim memiliki etika dalam melakukan penelitian yang sesuai dalam Al-Qur’an.
Selain konsep Islamisasi sains yang digagas oleh para ilmuwan dan filsuf muslim kontemporer, juga muncul paradigma keilmuan integratif-interkonektif. Konsep dasarnya sebenarnya sama dengan Islamisasi sains. Paradigma keilmuan inegratif-interkonektif lebih menegaskan bahwa Islam tidak mengenal adanya dikotomi antara ilmu dan agama. Kita memahami agama sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan serta sedikit pengetahuan, tetapi agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Disinilah adanya peran interkonektif, yakni sains juga harus memiliki hubungan yang harmonis dengan ilmu-ilmu lain, diantaranya sosial-humaniora, budaya, ekonomi, dll. Dalam tataran aplikatif konsep interkonektif sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, sebab sebagimana dikemukakan di atas bahwa sejak zaman pra sejarah pun manusia purba telah mampu mensinergikan antara teknologi dengan seni.
Mengintegrasikan disini juga tidak berarti menyatukan atau mencampuradukan. Namun masing-masing entitas keilmuan yang dipadukan semestinya tetap dipertahankan sehingga tidak mengaburkan makna. Dengan adanya paradigma integratif-interkonektif diharapkan ilmu yang lahir dari induk agama, menjadi ilmu yang obyektif artinya jika sains itu lahir dari agama yang berbeda tidak lantas menimbulkan ilmu yang tidak normatif. Contoh obyektifitas ilmu optik dan aljabar tidak harus dikaitkan dengan budaya Islam pada era Ibnu Haitam dan Al-Khawarizmi, ilmu akupuntur dipraktekan oleh umat Islam tanpa harus percaya dengan konsep ying-yang Taoisme, dan yoga tanpa harus percaya dengan ajaran Hinduisme.
Paradigma integratif-interkonektif dan islamisasi sains sesungguhnya mengajarkan kepada umat Islam bahwa ilmu apapun yang kita pelajari pada dasarnya adalah ilmu agama. Tidak ada parsialisme bahwa ilmu agama hanyalah ilmu hadits, sunnah dan Al-Qur’an (milik anak-anak pesantren). Justeru konsep ini mengajarkan kepada umat Islam bagaimana Al-Qur’an, hadits, dan sunnah kita integrasi-interkoneksikan ke dalam bidang ilmu kita masing-masing. Ini mensyaratkan adanya perpaduan tiga entitas dalam pengembangan sains dan teknologi.
Gambar 5. Integrasi-interkoneksi tiga entitas sumber sains
Saat ini tugas ilmuwan (ilmuwan muslim pada khususnya) masih banyak. Ayat-ayat Allah di muka bumi ini masih banyak yang belum terungkap. Tugas para ilmuwan untuk mengungkapkan ayat-ayat Allah tersebut dalam suatu pendekatan model persamaan yang selanjutnya menjadi sains. Dengan penemuan baru yang ditemukan oleh para ilmuwan diharapkan akan melakukan transformasi sains ke arah yang benar.
Disinilah pentingnya transformasi sains dalam kehidupan umat Islam. Dr Fathi Yakan (1996) mengatakan bahwa diantara karakeristik khusus yang dimiliki proyek Islamisasi adalah sebuah gerakan transformatif (mempunyai misi perubahan) dan tidak menyediakan tempat bagi unsur adaptasi(8). Zainal Abidin sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Amril M. dalam tulisannya mengatakan bahwa sains Islam adalah sistem sains yang diilhami oleh nilai-nilai Islami, atau merupakan manifestasi ajaran-ajaran Islam dalam sains. Oleh karena itu, metodologi sebagai dasar dari pengembangan sains perlu direkonstruksi sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan menempatkan Islam atau Al-Qur’an sebagai dasar filosofi sains, akan sangat meniscayakan terimplementasinya pandangan dunia (world view) Islam bagi para ilmuwan. Hal ini sangat menentukan metodologi ilmiah, cita-cita, dan tujuan ilmu yang akan didalami atau dikembangkan dalam setiap aktivitas ilmiah. Begitu pula dengan menjadikan sistem Islam sebagai pedoman sebagai aktivitas ilmiahnya, akan sangat memungkinkan para ilmuwan untuk selalu terbimbing oleh nilai-nilai Islami sehingga produk yang dihasilkan adalah produk yang tepat guna dan jelas manfaatnya. Tegasnya, sains dan nilai-nilai Islam akan menjadi pembeda sains Islam dengan sains non-Islam. Melalui karakter dasar sains inilah meniscayakan akan menghasilkan sains-sains yang rahmatan lil’alamin dan sarat dengan nilai-nilai ilahiyah dan kemanusiaan(4).
Penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan tidak hanya berkaitan menemukan sains baru tetapi juga bisa untuk menggunakan sains yang ada. Dari sains yang ada, ilmuwan bisa menciptakan suatu teknologi yang tepat guna. Maksud dari teknologi tepat guna ini adalah teknologi yang mempunyai fungsi untuk membantu kehidupan umat manusia dan tidak memberikan efek negatif terhadap umat manusia.
Sebagai kesimpulan, sains merupakan komponen utama untuk menciptakan suatu teknologi. Sains dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia sejak dari nabi Adam A.S. Semua sains yang ada merupakan hasil pendekatan terhadap fenomena-fenomena alam. Tugas ilmuwan untuk menemukan ayat-ayat Allah menjadi suatu sains. Para ilmuwan bisa menggunakan sains yang ada untuk menciptakan suatu teknologi tepat guna.

Reference:
(1) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
(2) Dra. Dwi Hartini.Masyarakat Prasejarah Indonesia. Modul Sejarah Nasional dan umum, ebooks.lib.unair.ac.id
(3) International Conference Flexible Printed Electronic 2009. Jeju Island: Korea.
(4) Prof. Dr. Amril M., MA. Artikel: Sains Islam (Sebuah Refleksi Metodologis)
(5) Noeng Muhadjir. 1998. Fisafat Ilmu. Rake Sarasin: Yogyakarta
(6) Rohadi Awaludin. Konsep Islamisasi Iptek. Tarbiyyah Digital Journal Al-Manar edisi I/2004
(7) Chairil Anwar. Islamisasi Ilmu,  Al-Qur'an dan Sains. Tarbiyyah Digital Journal Al-Manar edisi I/2004
(8) Sayyid Qutb. 1968. Karakteristik Konsepsi Islam. Pustaka: Bandung.



[1] Anggota Divisi Riset dan Kompetisi MITI-Mahasiswa

Tuesday, August 7, 2012

AMAL JAMA’I

Suatu ketika, bekal perjalanan telah berkurang sehingga para sahabat menemui Nabi saw dan meminta ijin untuk menyembelih unta-unta mereka. Nabi saw mengijinkannya. Umar bertemu dengan mereka dan menceritakan persoalan itu kepadanya. Umar berkata, “Bagaimana kalian bertahan hidup bila unta-unta kalian disembelih?” kemudian Umar menemui Rasulullah saw dan berkata “Ya Rasulullah, bagaimana mereka bertahan hidup setelah unta-unta mereka disembelih?” Rasulullah saw lalu memberi Umar perintah “Panggil mereka dan kumpulkan semua bekal makanan mereka yang masih tersisa.” Dan selimut pun dihamparkan lalu semua bekal perjalanan yang tersisa dikumpulkan di atasnya. Rasulullah saw berdiri memohon kepada Allah agar memberkahi makanan mereka, setelah itu beliau menyuruh semua orang membawa peralatan makan mereka untuk mengambil bagian makan mereka secukupnya dan ternyata makanan itu mencukupi untuk semua. Subhanallah. Setelah itu Rasulullah saw bersabda “aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah” (Diriwayatkan oleh Salamah bin Akwa ra.)
Inilah contoh bagaimana suatu persoalan yang pelik tetapi ketika ditangani dengan amal jama’i dan saling menolong maka terbukalah jalan keluar. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan Allah dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. As-shaff: 4)
Amal jama’i yakni melakukan kegiatan yang dilakukan secara kolektif (bersama) dimana anggota bekerja secara sinergi sehingga terbentuk tim yang tangguh untuk mencapai tujuan bersama.

Tips Untuk Beramal Jamai(1)
1.      Kenali diri dan arti diri (who am I)
Anda punya jari? Kemampuan jari anda akan dapat mengangkat beban yang berat sampai puluhan kilo bila jari itu bergabung, bersinergi dan saling menyatukan kekuatan dengan tangan dan anggota tubuh lainnya. Namun bila hanya satu jari digunakan untuk mengangkat beban niscaya dia tidak akan mampu mengangkatnya. Intinya bahwa kekuatan amal jama’i itu terletak pada bergabung dan bersinerginya seluruh potensi dan kekuatan yang ada baik dalam kerja-kerja dakwah ataupun yang lainnya. Anda pernah melihat perilaku semut yang mampu membawa beban yang lebih besar dari badannya? Dan coba anda perhatikan bahwa ternyata semut-semut itu selalu bersama-sama mengangkat beban yang berat.
2.      Sabar dalam kebersamaan
Raihlah tujuan bersama. Hindari tujuan individu atau mencari keuntungan pribadi yang mengorbankan tujuan bersama. Target amal jama’i akan gagal jika masing-masing individu disibukkan oleh targetan-targetan individu. Jika terjadi ketidaksetujuan dengan teman anda dalam beramal jama’i, sampaikanlah dengan cara yang baik jangan ada niatan untuk membangkang atau menyimpang. Sikap seperti ini tidak akan menguntungkan baik secara pribadi maupun jama’ah. Kondisi seperti ini sebenarnya merupakan peluang untuk melatih diri berinteraksi dengan orang yang berbeda dengan anda. Hindarkan untuk saling tuding dan melempar tanggungjawab sebab hal ini akan melemahkan kekuatan kelompok dan pada gilirannya faktor inilah yang akan memicu perpecahan kelompok. Untuk itu, fokuskan perhatian anda pada kerjanya atau programnya, sebab pada dasarnya amanah merealisasikan program organisasi adalah tugas bersama, bukan tugas individu. 
3.      Proaktif-kontributif
Maksud proaktif-kontributif disini adalah proaktif dan berkontribusi terhadap program-program kelompok. Katakan “what can I do for you” jangan “what will I  get from this work”. Orang yang proaktif adalah orang yang ingin maju, punya semangat, dan orang yang punya peluang untuk dapat beramal jama’i. Anda datang kepada teman anda dengan bahasa tubuh yang penuh semangat, dan terlihat oleh teman anda maka Insya Allah semangat anda akan menular kepada teman anda. Sebaliknya bagi orang yang memiliki keinginan individu lebih dominan, lambat laun keinginan pribadi anda akan terasa oleh teman anda sehingga kerja-kerja jama’i anda akan punya masalah.
4.      Apresiasi sukses bersama
Apresiasikan kesuksesan kelompok anda sekecil apapun. Hal ini akan membangkitkan energi positif yang kemudian akan memancing semangat untuk mengerjakan sesuatu yang lebih besar dan berat. Kadangkala motivasi seseorang akan terbit tatkala merasakan atau melihat kesuksesan orang lain. Ingatlah Allah pun menghimbau untuk menyebut-nyebut nikmat-Nya “Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).” Untuk itu, ungkapkanlah kata-kata pujian atas keberhasilan kelompok anda seperti subhanallah, bagus, alhamdulillah kita sudah mencapai prestasi ini. Sebagai bentuk apresiasi yang lain yakni mengadakan syukuran sukses bersama.
5.      Terbuka
Jadilah orang yang terbuka diri untuk menerima berbagai masukan atau kritikan, sebab kebaikan dan kesuksesan akan kita peroleh secara bertahap. Setiap tahap biasanya terbuka peluang salah. Perbaikan kesalahan baik yang disadari secara spontan maupun yang tanpa disadari lewat teguran atau masukan dari orang lain merupakan jendela menuju kebaikan dan keistimewaan. Belajarlah dari Abu Dzar Al-Ghifari karena ia pernah meminta nasihat kepada Rasulullah saw “nasihatilah aku ya Rasulullah...” begitu pintanya. Hal yang tidak kalah penting yakni jangan menyalahkan diri sendiri ketika menjadi penyebab ketidaksuksesan dalam kerja kelompok, tapi jadikanlah kesalahan diri anda untuk mengetahui dimana anda harus memperbaiki diri.
6.      Memperbaharui keimanan
Keimanan akan memberikan semangat dan melanggengkan amal jama’i. Iman yang lemah rentan terhadap lurusnya motivasi (niat). Bisa saja ditengah-tengah amal jama’i terjadi perubahan orientasi menjadi orientasi pribadi. Al imanu yazidu wayanqush, fayujadidu bi laa ilaha illa Allah (iman itu naik dan turun, maka perbaharuilah ia dengan laa ilaha illa Allah).
Dalam konteks dakwah, harus dipahami bahwa dakwah adalah sebuah sistem dimana amal jama’i lebih efektif dibandingkan dengan dakwah fardhiyah yang dilakukan perseorangan tanpa terkoordinasi dengan baik. Untuk menuju kearah sistem amal jama’i yang baik diperlukan penyamaan visi dasar. Beban dakwah ini terlalu berat jika dipikul seorang diri. Disinilah terasa pentingnya kebersamaan dalam memikul amanah dakwah, pentingnya partner dalam melaksanakan kerja di jalan dakwah. Bahkan sebenarnya, kebersamaan itu menjadi fitrah manusia pada umumnya apalagi para du’at yang lapangan kerjanya tidak terbatas.
Rasulullah saw menumbuhkan ruh jama’ah para sahabatnya sejak periode pertama dakwah dengan tarbiyah di rumah Arqam bin Abil Arqam. Penataan gerak dilakukan bersama-sama dalam suatu koordinasi yang rapi. Sejak dini Rasulullah saw telah memberikan keteladanan bagaimana memulai langkah awal di medan dakwah. Ukhuwah mendapatkan porsi yang penting dalam rangka mewujudkan amal jama’i ini.
Anis Matta (2006) mengatakan bahwa kita hidup dalam sebuah zaman yang oleh ahli-ahlinya dicirikan sebagai masyarakat jaringan, masyarakat organisasi. Semua aktivitas manusia dilakukan didalam dan melalui organisasi: pemerintahan, politik, militer, bisnis, kegiatan sosial kemanusiaan, rumah tangga, hiburan, dll. Itu merupakan fenomena dan kata kunci yang menjelaskan bahwa masyarakat modern hidupnya sangat efektif, efisien, dan produktif. Mereka bekerja dengan kesadaran bahwa keterbatasan yang ada pada setiap individu sesungguhnya dapat dihilangkan dengan mengisi keterbatasan mereka dengan kekuatan-kekuatan yang ada pada individu lain. Jadi, kebutuhan setiap manusia untuk bekerja atau beramal jama’i bukan hanya lahir dari kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan produktivitasnya, tapi juga lahir dari kebutuhan untuk bekerja dan beramal jama’i yang setara dengan tantangan zaman dewasa ini(2).
Coba bayangkan seandainya para aktivis dakwah tidak mau beramal jama’i, mereka lebih suka bekerja sendiri-sendiri, tanpa organisasi, tanpa manajemen, tanpa jama’ah, apa yang akan terjadi? Sementara musuh-musuh Islam mengelola dan mengorganisasi pekerjaan-pekerjaan mereka dengan sangat rapi. Ingatlah ketika Umar ra. mengatakan bahwa “kebaikan yang tidak terorganisir akan terkalahkan oleh kejahatan yang terorganisir.”
Adapun indikator amal jama’i dapat terlihat dari beberapa aspek berikut(1):
1.      Meyakini hasil kerja bersama lebih baik daripada hasil kerja sendirian, sehingga keberkahan hasil kerja bersama dapat melipatgandakan fungsi hasil tersebut.
2.      Meyakini proses kerja bersama lebih menguntungkan dari hasil kerja sendirian. Karena proses kerja bersama membuat seluruh potensi dan kompetensi berkembang dan berguna.
3.      Mengetahui tujuan bersama. Walaupun kemungkinan untuk berprestasi sendirian ada kesempatan, namun lebih diprioritaskan untuk mengangkat kompetensi kelompok.
4.      Memberikan kontribusi kerja pada kelompok. What can i do for dakwah? Proaktif bukan sekedar menjadi pelengkap kelompok sehingga menunggu diprogram atau diberi tugas.
5.      Mencintai anggota kelompok karena Allah.
6.      Menerima kekurangan anggota lainnya. Memaklumi bahwa pada dasarnya setiap manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga dengan berkelompok akan saling menutupi kekurangan saudaranya.
7.      Menerima hasil kerja bersama apapun hasilnya. Walaupun hasilnya buruk dia tetap mengakui sebagai hasil kerjanya, sementara kekurangan hasilnya bukan karena ketidakmampuan dirinya.
8.      Membuka diri untuk diberikan dan memberikan masukan. Kebaikan dan keistimewaan diperoleh dengan bertahap. Setiap tahap biasanya terbuka peluang salah, sehingga terbuka diri untuk diberi dan memberikan masukan adalah cara terbaik untuk memperbaiki kesalahan.
9.      Bersedia membantu anggota lain untuk meningkatkan kemampuannya dalam mencapai tujuan bersama, namun bukan berarti harus mengambil-alih pekerjaan anggota lainnya jika dia masih mampu.
10.   Tidak menyalahkan diri sendiri tatkala terjadi ketidaksuksesan dalam kerja kelompok, dan
11.   Melakukan evaluasi program bersama, bukan program pribadi dengan menghindari saling tuding dan saling berpelas diri dari hasil evaluasi.


Reference:
(1)    DPP PKS Departemen Kaderisasi. 2004. Profil kader PKS. Syamil Cipta Media: Bandung.
(2)  H.M. Anis Matta. 2006. Dari Gerakan ke Negara. Fitrah rabbani: Jakarta Timur.