Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Wednesday, August 8, 2012

KEUTUHAN DAKWAH KAMPUS


Revolusi Akademik! Menyeimbangkan Da’wah Kampus Yang Belum Tuntas!

Oleh : Arie Wibowo S.T


Sejak masuk dan bergulirnya da’wah Islam di kampus-kampus hingga saat ini, telah banyak perkembangan dan perubahan serta hasil-hasil yang terlihat dari sepak terjang dan formulasi yang dilakukan dalam mengarahkan dan pengelolaan  da’wah kampus. Bergulirnya secara masif konsep dan format da’wah kampus yang didasarkan pada  tiga kompetensi peran dan fungsi mahasiswa telah juga memperlihatkan capaian–capaian dan perkembangan yang dapat dicermati. Mengacu pada konsep dan format da’wah kampus yang telah digulirkan, yaitu bahwa mahasiswa memilki setidaknya 3 peran dan fungsi besar diantaranya;
1.   Peran dan fungsi da’wiyah, sebagai benteng moral
Dimana seorang mahasiswa muslim dengan keIslamannya menjadi sesosok manusia berkepribadian Islam yang hidup ditengah masyarakat kampus dan menyebarkannya kepada yang lainnya. Dengan berpagar pada prinsip, nilai dan norma Islam, pribadi–pribadi ini hidup bersama dan berjalan dalam lingkungan kampus, yang dikemudian hari diharapkan terbangun sebuah komunitas mahasiswa sebagai sebuah entitas moral yang masif (moral credibility).
2.   Peran dan fungsi intelektual, sebagai iron stock (cadangan keras)
Tak dapat dipungkiri, keberadaan mahasiswa di kampus pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang mencari tetes demi tetes tinta ilmu yang mengalir dalam bangku kuliah. Ini adalah misi asasi ketika seseorang memasuki dunia kampus sebagai mahasiswa. Sehingga budaya, kebiasaan dan cara berfikirnya pun di sinergikan dengan berbagai hal yang melingkupinya sebagai intelektual. Cerdas, objektif ,argumentatif, ilmiah dan semangat berprestasi. Itulah kira-kira serentetan sosok yang melekat pada dirinya.
Dan secara futuristik kelompok masyarakat terbatas inilah yang akan banyak berperan dalam banyak partisipasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara langsung. Jumlahnya memang terbatas dibandingkan orang kebanyakan. Karena memang kesempatan memperoleh pendidikan yang layak di negeri ini masih terbatas. Inilah yang coba dikembangkan oleh da’wah kampus untuk membangun barisan intelektual yang cerdas, objektif, argumentatif, ilmiah dan semangat berprestasi yang berafiliasi pada Islam. Sehingga komintas yang terbangun menjadi sebuah entitas intelektual yang bervisi keummatan (Intelectual credibility).
3.    Peran dan fungsi siyasiyah sebagai agent of change (agen perubahan).
Sudah menjadi tabiat sosial politik di dunia berkembang, dimana dalam proses penyelenggaraan bernegara dan bermasyarakat acapkali terjadi ketimpangan sosial yang tak terjembatani dan  unbalancing power. Pada kondisi seperti ini biasanya, kampus dan mahasiswa sebagai bagian dari gerakan pro-demokrasi dan perubahan, memainkan perannya secara signifikan sebagai jembatan sosial dan balancing power. Tak pelak lagi, layaknya kekuatan politik, gerakan mahasiswa mengambil perannya sebagai ‘oposisi’ bagi kekuasaan dengan ciri dan gayanya yang khas. Dalam kondisi yang demikian, da’wah kampus mengambil bagian perannya dalam menjembatani ketimpangan sosial tersebut, dan  menjadi penyeimbang kekuasaan melalui gerakan mahasiswanya, dan tentunya dengan visi mengarahkan itu semua agar terjadi perubahan kearah yang lebih baik serta berpihak kepada ummat (Social Political Crediblity).
Demikianlah peran dan fungsi mahasiswa muslim,  seperti yang dirumuskan oleh para mu’asis da’wah kampus dengan kejelian bashirah dan keluasan wawasan yang jauh kedepan serta bacaannya pada medan yang cukup tajam. Lalu pertanyaannya adalah: “Sudah sejauh apakah perjalanan da’wah kampus yang sudah bergulir sedemikian lama dan penuh dinamika?” “Juga seberapa pesat perkembangan dan capaian-capaian yang terjadi dari apa yang  telah digariskan dalam ketiga peran dan fungsi yang dirumuskan?”

 

Da’wah K ampus Mengevaluasi Diri

Pada mulanya da’wah kampus memberikan fokus yang sangat besar hanya pada peran dan fungsi da’wiyah. Ini ditandai dengan banyaknya upaya perekrutan (tarbiyah) yang dilakukan oleh aktifis da’wahnya. Disamping syi’ar-sy’iar Islam yang terus dikembangkan. Hal ini terus menerus dilakukan hingga saat ini. Bahkan, formulasi dan modifikasinya juga terus berkembang lebih maju dan modern, sejalan dengan semakin menjamurnya lembaga da’wah kampus di setiap kampus yang ada, sebagai basis pergerakan, pemikiran dan konsolidasi kekuatan Da’wah dalam kelembagaan formal dan terlegitimasi.
Prestasi besar yang pernah tercatat dalam kaitan peran ini dalam kehidupan sosial kemasyarakatan adalah dengan diizinkannya pelajar dan mahasiswi muslimah mengenakan jilbab sebagai tuntutan syari’at dan indentitas muslimah. Selain itu kultur dan kebiasaan  Islam seperti pengucapan salam, pakaian Islami, penerbitan buku dan majalah Islam, dan lain-lain kini marak ditemukan dalam suasana yang masif. Pengaruh ini juga membias di dalam kehidupan masyarakat umum. Sampai saat ini, peran dan fungsi yang satu ini terus mengartikulasikan peran dan fungsinya dalam skala kualitatif dan kuantitatif. Bisa dikatakan untuk peran dan fungsi yang sudah cukup lama dilakukan ini, da’wah kampus hanya melanjutkan apa yang sudah ada dan menjadi nafas da’wah, sambil mengoreksi dan memodifikasinya sesuai tuntutan zaman.
Pada perkembangannya kemudian, da’wah kampus yang sebelumnya hanya memainkan peran dan fungsi da’wiyah serta berbasis di masjid dan musholla, dengan payung Lembaga Da’wah Kampus, dalam bentuk syi’ar dan mentoring keislaman, mengembangkan peran dan fungsi siyasiyah sebagai agen perubahan, dengan mulai berpartisipasi dalam dunia kemahasiswaan yang lebih umum. Da’wah kampus bermetamorfosa  dalam bentuknya yang lebih ‘umum’ dan partisipatip dengan terlibat dalam aktivitas kemahasiswaan di lembaga kemahasiswaan umum, seperti Senat Mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Jurusan, Koperasi Mahasiswa, Kelompok Studi Mahasiswa dan lain-lain. Para aktifis da’wah kampus merasa perlu mengembangkan dan memperluas wilayah da’wahnya ditempat lain, selain masjid dan musholla dengan gaya serta cara yang ‘berbeda’.
Memang diawalnya ada kegamangan dari aktifis da’wah kampus pada waktu itu. Baik dalam sikap terhadap keputusan tersebut maupun cara dan gaya yang harus dikembangkan. Cukup lama inkubasi da’wah yang dihadapi pada waktu itu untuk bisa mendapatkan  proporsi dan posisi yang seimbang dalam kerangka da’wah. Apalagi menanggulangi ekses negatif dari sebuah konsekwensi ekspansi da’wah. Seperti misalnya, terjadinya ketimpangan SDM antara yang terlibat dalam  menopang fungsi dan peran Da’wiyah dengan Siyasiyah. Atau ekses, shock culture yang terjadi dikalangan aktifis da’wah kampus, dikarenakan ekslusivitas yang selama ini terbangun baik sengaja atau tidak disengaja. Namun lambat laun sebagai The Fast Learner, aktifis da’wah kampus mampu menanganinya secara wajar dan seimbang hingga saat ini. Mereka terus berinovasi dan mengembangkan model serta pendekatannya terhadap peran dan fungsi siyasi ini.
Bahkan dikemudian hari, peran dan fungsi yang satu ini, menemukan momentum dan sejarahnya yang  pas pada kondisi sosial politik Indonesia mutakhir. Hal ini ditandai dengan terlibat secara aktif dan berpengaruhnya aktifis da’wah kampus memainkan peran dan fungsi siyasi sebagai agen perubahan dalam peta demokrasi dan politik Indonesia. Tinta emas sejarah mencatat dengan sangat kuat ketika pada tahun 1998, ketika gelombang Reformasi dinegeri ini bergejolak dengan sangat kuat hingga melengserkan simbol orde baru dari kursi kepemimpinannya. Dimana orde baru ini diyakini sebagai sumber pengekangan, otoriterianisme, kediktatoran, anti demokrasi dan perubahan, pemasungan hak–hak asasi manusia serta  penghalang kebangkitan dan kebebasan da’wah Islam. Pada waktu itu elemen yang paling kritis dan berani mengoreksinya adalah mahasiswa dengan payung kemahasiswaannya semisal Senat Mahasiswa. Dimana pada saat itu Lembaga-lembaga Kemahasiswaan yang ada, dipimpin oleh aktifis da’wah kampus sebagai hasil dari investasi fungsi dan peran siyasi yang sejak lalu dilakukan. Ditambah lagi dengan terkonsolidasinya kekuatan Lembaga Da’wah Kampus dengan payung Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang sangat memainkan peran perubahan di negeri ini. Tercatatlah beberapa tokoh aktifis da’wah sebagai pelopor bergulirnya Gelombang reformasi, mereka menjadi tokoh nasional bahkan internasional karena dianggap mempelopori dan menggerakan arus reformasi di negeri ini. Sejak saat itu hingga kini peran siyasi dalam konteks perubahan yang dimainkan oleh aktifis da’wah tetap berjalan disetiap rezim yang ada di negara ini.
Ada satu sisi peran dan fungsi lain dari da’wah kampus yang tertinggal dan belum menampakan wujud dan pergerakannya secara konsolidatif dan jama’i. Kalaupun ada pertumbuhan dan perkembangan lebih banyak disebabkan oleh faktor pribadi dan ‘pembawaan sejak lahir’. Yaitu peran dan fungsi intelektual sebagai iron stock. Memang sejak digulirkannya da’wah kampus hingga kini, laju peran dan fungsi intelektual sebagai iron stock ini jauh tertinggal dibelakang peran dan fungsi da’awi dan siyasi. Seolah-olah satu peran dan fungsi ini diserahkan oleh da’wah kampus sepenuhnya kepada tanggung jawab pribadi. Sehingga yang terjadi cukup dramatis. Bahwa tradisi kejama’ian  aktifis da’wah kampus hanya hadir pada segmen kerja yang sifatnya sy’iar dan pembinaan atau da’wah siyasi. Tetapi untuk masalah akademis dan study masuk kewilayah privacy dan nafsi-nafsi.
Ekses yang terjadi akibat hal ini juga sangat dramatis, aktifis da’wah kehilangan kesempatan untuk berprestasi, menjalani tradisi intelektual yang dinamis dan berbobot, membangun lingkar kerja dan da’wah yang luas, serta berpartisipasi atas keilmuan yang dimilikinya selain membiaskan masa depan yang dibangunnya. Memang membincangkan satu hal ini sangat sensitif lantaran berkaitan dengan kemampuan intelegence dan kerajinan seseorang. Tetapi bukan kemudian da’wah tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap permasalahan ini, apalagi melalaikannya secara sistemik dengan tidak adanya orang atau badan yang berusaha mengelola dan menangani perkembangan serta pertumbuhan sisi tersebut. Adakalanya memang seseorang memiliki kemampuan intelegensia yang biasa-biasa saja, tetapi treatment yang wajar dan perhatian yang seimbang sebenarnya bisa sedikit mengatasi permasalahan tersebut. Tetapi ada juga beberapa aktifis da’wah yang memiliki prestasi yang cukup baik dikampus lantaran kemampuan pribadi.
Pada realitas yang sebenarnya,  terjadi gejala yang fenomenal, bahwa seolah-olah ada keterpisahan jarak yang cukup dalam antara progresifitas da’wiyah dan siyasiyah dengan akademis. Siyasi dan Da’wy di sebuah gunung  yang sama, sementara akademik di sebuah lembah yang lain, ironis! Ada beberapa kemungkinan faktor yang mempengaruhi mengapa laju peran dan fungsi akademik (fanniyah) tidak begitu cepat progresnya dibandingkan peran dan fungsi siyasi dan da’wy, diantaranya :
1.    Tidak seimbangnya para aktifis da’wah kampus memahami manhaj da’wah kampus. Hal ini mudah terlihat dari tidak diberikannya perhatian yang cukup memadai terhadap fungsi dan peran fanniyah (akademik)
2.    Tidak seriusnya penataan dan penanganan seputar permasalahan akademik dikalangan aktifis da’wah kampus. Misalnya, minimnya konsolidasi yang dilakukan untuk mem-backup permasalahan akademik seperti konsolidasi dosen aktivis, konsolidasi orang-orang pintar dll.
3.    Cara pandang yang salah terhadap komunitas ‘orang-orang pintar’ dikampus yang tidak terlibat dalam ‘kegiatan’ teknis dilapangan da’wah kampus. Ada kesan bahwa komunitas orang-orang pintar tersebut pragmatis dan egois, sehingga dijauhi dari perputaran da’wah, padahal mereka bisa diajak beramal islami dalam wilayah yang lain.
4.    Paradigma terbalik yang sering menjadi kebiasan mahasiswa umum, bahwa menjadi aktifis harus berantakan kuliahnya menyergap dan diamini secara diam-diam ataupun terang-terangan oleh aktifis da’wah juga.
5.    Mentalitas terbelakang dan primitif tentang makna prestasi yang belum menjadi atmosfir dan kebiasaan dikalangan ADK.
6.    Tidak ada treatment yang seimbang terhadap pengembangan dan peningkatan permasalahan ini. Kalau di kampus ada daurah/training tentang da’wah ataupun siyasi mengapa tidak difasilitasi daurah/training serupa untuk kebutuhan akademik, seperti training kecapakan akademik berupa, kemampuan membaca dan menghapal cepat, cara belajar ffektif, atau asistensi dan mentoring mata kuliah dengan pengajar dari komunitas orang-orang pintar, dll.
7.    Sempitnya pemahaman amal jama’I. Seolah-olah amal jamai hanya milik kegiatan syiar atau siyasi, tetapi untuk akademik nafsi-nafsi..
Padahal membicarakan peran dan fungsi intelektual ini, begitu penting dan urgentnya sebagaimana peran dan fungsi lainnya. Seperti dikemukakan di awal, bahwa peran dan fungsi yang berbasis kepada kemampuan dan penguasaan disiplin ilmu ini sangatlah investatif, karena dengan penguasaan dan kemampuan tersebut, kekuatan kaum muslimin dapat memainkan perannya secara langsung dalam berbagai peran kehidupan, disektor-sektor strategis dengan kredibilitas intelektualnya. Dan tidak banyak orang yang mendapat kesempatan untuk mereguk dan menguasai berbagai disiplin ilmu selain mahasiswa muslim yang study di kampus. Merekalah cadangan masa depan yang siap menggantikan generasi yang rapuh dan tua dinegeri ini. Lima, sepuluh, duapuluh tahun dan hari-hari kedepan adalah milik mereka yang memiliki kompetensi keilmuan dan professional. Apalagi mencermati gejala globalisasi yang semakin dahsyat dan akan mengancam, apabalia da’wah tidak siap mengahadapinya. Ketika zaman semakin meritokratif, the right man on the right place!
Peran dan fungsi fanniyah dari da’wah kampus ini, sebenarnya lebih kedepan juga merupakan anak tangga yang sangat diharapkan bisa mengisi diwilayah-wilayah da’wah profesionalitas berdasarkan pada kompetensi yang dibangunnya dikampus. Melihat peta dan perkembangan amal da’wah mihani (profesi) kekuatan ummat Islam masih belum cukup memadai untuk hal tersebut. Siapa lagi yang paling mungkin memberikan raw material yang mumpuni terhadap da’wah profesi yang memiliki imbas da’wah yang signifikan dalam kehidupan nyata, kalau bukan support dari da’wah kampus.
Dr. Musthafa Muhammad Thahhan mengatakan dalam bukunya Khuttah Amal Thullaby, bahwa :
“ Amal Thullabi yang terefleksi pada buku, guru/dosen, sekolah, kampus, tulisan ilmiah, lembaga kemahasiswaan, baik di tingkat fakultas atau perguruan tinggi, adalah lingkaran awal masyarakat madani. Selanjutnya diikuti oleh organisasi profesi yang mengembangkan amal thullabi di berbagai spesialisasi profesi, diteruskan oleh partai yang menjaga iklim kemerdekaan dan demokratisasi sebagai lingkaran akhir untuk membentuk masyarakat dengan nilai-nilai Islam yang lurus. Dengan semua itu, ummat akan mampu memperoleh tempatnya yang terhormat di tengah masyarakat manusia “

Simultansi antara da’wah kampus, da’wah profesi dan partai politik merupakan sebuah estafeta yang berkelanjutan dalam membangun ummat serta anak tangga yang harus dilalui. Sudah saatnya da’wah kampus kini menyeimbangkan kembali peran dan fungsinya secara proporsional agar kerja-kerja da’wahnya memberikan arti dan sumbangan yang bukan hanya signifikan dalam  akses dan ekses, tetapi dia juga bisa menjadi pijakan yang kuat bagi keberlanjutan da’wah pada anak tangga berikutnya. Sekarang pertanyaannya kemudian, apa yang harus dilakukan untuk menyeimbangkan fungsi dan peran yang sudah berjalan ini? Saat ini masanya da’wah kampus melakukan penataan ulang tawazunitas dan sinergisitas dakwah kampus, terhadap sistem penataan da’wah, paradigma, semangat (spirit), mentalitas, perhatian (concern), kultur dan kebiasaan, serta perangkat pendukungnya, baik secara individu maupun sistem yang bekerja didalamnya, agar da’wah yang sudah digariskan dapat berjalan secara seimbang, faktual dan kokoh serta berkelanjutan dengan tetap komitmen merujuk pada trilogi dakwah kampus, yakni:
Þ      Membangun kompetensi akademik dan persiapan profesi
Þ      Membangun pemahaman sosial dan politik
Þ      Melaksanakan tugas harokah dan dakwah
          Ada beberapa konsideran penting dan mendesak yang bukan lagi untuk didiskusikan, tetapi lebih kepada langkah taktis dan teknis yang harus dilakukan sehubungan dengan Revolusi Akademik ini, diantaranya :
1.   Secara manhaji fungsi dakwah kampus yang belum tertangani dengan sistemik adalah fungsi akademik, selain yang telah mapan tarbiyah, dan yang nampak semakin mapan fungsi social politik.
2.   Tantangan perguruan tinggi yang semakin pragmatis menuju dunia kerja dan masa kuliah yang semakin pendek dengan jadual yang padat, harus dijawab dengan amal khidamy di bidang akademik.  Lagi pula prestasi akademik adalah nilai tertinggi yang mengikat dan menjadi kepentingan seluruh civitas akademika.
3.   Tahap berikutnya pasca dakwah kampus adalah dakwah profesi baik itu sebagai akademisi, entrepreneur maupun professional.    
4.   Selain fungsi dakwah kampus di bidang tarbiyah yang ditandai oleh terkelolanya lembaga-lembaga keagamaan di kampus, dan fungsi social politik yang ditandai oleh terkelolanya BEM/Senat Mahasiswa, pada tahap berikutnya dakwah kampus harus merambah ke himpunan-himpunan mahasiswa jurusan untuk meningkatkan kompetensi dibidang ilmu yang digelutinya dan membina jaringan profesinya sedini mungkin, selain meningkatkan skill dan kompetensi ilmiah setiap individu..
5.   Kebutuhan dakwah di mihwar muasasi dan persiapan ke arah mihwar dauliy kelak sangat membutuhkan SDM, konsep, dan infrastruktur yang matang.  Proses Islamisasi negara dan sebuah peradaban pada umumnya membutuhkan proses Islamisasi mulai dari tingkat normative, teory, hingga ke tingkat model-model aplikatif.  Hal ini mau tidak mau, siap tidak siap, bisa tidak bisa harus dimulai dari fungsi akademik dakwah kampus.
6.   Jaringan di dunia akademik tanpa tapal batas.  Apabila berkembang ikatan, asosiasi, atau lembaga-lembaga atas dasar bidang akademik tertentu akan terjalin suatu “benang hijau” yang menjadi infrastruktur dakwah ditingkat ‘alamiy (internasional)
          Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan secara seksama dari para penyelenggara da’wah kampus (semacam kaidah), agar Revolusi Akademik ini berjalan secara efektif dan efesien serta meminimalisir ekses yang mungkin terjadi dari sebuah perubahan dan reengineering da’wah kampus, diantara kaidah itu adalah :
1. Tidak Menjadi Bandul Pergerakan.
Belajar dari pengalaman yang pernah ada dan dilakukan dari proses da’wah kampus yang telah lampau, dimana menjadi kebiasan yang tidak baik dalam pergerakan da’wah kampus, selalu terjadi ketidakseimbangan sistem, baik tingkat distribusi SDM maupun performance kerja, dalam setiap perubahan dan ekspansi da’wah ke wilayah garap yang baru. Ini pernah terjadi ketika fungsi siyasi waktu itu baru dihembuskan urgensi dan kepentingannya. Maka banyak kampus mengalami bandul pergerakan yang tak seimbang, dimana para aktifis da’wahnya berbondong-bondong aktif berpartisipasi dalam aktifitas lembaga kemahasiswaan umum (bedol ikhwah) sehingga yang menjaga gawang peran dan fungsi da’awy tidak ada serta tidak menarik  lagi, sehingga pembinaan (tarbiyah) dan syi’ar tidak berjalan sebagaimana mestinya. Walaupun kemudian recovery permasalahan ini cepat tertangani. Hal ini terjadi lantaran aktifis da’wah kampus terlalu kaget dengan kejutan-kejutan pergerakan yang memang sudah menjadi tabi’atnya senantiasa dinamis dan penuh pergerakan. Revolusi Akademik yang didengungkan nanti tidak harus memunculkan kejutan-kejutan pergerakan yang akan menyebabkan terganggunya sistem yang sudah berjalan. Disamping apa yang selama ini sudah berjalan (da’wiyah dan siyasiyah) tidak harus terbengkalai dengan adanya peneguhan dan perbaikan fungsi yang lainnya (fanniyah)
2. Spesialisasi Bukan Parsialisasi
Tiga peran dan fungsi yang telah digariskan dalam manhaj da’wah kampus sebenarnya hendak menjadikan mahasiswa dalam peran strategisnya itu menjadi gerakan yang dinamis dan masif, bukan pada upaya mengklasisfikasi, mengkotakkan peran dan fungsi apalagi kalau dipandang sebagai sebuah parsialisasi peran dan fungsi. Ketiganya adalah peran dan fungsi umum yang harus dimainkan dan dimasifkan secara bersamaan sabagai sebuah komunitas dan indentitas. Walaupun pada kenyataannya dilapangan masing-masing peran dan fungsi tersebut menemukan wilayah dan  kecenderungan yang berbeda terhadap berbagai jenis dan tipe orang. Akhirnya yang ada adalah sebuah upaya memberi jalan bagi kecenderungan yang lebih besar dari para aktifis da’wah sebagai spesialisasi peran dan fungsi yang dimilikinya. Tetapi ketiga tetap harus berjalan beriring bersamaan, tidak saling mengeliminasi.
3. Dari dalam keluar dan dari luar ke dalam
Revolusi Akademik ini, harus mampu melakukan mobilisasi pergerakan atas nama intelektualisme, kesegenap elemen dan masyarakat yang ada didalam kampus.Dalam hal ini mahasiswa muslim secara umum. Ada proses timbal balik antara aktifs da’wah dan masyarakat kampus yang ammah baik dosen maupun mahasiswanya. Misalnya, mentoring dan asistensi yang diperuntukan mahasiswa muslim diisi oleh dosen / mahasiswa dengan fasilitatornya aktifis da’wah. Atau membuka networking kerja –kerja ilmiah dan akademis, seperti asisten lab, asdos, penelitian dll, dengan para dosen potensial dsb.
Diantara ciri khas manhaj Islam adalah bersifat utuh dan menyeluruh serta meliputi berbagai sistem yang dapat memenuhi beraneka kebutuhan manusia. Sedangkan sektoralisasi (juz’iyah) sama ibaratnya seperti mempreteli sebuah alat yang tersusun dari beberapa bagian yang saling menyempurnakan. Akibatnya alat tersebut akan rusak dan tidak akan berfungsi lagi. Seperti itulah logika dakwah kampus harus menjaga keutuhannya. Maka disini berlaku logika tawazun dalam membangun dakwah kampus. Jika totalitas dan integralitas adalah suatu kewajiban dalam dakwah, maka tawazunitas dakwah kampus tidak diragukan lagi merupakan tuntutan yang harus dipenuhi. Jika setiap lini dakwah tidak mensinergikan dirinya dalam mata rantai perjuangan dakwah kampus, niscaya kegiatan-kegiatan siyasi, da’awi maupun ilmi akan tetap merupakan aktivitas individu, sektoral, temporal, terancam eksistensinya serta memperlambat kemenangan dakwah kampus. Sebab dakwah yang syamil mensyaratkan keterlibatan seluruh potensi yang dimiliki oleh para kadernya.

No comments:

Post a Comment