Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Wednesday, August 8, 2012

TRANSFORMASI SAINS UMAT


Oleh: Hadi Teguh Yudistira[1]

Sejak Nabi Adam a.s. diturunkan oleh Allah SWT ke bumi, Allah telah menurunkan nikmat ilmu pengetahuan (sains). Allah telah mengajar nabi Adam a.s. tentang benda-benda yang ada di muka bumi. Selanjutnya pengetahuan yang diperoleh oleh nabi Adam a.s. berkembang sampai saat ini sehingga melahirkan teknologi yang merupakan perpaduan antara sains dan nilai-nilai lain seperti seni, budaya, ekonomi, dsb. Teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yg diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.(1) Teknologi sudah diperkenalkan sejak zaman pra sejarah. Pada zaman tersebut, manusia pra sejarah sudah menggunakan teknologi. Pembabakan zaman prasejarah berdasarkan arkeologi terbagi atas dua zaman yaitu zaman batu dan zaman logam.(2) Pada zaman batu, manusia prasejarah sudah mengenal teknologi yang terbukti dengan ditemukan peninggalan prasejarah berupa kampak dari batu. Kampak ini merupakan hasil teknologi manusia pra sejarah yang digunakan untuk keberlangsungan hidup mereka.
Teknologi merupakan perpaduan antara sains dan seni (science and art). Hal ini yang telah dilakukan oleh manusia pra sejarah. Mereka membutuhkan suatu alat yang digunakan untuk memburu hewan dan juga mengambil tumbuh-tumbuhan. Dengan adanya kebutuhan tersebut, manusia pra sejarah berusaha membuat suatu alat yang memiliki bentuk yang cocok dengan anatomi tangan manusia (seni) dan yang cukup tajam untuk memotong (sains). Tetapi saat ini, teknologi bukan hanya perpaduan sains dan seni tetapi perpaduan sains, seni dan nilai ekonomi (science, art and economic). Jika suatu teknologi tidak memiliki nilai ekonomi yang bersaing di pasar maka teknologi tersebut akan punah. Perubahan perpaduan makna teknologi ini dikarenakan kebutuhan manusia.
Sains memiliki peran dalam transformasi teknologi. Baik secara langsung maupun tidak langsung, teknologi dapat mempengaruhi budaya yang berkembang di kehidupan masyarakat dan begitu juga sebaliknya budaya yang berkembang di tengah masyarakat akan menentukan teknologi tersebut dapat diterima atau tidak. Oleh karena itu konsep Islam diperlukan dalam perkembangan sains maupun teknologi. Pentingnya nilai-nilai Islam dalam pengembangan sains dan teknologi tidak hanya dipicu oleh faktor pengaruh terhadap budaya namun lebih jauh karena sains yang berkembang pada era iptek yang bertumpu pada paradigma probabilistik relativistik Newton yang berkembang sebelum abad 20 sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Paradigma probabilistik relativistik artinya sesuatu memiliki banyak kemungkinan alternatif pemecahan persoalan, sehingga iptek pun mempunyai kemampuan prediksi yang lebih baik dalam pemecahan masalah. Iptek yang bertumpu pada paradigma ini kemudian melahirkan masyarakat yang sekuleristik dan mengabaikan nilai-nilai agama (mengabaikan unsur-unsur Tuhan karena berfikir bahwa mereka mampu memprediksi apa yang akan terjadi). Benturan iptek dan agama semakin hebat terjadi tatkala pada abad ke-19 muncul buku The Original Spesies karya Charles Darwin. Dan selama puluhan tahun lamanya buku ini dijadikan diktat kuliah pokok di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi termasuk di Indonesia.
Pergeseran nilai-nilai sains inilah yang memicu para ilmuwan muslim dan para filsuf muslim kontemporer memuculkan konsep Islamisasi sains. Mereka prihatin terhadap pergeseran nilai metodologi keilmuan yang memang telah menghasilkan temuan dan produk ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat. Namun dibalik itu semua sesungguhnya kebenaran dan kemanfaatan yang dihasilkan meniscayakan ketimpangan dari suatu objek kajiannya dengan melakukan reduksisasi dan manipulasi kebenaran. Dampak yang dirasakan oleh umat manusia diantaranya menjadikan sains penguasa kehidupannya, seolah-olah nasib manusia ditentukan dan ditaklukan oleh sains bahkan sains menghilangkan jati dirinya. Begitu pula dalam kehidupan: terpinggirkannya nilai-nilai kemanusiaan, moral, agama dan nilai-nilai budaya yang luhur. Pernah menonton film 2012? Itulah salah satu contohnya, bahwa ternyata kekuatan sains dan teknologi menurut “prediksi” ilmuwan barat non muslim dapat menghindari takdir yang sudah pasti terjadi, yakni kiamat. Atau kasus lain, ditemukannya DNA (Deoksirobosa Nucleid Acid) sebagai konsitusi genetik makhluk hidup disatu sisi meningkatkan kualitas genetik manusia, namun disisi lain jika salah penerapan seperti klonning pada manusia maupun hewan, jika disikapi dengan minimnya keimanan kepada Sang Maha Pencipta akan menimbulkan perasaan lebih unggul dari Tuhan karena merasa telah berhasil menciptakan produk yang lebih unggul lewat eksperimen DNA. Bahaya lain bagi manusia yakni akan menghancurkan martabat manusia itu sendiri sebagai makhluk rasional yang seharusnya mampu menjalankan amanah Allah swt.
Keprihatinan yang dihasilkan oleh metodologi sains barat modern inilah yang memunculkan metodologi keilmuan kontemporer yang intinya memberikan solusi agar kebenaran dan produk IPTEK yang dihasilkan mengarah pada kebenaran eksistensi dan esensi obyeknya. IPTEK bukan merupakan hasil rekayasa manipulatif manusia atau bukan pula hasil seeing is beliving semata yang merupakan paradigma metodologi ilmu pengetahuan modern selama ini. Secara umum metodologi sains Islam berangkat pada beberapa hal:
1.      Alur pemikiran filosofis-analitis, metode ini menekankan pada penafisran yang islami atas sains-sains yang dipelajari dan dikembangkan. Sehingga kesimpulan akhir sains mengarah pada pengakuan dan keyakinan adanya zat yang Maha Kuasa serta tetap mempertahankan eksistensi umat manusia dan jagad raya(4).
2.      Alur pemikiran metodologi metodis-praktis, metode ini menekankan pada upaya metodis dalam kerja aktivitas sains sehingga meniscayakan lahirnya sains yang rahmatan lil’alamin(4).
3.      Applied Ethics, yakni menerapkan aplikasi moral dalam membuat keputusan moral tentang tindakan tertentu yang menyangkut kebijakan profesional dalam membuat keputusan teknologi. Kriterianya digali dari teori moral: HAM dan keadilan, sehingga keputusan yang dibuat diikuti dengan filter azas manfaat(5).
Islamisasi sains merupakan istilah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Istilah ini bukan berarti bahwa semua sains saat ini tidak Islami. Kebingungan dengan istilah Islamisasi merupakan suatu hal kewajaran. Hal ini dikarenakan dari cara berfikir yang tidak membedakan antara ilmu sains dan fenomena alam. Allah SWT menurunkan fenomena-fonemena alam namun tidak menurunkan formulasinya. Ilmu sains adalah aproksimasi fenomena-fenomena alam tersebut, sehingga keduanya tidak selalu sama persis.(6) Proses Islamisasi ilmu adalah proses pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan yang ada kepada prinsip yang hakiki, yakni tauhid, kesatuan makna kebenaran dan kesatuan sumber. Melalui prinsip pertama (tauhid), sains tidak hanya digunakan pada praktis, tetapi juga digunakan untuk memahami eksistensi yang hakiki alam dan manusia. Prinsip kedua (kesatuan makna kebenaran) akan membebaskan ilmu sains dari sekularisme. Dalam prinsip ini tidak ada istilah kebenaran ilmiah dan kebenaran relijius. Dikarenakan sains telah membenarkan isi dari Al-Qur’an. Hal ini berbeda dengan kasus kebenaran yang dikeluarkan oleh pihak gereja pada masa lalu (sekitar abad 17). Kebenaran yang dikeluarkan gereja ternyata salah berdasarkan penemuan yang dilakukan oleh Galileo. Prinsip ketiga menjadikan alam dan Al-Qur'an sebagai sumber ilmu sains. Dari prinsip ketiga ini dapat disimpulkan bahwa ayat kauniyah maupun ayat qouliyah merupakan sumber ilmu sains. Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah kitab ilmu sains. Walaupun beberapa ayat Al-Qur’an berisikan tentang sains, tapi Al-Qur’an harus tetap dalam posisi petunjuk hidup umat manusia.(6,7)
Secara sunatullah, para ilmuwan di bumi ini melakukan penelitian sesuai dengan arahan dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an mengatakan bahwa bumi akan hancur dikarenakan oleh perbuatan manusia, dan saat ini banyak para ilmuwan telah memperhatikan isu ramah lingkungan dalam menghasilkan teknologi. Di salah satu international conference tahun 2009, seorang peneliti sudah memberikan alasan kebijakan kelompok risetnya untuk melakukan riset yang ramah lingkungan untuk menghindari pemanasan global.(3) Dalam bidang Teknik Kondisi Lingkungan (TKL), beberapa peneliti sudah mulai melakukan penelitian untuk menemukan refrigerant yang ramah lingkungan (non-CFC). Saat ini, teknologi bukan hanya perpaduan antar sains, seni dan nilai ekonomi saja tetapi sudah memasukan ramah lingkungan sebagai factor tambahan. Sudah saatnya ilmuwan muslim memiliki etika dalam melakukan penelitian yang sesuai dalam Al-Qur’an.
Selain konsep Islamisasi sains yang digagas oleh para ilmuwan dan filsuf muslim kontemporer, juga muncul paradigma keilmuan integratif-interkonektif. Konsep dasarnya sebenarnya sama dengan Islamisasi sains. Paradigma keilmuan inegratif-interkonektif lebih menegaskan bahwa Islam tidak mengenal adanya dikotomi antara ilmu dan agama. Kita memahami agama sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan serta sedikit pengetahuan, tetapi agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Disinilah adanya peran interkonektif, yakni sains juga harus memiliki hubungan yang harmonis dengan ilmu-ilmu lain, diantaranya sosial-humaniora, budaya, ekonomi, dll. Dalam tataran aplikatif konsep interkonektif sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, sebab sebagimana dikemukakan di atas bahwa sejak zaman pra sejarah pun manusia purba telah mampu mensinergikan antara teknologi dengan seni.
Mengintegrasikan disini juga tidak berarti menyatukan atau mencampuradukan. Namun masing-masing entitas keilmuan yang dipadukan semestinya tetap dipertahankan sehingga tidak mengaburkan makna. Dengan adanya paradigma integratif-interkonektif diharapkan ilmu yang lahir dari induk agama, menjadi ilmu yang obyektif artinya jika sains itu lahir dari agama yang berbeda tidak lantas menimbulkan ilmu yang tidak normatif. Contoh obyektifitas ilmu optik dan aljabar tidak harus dikaitkan dengan budaya Islam pada era Ibnu Haitam dan Al-Khawarizmi, ilmu akupuntur dipraktekan oleh umat Islam tanpa harus percaya dengan konsep ying-yang Taoisme, dan yoga tanpa harus percaya dengan ajaran Hinduisme.
Paradigma integratif-interkonektif dan islamisasi sains sesungguhnya mengajarkan kepada umat Islam bahwa ilmu apapun yang kita pelajari pada dasarnya adalah ilmu agama. Tidak ada parsialisme bahwa ilmu agama hanyalah ilmu hadits, sunnah dan Al-Qur’an (milik anak-anak pesantren). Justeru konsep ini mengajarkan kepada umat Islam bagaimana Al-Qur’an, hadits, dan sunnah kita integrasi-interkoneksikan ke dalam bidang ilmu kita masing-masing. Ini mensyaratkan adanya perpaduan tiga entitas dalam pengembangan sains dan teknologi.
Gambar 5. Integrasi-interkoneksi tiga entitas sumber sains
Saat ini tugas ilmuwan (ilmuwan muslim pada khususnya) masih banyak. Ayat-ayat Allah di muka bumi ini masih banyak yang belum terungkap. Tugas para ilmuwan untuk mengungkapkan ayat-ayat Allah tersebut dalam suatu pendekatan model persamaan yang selanjutnya menjadi sains. Dengan penemuan baru yang ditemukan oleh para ilmuwan diharapkan akan melakukan transformasi sains ke arah yang benar.
Disinilah pentingnya transformasi sains dalam kehidupan umat Islam. Dr Fathi Yakan (1996) mengatakan bahwa diantara karakeristik khusus yang dimiliki proyek Islamisasi adalah sebuah gerakan transformatif (mempunyai misi perubahan) dan tidak menyediakan tempat bagi unsur adaptasi(8). Zainal Abidin sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Amril M. dalam tulisannya mengatakan bahwa sains Islam adalah sistem sains yang diilhami oleh nilai-nilai Islami, atau merupakan manifestasi ajaran-ajaran Islam dalam sains. Oleh karena itu, metodologi sebagai dasar dari pengembangan sains perlu direkonstruksi sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan menempatkan Islam atau Al-Qur’an sebagai dasar filosofi sains, akan sangat meniscayakan terimplementasinya pandangan dunia (world view) Islam bagi para ilmuwan. Hal ini sangat menentukan metodologi ilmiah, cita-cita, dan tujuan ilmu yang akan didalami atau dikembangkan dalam setiap aktivitas ilmiah. Begitu pula dengan menjadikan sistem Islam sebagai pedoman sebagai aktivitas ilmiahnya, akan sangat memungkinkan para ilmuwan untuk selalu terbimbing oleh nilai-nilai Islami sehingga produk yang dihasilkan adalah produk yang tepat guna dan jelas manfaatnya. Tegasnya, sains dan nilai-nilai Islam akan menjadi pembeda sains Islam dengan sains non-Islam. Melalui karakter dasar sains inilah meniscayakan akan menghasilkan sains-sains yang rahmatan lil’alamin dan sarat dengan nilai-nilai ilahiyah dan kemanusiaan(4).
Penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan tidak hanya berkaitan menemukan sains baru tetapi juga bisa untuk menggunakan sains yang ada. Dari sains yang ada, ilmuwan bisa menciptakan suatu teknologi yang tepat guna. Maksud dari teknologi tepat guna ini adalah teknologi yang mempunyai fungsi untuk membantu kehidupan umat manusia dan tidak memberikan efek negatif terhadap umat manusia.
Sebagai kesimpulan, sains merupakan komponen utama untuk menciptakan suatu teknologi. Sains dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia sejak dari nabi Adam A.S. Semua sains yang ada merupakan hasil pendekatan terhadap fenomena-fenomena alam. Tugas ilmuwan untuk menemukan ayat-ayat Allah menjadi suatu sains. Para ilmuwan bisa menggunakan sains yang ada untuk menciptakan suatu teknologi tepat guna.

Reference:
(1) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
(2) Dra. Dwi Hartini.Masyarakat Prasejarah Indonesia. Modul Sejarah Nasional dan umum, ebooks.lib.unair.ac.id
(3) International Conference Flexible Printed Electronic 2009. Jeju Island: Korea.
(4) Prof. Dr. Amril M., MA. Artikel: Sains Islam (Sebuah Refleksi Metodologis)
(5) Noeng Muhadjir. 1998. Fisafat Ilmu. Rake Sarasin: Yogyakarta
(6) Rohadi Awaludin. Konsep Islamisasi Iptek. Tarbiyyah Digital Journal Al-Manar edisi I/2004
(7) Chairil Anwar. Islamisasi Ilmu,  Al-Qur'an dan Sains. Tarbiyyah Digital Journal Al-Manar edisi I/2004
(8) Sayyid Qutb. 1968. Karakteristik Konsepsi Islam. Pustaka: Bandung.



[1] Anggota Divisi Riset dan Kompetisi MITI-Mahasiswa

No comments:

Post a Comment