(Oleh: Arida Sahputra)
Tulisan ini adalah sambungan dari tulisan sebelumnya yang berjudul “Merajut Cinta”. Karena waktu yang terbatas waktu menulis minggu yang lalu, maka yang dapat ditulis masih mukaddimahnya saja. Belum masuk kepada inti apa yang sudah disampaikan pada acara itu. Secara terori memang benar kalau membuat tuliasan itu jangan terlalu panjang-panjang. Oleh karena itu saya membuat tulisan yang pendek-pendek saja. Yang penting substansinya tersampaikan.
Baiklah kembali ke laptob. Pada tulisan “Merajut Cinta” saya telah menjelaskan defenisi ukhwah islamiyah dengan ukhwah jahilliyah, kondisi ukhwah islamiyah kekinian dan fadhilah berukhwah. Pada tulisan ini, saya ingin melanjutkan tingkatan-tingkatan ukhwah islamiyah.
Adapun tingkatan Ukhwah Islamiyah itu diantaranya;
Tulisan ini adalah sambungan dari tulisan sebelumnya yang berjudul “Merajut Cinta”. Karena waktu yang terbatas waktu menulis minggu yang lalu, maka yang dapat ditulis masih mukaddimahnya saja. Belum masuk kepada inti apa yang sudah disampaikan pada acara itu. Secara terori memang benar kalau membuat tuliasan itu jangan terlalu panjang-panjang. Oleh karena itu saya membuat tulisan yang pendek-pendek saja. Yang penting substansinya tersampaikan.
Baiklah kembali ke laptob. Pada tulisan “Merajut Cinta” saya telah menjelaskan defenisi ukhwah islamiyah dengan ukhwah jahilliyah, kondisi ukhwah islamiyah kekinian dan fadhilah berukhwah. Pada tulisan ini, saya ingin melanjutkan tingkatan-tingkatan ukhwah islamiyah.
Adapun tingkatan Ukhwah Islamiyah itu diantaranya;
1. Diperlukan kelapangan dada
Pada tingkatan ini, sesama ikhwah itu tidak boleh ada rasa iri dan dengki. Karena sesuai dengan hadis dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwasnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidak akan berkumpul dalam hati seorang hamba iman dan kedengkian.” (HR. Ahmad, Al Hakim dan Nasai. Hadits ini disahihkan oleh Al Albani dalam Shahih al Jaami’ ash Shoghir, no. 7620).
Sesama ikhwah juga harus saling memaafkan. Rasulullah dan sahabat sudah membuktikan, dari sekian banyak sirah saling memaafkan sesame ikhwah, saya memberikan satu sirah saja yaitu; Dalam peristiwa haditsah al-ifk Misthah radliyallahu ‘anhu termasuk salah seorang dari kaum mu’minin yang termakan fitnah yang ditiupkan oleh orang-orang munafik. Dia seorang muhajir dan ahli Badar sebagaimana juga miskin sehingga kehidupannya ditangung oleh Abu Bakar radliyallahu ‘anhu. Ketika Allah menurunkan ayat yang menjelaskan kesucian Aisyah radliyallahu ‘anhu dari segala fitnah tersebut, Abu Bakar bersumpah untuk memutuskan bentuannya kepada Misthah yang ikut termakan fitnah terhadap putrinya, maka Allah menurunkan ayat tentang itu:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi kepada kaum kerabat, orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. 24:22) maka Abu Bakar pun langsung membatalkan sumpahnya dengan membayar kaffarah sumpah.
Tidak ada dendam sesame ikhwah seperti apa yang sudah dicontohkan murid-murid Imam Ahmad yang pernah berkata kepadanya: “Bolehkah kami mengambil hadits dari Abu Manshur Ath Thusi?” berkata Ahmad: “Kalau bukan darinya dari siapa lagi kalian akan mengambil hadits?” Mereka berkata: “Sesungguhnya dia telah berbicara tentang (keburukan) anda.” Berkata Ahmad: “Dia adalah seorang yang shaleh namun kita menjadi ujian baginya.”
Juga pernah terjadi sesuatu antara Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib dengan Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib sehingga Hasan bin Hasan mendatangi Ali bin Husain di majelisnya dihadapan murid-muridnya dan menghujatnya. Ali bin Husain hanya diam mendengar hujatan saudaranya terhadapnya hingga dia menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya lalu pergi. Tak lama kemudian Ali bin Husain mendatangi Hasan bin Hasan di rumahnya dan berkata: “Jika semua yang engkau katakan tadi benar adanya semoga Allah mengampuniku dan jika semua yang engkau katakan tadi tidak benar semoga Allah mengampunimu.” Maka Hasan bin Hasan mengejar Ali bin Husain dan meminta maaf kepadanya.
2. Empati
Sesama ikhwah diperlukan rasa empati, ketika hati telah bersatu tidak ada yang berat untuk dilakukan. Ketika didalam hati sudah mekar rasa saling mencintai sesama ikhwah, gunungpun akan didaki dan lautan akan diseberangi untuk mendapatkan apa yang diinginkan saudara kita itu. Sehingga walaupun saudara kita membutuhkan bantuan tanpa beliau minta, kita sudah mengetahui dan langsung membatunya.
Kita sesama ikhwah harus berani sehat-menasehati saudara kita ketika benar, maka katakan benar, dan sebaliknya jika salah maka katakan salah.
Sesama ikhwah juga kita harus saling mendoakan saudara kita. Perlu diketahui bahwa. Dari Abu Darda radliyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa seorang muslim untuk saudaranya dalam keadaan tidak diketahuinya dikabulkan, di sisi kepalanya ada malaikat yang diwakilkan, setiap kali dia doakan saudaranya maka malaikat itu mengucapkan “amin, dan untukmu seperti itu pula”. (HR. Muslim, no. 2733).
Sesama ikhwah kita harus menjaga kehormatan saudara kita yaitu dengan tidak mengghibahnya, memfitnahnya bahkan jika ada orang yang mencela saudaranya dia akan membelanya. Seperti yang direspons Rasulullah, dalam perjalanan ke perang Tabuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari Ka’ab bin Malik,
maka seorang laki-laki dari Bani Salimah berkata: “Berat atasnya pakaiannya ya Rasulullah.” (maksudnya dia tidak mampu meninggalkan kenikmatan di Madinah untuk pergi berjihad). Mendengar itu Mu’adz bin Jabal berkata orang tersebut: “Alangkah buruk apa yang engkau katakan, kami tidak mengetahui darinya kecuali kebaikan (mungkin dia terhalang udzur). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam.” (HR Bukhari, no. 4418 dan 2769).
3. Mengutamakan saudaranya di atas dirinya sendiri
Tingkatan ini adalah tingkatan yang tertinggi. Perlu diketahui beberapa contoh yang dicontohi Rasulullah dan para sahabat. Banyak sekali sirah yang menceritakan tentang bab ini. Namun saya menulis beberapa contoh saja yaitu seperti yang di cantumkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 9 yang berbunyi “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.”
Juga dalam Hadis Bukhari (3798,4889), Muslim (2054) dan Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3203) meriwayatkan; "Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah kedatangan tamu yang kelaparan pada suatu malam maka beliau bertanya kepada istri-istri beliau kalau-kalau diantara mereka ada yang mempunyai makanan, ketika beliau tahu bahwa tidak ada seorang pun diantara istri beliau yang mempunyai makanan beliau menawarkan kepada para sahabat untuk melayanai tamu beliau tersebut. Abu Thalhah lalu menawarkan dirinya, diapun segera ke rumahnya dan munyampaikannya kepada istrinya, istrinya berkata bahwa mereka hanya punya makanan untuk anak-anak mereka malam itu. Abu Thalhah lalu menyuruh istrinya untuk menidurkan anak-anaknya ketika waktu makan malam tiba dan mematikan pelitanya lalu mengajak tamu Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam makan dalam kegelapan sementara Abu Thalhah dan istrinya sendiri tidak makan. Keesokan harinya Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh Allah kagum dengan apa yang dilakukan fulan dan fulanah (semalam).” Dan Allah menurunkan ayat: “dan mereka mengutamakan saudara mereka di atas diri mereka sendiri meskipun mereka sendiri dalam keadaan sempit” (QS. Al Hasyr [59]: 9).
Dalam sirah juga diceritakan bahwa setelah perang Yarmuk selesai berkecamuk tergeletak 3000 prajurit muslim diantara mereka ada yang terluka dan ada pula yang syahid. Diantara yang terluka terdapat Al Harits bin Hisyam, ‘Ikrimah bin Abi Jahl dan ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah. Maka Al Harits meminta air untuk minum, ketika air dibawakan kepadanya dia melihat ‘Ikrimah memandang kepadanya maka diapun berisyarat agar itu diberikan kepada ‘Ikrimah, ketika air dibawa kepada Ikrimah dia melihat ‘Ayyasy memandang kepadanya maka diapun berisyarat agar air itu dibawa kepada ‘Ayyasy, ketika air itu dibawakan kepada ‘Ayyasy ternyata dia telah meninggal sebelum sempat meneguknya dan ternyata al Harits dan ‘Ikrimah pun juga telah meninggal dunia. Tidak seorangpun diantara mereka yang meminum air tersebut sampai mereka syahid karena mengutamakan saudaranya.
Ikhwahfillah, ditingkat manakah kita mengelola ukhwah itu? Tentunya hanya diri sendirilah yang bisa menjawabnya. Ikhwahfillah, marilah kita meningkatkan cinta kasih kita sesama ikhwah, mari berlapang dada, mari tumbuhkan rasa empati sesama ikhwah dan ketika kita sudah saling mencintai InsyaAllah kita akan samapai ketingkatan yang tertinggi yaitu ketika kita sudah saling mencintai kita akan mengutamakan saudara kita, bahkan nyawa sebagai taruhannya.
Ops!! Sudah bunyi bel masuk lagi, Saya harus pending dulu untuk menulis narasi ini. InsyaAllah dilain kesempatan saya akan tulis lagi inti substansi yang ingin disampaikan pada pertemuan ini, semoga dimudahkan Allah. Aamiin..
Wallahu a'lam bishawab
Pada tingkatan ini, sesama ikhwah itu tidak boleh ada rasa iri dan dengki. Karena sesuai dengan hadis dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwasnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Tidak akan berkumpul dalam hati seorang hamba iman dan kedengkian.” (HR. Ahmad, Al Hakim dan Nasai. Hadits ini disahihkan oleh Al Albani dalam Shahih al Jaami’ ash Shoghir, no. 7620).
Sesama ikhwah juga harus saling memaafkan. Rasulullah dan sahabat sudah membuktikan, dari sekian banyak sirah saling memaafkan sesame ikhwah, saya memberikan satu sirah saja yaitu; Dalam peristiwa haditsah al-ifk Misthah radliyallahu ‘anhu termasuk salah seorang dari kaum mu’minin yang termakan fitnah yang ditiupkan oleh orang-orang munafik. Dia seorang muhajir dan ahli Badar sebagaimana juga miskin sehingga kehidupannya ditangung oleh Abu Bakar radliyallahu ‘anhu. Ketika Allah menurunkan ayat yang menjelaskan kesucian Aisyah radliyallahu ‘anhu dari segala fitnah tersebut, Abu Bakar bersumpah untuk memutuskan bentuannya kepada Misthah yang ikut termakan fitnah terhadap putrinya, maka Allah menurunkan ayat tentang itu:
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi kepada kaum kerabat, orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. 24:22) maka Abu Bakar pun langsung membatalkan sumpahnya dengan membayar kaffarah sumpah.
Tidak ada dendam sesame ikhwah seperti apa yang sudah dicontohkan murid-murid Imam Ahmad yang pernah berkata kepadanya: “Bolehkah kami mengambil hadits dari Abu Manshur Ath Thusi?” berkata Ahmad: “Kalau bukan darinya dari siapa lagi kalian akan mengambil hadits?” Mereka berkata: “Sesungguhnya dia telah berbicara tentang (keburukan) anda.” Berkata Ahmad: “Dia adalah seorang yang shaleh namun kita menjadi ujian baginya.”
Juga pernah terjadi sesuatu antara Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib dengan Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib sehingga Hasan bin Hasan mendatangi Ali bin Husain di majelisnya dihadapan murid-muridnya dan menghujatnya. Ali bin Husain hanya diam mendengar hujatan saudaranya terhadapnya hingga dia menyelesaikan apa yang ingin dikatakannya lalu pergi. Tak lama kemudian Ali bin Husain mendatangi Hasan bin Hasan di rumahnya dan berkata: “Jika semua yang engkau katakan tadi benar adanya semoga Allah mengampuniku dan jika semua yang engkau katakan tadi tidak benar semoga Allah mengampunimu.” Maka Hasan bin Hasan mengejar Ali bin Husain dan meminta maaf kepadanya.
2. Empati
Sesama ikhwah diperlukan rasa empati, ketika hati telah bersatu tidak ada yang berat untuk dilakukan. Ketika didalam hati sudah mekar rasa saling mencintai sesama ikhwah, gunungpun akan didaki dan lautan akan diseberangi untuk mendapatkan apa yang diinginkan saudara kita itu. Sehingga walaupun saudara kita membutuhkan bantuan tanpa beliau minta, kita sudah mengetahui dan langsung membatunya.
Kita sesama ikhwah harus berani sehat-menasehati saudara kita ketika benar, maka katakan benar, dan sebaliknya jika salah maka katakan salah.
Sesama ikhwah juga kita harus saling mendoakan saudara kita. Perlu diketahui bahwa. Dari Abu Darda radliyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa seorang muslim untuk saudaranya dalam keadaan tidak diketahuinya dikabulkan, di sisi kepalanya ada malaikat yang diwakilkan, setiap kali dia doakan saudaranya maka malaikat itu mengucapkan “amin, dan untukmu seperti itu pula”. (HR. Muslim, no. 2733).
Sesama ikhwah kita harus menjaga kehormatan saudara kita yaitu dengan tidak mengghibahnya, memfitnahnya bahkan jika ada orang yang mencela saudaranya dia akan membelanya. Seperti yang direspons Rasulullah, dalam perjalanan ke perang Tabuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari Ka’ab bin Malik,
maka seorang laki-laki dari Bani Salimah berkata: “Berat atasnya pakaiannya ya Rasulullah.” (maksudnya dia tidak mampu meninggalkan kenikmatan di Madinah untuk pergi berjihad). Mendengar itu Mu’adz bin Jabal berkata orang tersebut: “Alangkah buruk apa yang engkau katakan, kami tidak mengetahui darinya kecuali kebaikan (mungkin dia terhalang udzur). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terdiam.” (HR Bukhari, no. 4418 dan 2769).
3. Mengutamakan saudaranya di atas dirinya sendiri
Tingkatan ini adalah tingkatan yang tertinggi. Perlu diketahui beberapa contoh yang dicontohi Rasulullah dan para sahabat. Banyak sekali sirah yang menceritakan tentang bab ini. Namun saya menulis beberapa contoh saja yaitu seperti yang di cantumkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 9 yang berbunyi “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.”
Juga dalam Hadis Bukhari (3798,4889), Muslim (2054) dan Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3203) meriwayatkan; "Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah kedatangan tamu yang kelaparan pada suatu malam maka beliau bertanya kepada istri-istri beliau kalau-kalau diantara mereka ada yang mempunyai makanan, ketika beliau tahu bahwa tidak ada seorang pun diantara istri beliau yang mempunyai makanan beliau menawarkan kepada para sahabat untuk melayanai tamu beliau tersebut. Abu Thalhah lalu menawarkan dirinya, diapun segera ke rumahnya dan munyampaikannya kepada istrinya, istrinya berkata bahwa mereka hanya punya makanan untuk anak-anak mereka malam itu. Abu Thalhah lalu menyuruh istrinya untuk menidurkan anak-anaknya ketika waktu makan malam tiba dan mematikan pelitanya lalu mengajak tamu Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam makan dalam kegelapan sementara Abu Thalhah dan istrinya sendiri tidak makan. Keesokan harinya Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh Allah kagum dengan apa yang dilakukan fulan dan fulanah (semalam).” Dan Allah menurunkan ayat: “dan mereka mengutamakan saudara mereka di atas diri mereka sendiri meskipun mereka sendiri dalam keadaan sempit” (QS. Al Hasyr [59]: 9).
Dalam sirah juga diceritakan bahwa setelah perang Yarmuk selesai berkecamuk tergeletak 3000 prajurit muslim diantara mereka ada yang terluka dan ada pula yang syahid. Diantara yang terluka terdapat Al Harits bin Hisyam, ‘Ikrimah bin Abi Jahl dan ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah. Maka Al Harits meminta air untuk minum, ketika air dibawakan kepadanya dia melihat ‘Ikrimah memandang kepadanya maka diapun berisyarat agar itu diberikan kepada ‘Ikrimah, ketika air dibawa kepada Ikrimah dia melihat ‘Ayyasy memandang kepadanya maka diapun berisyarat agar air itu dibawa kepada ‘Ayyasy, ketika air itu dibawakan kepada ‘Ayyasy ternyata dia telah meninggal sebelum sempat meneguknya dan ternyata al Harits dan ‘Ikrimah pun juga telah meninggal dunia. Tidak seorangpun diantara mereka yang meminum air tersebut sampai mereka syahid karena mengutamakan saudaranya.
Ikhwahfillah, ditingkat manakah kita mengelola ukhwah itu? Tentunya hanya diri sendirilah yang bisa menjawabnya. Ikhwahfillah, marilah kita meningkatkan cinta kasih kita sesama ikhwah, mari berlapang dada, mari tumbuhkan rasa empati sesama ikhwah dan ketika kita sudah saling mencintai InsyaAllah kita akan samapai ketingkatan yang tertinggi yaitu ketika kita sudah saling mencintai kita akan mengutamakan saudara kita, bahkan nyawa sebagai taruhannya.
Ops!! Sudah bunyi bel masuk lagi, Saya harus pending dulu untuk menulis narasi ini. InsyaAllah dilain kesempatan saya akan tulis lagi inti substansi yang ingin disampaikan pada pertemuan ini, semoga dimudahkan Allah. Aamiin..
Wallahu a'lam bishawab
panjang kali, malas bacanya :D
ReplyDeleteterimakasih atas pembahasannya..
ReplyDeletesemoga kita bisa menjadikan hidup kita lebih baik setiap harinya
dan merajut cinta tanpa syarat....aamiin