Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Wednesday, September 26, 2012

Amal Itu Menyatukan dan Debat Itu Memecah Belah



عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ .  [رواه البخاري ومسلم[


Dari Abu Hurairah Abdurahman ibnu Shakhra ra berkata bahwa aku dengar Rasulullah saw bersabda, “Apa yang aku larang hendaklah kalian menghindarinya dari apa yang aku perintahkan maka hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan penentangan mereka terhadap Nabi-Nabi mereka.“ (Diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim)


Syarah al Hadits

Hadits di atas dengan redaksi seperti itu hanya diriwayatkan Muslim dari riwayat Az-Zuhri dari Sa’id bin Al Musayyib dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ra. Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits di atas dari riwayat Abu Az-Zanad dan Al A’raj dan Abu Hunairah ra dan Nabi saw yang bersabda:

عن أبي هريرة t قال :سمعت رسول الله r يقول : " ما نهيتكم عنه ، فاجتنبوه ، وما أمرتُكُم به ، فأتُوا منه ما استطعتم ، فإنَّما أهلك الذين من قبلكم كثرةُ مسائلهم واختلافُهم على أنبيائهم " . رواه البخاري ومسلم([1]).

"Tinggalkan aku terhadap apa yang aku tinggalkan pada kalian, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa oleh pertanyaan dan penentangan mereka kepada Nabi-Nabi mereka. Jika aku melarang sesuatu pada kalian, jauhilah. Dan jika aku memerintahkan sesuatu pada kalian, kerjakan semampu kalian.”

Hadits semakna juga diriwayatkan Muslim dari dua jalur lainnya riAbu Hurairah ra. Di riwayat lain, disebutkan latar belakang hadits di atas dari riwayat Muhammad bin Ziyad dari Abu Hunairah ra yang berkata bahwa Rasulullah saw berkhutbah kepada kami, kemudian beliau bersabda,

عن أبي هريرة قال  :خطبنا رسول الله r فقال : " يا أيها الناس قد فرض الله عليكم الحجَّ فحجُّوا " فقال رجل أكُلَّ عام يا رسول الله ؟ فسكت حتى قالها ثلاثاً ، فقال رسولُ الله r : " لو قلتُ : نعم ، لوجبت ، ولما استطعتُم " ثمَّ قال : " ذروني ما تركتُكُم ، فإنما أُهلك من كان قبلكم بسؤالهم واختلافهم على أنبيائهم ، فإذا أمرتُكُم بشيء ، فأتوا منه ما استطعتم ، وإذا نهيتكُم عن شيء ، فدعوه
“Hai manusia, Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” Seseorang berkata, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw diam hingga orang tersebut berkata seperti itu hingga tiga kali kemudian Rasulullah saw bersabda, “Kalau aku katakan: Ya, niscaya hal tersebut menjadi wajib dan niscaya kalian tidak akan sanggup. “Kemudian bersabda, “Biarkanlah aku terhadap apa yang aku tinggakan pada kalian. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dibinasakan karena pertanyaan mereka dan penentangan mereka kepada Nabi-Nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu pada kalian, kerjakan semampu kalian. Dan jika aku melarang sesuatu pada kalian, tinggalkan.“

Hadits tersebut dari jalur lain diriwayatkan Ad-Daruquthni dengan ringkas dan di dalamnya dikatakan, “Kemudian turunlah firman Allah Ta’ala,
}يا أيها الذين آمنوا لا تسألوا عن أشياء إن تُبد لكم تسؤكم
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian." (Al Maidah: 101).

Diriwayatkan dari jalur lain bahwa ayat di atas turun setelah para sahabat bertanya kepada Nabi saw tentang haji, “Apakah haji itu setiap tahun?”

Dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan hadits dari Anas bin Malik ra yang berkata, “Rasulullah saw berkhutbah kepada kami ke­mudian seseorang bertanya, ‘Siapa ayahku?’ Nabi saw bersabda, 'Si Fulan. ‘Setelah itu, turunlah ayat di atas.”

Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Qatadah dari Anas bin Malik ra yang berkata,
وفيهما أيضاً عن قتادة ، عن أنس قال : سألوا رسول الله r حتى أحفوه في المسألة ، فغضب ، فصعد المنبر ، فقال : " لا تسألوني اليوم عن شيء إلا بيَّنته " ، فقام رجل كان إذا لاحى الرجالَ دُعِيَ إلى غير أبيه فقال  يا رسول الله من أبي ؟ قال : " أبوك حُذافة " ، ثم أنشأ عمرُ ، فقال : رضينا بالله رباً ، وبالإسلام ديناً ، وبمحمد رسولاً ، نعوذ بالله من الفتن . وكان قتادة يذكر عند هذا الحديث هذه الآية : } يا أيها الذين آمنوا لا تسألوا عن أشياء { ([2]).
“Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw hingga mereka menekan beliau dalam pertanyaan mereka. Beliau marah kemudian naik mimbar dan bersabda, 'Pada hari ini kalian tidak menanyakan sesuatu apa pun kepadaku melainkan aku menjelaskannya. ‘Seseorang yang jika berdebat dengan orang-orang, ia dipanggil dengan nama selain nama ayahnya berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapa ayahku?’ Nabi saw bersabda, ‘Ayahmu ialah Hudzalah.’ Umar bin Khaththab bicara, ‘Kami ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Rasul, dan berlindung kepada Allah dari fitnah-fitnah.’ Dan Qatadah ketika menyebutkan hadits di atas, ia membaca firman Allah Ta’ala, ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-­hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian.’ (Al­-Maidah: 101).

Dalam Shahih Al Bukhari disebutkan hadits dari Ibnu Abbas ra. yang berkata,“Satu kaum bertanya kepada Rasulullah saw dengan maksud mengejek salah seorang dari mereka berkata, ‘siapa ayahku?’ Orang yang untanya tersesat berkata, 'Di mana untaku?’ Kemudian Allah menurunkan ayat ini. ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mena­nyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian.’ (Al Maidah: 101).

Ibnu Jarir Ath-Thabari meriwayatkan dalam tafsir-nya hadits dari Abu Hurairah ra yang berkata, “Rasulullah saw keluar dengan marah dan wajahnya memerah hingga duduk di atas mimbar. Seseorang berdiri kepada beliau dan berkata, ‘Di mana saya?’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Di neraka.Orang lain berdiri kepada beliau dan berkata, ‘Siapa ayahku?’ Rasulullah saw bersabda, ‘Ayahmu ialah Hudzafah.’ Umar berdiri kemudian berkata, ‘Kami ridha Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan al Qur’an sebagal imam. Wahai Rasulullah, kami belum lama meninggalkan jahiliyah dan syirik. Allah lebih tahu siapa nenek moyang kami ‘Marah Rasulullah saw pun mereda kemudian turunlah ayat ini. ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian.’ (Al Maidah: 101).

Ibnu Jarir Ath-Thabari juga meriwayatkan hadits dari jalur Al-Aufi dari Ibnu Abbas ra tentang firman Allah Ta’ala, ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian.‘ (Al Maidah: 101).
Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah saw memberi pengumuman kepada manusia dengan berkata, ‘Hai manusia, haji telah diwajibkan kepada kalian. Seseorang berdiri lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah setiap tahun?’ Rasulullah saw berang kemudian bersabda, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika aku katakan, ‘Ya, ‘pasti haji menjadi wajib. Jika haji telah diwajibkan, kalian tidak sanggup mengerjakannya dan karenanya kalian menjadi kafir. Biarkan aku terhadap apa yang aku tinggalkan kepada kalian. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakan. Dan jika aku melarang sesuatu pada kalian, berhentilah kalian darinya. ‘Kemudian Allah menurunkan ayat, ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian.‘ (Al Maidah: 101).  Allah melarang mereka bertanya seperti pertanyaan orang-orang Kristen tentang Al Maidah (hidangan) kemudian mereka menjadi kafir karenanya. Sungguh Allah melarang bertanya seperti itu dan berfirman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika Al Quran turun membawa hal yang berat, maka hal itu, menyusahkan kalian. Namun tunggulah. Jika Al Quran telah turun, kalian tidak menanyakan sesuatu apa pun melainkan kalian mendapatkan penje­lasannya “

Hadits-hadits di atas menunjukkan tentang larangan menanyakan hal-hal yang tidak perlu karena jawaban pertanyaan tersebut justru menyusahkan si penanya, misalnya pertanyaan penanya apakah ia di neraka atau surga? Apakah ayahnya bernasabkan kepadanya atau tidak? Hadits-hadits di atas juga menunjukkan larangan bertanya dengan maksud membingungkan, tidak berguna dan sia-sia dan mengejek seperti biasa dilakukan orang-orang munafik dan orang-orang selain mereka.

Contoh lain ialah menanyakan ayat-ayat dengan membingungkan seperti yang ditanyakan orang-orang musyrik dan Ahli Kitab. Ikrimah dan lain-lain berkata bahwa firman Allah di surat Al Maidah ayat 101 turun karena hal tersebut.

Contoh lain ialah menanyakan hal-hal yang disembunyikan Allah dari hamba­-hamba-Nya dan tidak memperlihatkan kepada mereka, seperti pertanyaan tentang waktu Hari Kiamat, ruh, dan lain sebagainya. Hadits-hadits di atas juga melarang kaum Muslimin menanyakan banyak hal tentang halal dan haram karena jawabannya dikhawatirkan menjadi penyebab turunnya perintah keras di dalamnya, misalnya bertanya tentang haji, “Apakah haji wajib setiap tahun atau tidak?” Di Shahih Al Bukhari disebutkan hadits dari Sa’ad dan Nabi saw yang bersabda,
وفي " الصحيح " عن سعد ، عن النبي r أنه قال :" إن أعظم المسلمين في المسلمين جرماً من سأل عن شيء لم يحرَّم ، فحُرِّمَ من أجل مسألته " ([3]).

“Sesungguhnya kaum Muslimin yang paling besar dosanya di kalangan kaum Muslimin ialah orang yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan kemudian sesuatu tersebut diharamkan karena pertanyaannya."

Ketika Nabi saw ditanya tentang li’an, beliau tidak suka dengan pertanyaan seperti itu hingga penanya mendapatkan musibah karenanya sebelum menjatuhkannya pada istrinya. Nabi saw juga melarang bergosip, banyak tanya, dan menghambur-hamburkan harta.”

Nabi saw hanya memberi keringanan kepada or­ang-orang Arab Badui dan orang-orang seperti mereka misalnya delegasi-delegasi yang menghadap beliau guna mengambil hati mereka. Adapun Muhajirin dan Anshar yang menetap di Madinah dan iman kuat di hati mereka, maka mereka di­larang banyak tanya. Di Shahih Muslim disebutkan hadits dari An-Nawwas bin Sam’an yang berkata, “Aku menetap bersama Rasulullah saw di Madinah selama setahun dan tidak ada yang menghalangi aku hijrah me­lainkan bertanya, karena jika salah seorang dari kami berhijrah, maka tidak akan bertanya kepada Nabi saw. Dalam Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Anas bin Malik ra yang berkata:
“Kami dilarang bertanya kepada Rasulullah saw tentang sesuatu. Yang mengherankan kami adalah seseorang yang berasal dari penduduk lembah datang kepada Nabi saw kemu­dian ia bertanya kepada beliau sedang kami mendengar’

Di Al Musnad disebutkan hadits dari Abu Umamah ra yang berkata,
“Allah menurunkan ayat, ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian. ‘(Al Maidah: 101). Kami tidak suka banyak bertanya kepada beliau dan berhati-hati takut ketika Allah menurunkan ayat tersebut kepada beliau. Kemudian datang kepada kami seorang Arab Badui, kami memberikan pakaian kepadanya, dan meminta kepadanya, ‘Bertanyalah kepada Nabi saw. ‘Kemudian Nabi saw menyebutkan salah satu hadits.

Di Musnad Abu Ya'la Maushili disebutkan hadits dari Al Barra' bin Azib ra yang berkata, “Jika sunnah pasti datang kepadaku, aku ingin bertanya kepada Rasulullah saw tentang sesuatu kemudian aku segan kepada beliau. Dulu kami sangat berharap kedatangan orang-orang Arab Badui.”

Di Musnad Al Bazzar disebutkan hadits dan Ibnu Abbas ra yang berkata, “Aku tidak pernah melihat satu kaum yang lebih baik daripada sahabat-­sahabat Muhammad saw. Mereka hanya bertanya tentang dua belas masalah dan kesemuanya ada di al Qur‘an; (Mereka ber­tanya kepadamu tentang minuman keras dan judi “ Al Baqarah: 219), (Mereka bertanya kepadamu tentang bulan haram.“ Al Baqarah: 217), (Mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim. “ (Al Baqarah: 220)

Terkadang para sahabat bertanya kepada Nabi saw tentang sesuatu yang belum terjadi namun untuk diamalkan jika telah terjadi. Misal­nya, mereka bertanya kepada Nabi saw, “Kami akan bertemu musuh besok pagi. Kami tidak mempunyai pisau, bolehkah kami menyem­belih dengan pipa?”7 Mereka juga bertanya kepada Nabi saw tentang para penguasa yang beliau kabarkan setelahnya, tentang ketaatan kepada mereka, dan memerangi mereka. Hudzaifah bertanya kepada beliau tentang fitnah-fitnah dan apa yang ia mesti kerjakan pada zaman tersebut .’

Sabda Nabi saw, “Tinggalkan aku terhadap apa yang aku tinggalkan pada kalian. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dibinasakan karena banyaknya pertanyaan dan penentangan mereka kepada Nabi-Nabi mereka, “ menunjukkan tentang makruhnya dan tercelanya bertanya. Sebagian or­ang menduga bahwa itu khusus untuk zaman Nabi saw karena dikhawatirkan terjadinya pengharaman sesuatu yang belum diharamkan, atau mewajibkan sesuatu yang sulit dikerjakan, sedang itu semua tidak terjadi se­peninggal Nabi saw.

Sebab makruhnya bertanya tidak karena sebab di atas, namun ada sebab lain, yaitu yang diisyaratkan Ibnu Abbas di perkataannya yang telah saya sebutkan sebelumnya, “Namun tunggulah. Jika Al Qur‘an telah turun, kalian tidak menanyakan sesuatu apa pun melainkan kalian mendapatkan penjelasannya.” Maksudnya bahwa semua yang dibutuhkan kaum Muslimin dalam agama mereka itu mesti akan dijelaskan Allah di Kitab-Nya dan disampaikan Rasul-Nya dari-Nya. Setelah itu, siapa pun tidak perlu bertanya lagi, karena Allah lebih tahu tentang kemaslahatan hamba-hamba-Nya daripada mereka. Jadi, apa saja yang di dalamnya terdapat petunjuk dan manfaat bagi kaum Muslimin, Allah Ta’ala pasti menjelaskannya kepada mereka tanpa didahului pertanyaan seperti difirmankan Allah Ta’ala, “Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian agar kalian tidak sesat. “(An-Nisa’: 176).

Maka pada saat itu tidak butuh lagi bertanya tentang sesuatu, apalagi sesuatu yang belum terjadi dan tidak ada kebutuhàn padanya. Justru kebutuhan yang urgen ialah memahami apa yang telah dijelaskan Allah dan Rasul-Nya, mengikutinya, dan mengamalkannya. Nabi saw pernah ditanya tentang banyak hal kemudian beliau mengalihkannya kepada Al Qur’an, misalnya beliau pernah ditanya Umar bin Khaththab tentang kalalah, lalu beliau bersabda, “Ayat Ash-Shaif (ayat terakhir surat An-Nisa  sudah cukup baginya).

Pada hadits di atas, Nabi saw mengisyaratkan bahwa sibuk mengerjakan perintah dan menjauhi larangan beliau itu membuat orang tidak bertanya. Nabi saw bersabda,
: " إذا نهيتُكم عن شيء ، فأجتنبوه ، وإذا أمرتُكم بأمر ، فأتوا منه ما استطعتم

 “Jika aku melarang sesuatu pada kalian, jauhilah. Dan jika aku memerintahkan sesuatu pada kalian, kerjakan semampu kalian.”

Yang harus diperhatikan orang Muslim ialah membahas apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya dilanjutkan berusaha keras memahaminya, memikirkan makna-maknanya, lalu membenarkannya jika hal tersebut termasuk hal-hal yang bersifat ilmiah. Jika hal tersebut termasuk hal-hal yang bersifat amaliyah, ia mencurahkan segenap tenaga untuk bersungguh-sungguh mengerjakan perintah­-perintah yang mampu ia kerjakan dan menjauhi apa saja yang dilarang. Jadi, semua perhatiannya terfokus kepada hal tersebut dan tidak kepada sesuatu yang lain. Seperti itulah, keadaan para sahabat Rasulullah saw dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dalam mencari ilmu yang berman­faat dan Al Qur‘an dan sunnah.

Namun jika perhatian pendengar ketika mendengar perintah dan larangan diarahkan kepada perkiraan teoritis dan perkara-perkara yang bisa terjadi atau tidak, maka itu termasuk hal yang dilarang dan membuat orang tidak serius meng­ikuti perintah. Seseorang bertanya kepada Ibnu Umar tentang mengusap Hajar Aswad. Ibnu Umar berkata kepada orang tersebut ,
. وقد سألَ رجلُ ابنَ عمر عن استلام الحجر ، فقال له : رأيتُ النبيَّ r يستلمه ويقبلُه ، فقال له الرجل : أرأيت إن غُلبتُ عليه ؟ أرأيت إن زُوحمتُ ؟ فقال له ابن عمر : اجعل " أرأيت " باليمن ، رأيتُ النبي r يستلمُه ويقبِّلُه . خرجه الترمذي ([4]).

 “Aku lihat Nabi saw mengusap Hajar Aswad dan menciumnya.” Orang tersebut berkata, “Bagaimana pendapatmu kalau aku tidak bisa melakukannya? Bagaimana pendapatmu kalau aku didesak.” Ibnu Umar berkata kepada orang tersebut, “Le­takkan kata-kata, ‘Bagaimana pendapatmu,’ di Yaman. Aku lihat Nabi saw mengusap Hajar Aswad dan menciumya. (Diriwayatkan At­-Tirmidzi).

Maksud perkataan Ibnu Umar, hendaklah engkau hanya mempunyai se­mangat untuk mengikuti Nabi saw dan tidak usah mem­perkirakan tidak akan mampu melakukannya atau mempersulitnya sebelum terjadi, karena hal tersebut melemahkan semangat untuk mengikuti beliau, sebab mem­pelajari agama dan bertanya tentang ilmu itu akan dipuji jika untuk diamalkan dan bukannya untuk perdebatan.
وقد روي عن عليِّ رضي الله عنه أ،ه ذكر فتناً تكونُ في آخر الزمان ، فقال له عمر : متى ذلك يا عليُّ ؟ قال : إذا تُفُقِّه لغير الدين ، وتُعُلِّم لغير العلم والتمست الدنيا بغير الآخرة .

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa ia menyebutkan sejumlah fitnah yang akan terjadi di akhir zaman kemudian Umar bin Khaththab berkata kepadanya, “Kapan itu terjadi, hai Ali?” Ali bin Abu Thalib menjawab, “Fitnah-fitnah tersebut terjadi jika ilmu dipelajari untuk perkara selain agama, dan ilmu agama dipelajari bukan untuk diamalkan, serta amalan ukhrawi dijadikan komoditi untuk kepentingan dunia.

Ibnu Mas’ud ra berkata,

وعن ابن مسعود أنه قال : كيف بكم إذا لبستكم فتنة يربو فيها الصغير ، ويهرمُ فيها الكبير ، وتتخذُ سنة ، فإن غيرت يوماً قيل : هذا منكر ؟ قالوا : ومتى ذلك ؟ قال : إذا قلَّت أمناؤكم ، وكثرت أمراؤكم ، وقلَّت فقهاؤكم ، وكثر قُراؤكم ، وتُفُقِّة لغير الدين ، والتُمست الدنيا بعمل الآخرة . خرجهما عبد الرزاق في كتابه ([5]).

“Bagaimana kalian jika fitnah terjadi pada kalian di mana padanya anak kecil menjadi dewasa, orang dewasa menjadi tua, fitnah tersebut dijadikan sebagai sunnah, dan jika fitnah tersebut dirubah pada suatu hari. Maka dikatakan, ‘Ini (merubah fitnah) adalah kemungkaran’. ”Orang-­orang bertanya, “Kapan fitnah tersebut terjadi?” lbnu Mas’ud menjawab, “Fitnah tersebut terjadi ketika orang-orang jujur dari kalian tidak banyak, para pemimpin kalian banyak, fuqaha’ kalian sedikit, para qari’ kalian banyak, fiqh dikaji tidak karena agama, dan dunia dicari dengan amalan akhirat.”

Kedua atsar di atas diriwayatkan Abdurrazzaq dalam kitabnya. Karena itulah, banyak para sahabat dan tabi’in tidak suka menanyakan peristiwa-peristiwa yang belum terjadi dan tidak menjawabnya jika ditanya seperti itu. Amr bin Munah berkata, “Umar bin Khaththab keluar menemui manusia ke­mudian berkata,
قال عمرو بن مُرة : خرج عمرُ على الناس ، فقال :أُحرِّجُ عليكم أن تسألونا عن ما لم يكن ، فإن لنا فيما كان شغلا([6]).
‘Aku larang kalian bertanya kepada kami tentang sesuatu yang belum terjadi, karena kami mempunyai kesibukan terhadap sesuatu yang telah terjadi’.”

Ibnu Umar ra berkata, “Kalian jangan bentanya tentang sesuatu yang belum terjadi, karena aku dengar Umar bin Khaththab melaknat penanya tentang sesuatu yang belum terjadi.” Jika Zaid bin Tsabit ditanya tentang sesuatu, ia berkata, “Sudahkah ini terjadi?” Jika orang-orang berkata, “Tidak,” Zaid bin Tsabit berkata, “Biarkan hal tersebut  hingga terjadi.”

Masruq berkata bahwa aku bertanya tentang sesuatu kepada Ubai bin Ka’ab kemudian ia berkata, “Apakah sebelumnya hal tersebut telah terjadi?” Aku berkata, “Belum.” Ubai bin Ka’ab berkata, “Biarkan kami hingga hal tersebut terjadi. Jika hal tersebut benar-benar terjadi, kami akan berijtihad mengeluarkan pendapat kami untukmu.”

Asy-Sya’bi berkata bahwa Ammar pernah ditanya tentang sesuatu kemudian ia berkata, “Apakah sebelumnya sesuatu tersebut telah terjadi?” Orang-orang berkata, “Belum.” Ammar berkata, “Biarkan kami hingga sesuatu tersebut terjadi. Jika sesuatu tersebut betul terjadi, kami akan memilihnya untuk kalian.”

Ash-Shalt bin Rasyid berkata bahwa aku bertanya tentang sesuatu kepada Thawus, namun ia malah membentakku dengan berkata, “Apakah sesuatu tersebut telah terjadi?” Aku menjawab, “Ya.” Thawus berkata, “Demi Allah?” Aku berkata, “Demi Allah.” Thawus berkata, “Sahabat-sahabatku berkata kepadaku dan Muadz bin Jabal bahwa ia berkata, ‘Hai manusia, kalian jangan meminta penyegeraan musibah yang belum turun, karena musibah tersebut pergi membawa kalian pergi dari sini. Jika kalian tidak meminta penyegeraan musibah yang belum terjadi, maka di kaum Muslimin akan selalu ada orang yang jika ditanya maka ia diluruskan dan jika ia berkata ia dibimbing’.

Atsar di atas diriwayatkan Abu Daud di buku Al Marasil secara marfu’ dari jalur Ibnu Ajlan dan Thawus dan Muadz bin Jabal yang berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Kalian jangan meminta penyegeraan musibah yang belum terjadi jika kalian tidak berbuat seperi itu, di kaum Muslimin tidak henti-hentinya ada orang yang jika berkata maka ia diluruskan atau dibimbing. Jika kalian meminta penyegeraan musibah jalan-jalan menjadi bercerai berai bagi kalian di sini dan di sini”

Makna hadits tersebut mursal ialah bahwa Thawus tidak mendengarnya dari Muadz bin Jabal. Hadits semakna juga diriwayatkan Abu Daud secara mursal dan riwayat Yahya bin Abu Katsir dan Abu Salamah dari Nabi saw.

Hajjaj bin Minhal meriwayatkan, Jarir bin Hazim berkata kepadaku, aku dengan Az-Zubair bin Sa’id —salah seorang dan Bani Hasyim— berkata, aku dengan syaikh-syaikh kami berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,

حدثنا جريرُ بنُ حازم أنه قال : سمعت الزبير بن سعيد رجلاً من بني هاشم ، قال : سمعت أشياخنا يحدثون : إن رسول الله r قال : " لا يزال في أمتي من إذا سُئل سُدِّدَ وأُرشِدَ حتى يتساءلوا عن ما لم ينزل تبيينه ، فإذا فعلوا ذلك ، ذُهبَ بهم هاهنا وهاهنا " ([7]).
“Di tengah umatku akan senantiasa ada orang yang jika ditanya maka ia diluruskan dan diberi petunjuk hingga mereka bertanya tentang sesuatu yang penjelasan­nya belum diturunkan. Jika mereka berbuat seperti itu, mereka disingkirkan di sini dan di sini

عن معاوية عن النبي r أنَّه نهى عن الأُغلوطات . خرَّجه الإمام أحمد([8]). وفسرها الأوزاعي ، وقال : هي شدادُ المسائل . وقال عيسى بنُ يونس : هي ما لا يحتاج إليه من كيف وكيف .
Diriwayatkan dari Ash-Shanabihi dari Muawiyah dari Nabi saw bahwa beliau melarang Al-Ughluthath. “(Diriwayatkan Imam Ahmad).’ Tentang Al-Ughluthath, Al Auzai menafsirkan, “Al-Ughluthath ialah pertanyaan-pertanyaan yang sulit.” Isa bin Yunus berkata, “Al Ughluthath ialah hal-hal yang tidak ada gunanya, misalnya kata bagaimana dan bagaimana.”

Diriwayatkan dari Tsauban ra dari Nabi saw yang bersabda,
ويُروي من حديث ثوبان عن النبيr قال : " سيكون أقوام من أمتي يُغلِّطُون فقهاءهم بِغُضَل المسائل ، أولئك شرار أمتي
‘Sejumlah kaum dari umatku akan menggelincirkan para fuqaha ‘mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Mereka umatku yang paling jelek

Al Hasan berkata,
وقال الحسن : شرار عباد الله الذين يتبعون شرار المسائل يَغُمُّون بها عبادَ الله.
“Hamba-hamba Allah yang paling jelek ialah orang-or­ang yang mengikuti pertanyaan-pertanyaan yang jelek kemudian membingungkan hamba-hamba Allah dengannya.”

Al Auzai berkata, “Jika Allah ingin mengharamkan keberkahan ilmu pada hamba-Nya, Dia memasukkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit di lidahnya. Sungguh aku lihat mereka sebagai orang-orang yang paling sedikit ilmunya.”

Ibnu Wahb berkata dari Imam Malik, “Aku berada di negeri ini (Madinah). Mereka tidak suka banyak bertanya yang dilakukan manusia sekarang ini.”

Ibnu Wahb juga berkata dari Imam Malik, “Aku dengar Malik mengecam sikap banyak bicara dan fatwa. Setelah itu, ia berkata, ‘Ia berkata seperti unta hebat Yang berkata, ‘Itu seperti ini, Itu seperti ini.’ Ia berkata sia-sia’.”

Ibnu Wahb juga berkata, “Aku dengan Imam Malik tidak suka menjawab pertanyaan yang banyak. Ia berkata, “Allah Azza wa Jalla  berfirman, ‘Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakan, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku (Al Isra’: 85). Nabi Shallallahu Alaihi  wa Sallam tidak menjawab pertanyaan tentang ruh.”


وكان مالكُ يكره المجادلة عن السُّنن أيضاً . قال الهيثم بن جميل : قلت لمالك : يا أبا عبد الله ، الرجلُ يكونُ عالماً بالسُّنن يُجادل عنها ؟ قال : لا ، ولكن يخبر بالسُّنَّة ، فإن قُبل منه ، وإلا سكت

Imam Malik juga tidak suka berdebat tentang hadits. Al Haitsam bin Jamil berkata, aku berkata kepada Imam Malik, “Wahai Abu Abdullah, seorang yang mengetahui hadits apakah ia berdebat tentang hadits kepada orang lain?” Imam Malik menjawab, “Tidak, ia hanya menyampaikan As-Sunnah, semoga diterima, jika tidak diterima maka ia diam.

 قال إسحاق بن عيسى : كان مالك يقول : المراء والجدال في العلم يذهب بنور العلم من قلب الرجل .

Ishaq bin Isa berkata, Imam Malik berkata, “Perdebatan tentang ilmu itu menghilangkan cahaya ilmu dan hati seseorang.”
وقال ابن وهب : سمعت مالكاً يقول : المراء في العلم يُقسِّي القلوب ، ويورِّث الضغن

 Ibnu Wahb berkata, aku dengan Imam Malik berkata, “Perdebatan tentang ilmu itu mengeraskan hati dan menimbulkan kedengkian.”

Pada suatu hari, Abu Syuraih Al Iskandaroni berada di majlisnya kemudian banyak sekali pertanyaan dilontarkan. Ia berkata, “Sejak hari ini, hati kalian kotor, oleh karena itu, pergilah kalian kepada Abu Humaid alias Khalid bin Humaid agar hati kalian menjadi cemerlang kembali dan pelajarilah semangatnya, karena hal tersebut akan memperbarui ibadah, menghasilkan sikap zuhud, dan mengalirkan sedekah. Janganlah kalian banyak tanya kecuali terhadap sesuatu yang telah terjadi, karena sikap seperti itu mengeraskan hati dan melahirkan permusuhan.”

Al-Maimuni berkata, aku dengan Abu Abdullah --maksudnya Imam Ahmad--­ ditanya tentang salah satu masalah kemudian ia berkata, “Masalah ini telah terjadi. Apakah kalian telah tertimpa dengannya?” Dalam hal ini manusia terbagi ke dalam beberapa kelompok;

Di antara pengikut ulama hadits ada orang yang menutup pintu pertanyaan hingga fiqhnya sedikit dan ilmunya terbatas pada apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya saja. Karenanya, ia menjadi pengemban fiqh namun tidak faqih.

Di antara fuqaha’ ahli ra’yu ada orang yang membuka lebar-lebar kemun­culan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjadi. Terkadang pertanyaan-pertanyaan tersebut terjadi dan terkadang tidak. Kemudian mereka sibuk mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut dan terlibat perdebatan di dalamnya, hingga hal tersebut melahirkan perpecahan hati, hawa nafsu, kebencian, permusuhan, dan kemarahan. Pada umumnya, hal tersebut disertai dengan niat mengalahkan lawan, mencari popularitas, dan mengambil simpati manusia. Ini jelas sesuatu yang dicela para ulama yang Rabbani dan sunnah menunjukkan tentang keburukan dan ke­haramannya.

Adapun para fuqaha’ hadits sekaligus mengamalkannya, sebagian besar semangat mereka ialah mencari makna-makna Kitabullah dan apa saja yang menje­laskannya, misalnya hadits-hadits shahih, perkataan para sahabat, dan perkataan para tabi’in. Mereka juga mencari makna-makna sunnah Rasulullah saw, mengenali mana yang shahih dan dhaif dari padanya, kemudian mempelajarinya, memahaminya, mengkaji makna-maknanya, mengenali perkataan para sahabat dan para tabi’in di berbagai disiplin ilmu, dalam hal tafsir, hadits, masalah halal dan haram, Prinsip-prinsip sunnah, zuhud, dan lain-lain.

Itulah metode Imam Ahmad dan orang-orang yang sealiran dengannya dan para ulama hadits yang Robbani. Sibuk dengan aktivitas seperti itu membuat orang tidak lagi sibuk dengan sesuatu yang diciptakan akal yang tidak ada gunanya dan belum tentu terjadi, namun justru perdebatan di dalamnya menimbulkan permusuhan dan ucap­an yang tidak jelas sumbernya. Jika Imam Ahmad ditanya tentang salah satu dan masalah-masalah baru yang tidak akan terjadi, ia berkata, “Tinggalkan aku dan masalah-masalah baru yang diada-adakan seperti ini.”

Sungguh indah apa yang dikatakan Yunus bin Sulaiman As-Saqathi, “Aku melihat salah satu masalah, ternyata masalah tersebut adalah hadits dan akal. Di hadits tersebut , aku temukan penyebutan Allah Azza wa Jalla, kerububiyahan­Nya, keagungan-Nya, Arrasy, sifat surga, sifat neraka, para Nabi dan Rasul, halal, haram, anjuran untuk silaturahim, dan kumpulan sejumlah kebaikan. Kemudian di akal, aku temukan makar, pengkhianatan, tipu muslihat, pemutusan silaturahim, dan kumpulan sejumlah keburukan.”

Ahmad bin Sibawih berkata,
وقال أحمد بن شبويه : من أراد علمَ القبر فعليه بالآثار ،ومن أراد علم الخُبز ، فعليه بالرأي
“Barangsiapa ingin mengetahui seluk-beluk ilmu kubur, ia harus membaca atsar-atsar. Barangsiapa ingin mengetahui seluk­ beluk ilmu roti, ia harus menggunakan akal.”

Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu seperti yang telah saya sebutkan, secara umum dia mampu memahami jawaban masalah-masalah yang telah terjadi, karena prinsip-prinsip masalah-masalah tersebut ada di prinsip-prinsip yang di­isyaratkannya. Dan dalam menempuh jalan tersebut, ia harus mengikuti para imamnya yang disepakati mendapatkan petunjuk dan ilmunya diakui, misalnya Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, dan orang-orang yang berjalan di jalan mereka. Barangsiapa mengklaim berjalan di atas jalan ini namun tidak di jalan para imam tersebut, ia jatuh ke ranjau dan tempat-tempat rawan, mengambil sesuatu yang tidak layak diambil, dan meninggalkan sesuatu yang wajib diamalkan.

Kesimpulannya, hendaklah orang muslim memaksudkan itu semua untuk mencari keridhaan Allah dan mendekat kepada-Nya enggan mengetahui apa yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya, meniti jalan beliau, mengamalkan apa yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya, dan mengajak manusia kepadanya. Barangsiapa berbuat seperti itu, Allah memberi bimbingan dan petunjuk kepadanya, mengilhamkan petunjuk kepadanya, mengajarinya apa yang belum ia ketahui, dan ia termasuk ulama yang dipuji di Kitabullah, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah para ulama. “(Fathir: 28).

Serta ia termasuk orang-orang yang ilmunya mendalam. Ibnu.Abu Hatim meriwayatkan hadits dalam Tafsir-nya dari Abu Ad-Darda’ ra bahwa Rasulullah saw ditanya tentang orang-orang yang mendalam ilmunya, kemudian beliau bersabda,
ومن الراسخين في العلم ، فقد خرَّج ابنُ أبي حا تم في " تفسيره " من حديث أبي الدرداء أنَّ رسول الله r سُئل عن الرَّاسخين في العلم ، فقال : " من برّت يمينُه ، وصدق لسانُه ، واستقام قلبُه ، ومنْ عفَّ بطنُه وفرجُه ، فذلك من الرَّاسخين في العلم " ([9]).
“Barang siapa sumpahnya baik, lidahnya benar, hatinya lurus, menjaga perut, dan kemaluannya, orang itulah yang termasuk orang-orang yang ilmunya mendalam.

Nafi’ bin Yazid berkata, Ada yang mengatakan bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya ialah orang-orang yang tawadhu’ kepada Allah, merendahkan diri kepada-Nya dalam keridhaan-Nya, tidak menjilat dengan orang-orang di atas mereka, dan tidak menghina orang-orang di bawah mereka.”
ويشهد لهذا قول النبي  r : " أتاكم أهلُ اليمن ، هُمْ أبرُّ قلوباً ، وأرقُّ أفئدة . الإيمان يمانٍ ، والفقه يمان ، والحكمة يمانية " ([10]) . وهذا إشارة منه إلى أبي موسى الأشعري
Perkataan di atas didukung sabda Nabi saw, “Penduduk Yaman telah tiba di tempat kalian. Mereka orang-orang yang ha­tinya paling baik dan orang-orang yang paling lembut jiwanya. Iman adalah Yaman, fiqh adalah Yaman, dan hikmah adalah Yaman.”

Sabda Nabi saw tersebut adalah isyarat beliau kepada Abu Musa Al Asy’ari dan orang-orang dan ulama penduduk Yaman yang sejalan dengannya. Sabda tersebut juga isyarat kepada Abu Muslim Al Khalilani, Uwais Al Qarni, Thawus, Wahb bin Munabbih, dan ulama-ulama Yaman lainnya. Mereka semua termasuk ulama Rabbani yang takut kepada Allah. Sebagian dan mereka lebih luasnya ilmunya tentang hukum-hukum Allah dan syariat-syariat agama-Nya daripada sebagian yang lain. Kelebihan mereka atas orang lain sama sekali bukan karena banyak perkataan yang tidak jelas juntrungannya, pembahasan, dan perdebatan.

Seperti itu pula, Muadz bin Jabal ra yang merupakan orang paling ahli tentang halal dan haram, serta dikumpulkan pada Hari Kiamat di depan para ulama dalam jarak sejauh lemparan anak panah. Ilmunya luas bukan karena memperluas dan memperbanyak pertanyaan, namun karena ia tidak suka membicarakan sesuatu yang tidak terjadi akan tetapi karena  mengetahui Allah, dan Prinsip-Prinsip agama-Nya. Ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Siapa orang yang bisa kami tanya sepeninggalmu?” Imam Ahmad menjawab, “Abdul Wahhab Al Warraq.” Ditanyakan lagi kepada Imam Ahmad, “Ilmu Abdul Wahhab Al Warraq itu tidak banyak.” Imam Ahmad berkata,
قال : إنه رجل صالح مثلُه يُوفَّقُ لإصابة الحق .
“Orang shalih seperti dia itu akan diberi petunjuk untuk mendapatkan kebenaran.”

Imam Ahmad ditanya tentang Ma’ruf Al Kurkhi kemudian ia menjawab, “Ia mempunyai akar ilmu, yaitu takut kepada Allah.” Itu karena didasarkan kepada perkataan salah seorang generasi salaf, “Cukuplah takut kepada Allah itu sebagai ilmu.

Kita kembali pada pembahasan awal kita tentang syarah hadits Abu Hurairah ra di atas. Saya katakan bahwa orang yang tidak sibuk dengan memperbanyak pertanyaan-pertanyaan di mana pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak ada dalam Al Qur’an dan sunnah, lebih sibuk memahami firman Allah dan sabda Rasul-Nya dengan tujuan melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan­-larangan, ia termasuk orang-orang yang melaksanakan perintah Rasulullah saw di hadits tersebut dan mengerjakan konsekuensinya. Barangsiapa tidak mempunyai perhatian untuk memahami apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, sibuk memperbanyak masalah-masalah yang terkadang terjadi dan tidak terjadi, dan membebani diri menyiapkan jawaban-jawabannya berdasarkan pendapatnya, ia dikhawatirkan menyalahi hadits tersebut, mengerjakan larangannya, dan meninggalkan perintahnya.

Ketahuilah, penyebab terjadinya banyak sekali masalah yang tidak mem­punyai landasan dalam Al-Qur’an dan Sunnah ialah karena tidak adanya upaya mengerjakan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, dan meninggalkan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya. Jika seseorang yang ingin beramal bertanya tentang apa yang disyariatkan Allah mengenai amal tersebut kemudian ia mengerjakannya dan ia juga bertanya tentang apa yang dilarang Allah pada amal tersebut kemudian ia menjauhinya, maka masalah-masalah tersebut terjadi dalam batasan Al Qur’an dan Sunnah. Jika seseorang beramal karena pendapat dan hawa nafsunya, maka secara umum masalah tersebut terjadi dalam keadaan menyimpang dan apa yang di­syaniatkan Allah dan bisa jadi masalah-masalah tersebut sulit dikembalikan kepada hukum-hukum yang disebutkan di Al Qur’an dan sunnah karena masalah-masalah tersebut sangat jauh dari hukum-hukum tersebut .

Kesimpulannya, Barangsiapa mengerjakan apa saja yang diperintahkan Nabi saw di hadits tersebut, menjauhi apa saja yang beliau larang, dan sibuk dengan kedua hal tersebut , ia selamat di dunia dan akhirat.

Barangsiapa tidak seperti itu, sibuk dengan lintasan-lintasan hatinya dan apa yang ia anggap baik, ia jatuh ke dalam apa yang telah diperingatkan Nabi saw yaitu seperti Ahli Kitab yang binasa karena banyaknya pertanyaan-­pertanyaan mereka, penentangan mereka terhadap Nabi-Nabi mereka, tidak adanya kepatuhan dan ketaatan mereka kepada Rasul-Rasul mereka.

Tentang sabda Nabi saw, “Apa saja yang jika aku larang pada kalian jauhilah. Dan apa saja yang jika aku perintahkan kepada kalian, kerjakan semampu kalian,“ salah seorang ulama berkata, “Dan hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa larangan itu lebih benar daripada perintah, karena tidak ada rukhshah (dispensasi) untuk mengerjakan salah satu dari larangan-larangan, sedang perintah dikaitkan sesuai dengan kemampuan.” Perkataan tersebut diriwayatkan dari Imam Ahmad.
ويشبه هذا قولُ بعضهم : أعمال البر يعملها البرُّ والفاجرُ ،وأمَّا المعاصي ، فلا يتركها إلا صديق ([11]).

Perkataan tersebut mirip dengan perkataan salah seorang ulama yang berkata, “Perbuatan-perbuatan baik itu dikerjakan orang baik-baik dan orang jahat. Sedang maksiat itu hanya ditinggalkan (tidak dikerjakan) orang yang benar.” Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dan Nabi saw yang bersabda,
ورُوي عن أبي هريرة عن النبي r قال له : " ا تق المحارم ، تكُن أعبدَ الناس"([12]).

 "Takutlah engkau kepada hal-hal haram, niscaya engkau menjadi orang yang paling hebat ibadahnya.

Perkataan tersebut diriwayatkan dari Sahl bin Abdullah At Tustuni di Al Hilyah 10/211. Hadits tersebut potongan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad 2/310. At Tirmidzi hadits nomer 2305, dan Al Kharaithi di Makarimal Akhlaq hal. 42 dan jalur Abu Thariq dari Hasan Basri dari Abu Hurairah ra yang berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
وقالت عائشة رضي الله عنها : من سرّه أن يسبق الدائب المجتهد ، فليكف عن الذنوب ، وروي عنها مرفوعاً ([13]).



“Siapakah yang siap mengambil kalimat-kalimat ini kemudian meng­amalkannya atau mengajarkannya kepada orang yang siap mengamalkannya.” Aku (Abu Hurairah) berkata, ‘Aku, wahai Rasulullah. “Rasulullah saw pun me­megang tanganku lalu mengulang lagi sabda tersebut hingga lima kali. Setelah itu, beliau bersabda, “Takutlah engkau kepada hal-hal haram, niscaya engkau menjadi orang yang paling hebat iba­dahnya. Ridhalah dengan apa yang dibagikan Allah kepadamu, niscaya engkau menjadi orang terkaya. Berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi orang Mukmin. Cintailah untuk manusia apa yang engkau cintai untuk dirimu, niscaya engkau menjadi orang Muslim. Janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tawa itu mematikan hati.”

Dikatakan bahwa Thaniq itu tidak dikenal dan Hasan Basri menyebutkan dengan  qana’ah. Oleh karena itu, At Tirmidzi menganggap hadits tersebut gharib. Namun hadits tersebut mempu­nyai sanad lain yang menguatkannya yang diriwayatkan Ibnu Majah hadits nomor 4217, Al-­Baihaqi di Az-Zuhdu hadits nomor 818, dan Abu Nu’aim di Al Hilyah 10/365 dan di Akhbaru Ashbahan 2/302 Redaksi hadits tersebut ialah, “Wahai Abu Hurairah, jadilah engkau orang yang wara’, niscaya engkau menjadi orang yang paling hebat ibadahnya. Jadilah engkau orang yang qana‘ah, niscaya engkau menjadi orang yang paling bersyukur. Cintailah untuk manusia apa yang engkau cintai untuk dirimu, niscaya engkau menjadi orang Muslim. Janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tawa itu mematikan hati.” Hadits tersebut dihasankan Al-Bushairi di Misbahuz-Zujajah 2/267.

Aisyah ra berkata, “Barangsiapa ingin mengungguli orang yang terus menerus beramal dan orang yang bersungguh-sungguh, hendaklah ia menahan diri dari dosa-dosa.” Atsar tersebut diriwayatkan dari Aisyah ra  dari Nabi saw.

Kelihatannya, yang dimaksud dengan perkataan-perkataan yang mengutamakan  meninggalkan hal-hal haram daripada pengerjaan ketaatan-ketaatan ialah ketaatan-ketaatan yang bersifat sunnah. Jika tidak demikian, amal-amal perbuatan wajib itu lebih utama daripada meninggalkan hal-hal haram, karena amal-amal perbuatan adalah tujuan kepada zatnya, sedang yang diminta dari hal-hal haram ialah meninggalkannya. Oleh karena itu, meninggalkan larangan-larangan tidak memerlukan niat dan ini berbeda dengan pengerjaan amal-amal perbuatan. Oleh karena itu pula, terkadang meninggalkan amal-amal perbuatan itu menyebabkan kekafiran, misalnya meninggalkan tauhid dan meninggalkan rukun-rukun Islam atau sebagiannya seperti telah dijelaskan sebelumnya. ini berbeda dengan pengerjaan hal-hal haram yang tidak menyebabkan kekafiran dengan sendirinya. Ini diperkuat dengan perkataan Ibnu Umar Radhiyaallahu Anhuma, “Mengembalikan seperenam dirham haram itu lebih utama daripada uang seratus ribu yang diinfakkan di jalan Allah.”

Salah seorang generasi salaf berkata,
وعن بعض السلف قال : تركُ دانق مما يكره الله أحبُّ إلى من خمس مئة حجة.
“Meninggalkan seperenam dirham di antara yang dibenci Allah itu lebih aku sukai daripada lima ratus haji.” Maimun bin Mihran berkata, “Dzikir kepada Allah dengan lidah itu baik, namun yang lebih baik lagi ialah seorang hamba ingat Allah ketika bermaksiat ke­mudian ia berhenti darinya.”

Ibnu Al Mubarak berkata, “Mengembalikan uang satu dirham yang syubhat lebih aku sukai daripada aku bersedekah dengan uang seratus ribu dan seratus ribu hingga berjumlah enam ratus ribu.”

Umar bin Abdul Aziz berkata,
وقال عمر بنُ عبد العزيز : ليست التقوى قيام الليل ،وصيام النهار ، والتخليط فيما بين ذلك ، ولكن التقوى أداءُ ما افترض الله ، وترك ما حرَّم الله ، فإن كان مع ذلك عملٌ ، فهو خير إلى خير ، أو كما قال .
“Takwa bukanlah qiyamul lail, puasa di siang hari, dan mengkombinasikan keduanya, namun takwa ialah mengerjakan apa saja yang diwajiban Allah dan meninggalkan apa saja yang diharamkan Allah. Jika itu disertai dengan amal, maka itu kebaikan yang digabungkan kepada kebaikan.” Atau apa yang seperti dikatakan Umar bin Abdul Aziz.

Umar bin Abdul Aziz juga berkata, “Aku ingin tidak mengerjakan selain shalat wajib kecuali shalat witir, membayar zakat dan tidak bersedekah sesudahnya sedirham pun, berpuasa pada bulan Ramadhan dan tidak berpuasa sehari pun selama-lamanya di selain bulan Ramadhan, melaksanakan haji Islam (haji wajib) kemudian aku tidak berhaji lagi selama-lamanya, lalu aku pergi ke sisa makananku dan menjadikannya di antara sesuatu yang diharamkan Allah kepadaku lalu aku menahan diri darinya.”

Secara umum perkataan para generasi salaf di atas menunjukkan bahwa menjauhi hal-hal haram kendati sedikit itu lebih utama daripada memperbanyak pengerjaan ketaatan-ketaatan sunnah, karena meninggalkan hal-hal haram adalah wajib, sedang pengerjaan ketaatan-ketaatan sunnah adalah sunnah.

Sejumlah ulama generasi berikutnya berkata, Nabi saw hanya bersabda, “Apa saja yang aku larang pada kalian, jauhilah. Dan apa saja yang aku penintahkan kepada kalian, kerjakan semampu kalian, “karena pe­ngerjaan perintah itu tidak terjadi kecuali dengan amal, sedang amal itu eksistensi­nya sangat terkait dengan syarat-syarat dan sebab-sebab. Sebagian dari syarat-syarat dan sebab-sebab tersebut tidak mampu dikerjakan seseorang, oleh karena itu, Nabi saw membatasinya dengan kemampuan, sebagaimana Allah membatasi perintah takwa dengan kemampuan. Allah Ta’ala berfirman, ‘Maka bertakwalah kalian sesuai dengan kemampuan kalian. “ (At Taghabun: 16).

Allah Ta’ala berfirman tentang haji, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. “ (Ali Imnan: 97).

Sedang larangan, tujuannya ialah ketiadaan amal-amal tersebut. Itulah prinsipnya, maksudnya, ketiadaan larangan tersebut yang merupakan prinsip terjadi secara berkala. Itu sangat mungkin dan di dalamnya tidak ada yang tidak bisa dikerjakan. Di sini, juga ada catatan, karena ajakan untuk mengerjakan kemaksiatan itu bisa jadi kuat. Oleh sebab itu, seseorang tidak bisa bersabar untuk menolaknya padahal ia mampu ketika ia melakukan kemaksiatan tersebut. Ketika itulah, orang tersebut memerlukan perjuangan ekstra keras. Bisa jadi perjuangan tersebut lebih berat bagi jiwa daripada perjuangan jiwa untuk mengerjakan ketaatan.

Oleh karena itu, banyak sekali dijumpai orang yang berjuang keras kemudian mampu mengerjakan ketaatan-ketaatan, namun ia tidak sanggup meninggalkan hal-hal haram. Umar bin Khaththab pernah ditanya tentang kaum yang menginginkan kemaksiatan namun tidak jadi mengerjakannya. Ia menjawab, “Kaum itulah yang hati mereka diuji untuk bertakwa. Mereka berhak atas ampunan dan pahala besar.” (Al Hujurat: 3).

Yazid bin Maisarah berkata, Allah Ta’ala berfirman di sebagian Kitab, “Hai pemuda yang meninggalkan syahwatnya dan memberikan remajanya karena Aku, engkau di sisi-Ku seperti sebagian malaikat malaikat-Ku.”

Yazid bin Maisarah juga berkata, “Betapa kuatnya syahwat di tubuh. Syah­wat tersebut seperti kobaran api. Bagaimana orang-orang yang suci bisa selamat darinya?”

Identifikasi masalah ini bahwa Allah tidak membebani hamba-hamba-Nya dengan amal-amal perbuatan yang tidak sanggup mereka kerjakan. Allah juga meng­hilangkan banyak sekali amal-amal perbuatan dari mereka karena adanya kesulitan di dalamnya sebagai rukhshakh (dispensasi) dan rahmat bagi mereka. Sedang larangan-larangan, Allah tidak memberi 'uzur kepada siapapun untuk mengerjakannya, karena kuatnya penyeru dan syahwat kepadanya.

Bahkan, Allah membebani hamba­-hamba-Nya untuk meninggalkannya dalam semua kondisi. Dan sesungguhnya makanan-makanan haram boleh dimakan pada saat darurat agar kehidupan tetap berlangsung dan bukan karena untuk menikmatinya atau syahwat. Dari situ, bisa diketahui kebenaran perkataan Imam Ahmad, “Sesungguhnya larangan itu lebih benar daripada perintah.” Diriwayatkan dari Tsauban dan lain-lain dari Nabi saw yang bersabda, “Luruslah (istiqamah) kalian dan kalian tidak akan dapat mengetahui ka­darnya.”

Maksudnya, kalian tidak akan sanggup istiqamah secara keseluruhan (sempuma). Al Hakam bin Hazn Al Kulafi berkata, “Aku menghadap kepada Rasulullah saw lalu me­ngerjakan shalat Jum‘at bersama beliau. Beliau berdiri bersandar pada tongkat atau panah, memuji Allah, dan menyanjung-Nya dengan kalimat-kalimat sederhana, baik, dan penuh berkah. Setelah itu, beliau bersabda, ‘Hai manusia, sesungguhnya kalian tidak akan sanggup -atau tidak akan mampu mengerjakan- seluruh apa yang aku perintahkan kepada kalian, namun tunjukkan (orang lain) kepada petunjuk dan berilah khabar gembira.” (Diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Daud).’

Sabda Nabi saw, ‘Dan jika aku perintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakan semampu kalian, “ adalah dalil bahwa orang yang tidak sanggup mengerjakan seluruh perintah dan hanya sanggup mengerjakan sebagian­nya, maka ia telah mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan. Ini bisa diberlakukan dalam banyak masalah, di antaranya;
1.   Thaharah (bersuci). Jika seseorang hanya mampu mengerjakan sebagiannya dan tidak mampu mengerjakan sisanya karena ketiadaan air atau sakit di salah satu organ tubuh tanpa organ tubuh lainnya, maka ia mengerjakan apa yang sanggup ia kerjakan dan ia bertayamum di organ tubuhnya yang lain. Ini juga berlaku pada wudhu dan mandi menurut pendapat yang terkenal.
2.   Shalat. Barangsiapa tidak mampu shalat dengan berdiri, ia shalat dengan duduk. Jika ia tidak sanggup shalat dengan duduk, ia shalat dengan berbaring. Di Shahih Al Bukhari disebutkan hadits dari Imran bin Hushain ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Shalatlah engkau dengan berdiri jika engkau tidak sanggup, shalatlah dengan duduk jika engkau tidak sanggup, shalatlah dengan berbaring.”
3.   Zakat fitrah. Jika seseorang hanya mampu mengeluarkan sebagian sha harus mengeluarkannya menurut pendapat yang benar.
4.   Sedang barangsiapa hanya mampu berpuasa di sebagian siang dan tidak sanggup melanjutkannya hingga maghrib, ia tidak boleh berbuat seperti itu, karena berpuasa di sebagian siang bukanlah ibadah.
5.   Begitu juga, jika seseorang hanya sanggup memerdekakan sebagian budak dalam kafarat, ia tidak boleh melakukannya, karena pembebasan sebagian budak itu tidak disukai Allah dan justru Dia menyuruh memerdekakan bu­dak dengan sempurna dengan semua cara.
6.   Adapun orang yang tidak bisa wukuf di Arafah, apakah ia harus mengerjakan aktifitas haji lainnya, misalnya mabit (menginap) di Muzdalifah dan melempar jumrah, atau tidak? Bahkan diringkas hanya melakukan thawaf- sai dan bertahallul dan umrah? Ada dua riwayat dari Imam Ahmad dan riwayat yang paling terkenal ialah orang tersebut hanya melakukan thawaf dan sai, karena mabit (menginap) di Muzdalifah dan melempar jumrah adalah rangkaian ibadah wukuf di Arafah. Juga karena Allah memerintahkan dzikir kepada-Nya di Masy’ar’l Haram dan di hari-hari haji tersebut bagi orang yang pergi ke Arafah. Jadi hal tersebut tidak diperintahkan kepada orang yang tidak wukuf di Arafah, sebagaimana hal tersebut tidak diperintahkan kepada orang yang berumrah.

Pelajaran dari hadits no. 9 (sembilan) ini:
1.       Wajibnya menghindari semua apa yang dilarang oleh Rasulullah
2.      Siapa yang tidak mampu melakukan perbuatan yang diperintahkan secara keseluruhan dan dia hanya mampu sebagiannya saja maka dia hendaknya melaksanakan apa yang dia mampu laksanakan.
3.      Tidak mempersulit diri dengan wacana pemikiran yang mendiskreditkan dalil-dalil, fatwa-fatwa sehingga menimbulkan keraguan dalam kita beragama.
4.      Allah tidak akan membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan kadar kemampuannya.
5.      Perkara yang mudah tidak gugur karena perkara yang sulit.
6.      Menolak keburukan lebih diutamakan dari mendatangkan kemaslahatan.
7.      Larangan untuk saling bertikai dan anjuran untuk bersatu dan bersepakat.
8.     Wajib mengikuti Rasulullah (ta’at dan menempuh jalan keselamatan dan kesuksesan).



([1])            رواه البخاري (7288) ، ومسلم (1337) ص 1831 ، وأحمد 2/258 و 428 و 517 ، والنسائي 5/110-111 ، وصححه ابن حبان (18) (21) ، وانظر تمام تخريجه فيه .
([2])            رواه البخاري (6362) و (7089) ، ومسلم (2359) (137) . ورواه أيضاَ ابن جرير الطبري في " جامع البيان " (12795) .
([3])            رواه البخاري (7289) ومسلم (2358) وأبو داود (4610) وأحمد 1/176 و 179، وصححه ابن حبان (110).
([4])            في " السنن " (861) . ورواه أيضاً البخاري (1610) ، والنسائي 5/231 .
([5])            وروى الثاني منهما بنحوه الدارمي 1/64 عن يعلى ، حدثنا الأعمش ، عن شقيق ، قال : قال عبد الله .
                ورواه أيضاً عن عمرو بن عون ،عن خالد بن عبد الله ، عن يزيد بن أبي زياد ، عن إبراهيم ، عن علقمة عن عبد الله .
([6])            رواه الدارمي 1/50 ،ورواه ابن عبد البرِّ في " جامع بيان العلم وفضله " 2/141 من طريق سفيان بن عيينة عن عمرو عن طاووس عن عمر ، ولم يسمع منه .
([7])            الزبير بن سعيد ليِّن الحديث ، ومن فوقه مجاهيل . وأورد الحديث الحافظ في " الفتح " 13/267.
([8])            في المسند 5/435 . ورواه أيضاً أبو داود (3656) .
([9])            ذكره ابن كثير في " تفسيره " 2/9 من رواية ابن أبي حاتم ، ورواه أيضاً ابن جرير الطبري في " جامع البيان " (6637) و (6638) ، وفيه عبد الله بن يزيد بن آدم ، قال أحمد : أحاديثه موضوعة .
([10])           رواه من حديث أبي هريرة البخاري (4388) ، ومسلم (52) ،وصححه ابن حبان (5744) .
([11])           رواه من قول سهل بن عبد الله التُّستُري أبو نعيم في " الحلية " 10/211 .
([12])           هو قطعة من حديث رواه أحمد 2/310 ، والترمذي (2305) والخرائطي في " مكارم الأخلاق " ص 42 من طريق أبي طارق عن الحسن البصري عن أبي هريرة قال : قال رسول الله r : " من يأخُذُ عني هذه الكلمات فيعمل بهنَّ أو يُعلِّم من يعملُ بهنِّ ؟ " فقال أبو هريرة : فقلتُ : أنا يا رسول الله ، فأخذ بيدي ، فعدَّ خمساً ، فقال : " اتق المحارم تكُن أعبد الناس ، وارض بما قسم الله لك تكن أغنى الناس ، وأحسن إلى جارك تكن مؤمناً ، وأحبَّ للناس ما تُحبُّ لنفسك تكن مسلماً ،ولا تكثر الضحك ؛ فإن كثرة الضحك تميت القلب .
                قلت : طارق لا يُعرف ، والحسن البصري قد عنعن ، ولذا استغربه الترمذي ، لكن له إسنادُ آخر يتقوى به عند ابن ماجه (4217) والبيهقي في " الزهد " (818) ، وأبي نعيم في " الحلية " 10/365 وفي " أخبار أصبهان " 2/302 . ولفظه : " يا أبا هريرة كنْ ورعاً تكن أعبد النَّاس ، وكن قنعاً تكن أشكر الناس ،وأحب للناس ما تحب لنفسك تكن مؤمناً ، وأحسن جوار من جاورك تكن مسلماً ، وأقلَّ الضحك ؛ فإن كثرة الضحك تميت القلب " . وحسنه البوصيري في " مصباح الزجاجة " ورقة 267/2 .
([13])           رواه أبو يعلى (4950 ) ، وفي سنده سويد بن سعيد ويوسف بن ميمون ، وكلاهما ضعيف .

No comments:

Post a Comment