عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ
مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ
مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ . [رواه البخاري ومسلم[
Dari Abu Hurairah Abdurahman
ibnu Shakhra ra berkata bahwa aku dengar Rasulullah saw bersabda, “Apa yang
aku larang hendaklah kalian menghindarinya dari apa yang aku perintahkan maka
hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang
sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka (yang tidak berguna) dan
penentangan mereka terhadap Nabi-Nabi mereka.“ (Diriwayatkan Al Bukhari dan
Muslim)
Syarah al Hadits
Hadits di atas dengan redaksi
seperti itu hanya diriwayatkan Muslim dari riwayat Az-Zuhri dari Sa’id bin Al
Musayyib dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ra. Al Bukhari dan Muslim
meriwayatkan hadits di atas dari riwayat Abu Az-Zanad dan Al A’raj dan Abu
Hunairah ra dan Nabi saw yang bersabda:
عن أبي هريرة t قال :سمعت رسول
الله r يقول : " ما نهيتكم عنه ، فاجتنبوه ، وما أمرتُكُم به ،
فأتُوا منه ما استطعتم ، فإنَّما أهلك الذين من قبلكم كثرةُ مسائلهم واختلافُهم
على أنبيائهم " . رواه البخاري ومسلم([1]).
"Tinggalkan aku terhadap
apa yang aku tinggalkan pada kalian, karena sesungguhnya orang-orang sebelum
kalian binasa oleh pertanyaan dan penentangan mereka kepada Nabi-Nabi mereka.
Jika aku melarang sesuatu pada kalian, jauhilah. Dan jika aku memerintahkan
sesuatu pada kalian, kerjakan semampu kalian.”
Hadits
semakna juga diriwayatkan Muslim dari dua jalur lainnya riAbu Hurairah ra.
Di riwayat lain, disebutkan latar belakang hadits di atas dari riwayat Muhammad
bin Ziyad dari Abu Hunairah ra yang berkata bahwa Rasulullah saw berkhutbah
kepada kami, kemudian beliau bersabda,
عن أبي هريرة قال :خطبنا رسول الله r فقال : " يا
أيها الناس قد فرض الله عليكم الحجَّ فحجُّوا " فقال رجل أكُلَّ عام يا رسول
الله ؟ فسكت حتى قالها ثلاثاً ، فقال رسولُ الله r : " لو قلتُ
: نعم ، لوجبت ، ولما استطعتُم " ثمَّ قال : " ذروني ما تركتُكُم ،
فإنما أُهلك من كان قبلكم بسؤالهم واختلافهم على أنبيائهم ، فإذا أمرتُكُم بشيء ،
فأتوا منه ما استطعتم ، وإذا نهيتكُم عن شيء ، فدعوه
“Hai
manusia, Allah telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” Seseorang berkata, “Apakah
setiap tahun, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw diam hingga orang tersebut
berkata seperti itu hingga tiga kali kemudian Rasulullah saw bersabda, “Kalau
aku katakan: Ya, niscaya hal tersebut menjadi wajib dan niscaya kalian tidak
akan sanggup. “Kemudian bersabda, “Biarkanlah aku terhadap apa yang aku tinggakan
pada kalian. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dibinasakan karena
pertanyaan mereka dan penentangan mereka kepada Nabi-Nabi mereka. Jika aku memerintahkan
sesuatu pada kalian, kerjakan semampu kalian. Dan jika aku melarang sesuatu pada
kalian, tinggalkan.“
Hadits
tersebut dari jalur lain diriwayatkan Ad-Daruquthni dengan ringkas dan di
dalamnya dikatakan, “Kemudian turunlah firman Allah Ta’ala,
}يا
أيها الذين آمنوا لا تسألوا عن أشياء إن تُبد لكم تسؤكم
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika diterangkan
kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian." (Al Maidah: 101).
Diriwayatkan
dari jalur lain bahwa ayat di atas turun setelah para sahabat bertanya kepada Nabi
saw tentang haji, “Apakah haji itu setiap tahun?”
Dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim
disebutkan hadits dari Anas bin Malik ra yang berkata, “Rasulullah saw
berkhutbah kepada kami kemudian seseorang bertanya, ‘Siapa ayahku?’ Nabi saw
bersabda, 'Si Fulan. ‘Setelah itu, turunlah ayat di atas.”
Dalam
Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim juga disebutkan hadits dari Qatadah dari
Anas bin Malik ra yang berkata,
وفيهما أيضاً عن قتادة ، عن أنس قال :
سألوا رسول الله r حتى أحفوه في المسألة ، فغضب ، فصعد المنبر ، فقال : " لا
تسألوني اليوم عن شيء إلا بيَّنته " ، فقام رجل كان إذا لاحى الرجالَ دُعِيَ
إلى غير أبيه فقال يا رسول الله من أبي ؟
قال : " أبوك حُذافة " ، ثم أنشأ عمرُ ، فقال : رضينا بالله رباً ،
وبالإسلام ديناً ، وبمحمد رسولاً ، نعوذ بالله من الفتن . وكان قتادة يذكر عند هذا
الحديث هذه الآية : } يا أيها الذين آمنوا لا تسألوا عن أشياء { ([2]).
“Orang-orang bertanya
kepada Rasulullah saw hingga mereka menekan beliau dalam pertanyaan mereka.
Beliau marah kemudian naik mimbar dan bersabda, 'Pada hari ini kalian tidak menanyakan
sesuatu apa pun kepadaku melainkan aku menjelaskannya. ‘Seseorang yang jika
berdebat dengan orang-orang, ia dipanggil dengan nama selain nama ayahnya
berdiri dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapa ayahku?’ Nabi saw bersabda,
‘Ayahmu ialah Hudzalah.’ Umar bin Khaththab bicara, ‘Kami ridha Allah sebagai
Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Rasul, dan berlindung kepada Allah
dari fitnah-fitnah.’ Dan Qatadah ketika menyebutkan hadits di atas, ia membaca
firman Allah Ta’ala, ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan
hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian.’ (Al-Maidah:
101).
Dalam
Shahih Al Bukhari disebutkan hadits dari Ibnu Abbas ra. yang berkata,“Satu kaum
bertanya kepada Rasulullah saw dengan maksud mengejek salah seorang dari mereka
berkata, ‘siapa ayahku?’ Orang yang untanya tersesat berkata, 'Di mana untaku?’
Kemudian Allah menurunkan ayat ini. ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan
kalian.’ (Al Maidah: 101).
Ibnu
Jarir Ath-Thabari meriwayatkan dalam tafsir-nya hadits dari Abu Hurairah ra
yang berkata, “Rasulullah saw keluar dengan marah dan wajahnya memerah
hingga duduk di atas mimbar. Seseorang berdiri kepada beliau dan berkata, ‘Di
mana saya?’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Di neraka.‘ Orang lain
berdiri kepada beliau dan berkata, ‘Siapa ayahku?’ Rasulullah saw bersabda,
‘Ayahmu ialah Hudzafah.’ Umar berdiri kemudian berkata, ‘Kami ridha Allah
sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan al Qur’an sebagal
imam. Wahai Rasulullah, kami belum lama meninggalkan jahiliyah dan syirik.
Allah lebih tahu siapa nenek moyang kami ‘Marah Rasulullah saw pun mereda
kemudian turunlah ayat ini. ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian.’
(Al Maidah: 101).
Ibnu Jarir Ath-Thabari juga meriwayatkan
hadits dari jalur Al-Aufi dari Ibnu Abbas ra tentang firman Allah Ta’ala, ‘Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika
diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian.‘ (Al Maidah: 101).
Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah saw
memberi pengumuman kepada manusia dengan berkata, ‘Hai manusia, haji telah
diwajibkan kepada kalian. Seseorang berdiri lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah,
apakah setiap tahun?’ Rasulullah saw berang kemudian bersabda, Demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, jika aku katakan, ‘Ya, ‘pasti haji menjadi wajib.
Jika haji telah diwajibkan, kalian tidak sanggup mengerjakannya dan karenanya
kalian menjadi kafir. Biarkan aku terhadap apa yang aku tinggalkan kepada
kalian. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakan. Dan jika aku
melarang sesuatu pada kalian, berhentilah kalian darinya. ‘Kemudian Allah menurunkan
ayat, ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang
jika diterangkan kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian.‘ (Al Maidah:
101). Allah melarang mereka bertanya
seperti pertanyaan orang-orang Kristen tentang Al Maidah (hidangan) kemudian
mereka menjadi kafir karenanya. Sungguh Allah melarang bertanya seperti itu dan
berfirman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika Al Quran turun membawa
hal yang berat, maka hal itu, menyusahkan kalian. Namun tunggulah. Jika Al Quran
telah turun, kalian tidak menanyakan sesuatu apa pun melainkan kalian
mendapatkan penjelasannya “
Hadits-hadits di atas menunjukkan tentang
larangan menanyakan hal-hal yang tidak perlu karena jawaban pertanyaan tersebut
justru menyusahkan si penanya, misalnya pertanyaan penanya apakah ia di neraka
atau surga? Apakah ayahnya bernasabkan kepadanya atau tidak? Hadits-hadits di
atas juga menunjukkan larangan bertanya dengan maksud membingungkan, tidak
berguna dan sia-sia dan mengejek seperti biasa dilakukan orang-orang munafik
dan orang-orang selain mereka.
Contoh
lain ialah menanyakan ayat-ayat dengan membingungkan seperti yang ditanyakan
orang-orang musyrik dan Ahli Kitab. Ikrimah dan lain-lain berkata bahwa firman
Allah di surat
Al Maidah ayat 101 turun karena hal tersebut.
Contoh
lain ialah menanyakan hal-hal yang disembunyikan Allah dari hamba-hamba-Nya
dan tidak memperlihatkan kepada mereka, seperti pertanyaan tentang waktu Hari
Kiamat, ruh, dan lain sebagainya. Hadits-hadits di atas juga melarang kaum
Muslimin menanyakan banyak hal tentang halal dan haram karena jawabannya
dikhawatirkan menjadi penyebab turunnya perintah keras di dalamnya, misalnya
bertanya tentang haji, “Apakah haji wajib setiap tahun atau tidak?” Di Shahih
Al Bukhari disebutkan hadits dari Sa’ad dan Nabi saw yang bersabda,
وفي " الصحيح " عن سعد ، عن
النبي r أنه قال :"
إن أعظم المسلمين في المسلمين جرماً من سأل عن شيء لم يحرَّم ، فحُرِّمَ من أجل
مسألته " ([3]).
“Sesungguhnya
kaum Muslimin yang paling besar dosanya di kalangan kaum Muslimin ialah orang
yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan kemudian sesuatu tersebut
diharamkan karena pertanyaannya."
Ketika Nabi saw ditanya tentang li’an,
beliau tidak suka dengan pertanyaan seperti itu hingga penanya mendapatkan
musibah karenanya sebelum menjatuhkannya pada istrinya. Nabi saw juga melarang
bergosip, banyak tanya, dan menghambur-hamburkan harta.”
Nabi
saw hanya memberi keringanan kepada orang-orang Arab Badui dan
orang-orang seperti mereka misalnya delegasi-delegasi yang menghadap beliau
guna mengambil hati mereka. Adapun Muhajirin dan Anshar yang menetap di Madinah
dan iman kuat di hati mereka, maka mereka dilarang banyak tanya. Di Shahih
Muslim disebutkan hadits dari An-Nawwas bin Sam’an yang berkata, “Aku
menetap bersama Rasulullah saw di Madinah selama setahun dan tidak ada
yang menghalangi aku hijrah melainkan bertanya, karena jika salah seorang dari
kami berhijrah, maka tidak akan bertanya kepada Nabi saw. Dalam Shahih
Muslim juga disebutkan hadits dari Anas bin Malik ra yang berkata:
“Kami dilarang bertanya kepada Rasulullah saw tentang
sesuatu. Yang mengherankan kami adalah seseorang yang berasal dari penduduk lembah
datang kepada Nabi saw kemudian ia bertanya kepada beliau sedang kami mendengar’
Di
Al Musnad disebutkan hadits dari Abu Umamah ra yang berkata,
“Allah menurunkan ayat, ‘Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika diterangkan
kepada kalian, niscaya menyusahkan kalian. ‘(Al Maidah: 101). Kami tidak suka
banyak bertanya kepada beliau dan berhati-hati takut ketika Allah menurunkan
ayat tersebut kepada beliau. Kemudian datang kepada kami seorang Arab Badui,
kami memberikan pakaian kepadanya, dan meminta kepadanya, ‘Bertanyalah kepada Nabi
saw. ‘Kemudian Nabi saw menyebutkan salah satu hadits.
Di
Musnad Abu Ya'la Maushili disebutkan hadits dari Al Barra' bin
Azib ra yang berkata, “Jika sunnah pasti datang kepadaku, aku ingin
bertanya kepada Rasulullah saw tentang sesuatu kemudian aku segan kepada
beliau. Dulu kami sangat berharap kedatangan orang-orang Arab Badui.”
Di
Musnad Al Bazzar disebutkan hadits dan Ibnu Abbas ra yang berkata,
“Aku tidak pernah melihat satu kaum yang lebih baik daripada sahabat-sahabat
Muhammad saw. Mereka hanya bertanya tentang dua belas masalah dan kesemuanya
ada di al Qur‘an; (Mereka bertanya kepadamu tentang minuman keras dan judi “ Al
Baqarah: 219), (Mereka bertanya kepadamu tentang bulan haram.“ Al Baqarah:
217), (Mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim. “ (Al Baqarah: 220)
Terkadang
para sahabat bertanya kepada Nabi saw tentang sesuatu yang belum terjadi
namun untuk diamalkan jika telah terjadi. Misalnya, mereka bertanya kepada Nabi
saw, “Kami akan bertemu musuh besok pagi. Kami tidak mempunyai pisau, bolehkah
kami menyembelih dengan pipa?”7 Mereka juga bertanya kepada Nabi
saw tentang para penguasa yang beliau kabarkan setelahnya, tentang ketaatan
kepada mereka, dan memerangi mereka. Hudzaifah bertanya kepada beliau tentang
fitnah-fitnah dan apa yang ia mesti kerjakan pada zaman tersebut .’
Sabda Nabi saw, “Tinggalkan aku
terhadap apa yang aku tinggalkan pada kalian. Sesungguhnya orang-orang sebelum
kalian dibinasakan karena banyaknya pertanyaan dan penentangan mereka kepada Nabi-Nabi
mereka, “ menunjukkan tentang makruhnya dan tercelanya bertanya. Sebagian
orang menduga bahwa itu khusus untuk zaman Nabi saw karena dikhawatirkan
terjadinya pengharaman sesuatu yang belum diharamkan, atau mewajibkan sesuatu
yang sulit dikerjakan, sedang itu semua tidak terjadi sepeninggal Nabi saw.
Sebab
makruhnya bertanya tidak karena sebab di atas, namun ada sebab lain, yaitu yang
diisyaratkan Ibnu Abbas di perkataannya yang telah saya sebutkan sebelumnya, “Namun
tunggulah. Jika Al Qur‘an telah turun, kalian tidak menanyakan sesuatu apa pun
melainkan kalian mendapatkan penjelasannya.” Maksudnya bahwa semua yang
dibutuhkan kaum Muslimin dalam agama mereka itu mesti akan dijelaskan Allah di
Kitab-Nya dan disampaikan Rasul-Nya dari-Nya. Setelah itu, siapa pun tidak
perlu bertanya lagi, karena Allah lebih tahu tentang kemaslahatan hamba-hamba-Nya
daripada mereka. Jadi, apa saja yang di dalamnya terdapat petunjuk dan manfaat
bagi kaum Muslimin, Allah Ta’ala pasti menjelaskannya kepada mereka
tanpa didahului pertanyaan seperti difirmankan Allah Ta’ala, “Allah menerangkan
(hukum ini) kepada kalian agar kalian tidak sesat. “(An-Nisa’: 176).
Maka
pada saat itu tidak butuh lagi bertanya tentang sesuatu, apalagi sesuatu yang
belum terjadi dan tidak ada kebutuhàn padanya. Justru kebutuhan yang urgen
ialah memahami apa yang telah dijelaskan Allah dan Rasul-Nya, mengikutinya, dan
mengamalkannya. Nabi saw pernah ditanya tentang banyak hal kemudian
beliau mengalihkannya kepada Al Qur’an, misalnya beliau pernah ditanya Umar bin
Khaththab tentang kalalah, lalu beliau bersabda, “Ayat Ash-Shaif
(ayat terakhir surat
An-Nisa sudah cukup baginya).
Pada
hadits di atas, Nabi saw mengisyaratkan bahwa sibuk mengerjakan perintah
dan menjauhi larangan beliau itu membuat orang tidak bertanya. Nabi saw bersabda,
: " إذا نهيتُكم عن شيء ، فأجتنبوه
، وإذا أمرتُكم بأمر ، فأتوا منه ما استطعتم
“Jika aku melarang sesuatu pada kalian, jauhilah. Dan jika
aku memerintahkan sesuatu pada kalian, kerjakan semampu kalian.”
Yang harus diperhatikan orang
Muslim ialah membahas apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya dilanjutkan
berusaha keras memahaminya, memikirkan makna-maknanya, lalu membenarkannya jika
hal tersebut termasuk hal-hal yang bersifat ilmiah. Jika hal tersebut termasuk
hal-hal yang bersifat amaliyah, ia mencurahkan segenap tenaga untuk
bersungguh-sungguh mengerjakan perintah-perintah yang mampu ia kerjakan dan
menjauhi apa saja yang dilarang. Jadi, semua perhatiannya terfokus kepada hal
tersebut dan tidak kepada sesuatu yang lain. Seperti itulah, keadaan para sahabat
Rasulullah saw dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dalam
mencari ilmu yang bermanfaat dan Al Qur‘an dan sunnah.
Namun
jika perhatian pendengar ketika mendengar perintah dan larangan diarahkan
kepada perkiraan teoritis dan perkara-perkara yang bisa terjadi atau tidak,
maka itu termasuk hal yang dilarang dan membuat orang tidak serius mengikuti
perintah. Seseorang bertanya kepada Ibnu Umar tentang mengusap Hajar Aswad.
Ibnu Umar berkata kepada orang tersebut ,
. وقد سألَ رجلُ ابنَ عمر عن استلام الحجر ، فقال له : رأيتُ
النبيَّ r يستلمه ويقبلُه ،
فقال له الرجل : أرأيت إن غُلبتُ عليه ؟ أرأيت إن زُوحمتُ ؟ فقال له ابن عمر :
اجعل " أرأيت " باليمن ، رأيتُ النبي r يستلمُه ويقبِّلُه
. خرجه الترمذي ([4]).
“Aku lihat Nabi saw mengusap
Hajar Aswad dan menciumnya.” Orang tersebut berkata, “Bagaimana pendapatmu kalau
aku tidak bisa melakukannya? Bagaimana pendapatmu kalau aku didesak.” Ibnu Umar
berkata kepada orang tersebut, “Letakkan kata-kata, ‘Bagaimana pendapatmu,’ di
Yaman. Aku lihat Nabi saw mengusap Hajar Aswad dan menciumya. (Diriwayatkan At-Tirmidzi).
Maksud
perkataan Ibnu Umar, hendaklah engkau hanya mempunyai semangat untuk mengikuti
Nabi saw dan tidak usah memperkirakan tidak akan mampu melakukannya atau
mempersulitnya sebelum terjadi, karena hal tersebut melemahkan semangat
untuk mengikuti beliau, sebab mempelajari agama dan bertanya tentang ilmu itu
akan dipuji jika untuk diamalkan dan bukannya untuk perdebatan.
وقد روي عن عليِّ رضي الله عنه أ،ه ذكر
فتناً تكونُ في آخر الزمان ، فقال له عمر : متى ذلك يا عليُّ ؟ قال : إذا تُفُقِّه
لغير الدين ، وتُعُلِّم لغير العلم والتمست الدنيا بغير الآخرة .
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra bahwa ia menyebutkan
sejumlah fitnah yang akan terjadi di akhir zaman kemudian Umar bin Khaththab
berkata kepadanya, “Kapan itu terjadi, hai Ali?” Ali bin Abu Thalib menjawab,
“Fitnah-fitnah tersebut terjadi jika ilmu dipelajari untuk perkara selain agama,
dan ilmu agama dipelajari bukan untuk diamalkan, serta amalan ukhrawi dijadikan
komoditi untuk kepentingan dunia.
Ibnu
Mas’ud ra berkata,
وعن ابن مسعود أنه قال : كيف بكم إذا
لبستكم فتنة يربو فيها الصغير ، ويهرمُ فيها الكبير ، وتتخذُ سنة ، فإن غيرت يوماً
قيل : هذا منكر ؟ قالوا : ومتى ذلك ؟ قال : إذا قلَّت أمناؤكم ، وكثرت أمراؤكم ،
وقلَّت فقهاؤكم ، وكثر قُراؤكم ، وتُفُقِّة لغير الدين ، والتُمست الدنيا بعمل
الآخرة . خرجهما عبد الرزاق في كتابه ([5]).
“Bagaimana kalian jika fitnah terjadi pada kalian di mana
padanya anak kecil menjadi dewasa, orang dewasa menjadi tua, fitnah tersebut
dijadikan sebagai sunnah, dan jika fitnah tersebut dirubah pada suatu hari.
Maka dikatakan, ‘Ini (merubah fitnah) adalah kemungkaran’. ”Orang-orang
bertanya, “Kapan fitnah tersebut terjadi?” lbnu Mas’ud menjawab, “Fitnah
tersebut terjadi ketika orang-orang jujur dari kalian tidak banyak, para
pemimpin kalian banyak, fuqaha’ kalian sedikit, para qari’ kalian banyak, fiqh
dikaji tidak karena agama, dan dunia dicari dengan amalan akhirat.”
Kedua
atsar di atas diriwayatkan Abdurrazzaq dalam kitabnya. Karena itulah, banyak
para sahabat dan tabi’in tidak suka menanyakan peristiwa-peristiwa yang belum
terjadi dan tidak menjawabnya jika ditanya seperti itu. Amr bin Munah berkata,
“Umar bin Khaththab keluar menemui manusia kemudian berkata,
قال عمرو بن مُرة : خرج عمرُ على الناس ،
فقال :أُحرِّجُ عليكم أن تسألونا عن ما لم يكن ، فإن لنا فيما كان شغلا([6]).
‘Aku larang kalian bertanya kepada kami tentang sesuatu yang
belum terjadi, karena kami mempunyai kesibukan terhadap sesuatu yang telah
terjadi’.”
Ibnu
Umar ra berkata, “Kalian jangan bentanya tentang sesuatu yang belum
terjadi, karena aku dengar Umar bin Khaththab melaknat penanya tentang sesuatu
yang belum terjadi.” Jika Zaid bin Tsabit ditanya tentang sesuatu, ia berkata,
“Sudahkah ini terjadi?” Jika orang-orang berkata, “Tidak,” Zaid bin Tsabit
berkata, “Biarkan hal tersebut hingga
terjadi.”
Masruq
berkata bahwa aku bertanya tentang sesuatu kepada Ubai bin Ka’ab kemudian ia
berkata, “Apakah sebelumnya hal tersebut telah terjadi?” Aku berkata,
“Belum.” Ubai bin Ka’ab berkata, “Biarkan kami hingga hal tersebut terjadi.
Jika hal tersebut benar-benar terjadi, kami akan berijtihad mengeluarkan
pendapat kami untukmu.”
Asy-Sya’bi
berkata bahwa Ammar pernah ditanya tentang sesuatu kemudian ia berkata, “Apakah
sebelumnya sesuatu tersebut telah terjadi?” Orang-orang berkata, “Belum.” Ammar
berkata, “Biarkan kami hingga sesuatu tersebut terjadi. Jika sesuatu tersebut
betul terjadi, kami akan memilihnya untuk kalian.”
Ash-Shalt
bin Rasyid berkata bahwa aku bertanya tentang sesuatu kepada Thawus, namun ia
malah membentakku dengan berkata, “Apakah sesuatu tersebut telah terjadi?”
Aku menjawab, “Ya.” Thawus berkata, “Demi Allah?” Aku berkata, “Demi Allah.”
Thawus berkata, “Sahabat-sahabatku berkata kepadaku dan Muadz bin Jabal bahwa
ia berkata, ‘Hai manusia, kalian jangan meminta penyegeraan musibah yang belum
turun, karena musibah tersebut pergi membawa kalian pergi dari sini. Jika
kalian tidak meminta penyegeraan musibah yang belum terjadi, maka di kaum
Muslimin akan selalu ada orang yang jika ditanya maka ia diluruskan dan jika ia
berkata ia dibimbing’.
Atsar
di atas diriwayatkan Abu Daud di buku Al Marasil secara marfu’ dari
jalur Ibnu Ajlan dan Thawus dan Muadz bin Jabal yang berkata bahwa Rasulullah
saw bersabda, “Kalian jangan meminta penyegeraan musibah yang belum
terjadi jika kalian tidak berbuat seperi itu, di kaum Muslimin tidak
henti-hentinya ada orang yang jika berkata maka ia diluruskan atau dibimbing.
Jika kalian meminta penyegeraan musibah jalan-jalan menjadi bercerai berai bagi
kalian di sini dan di sini”
Makna
hadits tersebut mursal ialah bahwa Thawus tidak mendengarnya dari Muadz
bin Jabal. Hadits semakna juga diriwayatkan Abu Daud secara mursal dan
riwayat Yahya bin Abu Katsir dan Abu Salamah dari Nabi saw.
Hajjaj
bin Minhal meriwayatkan, Jarir bin Hazim berkata kepadaku, aku dengan Az-Zubair
bin Sa’id —salah seorang dan Bani Hasyim— berkata, aku dengan syaikh-syaikh
kami berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
حدثنا جريرُ بنُ حازم أنه قال : سمعت
الزبير بن سعيد رجلاً من بني هاشم ، قال : سمعت أشياخنا يحدثون : إن رسول الله r قال : " لا
يزال في أمتي من إذا سُئل سُدِّدَ وأُرشِدَ حتى يتساءلوا عن ما لم ينزل تبيينه ،
فإذا فعلوا ذلك ، ذُهبَ بهم هاهنا وهاهنا " ([7]).
“Di tengah umatku akan senantiasa ada orang yang jika ditanya
maka ia diluruskan dan diberi petunjuk hingga mereka bertanya tentang sesuatu
yang penjelasannya belum diturunkan. Jika mereka berbuat seperti itu, mereka
disingkirkan di sini dan di sini “
عن معاوية عن النبي r أنَّه نهى عن
الأُغلوطات . خرَّجه الإمام أحمد([8]).
وفسرها الأوزاعي ، وقال : هي شدادُ المسائل . وقال عيسى بنُ يونس : هي ما لا يحتاج
إليه من كيف وكيف .
Diriwayatkan
dari Ash-Shanabihi dari Muawiyah dari Nabi saw bahwa beliau melarang Al-Ughluthath.
“(Diriwayatkan Imam Ahmad).’ Tentang Al-Ughluthath, Al Auzai
menafsirkan, “Al-Ughluthath ialah pertanyaan-pertanyaan yang sulit.” Isa
bin Yunus berkata, “Al Ughluthath ialah hal-hal yang tidak ada gunanya,
misalnya kata bagaimana dan bagaimana.”
Diriwayatkan dari Tsauban ra
dari Nabi saw yang bersabda,
ويُروي
من حديث ثوبان عن النبيr قال : " سيكون أقوام من أمتي يُغلِّطُون فقهاءهم بِغُضَل
المسائل ، أولئك شرار أمتي
‘Sejumlah kaum dari umatku
akan menggelincirkan para fuqaha ‘mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang
sulit. Mereka umatku yang paling jelek “
Al
Hasan berkata,
وقال الحسن : شرار عباد الله الذين يتبعون شرار
المسائل يَغُمُّون بها عبادَ الله.
“Hamba-hamba Allah
yang paling jelek ialah orang-orang yang mengikuti pertanyaan-pertanyaan yang
jelek kemudian membingungkan hamba-hamba Allah dengannya.”
Al
Auzai berkata, “Jika Allah ingin mengharamkan keberkahan ilmu pada hamba-Nya,
Dia memasukkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit di lidahnya. Sungguh aku lihat
mereka sebagai orang-orang yang paling sedikit ilmunya.”
Ibnu
Wahb berkata dari Imam Malik, “Aku berada di negeri ini (Madinah). Mereka
tidak suka banyak bertanya yang dilakukan manusia sekarang ini.”
Ibnu Wahb juga berkata dari Imam Malik, “Aku
dengar Malik mengecam sikap banyak bicara dan fatwa. Setelah itu, ia berkata,
‘Ia berkata seperti unta hebat Yang berkata, ‘Itu seperti ini, Itu seperti ini.’
Ia berkata sia-sia’.”
Ibnu Wahb juga berkata, “Aku dengan
Imam Malik tidak suka menjawab pertanyaan yang banyak. Ia berkata, “Allah Azza
wa Jalla berfirman, ‘Dan mereka bertanya
kepadamu tentang ruh, katakan, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku (Al Isra’:
85). Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam
tidak menjawab pertanyaan tentang ruh.”
وكان مالكُ يكره المجادلة عن السُّنن
أيضاً . قال الهيثم بن جميل : قلت لمالك : يا أبا عبد الله ، الرجلُ يكونُ عالماً
بالسُّنن يُجادل عنها ؟ قال : لا ، ولكن يخبر بالسُّنَّة ، فإن قُبل منه ، وإلا
سكت
Imam Malik juga tidak suka berdebat
tentang hadits. Al Haitsam bin Jamil berkata, aku
berkata kepada Imam Malik, “Wahai Abu Abdullah, seorang yang mengetahui hadits
apakah ia berdebat tentang hadits kepada orang lain?” Imam Malik menjawab,
“Tidak, ia hanya menyampaikan As-Sunnah, semoga diterima, jika tidak diterima maka
ia diam.
قال
إسحاق بن عيسى : كان مالك يقول : المراء والجدال في العلم يذهب بنور العلم من قلب
الرجل .
Ishaq bin Isa berkata, Imam Malik
berkata, “Perdebatan tentang ilmu itu menghilangkan cahaya ilmu dan hati
seseorang.”
وقال ابن وهب : سمعت مالكاً يقول :
المراء في العلم يُقسِّي القلوب ، ويورِّث الضغن
Ibnu
Wahb berkata, aku dengan Imam Malik berkata, “Perdebatan tentang ilmu itu
mengeraskan hati dan menimbulkan kedengkian.”
Pada suatu hari, Abu Syuraih Al Iskandaroni
berada di majlisnya kemudian banyak sekali pertanyaan dilontarkan. Ia berkata, “Sejak
hari ini, hati kalian kotor, oleh karena itu, pergilah kalian kepada Abu Humaid
alias Khalid bin Humaid agar hati kalian menjadi cemerlang kembali dan
pelajarilah semangatnya, karena hal tersebut akan memperbarui ibadah,
menghasilkan sikap zuhud, dan mengalirkan sedekah. Janganlah kalian banyak
tanya kecuali terhadap sesuatu yang telah terjadi, karena sikap seperti itu mengeraskan
hati dan melahirkan permusuhan.”
Al-Maimuni berkata, aku dengan Abu
Abdullah --maksudnya Imam Ahmad-- ditanya tentang salah satu masalah kemudian
ia berkata, “Masalah ini telah terjadi. Apakah kalian telah tertimpa
dengannya?” Dalam hal ini manusia terbagi ke dalam beberapa kelompok;
Di antara pengikut ulama hadits ada orang
yang menutup pintu pertanyaan hingga fiqhnya sedikit dan ilmunya terbatas pada
apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya saja. Karenanya, ia menjadi
pengemban fiqh namun tidak faqih.
Di antara fuqaha’ ahli ra’yu ada orang
yang membuka lebar-lebar kemunculan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjadi.
Terkadang pertanyaan-pertanyaan tersebut terjadi dan terkadang tidak. Kemudian
mereka sibuk mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut dan terlibat
perdebatan di dalamnya, hingga hal tersebut melahirkan perpecahan hati, hawa
nafsu, kebencian, permusuhan, dan kemarahan. Pada umumnya, hal tersebut disertai
dengan niat mengalahkan lawan, mencari popularitas, dan mengambil simpati
manusia. Ini jelas sesuatu yang dicela para ulama yang Rabbani dan sunnah
menunjukkan tentang keburukan dan keharamannya.
Adapun
para fuqaha’ hadits sekaligus mengamalkannya, sebagian besar semangat mereka
ialah mencari makna-makna Kitabullah dan apa saja yang menjelaskannya,
misalnya hadits-hadits shahih, perkataan para sahabat, dan perkataan para
tabi’in. Mereka juga mencari makna-makna sunnah Rasulullah saw, mengenali
mana yang shahih dan dhaif dari padanya, kemudian mempelajarinya, memahaminya,
mengkaji makna-maknanya, mengenali perkataan para sahabat dan para tabi’in di
berbagai disiplin ilmu, dalam hal tafsir, hadits, masalah halal dan haram,
Prinsip-prinsip sunnah, zuhud, dan lain-lain.
Itulah
metode Imam Ahmad dan orang-orang yang sealiran dengannya dan para ulama hadits
yang Robbani. Sibuk dengan aktivitas seperti itu membuat orang tidak lagi sibuk
dengan sesuatu yang diciptakan akal yang tidak ada gunanya dan belum tentu
terjadi, namun justru perdebatan di dalamnya menimbulkan permusuhan dan ucapan
yang tidak jelas sumbernya. Jika Imam Ahmad ditanya tentang salah satu dan
masalah-masalah baru yang tidak akan terjadi, ia berkata, “Tinggalkan aku
dan masalah-masalah baru yang diada-adakan seperti ini.”
Sungguh
indah apa yang dikatakan Yunus bin Sulaiman As-Saqathi, “Aku melihat salah
satu masalah, ternyata masalah tersebut adalah hadits dan akal. Di hadits
tersebut , aku temukan penyebutan Allah Azza wa Jalla, kerububiyahanNya,
keagungan-Nya, Arrasy, sifat surga, sifat neraka, para Nabi dan Rasul, halal,
haram, anjuran untuk silaturahim, dan kumpulan sejumlah kebaikan. Kemudian di
akal, aku temukan makar, pengkhianatan, tipu muslihat, pemutusan silaturahim,
dan kumpulan sejumlah keburukan.”
Ahmad
bin Sibawih berkata,
وقال أحمد بن شبويه : من أراد علمَ القبر
فعليه بالآثار ،ومن أراد علم الخُبز ، فعليه بالرأي
“Barangsiapa ingin mengetahui seluk-beluk ilmu kubur, ia
harus membaca atsar-atsar. Barangsiapa ingin mengetahui seluk beluk ilmu roti,
ia harus menggunakan akal.”
Barangsiapa
menempuh jalan menuntut ilmu seperti yang telah saya sebutkan, secara umum dia
mampu memahami jawaban masalah-masalah yang telah terjadi, karena prinsip-prinsip
masalah-masalah tersebut ada di prinsip-prinsip yang diisyaratkannya. Dan
dalam menempuh jalan tersebut, ia harus mengikuti para imamnya yang disepakati
mendapatkan petunjuk dan ilmunya diakui, misalnya Imam Syafi’i, Imam Ahmad,
Ishaq, Abu Ubaid, dan orang-orang yang berjalan di jalan mereka. Barangsiapa
mengklaim berjalan di atas jalan ini namun tidak di jalan para imam tersebut,
ia jatuh ke ranjau dan tempat-tempat rawan, mengambil sesuatu yang tidak layak
diambil, dan meninggalkan sesuatu yang wajib diamalkan.
Kesimpulannya,
hendaklah orang muslim memaksudkan itu semua untuk mencari keridhaan Allah dan
mendekat kepada-Nya enggan mengetahui apa yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya,
meniti jalan beliau, mengamalkan apa yang Dia turunkan kepada Rasul-Nya, dan
mengajak manusia kepadanya. Barangsiapa berbuat seperti itu, Allah memberi
bimbingan dan petunjuk kepadanya, mengilhamkan petunjuk kepadanya, mengajarinya
apa yang belum ia ketahui, dan ia termasuk ulama yang dipuji di Kitabullah, “Sesungguhnya
yang takut kepada Allah hanyalah para ulama. “(Fathir: 28).
Serta
ia termasuk orang-orang yang ilmunya mendalam. Ibnu.Abu Hatim meriwayatkan
hadits dalam Tafsir-nya dari Abu Ad-Darda’ ra bahwa Rasulullah
saw ditanya tentang orang-orang yang mendalam ilmunya, kemudian beliau
bersabda,
ومن الراسخين في العلم ، فقد خرَّج ابنُ
أبي حا تم في " تفسيره " من حديث أبي الدرداء أنَّ رسول الله r سُئل عن
الرَّاسخين في العلم ، فقال : " من برّت يمينُه ، وصدق لسانُه ، واستقام
قلبُه ، ومنْ عفَّ بطنُه وفرجُه ، فذلك من الرَّاسخين في العلم " ([9]).
“Barang siapa sumpahnya baik, lidahnya benar, hatinya lurus,
menjaga perut, dan kemaluannya, orang itulah yang termasuk orang-orang yang ilmunya
mendalam. “
Nafi’
bin Yazid berkata, “Ada
yang mengatakan bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya ialah orang-orang yang
tawadhu’ kepada Allah, merendahkan diri kepada-Nya dalam keridhaan-Nya, tidak
menjilat dengan orang-orang di atas mereka, dan tidak menghina orang-orang di
bawah mereka.”
ويشهد لهذا قول النبي r : " أتاكم أهلُ اليمن ، هُمْ أبرُّ قلوباً ، وأرقُّ أفئدة .
الإيمان يمانٍ ، والفقه يمان ، والحكمة يمانية " ([10])
. وهذا إشارة منه إلى أبي موسى الأشعري
Perkataan
di atas didukung sabda Nabi saw, “Penduduk Yaman telah tiba di tempat kalian.
Mereka orang-orang yang hatinya paling baik dan orang-orang yang paling lembut
jiwanya. Iman adalah Yaman, fiqh adalah Yaman, dan hikmah adalah Yaman.”
Sabda
Nabi saw tersebut adalah isyarat beliau kepada Abu Musa Al Asy’ari dan
orang-orang dan ulama penduduk Yaman yang sejalan dengannya. Sabda tersebut
juga isyarat kepada Abu Muslim Al Khalilani, Uwais Al Qarni, Thawus, Wahb bin
Munabbih, dan ulama-ulama Yaman lainnya. Mereka semua termasuk ulama Rabbani
yang takut kepada Allah. Sebagian dan mereka lebih luasnya ilmunya tentang
hukum-hukum Allah dan syariat-syariat agama-Nya daripada sebagian yang lain.
Kelebihan mereka atas orang lain sama sekali bukan karena banyak perkataan yang
tidak jelas juntrungannya, pembahasan, dan perdebatan.
Seperti
itu pula, Muadz bin Jabal ra yang merupakan orang paling ahli tentang
halal dan haram, serta dikumpulkan pada Hari Kiamat di depan para ulama dalam
jarak sejauh lemparan anak panah. Ilmunya luas bukan karena memperluas dan
memperbanyak pertanyaan, namun karena ia tidak suka membicarakan sesuatu yang
tidak terjadi akan tetapi karena
mengetahui Allah, dan Prinsip-Prinsip agama-Nya. Ditanyakan kepada Imam
Ahmad, “Siapa orang yang bisa kami tanya sepeninggalmu?” Imam Ahmad
menjawab, “Abdul Wahhab Al Warraq.” Ditanyakan lagi kepada Imam Ahmad, “Ilmu
Abdul Wahhab Al Warraq itu tidak banyak.” Imam Ahmad berkata,
قال : إنه رجل صالح
مثلُه يُوفَّقُ لإصابة الحق .
“Orang shalih seperti dia itu akan diberi petunjuk untuk
mendapatkan kebenaran.”
Imam
Ahmad ditanya tentang Ma’ruf Al Kurkhi kemudian ia menjawab, “Ia mempunyai akar
ilmu, yaitu takut kepada Allah.” Itu karena didasarkan kepada perkataan salah
seorang generasi salaf, “Cukuplah takut kepada Allah itu sebagai ilmu.
Kita
kembali pada pembahasan awal kita tentang syarah hadits Abu Hurairah ra di
atas. Saya katakan bahwa orang yang tidak sibuk dengan memperbanyak pertanyaan-pertanyaan
di mana pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak ada dalam Al Qur’an dan sunnah,
lebih sibuk memahami firman Allah dan sabda Rasul-Nya dengan tujuan
melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan, ia termasuk
orang-orang yang melaksanakan perintah Rasulullah saw di hadits tersebut dan
mengerjakan konsekuensinya. Barangsiapa tidak mempunyai perhatian untuk memahami
apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, sibuk memperbanyak masalah-masalah
yang terkadang terjadi dan tidak terjadi, dan membebani diri menyiapkan
jawaban-jawabannya berdasarkan pendapatnya, ia dikhawatirkan menyalahi hadits
tersebut, mengerjakan larangannya, dan meninggalkan perintahnya.
Ketahuilah,
penyebab terjadinya banyak sekali masalah yang tidak mempunyai landasan dalam
Al-Qur’an dan Sunnah ialah karena tidak adanya upaya mengerjakan perintah-perintah
Allah dan Rasul-Nya, dan meninggalkan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya.
Jika seseorang yang ingin beramal bertanya tentang apa yang disyariatkan Allah
mengenai amal tersebut kemudian ia mengerjakannya dan ia juga bertanya tentang
apa yang dilarang Allah pada amal tersebut kemudian ia menjauhinya, maka
masalah-masalah tersebut terjadi dalam batasan Al Qur’an dan Sunnah.
Jika seseorang beramal karena pendapat dan hawa nafsunya, maka secara umum
masalah tersebut terjadi dalam keadaan menyimpang dan apa yang disyaniatkan
Allah dan bisa jadi masalah-masalah tersebut sulit dikembalikan kepada
hukum-hukum yang disebutkan di Al Qur’an dan sunnah karena masalah-masalah
tersebut sangat jauh dari hukum-hukum tersebut .
Kesimpulannya,
Barangsiapa mengerjakan apa saja yang diperintahkan Nabi saw di
hadits tersebut, menjauhi apa saja yang beliau larang, dan sibuk dengan kedua
hal tersebut , ia selamat di dunia dan akhirat.
Barangsiapa
tidak seperti itu, sibuk dengan lintasan-lintasan hatinya dan apa yang ia
anggap baik, ia jatuh ke dalam apa yang telah diperingatkan Nabi saw yaitu
seperti Ahli Kitab yang binasa karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka,
penentangan mereka terhadap Nabi-Nabi mereka, tidak adanya kepatuhan dan
ketaatan mereka kepada Rasul-Rasul mereka.
Tentang
sabda Nabi saw, “Apa saja yang jika aku larang pada kalian jauhilah. Dan apa
saja yang jika aku perintahkan kepada kalian, kerjakan semampu kalian,“ salah
seorang ulama berkata, “Dan hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
larangan itu lebih benar daripada perintah, karena tidak ada rukhshah (dispensasi)
untuk mengerjakan salah satu dari larangan-larangan, sedang perintah dikaitkan
sesuai dengan kemampuan.” Perkataan tersebut diriwayatkan dari Imam Ahmad.
ويشبه هذا قولُ بعضهم : أعمال البر
يعملها البرُّ والفاجرُ ،وأمَّا المعاصي ، فلا يتركها إلا صديق ([11]).
Perkataan
tersebut mirip dengan perkataan salah seorang ulama yang berkata, “Perbuatan-perbuatan
baik itu dikerjakan orang baik-baik dan orang jahat. Sedang maksiat itu hanya
ditinggalkan (tidak dikerjakan) orang yang benar.” Diriwayatkan dari Abu
Hurairah ra dan Nabi saw yang bersabda,
"Takutlah engkau
kepada hal-hal haram, niscaya engkau menjadi orang yang paling hebat ibadahnya.
“
Perkataan tersebut
diriwayatkan dari Sahl bin Abdullah At Tustuni di Al Hilyah 10/211. Hadits
tersebut potongan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad 2/310. At Tirmidzi hadits
nomer 2305, dan Al Kharaithi di Makarimal Akhlaq hal. 42 dan jalur Abu
Thariq dari Hasan Basri dari Abu Hurairah ra yang berkata bahwa Rasulullah
saw bersabda,
وقالت عائشة رضي الله
عنها : من سرّه أن يسبق الدائب المجتهد ، فليكف عن الذنوب ، وروي عنها مرفوعاً ([13]).
“Siapakah yang siap mengambil
kalimat-kalimat ini kemudian mengamalkannya atau mengajarkannya kepada orang
yang siap mengamalkannya.” Aku (Abu Hurairah) berkata, ‘Aku, wahai Rasulullah.
“Rasulullah saw pun memegang tanganku lalu mengulang lagi sabda tersebut
hingga lima kali.
Setelah itu, beliau bersabda, “Takutlah engkau kepada hal-hal haram, niscaya
engkau menjadi orang yang paling hebat ibadahnya. Ridhalah dengan apa yang
dibagikan Allah kepadamu, niscaya engkau menjadi orang terkaya. Berbuat baiklah
kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi orang Mukmin. Cintailah untuk manusia
apa yang engkau cintai untuk dirimu, niscaya engkau menjadi orang Muslim.
Janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tawa itu mematikan hati.”
Dikatakan bahwa Thaniq itu tidak dikenal
dan Hasan Basri menyebutkan dengan qana’ah.
Oleh karena itu, At Tirmidzi menganggap hadits tersebut gharib. Namun
hadits tersebut mempunyai sanad lain yang menguatkannya yang diriwayatkan Ibnu
Majah hadits nomor 4217, Al-Baihaqi di Az-Zuhdu hadits nomor 818, dan
Abu Nu’aim di Al Hilyah 10/365 dan di Akhbaru Ashbahan 2/302
Redaksi hadits tersebut ialah, “Wahai Abu Hurairah, jadilah engkau orang
yang wara’, niscaya engkau menjadi orang yang paling hebat ibadahnya. Jadilah
engkau orang yang qana‘ah, niscaya engkau menjadi orang yang paling bersyukur. Cintailah
untuk manusia apa yang engkau cintai untuk dirimu, niscaya engkau menjadi orang
Muslim. Janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tawa itu mematikan
hati.” Hadits tersebut dihasankan Al-Bushairi di Misbahuz-Zujajah 2/267.
Aisyah
ra berkata, “Barangsiapa ingin mengungguli orang yang terus menerus
beramal dan orang yang bersungguh-sungguh, hendaklah ia menahan diri dari
dosa-dosa.” Atsar tersebut diriwayatkan dari Aisyah ra dari Nabi saw.
Kelihatannya,
yang dimaksud dengan perkataan-perkataan yang mengutamakan meninggalkan hal-hal haram daripada
pengerjaan ketaatan-ketaatan ialah ketaatan-ketaatan yang bersifat sunnah. Jika
tidak demikian, amal-amal perbuatan wajib itu lebih utama daripada meninggalkan
hal-hal haram, karena amal-amal perbuatan adalah tujuan kepada zatnya, sedang
yang diminta dari hal-hal haram ialah meninggalkannya. Oleh karena itu,
meninggalkan larangan-larangan tidak memerlukan niat dan ini berbeda dengan
pengerjaan amal-amal perbuatan. Oleh karena itu pula, terkadang meninggalkan amal-amal
perbuatan itu menyebabkan kekafiran, misalnya meninggalkan tauhid dan meninggalkan
rukun-rukun Islam atau sebagiannya seperti telah dijelaskan sebelumnya. ini
berbeda dengan pengerjaan hal-hal haram yang tidak menyebabkan kekafiran dengan
sendirinya. Ini diperkuat dengan perkataan Ibnu Umar Radhiyaallahu Anhuma, “Mengembalikan
seperenam dirham haram itu lebih utama daripada uang seratus ribu yang
diinfakkan di jalan Allah.”
Salah
seorang generasi salaf berkata,
وعن بعض السلف قال : تركُ دانق مما يكره الله
أحبُّ إلى من خمس مئة حجة.
“Meninggalkan seperenam
dirham di antara yang dibenci Allah itu lebih aku sukai daripada lima ratus haji.” Maimun bin Mihran berkata, “Dzikir
kepada Allah dengan lidah itu baik, namun yang lebih baik lagi ialah seorang
hamba ingat Allah ketika bermaksiat kemudian ia berhenti darinya.”
Ibnu
Al Mubarak berkata, “Mengembalikan uang satu dirham yang syubhat lebih aku
sukai daripada aku bersedekah dengan uang seratus ribu dan seratus ribu hingga
berjumlah enam ratus ribu.”
Umar
bin Abdul Aziz berkata,
وقال عمر بنُ عبد العزيز : ليست التقوى
قيام الليل ،وصيام النهار ، والتخليط فيما بين ذلك ، ولكن التقوى أداءُ ما افترض
الله ، وترك ما حرَّم الله ، فإن كان مع ذلك عملٌ ، فهو خير إلى خير ، أو كما قال
.
“Takwa bukanlah
qiyamul lail, puasa di siang hari, dan mengkombinasikan keduanya, namun takwa
ialah mengerjakan apa saja yang diwajiban Allah dan meninggalkan apa saja yang
diharamkan Allah. Jika itu disertai dengan amal, maka itu kebaikan yang
digabungkan kepada kebaikan.” Atau apa yang seperti dikatakan Umar bin Abdul
Aziz.
Umar
bin Abdul Aziz juga berkata, “Aku ingin tidak mengerjakan selain shalat wajib
kecuali shalat witir, membayar zakat dan tidak bersedekah sesudahnya sedirham
pun, berpuasa pada bulan Ramadhan dan tidak berpuasa sehari pun selama-lamanya
di selain bulan Ramadhan, melaksanakan haji Islam (haji wajib) kemudian aku
tidak berhaji lagi selama-lamanya, lalu aku pergi ke sisa makananku dan
menjadikannya di antara sesuatu yang diharamkan Allah kepadaku lalu aku menahan
diri darinya.”
Secara
umum perkataan para generasi salaf di atas menunjukkan bahwa menjauhi hal-hal
haram kendati sedikit itu lebih utama daripada memperbanyak pengerjaan
ketaatan-ketaatan sunnah, karena meninggalkan hal-hal haram adalah wajib,
sedang pengerjaan ketaatan-ketaatan sunnah adalah sunnah.
Sejumlah ulama generasi berikutnya berkata, Nabi saw hanya bersabda,
“Apa saja yang aku larang pada kalian, jauhilah. Dan apa saja yang aku penintahkan
kepada kalian, kerjakan semampu kalian, “karena pengerjaan perintah itu tidak
terjadi kecuali dengan amal, sedang amal itu eksistensinya sangat terkait dengan
syarat-syarat dan sebab-sebab. Sebagian dari syarat-syarat dan sebab-sebab
tersebut tidak mampu dikerjakan seseorang, oleh karena itu, Nabi saw
membatasinya dengan kemampuan, sebagaimana Allah membatasi perintah takwa
dengan kemampuan. Allah Ta’ala berfirman, ‘Maka bertakwalah kalian sesuai dengan
kemampuan kalian. “ (At Taghabun: 16).
Allah Ta’ala berfirman tentang
haji, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. “ (Ali Imnan:
97).
Sedang larangan, tujuannya ialah
ketiadaan amal-amal tersebut. Itulah prinsipnya, maksudnya, ketiadaan larangan
tersebut yang merupakan prinsip terjadi secara berkala. Itu sangat mungkin dan
di dalamnya tidak ada yang tidak bisa dikerjakan. Di sini, juga ada catatan,
karena ajakan untuk mengerjakan kemaksiatan itu bisa jadi kuat. Oleh sebab itu,
seseorang tidak bisa bersabar untuk menolaknya
padahal ia mampu ketika ia melakukan kemaksiatan tersebut. Ketika itulah, orang
tersebut memerlukan perjuangan ekstra keras. Bisa jadi perjuangan tersebut
lebih berat bagi jiwa daripada perjuangan jiwa untuk mengerjakan ketaatan.
Oleh karena itu, banyak sekali dijumpai
orang yang berjuang keras kemudian mampu mengerjakan ketaatan-ketaatan, namun
ia tidak sanggup meninggalkan hal-hal haram. Umar bin Khaththab pernah ditanya
tentang kaum yang menginginkan kemaksiatan namun tidak jadi mengerjakannya. Ia
menjawab, “Kaum itulah yang hati mereka diuji untuk bertakwa. Mereka berhak
atas ampunan dan pahala besar.” (Al Hujurat: 3).
Yazid bin Maisarah berkata,
Allah Ta’ala berfirman di sebagian Kitab, “Hai pemuda yang
meninggalkan syahwatnya dan memberikan remajanya karena Aku, engkau di sisi-Ku
seperti sebagian malaikat malaikat-Ku.”
Yazid
bin Maisarah juga berkata, “Betapa kuatnya syahwat di tubuh. Syahwat
tersebut seperti kobaran api. Bagaimana orang-orang yang suci bisa selamat darinya?”
Identifikasi
masalah ini bahwa Allah tidak membebani hamba-hamba-Nya dengan amal-amal
perbuatan yang tidak sanggup mereka kerjakan. Allah juga menghilangkan banyak
sekali amal-amal perbuatan dari mereka karena adanya kesulitan di dalamnya
sebagai rukhshakh (dispensasi) dan rahmat bagi mereka. Sedang larangan-larangan,
Allah tidak memberi 'uzur kepada siapapun untuk mengerjakannya, karena kuatnya
penyeru dan syahwat kepadanya.
Bahkan,
Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk meninggalkannya dalam semua kondisi. Dan
sesungguhnya makanan-makanan haram boleh dimakan pada saat darurat agar
kehidupan tetap berlangsung dan bukan karena untuk menikmatinya atau syahwat.
Dari situ, bisa diketahui kebenaran perkataan Imam Ahmad, “Sesungguhnya
larangan itu lebih benar daripada perintah.” Diriwayatkan dari Tsauban dan
lain-lain dari Nabi saw yang bersabda, “Luruslah (istiqamah) kalian dan kalian
tidak akan dapat mengetahui kadarnya.”
Maksudnya, kalian tidak akan
sanggup istiqamah secara keseluruhan (sempuma). Al Hakam bin Hazn Al Kulafi
berkata, “Aku menghadap kepada Rasulullah saw lalu mengerjakan shalat Jum‘at
bersama beliau. Beliau berdiri bersandar pada tongkat atau panah, memuji Allah,
dan menyanjung-Nya dengan kalimat-kalimat sederhana, baik, dan penuh berkah.
Setelah itu, beliau bersabda, ‘Hai manusia, sesungguhnya kalian tidak akan
sanggup -atau tidak akan mampu mengerjakan- seluruh apa yang aku perintahkan
kepada kalian, namun tunjukkan (orang lain) kepada petunjuk dan berilah khabar
gembira.” (Diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Daud).’
Sabda Nabi saw, ‘Dan jika aku perintahkan
sesuatu kepada kalian, kerjakan semampu kalian, “ adalah dalil bahwa orang
yang tidak sanggup mengerjakan seluruh perintah dan hanya sanggup mengerjakan
sebagiannya, maka ia telah mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan. Ini bisa
diberlakukan dalam banyak masalah, di antaranya;
1.
Thaharah (bersuci). Jika
seseorang hanya mampu mengerjakan sebagiannya dan tidak mampu mengerjakan
sisanya karena ketiadaan air atau sakit di salah satu organ tubuh tanpa organ
tubuh lainnya, maka ia mengerjakan apa yang sanggup ia kerjakan dan ia bertayamum
di organ tubuhnya yang lain. Ini juga berlaku pada wudhu dan mandi menurut
pendapat yang terkenal.
2. Shalat. Barangsiapa tidak mampu shalat
dengan berdiri, ia shalat dengan duduk. Jika ia tidak sanggup shalat dengan
duduk, ia shalat dengan berbaring. Di Shahih Al Bukhari disebutkan
hadits dari Imran bin Hushain ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Shalatlah
engkau dengan berdiri jika engkau tidak sanggup, shalatlah dengan duduk jika engkau
tidak sanggup, shalatlah dengan berbaring.”
3. Zakat fitrah. Jika seseorang hanya mampu
mengeluarkan sebagian sha harus mengeluarkannya menurut pendapat yang
benar.
4. Sedang barangsiapa hanya mampu
berpuasa di sebagian siang dan tidak sanggup melanjutkannya hingga maghrib, ia
tidak boleh berbuat seperti itu, karena berpuasa di sebagian siang bukanlah
ibadah.
5. Begitu juga, jika seseorang hanya sanggup
memerdekakan sebagian budak dalam kafarat, ia tidak boleh melakukannya,
karena pembebasan sebagian budak itu tidak disukai Allah dan justru Dia menyuruh
memerdekakan budak dengan sempurna dengan semua cara.
6. Adapun orang yang tidak bisa wukuf
di Arafah, apakah ia harus mengerjakan aktifitas haji lainnya,
misalnya mabit (menginap) di Muzdalifah dan melempar jumrah, atau
tidak? Bahkan diringkas hanya melakukan thawaf- sai dan bertahallul dan
umrah? Ada dua
riwayat dari Imam Ahmad dan riwayat yang paling terkenal ialah orang tersebut
hanya melakukan thawaf dan sai, karena mabit (menginap) di
Muzdalifah dan melempar jumrah adalah rangkaian ibadah wukuf di Arafah.
Juga karena Allah memerintahkan dzikir kepada-Nya di Masy’ar’l Haram dan
di hari-hari haji tersebut bagi orang yang pergi ke Arafah. Jadi hal tersebut
tidak diperintahkan kepada orang yang tidak wukuf di Arafah, sebagaimana
hal tersebut tidak diperintahkan kepada orang yang berumrah.
Pelajaran dari
hadits no. 9 (sembilan) ini:
1. Wajibnya
menghindari semua apa yang dilarang oleh Rasulullah
2. Siapa yang
tidak mampu melakukan perbuatan yang diperintahkan secara keseluruhan dan dia
hanya mampu sebagiannya saja maka dia hendaknya melaksanakan apa yang dia mampu
laksanakan.
3. Tidak
mempersulit diri dengan wacana pemikiran yang mendiskreditkan dalil-dalil,
fatwa-fatwa sehingga menimbulkan keraguan dalam kita beragama.
4. Allah tidak
akan membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan kadar kemampuannya.
5. Perkara yang
mudah tidak gugur karena perkara yang sulit.
6. Menolak
keburukan lebih diutamakan dari mendatangkan kemaslahatan.
7. Larangan
untuk saling bertikai dan anjuran untuk bersatu dan bersepakat.
8. Wajib
mengikuti Rasulullah (ta’at dan menempuh jalan keselamatan dan kesuksesan).
ورواه
أيضاً عن عمرو بن عون ،عن خالد بن عبد الله ، عن يزيد بن أبي زياد ، عن إبراهيم ،
عن علقمة عن عبد الله .
([12]) هو قطعة من حديث رواه أحمد 2/310 ،
والترمذي (2305) والخرائطي في " مكارم الأخلاق " ص 42 من طريق أبي طارق
عن الحسن البصري عن أبي هريرة قال : قال رسول الله r : " من يأخُذُ عني هذه الكلمات
فيعمل بهنَّ أو يُعلِّم من يعملُ بهنِّ ؟ " فقال أبو هريرة : فقلتُ : أنا يا
رسول الله ، فأخذ بيدي ، فعدَّ خمساً ، فقال : " اتق المحارم تكُن أعبد الناس
، وارض بما قسم الله لك تكن أغنى الناس ، وأحسن إلى جارك تكن مؤمناً ، وأحبَّ
للناس ما تُحبُّ لنفسك تكن مسلماً ،ولا تكثر الضحك ؛ فإن كثرة الضحك تميت القلب .
قلت
: طارق لا يُعرف ، والحسن البصري قد عنعن ، ولذا استغربه الترمذي ، لكن له إسنادُ
آخر يتقوى به عند ابن ماجه (4217) والبيهقي في " الزهد " (818) ، وأبي
نعيم في " الحلية " 10/365 وفي " أخبار أصبهان " 2/302 .
ولفظه : " يا أبا هريرة كنْ ورعاً تكن أعبد النَّاس ، وكن قنعاً تكن أشكر
الناس ،وأحب للناس ما تحب لنفسك تكن مؤمناً ، وأحسن جوار من جاورك تكن مسلماً ،
وأقلَّ الضحك ؛ فإن كثرة الضحك تميت القلب " . وحسنه البوصيري في "
مصباح الزجاجة " ورقة 267/2 .
No comments:
Post a Comment