Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Wednesday, July 4, 2012

MALU DAN KEUTAMAANNYA


Ibnu Umar meriwayatkan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
"Rasulullah saw melewati seorang Anshar saat ia menasihati saudaranya tentang malu. Rasulullah saw bersabda, 'Biarkan saja, sebab rasa malu itu bagian dari iman." (Muttafaq Alaihi)

Imran bin Hushain ra berkata, Rasulullah saw bersabda,
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
"Tidaklah datang rasa malu selain dengan kebaikan." (Muttafaq Alaihi).

Di riwayat Muslim disebutkan,
الْحَيَاءُ ِخَيْرٌ كُلُّهُ
"Rasa malu itu adalah kebaikan, semuanya."
الْحَيَاءُ كُلُّهُ ِخَيْرٌ
"Rasa malu itu semuanya kebaikan."
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
"Iman itu ada tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Yang paling mulia adalah ucapan La ilaha Illallah dan yang paling rendah menyingkirkan penghalang dari jalan. Keimanan adalah cabang dari iman." (Muttafaq Alaihi).

Abu Sa'id Al-Khudri meriwayatkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا وَكَانَ إِذَا كَرِهَ شَيْئًا عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ
"Adalah Rasulullah saw itu orang yang paling malu terhadap gadis yang berada dalam biliknya. Dan jika beliau tidak suka sesuatu, kami mengetahuinya dari wajahnya." (Muttafaq Alaihi).
Para ulama berkata, "Hakikat malu adalah akhlak yang mendorong seseorang meninggalkan perbuatan buruk dan menecegahkan bermalas-malasan menunaikan hak sapa saja.
Kami juga meriwayatkan dari Abul Qasim, Al-Junaid ra. Ia berkata, "Malu adalah melihat semua nikmat dan melihat sikap malas, lalu dari keduanya muncul kondisi yang dinakaman malu. Wallahu A'lam.


AL HAYA’ (rasa malu)

KEDUDUKAN  AL HAYA

Dan di antara stasion “ Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan” adalah kedudukan al haya.
Allah swt berfirman:

Artinya: Apakah dia tidak mengetahui, bahwasannya Allah melihatnya. QS. 96/Al ‘Alaq: 14

Artinya: Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. QS. 4/An Nisa: 1

Artinya: Dia mengtahui pandangan mata yang khianat dan apa yang tersembunyi oleh hati. QS. 40/ Ghafir: 19
 
Dalam hadits shahih dari Abdullah ibn Umar ra. Bahwasannya Rasulullah saw pernah melewati seseorang yang sedang menasehati saudaranya tentang rasa malu, lalu Rasulullah saw bersabda:
Artinya: Biarkan dia, karena sesungguhnya rasa malu itu adalah sebagian dari iman. HR. Al Bukhariy, Muslim, Malik dan At Tirmidziy

Dalam hadits shahih yang lain disebutkan
Artinya: Dari Imran bin Hushain ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Rasa malu itu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. HR. Al Bukhariy,  Muslim dan Abu Daud.

Artinya: Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya Nabi bersabda: Iman itu ada tujuh puluh lebih-atau enam puluh lebih cabangnya, yang paling utama adalah : Ucapan”La ilaaha illallah” Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah sebagian dari iman. HR, Al Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan At Tirmidziy.

Artinya: Dari Abu Said al Khudriy ra, bahwasannya ia berkata: Rasulullah saw adalah orang yang sangat pemalu melebihi gadis pingitan. Ketika ada sesuatu yang tidak ia sukai, kamu dapat mengetahui dari wajahnya. HR. Al Bukhariy, Muslim dan Ibnu Majah.

Artinya: Sesungguhnya di antara ucapan kenabian yang ditemui manusia, pertama kali adalah: “Jika kamu tidak malu, maka lakukan apa saja.”.   HR. Al Bukhariy, Abu Daud, dan Ibnu Majah.
            Ada dua pendapat tentang hadits ini, yaitu:
Bahwa dalam hadits itu terdapat ancaman, artinya adalah berita, bahwa barang siapa yang tidak punya rasa malu akan melakukan apa saja
Bahwa hadits di atas bermakna ibahah (pembolehan) artinya: perhatikan apa yang hendak kamu lakukan, jika termasuk perbuatan yang tidak memalukanmu maka silahkan dikerjakan.
Dari dua pendapat ini, pendapat pertama lebih baik, dan merupakan pendapat mayoritas (ulama).  
Dalam hadits At Tirmidziy disebutkan dengan sanad marfu’ (sampai kepada Nabi) :
Artinya: Malulah kamu semua kepada Allah dengan sebenar-benaranya rasa malu. Para sahabat menjawab: “Sesungguhnya kami telah malu wahai Rasulullah”. Rasulullah bersabda: “Bukan seperti itu. Akan tetapi orang yang malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu itu hendaklah menjaga kepala dan apa yang memenuhinya, memelihara perut dan apa yang menjadi isinya, mengingat kematian dan kehancuran, dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat ia akan meninggalkan perhiasan duni. Maka barang siapa dapat melaksanaan hal ini ssesungguhnya ia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu”. HR. At Tirmidzi dan Al Hakim.

TA’RIF AL HAYA’

Kata “al haya” berasal dari kata “al hayat” yang berarti hidup, di antara kata jadian dari al hayat itu adalah kata “al haya” dengan dibuang huruf terakhirnya (ta’marbuthah) yang berarti hujan. Maka sesuai dengan hidup matinya hati, di sanalah kuat dan lemahnya rasa malu itu ada. Sedikitnya rasa malu adalah akibat dari kematian qalb (hati) dan ruh (jiwa). Dan semakin hidup hati seseorang maka semakin sempurna rasa malunya.
Al Junaid –rahimahullah/semoga Allah menyayanginya- berkata:
Artinya: Al haya itu adalah melihat pemberian (Allah) dan melihat kekurangan (amal kebaikannya). Di antara dua sifat inilah akan lahir sikap yang disebut al haya’. Hakekat al haya’ adalah akhlak yang mendorong orang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, dan mencegah seseorang mengurangi hak fihak yang berhak (kewajiban atas dirinya).

Dan di antara ungkapan sebagian ulama adalah :
Artinya:  Hidupkan rasa malu dengan mujalasah (menghadap, duduk bersama) orang yang kamu malu kepadanya. Pemakmuran hati adalah dengan: rasa takut dan rasa malu, jika keduanya telah hilang dari hati seseorang maka tidak ada lagi kebaikan yang ada.

Dzunnun berkata:
Artinya:  Al haya’ itu adalah adanya rasa takut di dalam hati karena masa lalu yang telah kamu lakukan terhadap Tuhanmu. Al Mahabbah (cinta) itu menyebabkan bicara, rasa malu itu menyebabkan diam, dan rasa takut itu menyebabkan gemetaran.

As Sirry berkata:
Artinya:  Sesungguhnya malu dan bahagia itu mengetuk-ngetuk hati, jika mereka temukan zahud dan wara’(menghindari dosa) di sana mereka singgah, dan jika tidak ada mereka pergi.

Dalam hadits Qudsiy disebutkan, Allah swt berfirman:

Artinya: Wahai anak Adam, sesungguhnya jika kamu malu kepada-Ku, akan Aku lupakan orang-orang akan aib (kekurangan)mu, Aku lupakan penjuru bumi akan dosa-dosa, Aku hapuskan kesalahan-kesalahanmu (tanpa sengaja) dari ummul-kitab (buku induk). Dan jika kamu tidak malu maka akan Aku adili kamu di hari kiamat.

Dalam hadits qudsiy yang lain disebutkan bahwa Allah swt menyampaikan wahyu kepada Isa as:
Artinya: Nasehatilah dirimu sendiri, jika kamu mau menasehati, jika tidak maka malulah kamu kepada-Ku, kalau memberi nasehat kepada orang lain.

Al Fudhail bin Iyadh berkata:
Artinya: Ada lima cirri orang celaka: hati yang keras, mata yang beku, sedikit rasa malu, cinta dunia, dan panjang angan-angan.

Dalam hadits Qudsiy yang lain disebutkan, Allah swt berfirman:
Artinya: Hamba-Ku tidak obyektif kepada-Ku, ia berdoa (meminta) kepada-Ku, maka Aku malu menolaknya, dan ia berma’siat tanpa rasa kepada-Ku

Yahya bin Muadz berkata:
Artinya: Barang siapa yang malu kepada Allah pada saat mematuhi-Nya, maka Allah akan malu kepadanya ketika ia berbuat dosa.

Ungkapan memerlukan penjelasan. Artinya: bahwa seseorang yang dominan rasa malunya kepada Allah sehingga ketika ia mematuhi Allah, maka hatinya tertunduk malu dan cemas di hadapan Allah. Maka ketika orang itu terjatuh dalam dosa Allah swt malu melihatnya dalam keadaan berdosa itu untuk menghormatinya. Allah malu melihat orang yang disayangi dan dimuliakan  melakukan kesalahan di hadapan-Nya. Bukti lain dalam hal ini adalah: bahwa seseorang ketika melihat orang yang paling spesial baginya, paling dicintai, paling dekat, baik sebagai sahabat, mapun anak, melakukan kesalahan, maka melihatnya bersalah menimbulkan rasa malu, dan keheranan sepertinya ia yang melakukan kesalahan. Hal ini menunjukkan adanya 
penghormatan yang berlebih.

Ada yang mengatakan bahwa penyebab rasa malu ini adalah: bahwa ia memposisikan dirinya saat mentaati Allah swt sepertinya ia masih berbuat ma’siat, sehingga ia malu pada saat itu. Dari itulah diajarkan beristighfar setiap usai menunaikan amal-amal shalih, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Ada yang mengatakan: bahwa ia memposisikan dirinya sebagai orang yang bersalah, sehingga ia merasa malu. Seperti seseorang yang menyaksikan sahabat dipukul orang lain, atau orang yang tidak dapat berbicara ketika di atas mimbar, ia menjadi gugup, karena ia memposisikan bahwa dialah yang di atas mimbar itu.
Hal ini dapat saja terjadi, akan tetapi rasa malu orang yang melihat orang kekasihnya berbuat salah, bukan dalam bab ini, sebab jika ia melihat orang lain yang tidak ada hubungan hati atau kedekatan dengannya, tidak ada rasa malu yang muncul, tetapi yang muncul adalah kebencian dan jatuhnya nilai orang itu di hadapannya. Hal ini disebabkan oleh sangat kuatnya keterikatan hati dan jiwanya. Maka ketika orang yang dicintainya melakukan sesuatu ia merasa ikut melakukannya, apalgi jika sampai pada tingkat mukasyafah (menyikap tabir penghalang). Sebab jika itu terjadi akan membangkitkan rasa malu karena rasa hormat. Pada saat menghormati itulah muncul rasa malu itu.

Sedangkan malu Allah kepada hamba-Nya adalah jenis lain, yang tidak terjangkau oleh pemahaman, dan tidak tertangkap oleh akal manusia. Karena sesungguhnya rasa malu Allah itu adalah penghormatan, kebajikan, kemurahan, dan keagungan. Sesungguhnya Allah swt Maha Hidup dan Maha Mulia, Malu jika ada hamba-Nya yang menengadahkan tangan (meminta) lalu kembali dengan tangan hampa. Dan malu menyiksa pemilik uban (orang tua) yang tumbuh dalam Islam.
Yahya bin Mu’adz pernah mengatakan:

Artinya: Maha suci Dzat, yang jika hamba-Nya berdosa, Dia malu.

Dalam hadits disebutkan :
Artinya: Barang siapa yang malu kepada Allah maka Allah akan malu padanya.

Al Haya’ (rasa malu) terbagi dalam sepuluh macam, yaitu: haya’ jinayah (kesalahan), haya’ taqshir (kekurangan dalam beramal), haya’ ijlal (pengagungan), haya’ karam (kemurahan), haya’ hasymah (kedekatan tertentu), haya’ istisghar linnafsi (merasa lebih kecil), haya’ mahabbah (cinta), haya’ ‘ubudiyyah (pengabdian), haya’ syaraf wa izzah (kehormatan dan kemuliaan), haya’ al mustahyi min nafsihi (orang yang malu pada dirinya sendiri).
Haya’ jinayah, adalah seperti rasa malu Nabi Adam as ketika meninggalkan surga. Allah swt berfirman : “Wahai Adam apakah kamu melarikan diri dariku? Ia menjawab: “Tidak Ya Rabb, tetapi saya malu kepada-Mu”
Haya’ taqshir, adalah seperti rasa malunya para malaikat yang bertasbih siang dan malam tidak pernah lelah dan bosan. Dan ketika hari kiamat tiba mereka berkata: Maha suci  Engkau Ya Allah, kami tidak dapat mengabdikan diri kepada-Mu dengan sebenar-benarnya pengabdian.
Haya’ Ijlal adalah rasa malu karena ma’rifah (mengenal), sesuai dengan pengenalan yang dimiliki seorang hamba tentang Rabb-nya di situlah kualitas rasa malunya ditentukan.

Haya’ Karam, seperti rasa malu Nabi Muhammad saw dari para sahabat yang diundangnya dalam acara walimah pernikahannya dengan Zainab, karena mereka terus duduk di rumah Nabi (tidak pulang setelah jamuan). Nabi Muhammad bangun dari duduknya dan malu mengatakan kalimat untuk mengusir mereka.
Haya’ Hasymah, adalah seperti rasa malu Ali bin Abi Thalib bertanya kepada Rasulullah saw tentang hokum madziy, karena posisi puteri Rasulullah yang menjadi isterinya.

Haya’ Istishghar linnafsi, adalah seperti rasa malu seorang hamba Allah ketika meminta hajat-hajatnya kepada Allah, karena dirinya yang sangat kecil dan lemah. Dalam kisah Israiliyah disebutkan bahwa: Nabi Musa as berkata: Ya Rabbi sesungguhnya aku menghadapi kebutuhan-kebutuhan duniawi, sehingga aku malu meminta kepada-Mu, Ya Rabb. Allah swt berfirman: “Mintalah apa saja kepada-Ku, termasuk garam adonanmu, dan makanan kambingmu” hal ini dapat disebabkan oleh dua hal:
Peminta merasakan dirinya yang sangat kecil, sementara dosa dan kesalahannya demikian besar.
Kebesaran Dzat yang diminta.
Haya’ Mahabbah, adalah rasa malu seorang kekasih kepada kekasihnya, sehingga ketika terlintas sesuatu di hatinya pada saat tidak bersama dengan kekasihnya itu muncul rasa malu dalam dirinya, terasa di wajahnya, dan ia tidak menyadari apa penyebabnya. Demikian juga situasi saat mendadak bertemu dengan kekasihnya itu timbul berbagai macam perasaan kekaguman. Sehingga muncul ucapan ”alangkah cantiknya”. Rasa malu dan kekaguman ini disebabkan oleh hal-hal yang tidak diketahui kebanyakan orang. Dan tidak diragukan lagi, bahwa rasa cinta itu memiliki kekuasaan yang luar biasa untuk memaksa hati, melebih tekanan siapapun pada fisiknya. Coabalah bandingkan antara kekuatan yang memaksa hati dan kekuatan yang memaksa fisik? Dari itulah sangat mengherankan sekali sikap para penguasa dan para dictator yang memaksa manusia untuk mencintainya, patuh kepadanya. Dan ketika orang-orang itu terganggu cintanya atau membencinya, hatinya merasakan telah terjadi serangan/ancaman bagi kekuasaannya, yang menyebabkannya cemas dan ketakutan. Pernah suatu hari Imam Ibnu Taimiyah –qaddasa Allahu ruhahu/semoga Allah mensucikan ruhnya- bertanya kepada kami tentang hal ini, kemudian saya jawab dengan jawaban di atas, ia tersenyum dan tidak berkomnetar sedikitpun.

Sedangkan rasa malu yang ada pada seseorang dari orang yang ada di bawah kekuasaannya -seperti budak atau isterinya- maka sebabnya –wallahu a’lam- adalah bahwa ketika kekuasaan itu telah hilang  rasa takutnya dari hati, masih menyisakan wibawa dan hubungan khusus, yang kemudian melahirkan rasa malu.
Dan terjadinya rasa malu pada saat tidak terlihat dari orang yang dicintai itu disebabkan oleh dominasi cinta dalam hati, sehingga begitu besar dan menguasainya kekasih itu di hatinya, sampai pada saat tidak ada di sisinya tetap merasa ada bersamanya.     

Haya’Ubudiyyah adalah rasa malu yang terbentuk oleh rasa cinta, takut, dan kesaksian bahwa ibadah yang dilakukannya belum layak untuk yang disembahnya. Dan sesungguhnya yang disembah itu jauh lebih tinggi dan lebih mulia dari ibadah yang dikerjakannya. Maka ibadah orang itu pasti menimbulkan rasa malu terhadap yang disembahnya.
Haya’ Syarafa dan Izzah, adalah rasa malu seorang yang merasa besar dan agung ketika melakukan sesuatu yang dibawah ukuran dirinya baik berupa pengorbanan, pemberian, atau kebaikan. Maka ketika ia hanya dapat melakukan sesuatu yang jauh lebih kecil dari yang sepatutunya ia kerjakan itu ia merasa malu pada kehormatan dan kemuliaan dirinya. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu:
Seperti yang disebutkan di atas.

Ia malu karena pengambilan, ia merasakan sepertinya dialah peminta yang mengambil. Sehingga ada sebagian ahlul-karam (orang mulia) yang tidak mampu memandang pemberinya karena merasa malu atas pemberian itu. Hal ini bias masuk dalam bab Haya’ Talawwum (menyalahkan diri) karena ia merasa malu mengambil hal itu.

Sedangkan haya’min nafsihi, adalah rasa malu jiwa orang yang mulia dan terhormat, dan berposisi tinggi ketika ridha dengan dirinya yang melakukan kekurangan, dan qana’ah (menerima) sesuatu yang rendah. Ia merasa malu pada diri sendiri, sepertinya ia memiliki dua jiwa, yang satu malu dari yang lainnya. Inilah rasa malu yang paling sempurna. Sebab jika seorang  hamba Allah merasa malu pada dirinya sendiri ia lebih merasa malu kepada orang lain.

Berkata shahibul-manazil (ahli station): “ Al Haya’ adalah yang terdepan dalam tingkatan ahlu-khushus (orang-orang khusus) yang lahir dari rasa pengagungan sebagai konsekwensi cinta”.
Sesungguhnya rasa malu itu dijadikan start awal dari tangga ahlil-khusus karena dalam malu itulah terdapat mulahadhah (pengawasan) hadirnya orang yang dia malu kepadanya, dan jalan pertama yang dilalui ahlul-khusus adalah melihat kehadiran Al Haq, Allah swt selalu ada bersamanya. Dan di atas prinsip itulah ia mambangun sikap hidup.

Kalimat: “Bahwa sesungguhnya rasa malu lahir dari pengagungan sebagai konsekwensi cinta”,[1] artinya: Bahwa rasa malu itu adalah keadaan yang dihasilkan dari pertemuan rasa pengagungan dan cinta. Ketika dua rasa ini bersamaan maka lahirlah rasa malu di antara keduanya. Al Junaid mengatakan bahwa: Kelahiran rasa malu adalah berasal dari kesaksian akan nikmat-nikmat Allah dan kesadaran akan kekurangan diri sendiri.
Dan yang lainnya mengatakan bahwa rasa malu lahir dari perasaan hati karena sesuatu yang membuatnya malu. Dari perasaan dan penolakan inilah melahirkan sikap yang desebut al haya’.

Pendapat-pendapat itu tidak ada yang berbenturan. Karena al haya dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Seperti yang telah disebutkan terdahulu. Dan masing-masing menunjukkan kepada sebagian penyebab-penyebab itu. Wallahu a’lam.

TINGKATAN AL HAYA’
Ada yang mengatakan bahwa al haya itu memiliki tiga tingkatan, yaitu: 
Tingkat Pertama,

Yaitu rasa malu yang dilahirkan oleh pengetahuan seorang hamba tentang Al Haq Allah swt. Rasa malu ini mendorongnya untuk tahan dalam bermujahadah, merasa keji melakukan salah, dan diam dari berkeluh kesah.[2]
Artinya: Ketika seorang hamba Allah menyadari bahwa Allah selalu melihatnya, ilmu itu akan mengakibatkan rasa malu, yang membuatnya tahan dalam memikul beban ibadah. Seperti seorang budak yang bekerja di hadapan tuannya, maka ia akan bekerja dengan sangat gigih, tahan atas segala beban yang ada, apalagi jika ditambah dengan kebaikan tuannya itu kepadanya, dan cintanya kepada tuannya. Berbeda jika tuannya tidak ada di hadapannya.

Dan Allah swt tidak pernah absen dalam melihat para hamba-Nya, akan tetap pandangan hati dan perhatian hamba-Nya yang sering absen kepada Allah swt. Dan jika hati sering absen dalam memandang Allah, sedikit memperhatikan Allah swt maka akan melahirkan hati yang sedikit rasa malunya, dan bahkan habis sama sekali.

Demikian juga rasa ilmu itu akan membuatnya merasa jijik untuk berbuat salah. Perasaan yang dihasilkan oleh rasa malu ini melebihi perasaan jijiknya ketika mengingat ancaman Allah. Sehingga rasa malu ini lebih tinggi dari sekedar rasa takut hukuman. Dan lebih tinggi lagi jika perasaan jijik berbuat salah itu muncul dari rasa cinta. Karena perasaan jijik seorang yang mencintai lebih sempurna dari perasaan jijik orang yang ketakutan. Dari itulah rasa malu ini pula mencegah seseorang untuk berkeluh kesah kepada selain Allah, dan hanya mengadu kepada Allah. Rasa malu tidak menghalangi seseorang mengadu kepada Allah karena pengaduan kepada adalah bukti kefaqiran (kebutuhan), penyerahan, dan pengabdian. Sehingga malu dalam hal ini tidak menjadi penghalang.
 
Tingkatan kedua
Yaitu malu ditimbulkan dari pandangan tentang hakekat kedekatan (Allah dengan makhluk-Nya) sehingga mendorongnya untuk mencintai, mengikatnya dengan tali bahagia, dan menjadi tidak suka bergaul dengan kebanyakan manusia.[3]

Pandangan tentang hakekat kedekatan adalah pembuktian hati yang merasa bersama Allah dengan ma’iyyah khashshah (kebersamaan khusus). Karena ma’iyyah itu ada dua macam, yaitu:
‘Ammah (umum), yaitu kebersamaan Allah karena pengetahuan dan jangkauan-Nya seperti firman Allah:
Artinya: Dan Dia selalu bersamamu di manapun kamu berada. QS. 57/Al Hadid: 3
Artinya: Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang , melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada pembicaraan rahasia empat orang kecuali Dia-lah yang keenamnya. Dan tiadalah pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu, atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada. QS. 58/Al Mujadilah: 7

Khashshah (khusus), yaitu kebersamaan dalam qurb (kedekatan), seperti dalam firman Allah:
Artinya: Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang  yang berbuat baik. QS. 16/ An Nahl: 128
Artinya: Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. QS. 2/Al Baqarah: 153
Artinya: Dan sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang yang berbuat baik. QS. 29/Al Ankabut: 69

Ma’iyyah qurb inilah yang mengandung pembelaan, pertolongan, dan pemeliharaan.

Kedua makna sama-sama ini mengiringi hamba Allah, hanya ada yang sekedar melihat dan menjangkau, dan yang ini kebersamaan dalam pembelaan, pertolongan, dan perlindungan.
Kata “Ma’a” dalam bahasa Arab memiliki makna “kebersamaan “ yang tidak menunjukkan peleburan, percampuran, persandingan, atau pendampingan. Dan barang siapa yang menganggap ada makna itu dalam hal ini, maka itu karena pemahaman yang salah.  

Sedangkan “al qurbu/dekat” dalam Al Qur’an tidak pernah diungkapkan kecuali untuk makna khusus, yaitu ada dua macam kedekatan: kedekatan dengan para peminta berupa pengkabulan, dan kedekatan dengan para penyembah berupa pemberian balasan. 
Kedekatan pertama, seperti dalam firman Allah:
Artinya: Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa pabila ia memohon kepada-Ku. QS. 2/Al Baqarah: 186

Ayat ini turun sebagai jawaban atas pertanyaan para sahabat kepada Rasulullah saw: “Tuhan kita dekat, sehingga kita berbisik, atau jauh sehingga kita harus menyeru?” maka turunlah ayat di atas. [4]

Kedekatan kedua, seperti diungkapkan dalam hadits Nabi:
Artinya: Keadaan seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah pada saat ia bersujud. Dan keadaan Allah yang paling dekat dengan hamba-Nya adalah di tengah malam.

Kedekatan ini adalah kedekatan Allah dengan para hamba yang mentaati-Nya. Dalam hadits shahih disebutkan :
Artinya: Dari Abu Musa al Asy’ari ra berkata: Kami pernah bersama Nabi Muhammad saw dalam sebuah perjalanan, lalu suara kami keras-kerasan mengumandangkan takbir. Ketika itu Rasulullah mengingatkan: Wahai sekalian manusia, perhatikanlah dirimu masing-masing, sesungguhnya kalian tidak menyeru kepada yang tuli atau yang gaib (tidak ada) sesungguhnya yang kalin seru adalah Maha Mendengar dan Maha Dekat, lebih dekat denganmu daripada leher hewan tungganganmu.  

Kedekatan ini adalah kedekatan khusus, dengan para peminta lewat doa’ ibadah, pujian dan sanjungan. Kedekatan ini tidak mengurangi kesempurnaan Allah yang berbeda dengan makhluk-Nya, bersingga sana di atas ary-Nya. Kedekatan Allah tidak seperti kedekatan fisik dengan benda lainnya. Allah Maha Tinggi dari semua itu. Tetapi kedekatan Allah adalah bentuk lain. Dalam kehidupan nyata kita temukan bukti jelas, bahwa jiwa seseorang akan sangat dekat dengan kekasihnya walaupun keduanya dipisahkan oleh jarak yang jauh, dan bahkan kedekatan rasa itu melebihi kedekatan seseorang dengan orang yang ada di sisinya. Seperti yang dikatakan dalam sebuah syair:
Aduhai!
Banyak yang mendekat,  
mengaku cinta sudah melekat
Akan tetapi yang lebih jauh terpisah
Lebih dicinta dan lebih dekat

Ahlussunnah adalah, pendukung, pewaris dan kekasih Rasulullah. Orang-orang yang menjadikan Rasulullah lebih dibela dan dicintai daripada dirinya sendiri, jiwa mereka lebih dekat dengannya, meskipun mereka berada di belahan bumi yang jauh dari rumah Nabi di Madinah. Para kekasih yang merindukan Ka’bah-Baitil Haram, hati dan jiwa mereka lebih dekat dengan Ka’bah melebihi orang-orang yang bertetangga dengannya. Ini bisa terjadi pada orang yang tidak mampu mendatanginya. Lalu bagaimana dengan  Dzat yang dapat mendekati siapa saja dari makhluk-Nya, bersingga sana di atas arsy-Nya. Ahludzdzauiqi (orang yang telah menemukan cita rasa ini) tidak tergoyahkan oleh sybhat para Mu’aththil (menafikan sifat Allah) yang jauh dari Allah, sunyi dari cinta dan ma’rifah.

Al Qashdu (tujuan). Kedekatan ini akan mendorong orang untuk naik kendaraan mahabbah (cinta), semakin ia cinta semakin ia dekat. Mahabbah berada di antara dua kedekatan, kedekatan sebelumnya dan kedekatan sesudahnya. Dan mahabbah berada di antara dua ma’rifah, yaitu: ma’rifah sebelumnya yang membawa, mengajak dan menuntunnya, dan ma’rifa sesudahnya yaitu hasil dan pengarunya.
Sedangkan keterikatannya dengan ruhul-unsi (kebahagiaan), yaitu kebahagiaan hati karena bergantung dengan Allah, dengan keterikatan kuat yang tidak terpisahkan. Antara hati dan kebahagiaan itu terdapat simpul mati. Dan hal ini akan membuatnya tidak suka berbaur dengan kebanyakan makhluk. Terdapat kecemasan ketika berbaur dengan mereka sesuai dengan kebahagiaannya bersama Tuhannya, dan ketenangan hati karena cinta dan kedekatannya. Tidak ada selain Allah yang menyertainya. Ia berbaur dengan makhluk lain hanya dengan fisiknya, tidak dengan jiwa danhatinya, sebab hati dan jiwanya berada di tempat yang lain, dan fisiknya berada di tempat yang lain.

3. Tingkatan ketiga.
Yaitu rasa malu yang lahir dari syuhudul hadhrah (kesaksian akan kehadiran Allah). Rasa malu ini tidak terkontaminasi oleh ketakutan kepada Allah, tidak ada keinginan untuk berpisah, wala yuqafu laha ghayah (dan tidak pula terhenti pada satu tujuan).

Syuhudul-hadhrah adalah tercabutnya jiwa dan hati dari alam semesta, dan terdiam di hadapan Pencipta alam raya. Ia merasa berada ada di sisi-Nya.  Dan ketika hati telah sampai seperti ini rasa takut akan melingkupinya, dan hilang keinginan untuk berpisah dari-Nya, tidak ada yang beserta Allah kecuali dirinya. Tidak terlintas di hatinya dalam keadaan itu selain Allah. Inilah maqam al Jam’iyyah (station pertemuan).
Wala yuqafu laha ghayah, artinya bahwa setiap orang yang telah menemukan apa yang ia cari, dan mendapatkannya ia telah sampai kepada tujuannya, kecuali orang yang berada dalam kenyataan ini. Sesungguhnya tidak pernah ada tujuan yang berhenti di hadapan Allah Pencipta alam. Hal  ini mustahil, karena ketika ia merasa telah berada di batas itu, dan menyaksikan kehadiran Allah yang menjadi tujuan awal, ia akan segera berhadapan dengan seuatu yang baru dan tidak berbatas. Semua tujuan dan batas terhenti pada firman Allah:
Artinya: Dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan segala sesuatu. QS. 53/An Najm: 42

Ketika itulah berhenti semua tujuan, dan Allah swt tidak ada batasnya, tidak dalam wujud-Nya maupun dalam tambahan kedermawanannya. Dialah Yang Maha Awwal tidak ada yang mendahului-Nya, dan Maha Akhir tidak adal lagi sesudah-Nya. Tidak ada batas untuk memuji dan tidak ada batas ketika Dia memberi, semakin bertambah syukur hamba-Nya semakin bertambah pemberian-Nya. Semakin bertambah patuh kepada-Nya semakin ditambah kedudukan dan balasannya. Semakin dekat kepada-Nya, akan terkuak baginya kebesaran dan keagungan Allah yang belum pernah ditemukan sebelumnya.Demikianlah selamanya, tidak berhenti pada batas tujuan tertentu, sehingga dikatakan:
Artinya: Sesungguhnya penghuni surga itu selalu mendapatkan tambahan yang tidak pernah terhenti.

Kerena nikmat surga yang terus bersambung, tidak ada batas bagi anugerah dan pemberian Allah. Maha Tinggi Allah Yang Memiliki Kebesaran dan Keagungan. Firman Allah:
Artinya: Sesungguhnya ini adalah rizki dari Kami yang tiada habis-habisnya. QS. 38/Shad: 54

Dalam hadits Qudsiy disebutkan:
Artinya: Wahai hamba-Ku, seandainya dari yang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin berada di satu tempat, lalu mereka semua meminta kepada-Ku dan Aku berikan setiap orang sesuai dengan permintaan-Nya, maka semua tidak akan mengurangi sedikitpun dari kepunyaanKu, kecuali seperti jarum yang membawa air laut ketika dicelupkan.

PENDAPAT ULAMA TENTANG AL HAYA’

Al Haya’ adalah perubahan dan ketidak berdayaan manusia karena rasa takut celaan. [5]
Al Jurjani mengatakan: Al Haya’ adalah pengunduran diri dan meninggalkan sesuatu karena takut tercela.[6]
Ada yang mengatakan bahwa al haya adalah akhlaq yang memacu seseorang untuk meninggalkan sesuatu yang buruk, dan mencegahnya mengurangi hak orang lain. [7]
Ar Raghib mengatakan: Al Haya’ adalah pengunduran diri dari kebiasaan yang biasa dilakukan secara fisik karena ia melihat kekurangan hal itu, tetapi dalam keadaan yang tidak memungkinnya menghindar lagi secara fisik.
Ada yang mendefinisikan lagi; bahwa al haya adalah meninggalkan keburukan-keburukan karena takut celaan.
Ada lagi yang mengatakan: al haya adalah mengurungkan diri dari sesuatu karena takut celaan. [8]
Al Jahidh mengatakan: Al Haya adalah salah satu bentuk ketenangan, yaitu pengendalikan anggota tubuh dan pengurungan bicara karena merasa malu kepada seseorang. Al Haya adalah kebiasaan terpuji selama tidak berasal dari kelemahan dan ketidak berdayaan.[9]
Ibnu Miskawaih  menyebutkan bahwa al haya termasuk dalam sifat-sifat mulia yang masuk dalam bab iffah, dan al haya adalah yang pertama, kemudian ia mendefinisikannya dengan mengatakan: “Al Haya adalah menarik diri karena takut melakukan sesuatu yang tercela, dan waspada terhadap celaan dan cacian”. [10]
Ibnu ‘Allan berkata: “Al haya adalah akhlaq yang mendorong seseorang meninggalkan segala yang tercela berupa ucapan, dan pebuatan. Dan akhlaq yang mencegah seseorang untuk mengurangi hak orang yang berhak”
Ada yang mengatakan: Al haya’ adalah kemampuan yang melekat pada jiwa seseorang yang mendorongnya untuk mempertahankan hak-hak orang lain, meningglkan pemutusan dan pengingkaran. [11] 
Ibnu Miftah Al Hanbali mengatakan: “hakekat haya adalah akhlaq yang mendorong untuk melakukan perbuatan baik dan meninggalkan yang buruk”. [12]
An Nawawi berkata, telah disampaikan kepadaku dari Abul Qasim al Junaid, rahimahullah, yang mengatakan: “Al haya adalah pengakuan akan nikmat Allah dan pengakuan akan kekurangan dirinya, kemudian melahirkan sikap yang disebut al haya’.[13] Dari dari ungkapan ini adalah bahwa al haya itu keadaan jiwa yang lahri dari pengakuan dua hal, yaitu: pengakuan nikmat dari satu sisi, dan pengakuan kekurangan diri pada sisi lain. Dan ungkapan ini khusus tentang malu kepada Allah swt.
Fadhlullah al Jailani berkata: Al haya adalah perubahan dan frustasi yang terjadi pada seseorang karena takut celaan dari perbuatan yang hakekatnya buruk.[14]

AL HAYIYYU ADALAH SIFAT ALLAH SWT
Di antara sifat Allah swt adalah “Al hayiyyu” seperti dalam hadits Nabi,
Artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu itu Maha Malu,dan Mulia. Ia malu dari hamba-Nya….”

 Arti ungkapan ini adalah yang Maha Sempurna rasa malunya.
Tujuan dari sifat Allah yang demikian itu adalah bahwa Allah melakukan sesuatu yang mudah, meninggalkan yang berbahaya, dan memberi tanpa diminta. [15]
Fairuz Abadi mengatakan: “Adapun malu Allah swt dari hamba-Nya adalah bentuk lain yang tidak terjangkau akal manusia. Karena sesungguhnya rasa malu-Nya adalah malu kemurahan, kebaikan, dan kedermawanan. Ia malu kepada hamba-Nya yang menengadahkan kedua tangan dan kembali dengan hampa, dan malu menyiksa orang tua yang sejak muda tumbuh dalam Islam. [16]

MACAM AL HAYA
Rasa malu itu dua macam, yaitu ghariziy (bakat) dan muktasab (hasil belajar). Dan malu muktasab inilah yang dijadikan agama sebagai bagian dari iman. Dialah rasa malu yang diwajibkan untuk dikuasai, bukan yang ghariziy. Dan seseorang mungkin dapat membentuk dirinya dengan malu muktasab sehingga menjadi seperti gharizah. 
Rasulullah saw telah mampu menggabungkan dua macam rasa malu itu. Secara gharizah ia sangat malu, bahkan melebihi para gadis dalam pingitannya. Dan dalam menguasai malu muktasab ia telah sampai pada klimak tertingginya. [17]
Al Manawiy berkata: malu itu ada dua macam, malu nafasaniy (kejiwaan) yaitu yang sudah tercipta dalam jiwa secara umum, seperti malu membuka aurat, berhubungan seksual di depan umum, dan malu imaniy yaitu pencegahan diri seorang muslim melakukan perbuatan harm karena takut kepada Allah. [18]
Dan penulis Al Adab Asy Syar’iyyah meriwayatkan dari banyak ulama yang mengatakan: bahwa rasa malu itu bisa berbentuk sifat yang melekat pada diri seseorang, atau proses belajar sebagaimana amal kebaikan lainnya, terkadang juga gharizah. Dan yang dikehendaki syari;ah adalah malu yang muktasab disertai dengan niat dan ilmu. [19]

MA’SIYAT AKAN MELUNTURKAN RASA MALU
Ibnul Qayyim -rahimahullah-berkata: Di antara hukuman ma’siat adalah hilangnya rasa malu yang merupakan dinamika hati, dan dasar semua kebaikan, dan hilangnya kebaikan secara keseluruhan. Dalam hadits shahih disebutkan : “bahwa rasa malu adalah kebaikan semua”. Maksudnya bahwa dosa-dosa itu akan melmpuhkan rasa malu pada seseorang, sampai rasa malu itu tercabut semuanya, sehingga ia tidak terpengaruh oleh pengetahuan tentang keburukan dirinya, atau penglihatan umum atas dirinya, bahkan kebanyakan mereka menceriterakan keburukan yang diperbuat. Dan yang mendorong semua itu adalah tercabutnya rasa malu. Dan ketika seseorang telah sampai pada batas ini maka tidak ada lagi harapan untuk baik. Dan ketika iblis melihatnya dia memberikan ucapan selamat, dan mengatakan: “ Selamat, wahai orang yang tidak beruntung, dan orang yang tidak punya malu di dunia ia telah mati dan di akhirat akan menjadi orang merugi”.
Antara dosa, tidak punya malu, dan tidak punya ghirah (cemburu) memiliki keterikatan erat satu dengan lainnya, masing-masing menarik sisi yang lain dan mendorongnya.
Barang siapa malu kepada Allah ketika berbuat ma’siyat, maka Allah akan malu menghukumnya di hari kiamat. Sedangkan orang yang tidak malu ketika berbuat ma’siyat maka Allah tidak malu untuk menghukumnya di hari kiamat. [20]


AL HAYA DAN AMAR MA’RUF
Al haya yang sebenarnya tidak mencegah seseorang melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Penulis “Fadhlullah Ash Shamad” menngatakan: Jika ada orang yang mengatakan bahwa orang yang memiliki rasa malu terkadang malu menghadapi al haq (kebenaran), sehingga ia tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, dan bahkan rasa malunya terkadang mempengaruhinya untuk meninggalkan sebagian al haq, dsb yang jelas ma’ruf. Maka saya katakan tentang orang itu bahwa ia tidak memiliki rasa malu yang sesungguhnya, tetapi al ‘ajz (ketidak mampuan), minder dan rendah diri, sering disebut rasa malu karena ada kemiripan dan majaz (bukan yang sebenarnya).[21]

Disebut rasa malu yang sebenarnya jika perbuatan yang membuatnya malu adalah perbuatan yang hakekatnya tercela, maka tidak termasuk di dalamnya adalah hal-hal yang dianggap tidak baik oleh sebagian orang padahal sesungguhnya hal itu baik. Dan juga tidak termasuk dalam hal ini sesuatu yang sudah buruk tetapi jika tidak menarik diri akan terjerumus kepada hal yang lebih buruk lagi. Seperti seorang wanita yang bernyanyi-nyanyi di tempat yag sunyi, kemudian ia didatangi orang jahat yang hendak memperkosanya, kemudian ia tidak mau berteriak meminta tolong karena khawatir beritanya akan menyebar. Kalau ia berfikir panjang maka berteriak meminta tolong itu bukan sesuatu yang buruk, jika memang ia tidak ingin berbuat keji, dan orang lain akan memujinya sebagai orang yang mampu menjaga harga diri, dan komitmen dengan kebenaran, ketika orang lain mendengar ia berteriak  meminta tolong, mereka akan datang dan memberikan pertolongan. Demikianlah diberlakukan hadist Nabi:
Artinya: “Rasa malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan”, itulah hakekat rasa malu. Dan Rasulullah adalah orang yang  sangat malu, melebihi para gadis dalam pingitannya, dan itu menjadi teladan kita, Beliau tidak terhalang untuk marah ketika ada pelanggaran aturan Allah. [22]
RASA MALU SUMBER SEGALA KEBAIKAN
Ibnul Qayyim –rahimahullah- mengatakan: rasa malu adalah akhlak yang paling utama, paling agung, paling tinggi kedudukannya, dan paling banyak manfaatnya, dan bahkan rasa malu adalah ciri manusia. Maka barang siapa yang tidak memiliki rasa malu maka ia telah kehilangan kemanusiannya, yang ada tinggal daging dan darah, serta bentuk fisik yang tampak. Sebagaimana ia tidak lagi memiliki kebikan sedikitpun. Jika tidak ada rasa malu, maka tidak ada jamuan untuk tamu, tidak ada tepat janji, tidak tertunaikan amanah, tidak ada pemenuhan kebutuhan orang lain, tidak ada pemilihan orang yang baik untuk diprioritaskan, dan orang yang buruk untuk disisihkan, tidak ada pakaian dan menutup aurat, tidak ada penghindaran dari keburukan. Dan banyak orang yang jika tidak lagi memiliki rasa malu ia tidak akan menunaikan kewajibannya, tidak menjaga hak orang lain, tidak menyambung silaturrahim, tidak berbakti kepada kedua orang tua. Sebab yang menjadi motivator hal-hal di atas bisa bersifat relegius, yaitu mengharapkan hasil yang baik, atau motivasi duniawi yang luhurm yaitu rasa malu pelakunya dari sesama manusia.

Maka sudah sangat jelas bahwa jika tidak ada rasa malu, baik kepada Al Khaliq (Allah) maupun kepada makhluk, orang tidak akan melakukannya. Kemudian Ibnul Qayyim –rahimahullah- mengatakan: “Sesungguhnya manusia itu mempunyai pendorong dan pencegah, dari sudut rasa malu. Jika ia mau mengikutinya ia akan mengendalikan dari semua yang menjadi keinginannya, ia juga memiliki pendorng dan pencegah dari sisi selera dan tabiat, maka barang siapa tidak mematuhi perintah rasa malu dan pencegahannya, ia pasti akan mengikuti perintah selera dan tabiatnya.[23]

HADITS NABI TENTANG AL HAYA
Dari Abdullah ibnu Mas’ud ra. Berkata: Rasulullah saw bersabda: ”Malulah kamu semua kepada Allah dengan sebenar-benarnya rasa malu!” Ibnu Mas’ud berkata: Kami bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami telah malu, alhamdulillah”. Rasulullah bersabda: “Bukan itu, tetapi rasa malu kepada Allah yang sesungguhnya adalah: Hendaknya kamu menjaga kepada dan yang menjadi isinya, perut dan isinya, mengingat mati dan kehancuran. Dan barang siapa menghendaki akhirat ia akan tinggalkan hiasan dunia. Maka barang siapa melakukan hal ini ia sungguh telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu. (HR. At Tirmidzi)

Dari Said bin Zaid Al Anshari ra, sesungguhnya ada seseorang yang meminta: “ Ya Rasulallah, berikanlah wasiat kepadaku”. Rasulullah bersabda: “Aku berwasiat kepadamu agar kamu malu kepada Allah swt sebagaimana kamu malu kepada orang shaleh di kaummu”. HR Ahmad dan Al Baihaqi.  
  Dari Abu Ayyub al Anshariy ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pemalu, Maha Mulia. Ia malu jika dari seorang hamba-Nya yang menengadahkan tangannya memohon kepada-Nya kemudian kembali dengan tangan hampa, tidak mendapatkan apa-apa. HR. At Tirimidzi, dan Abu Daud.
Dari Al Asyajj Abdul Qais, berkata: Rasulullah bersabda kepadaku: “Sesungguhnya kamu memiliki dua hal yang Allah mencintainya”. Saya bertanya: “Apa saja dua hal itu?” Rasulullah menjawab: “al hilmu (tidak cepat menghukum) dan rasa malu”. Saya bertanya lagi: “Keduanya sudah lama, atau baru?” Jawab Nabi: “Sudah lama”. Saya mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang Memberikan kepadaku dua hal yang disukainya”. HR. Ahmad, Ibnu Majah. Al Bukhari dan Muslim.

Dari Anas ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlaq dan akhlaq Islam adalah rasa malu”. HR. Ibnu Majah, Malik
Dari Abu Mas’ud Al Badriy ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya ucapan lenabian pertama yang diterima umatnya adalah: Jika kamu tidak malu lakukan apa saja”. HR. Al Bukhariy
Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Iman itu ada tujuh puluh lebih cabangnya, dan rasa malu adalah salah satu cabang iman”. HR. Al Bukhariy, Muslim.
Dari Ummu Salamah ra berkata: Ummu Sulaim pernah datang menemui Rasulullah saw, lalu berkata: “Sesungguhnya Allah tidak malu dari makhluk-Nya. Apakah wanita itu wajib mandi jika bermimpi? Nabi menjawab: Jika melihat ada air (sperma) yang keluar. Kemudian Ummu Salamah menutup wajahnya  dan mengatakan: “Ya Rasulallah: Apa memang wanita juga bermimpi”. Rasulullah menjawab: ”Ya, lalu dari mana ada kemiripan dengan anaknya?”. HR. Al Bukhari dan Muslim.
Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “ Malu adalah sebagian dari iman. Iman itu tempatnya di surga. Dan Ucapan keji/jorok itu itu sebagian dari sikap permusuhan, dan permusuhan itu tempatnya di neraka”. HR. At Tirmidzi dan Al Hakim.
Dari Abdullah ibnu Umar ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Rasa malu dan iman selalu berbarengan, jika ada salah satu terangkat maka terangkat pula yang lainnya”. HR. Al Hakim.
Dari Abu Said al Khudzriy ra berkata: “Rasulullah itu sangat pemalu, melebihi para gadis dalam pingitannya”. HR. Al Bukhari dan Muslim

Dari Abdullah ibnu Umar ra berkata: “Rasulullah pernah melewati seorang Anshar yang sedang menasehati saudaranya tentang malu. Lalu Rasulullah bersabda: “Biarkan ia menasehatinya karena malu itu sebagian dari iman”. HR. Al Bukhari dan Muslim.
Dari Aisyah ra berkata: “Ketika ada berita yang kurang menyenangkan tentang seseorang Rasulullah tidak mengatakan: ”Mengapa kamu kataka ini-ini” Tetapi ia mengatakan dengan global: “ apa yang terjadi pada kaum…..” HR. Ibnu Abid-Dunya.

CONTOH APLIKATIF RASA MALU DALAM KEHIDUPAN NABI MUHAMMAD SAW
Dari Aisyah ra berkata: Suatu saat Rasulullah tidur-tiduran di rumahku, tersingkap kedua paha atau betisnya. Ketika itu Abu Bakar ra meminta izin masuk lalu beliau mengizinkan dengan posisinya itu. Keduanya berbicara, kemudian Umar meminta izin mau masuk dan beliau mengizinkannya tanpa merubah posisinya. Terjadi perbincangan. Kemudian Utsman meminta izin masuk, Rasulullah duduk dan merapikan pakaiannya. Ketika mereka sudah keluar, Aisyah bertanya: “Ketika Abu Bakar masuk engkau tidak merubah posisi, ketika Umar masuk engkau tidak merubah pisisi, tetapi ketika Utsman masuk engkau duduk dan merapikan pakaianmu? Rasulullah menjawab: “Tidakkah aku malu kepada seseorang yang Malaikat malu kepadanya”.  HR. Muslim.

Dari Aisyah ra berkata: “Sesungguhnya ada seorang wanita Anshar  bertanya kepada Nabi: Bagaimana cara mandi dari haidh? Rasulullah menjawab: “Ambillah segumpal kapas kemudian bersihkan tiga kali”. Kemudian Rasulullah malu dan memalingkan wajahnya dengan mengatakan: “Bersihkan dengannya”. Lalu aku (Aisyah) menariknya dan memberitahukan (mencontohkan) kepadanya apa yang Rasulullah maksudkan. HR. Al Bukhari dan Muslim.

ATSAR, UCAPAN ULAMA DAN AHLI TAFSIR TENTANG MALU
Abu Bakar pernah mengatakan saat berkhutbah: “Wahai umat manusia, malulah kamu semua kepada Allah. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya ketika aku buang hajat di tanah lapang, akau menutupkan pakaianku karena malu kepada Tuhanku Yang Maha Agung dan Maha Mulia.[24]
Umar ra berkata: “Barang siapa yang sedikit rasa malunya, maka sedikit pula wara’nya (menghindari dosa saat mampu melakukannya), dan barang siapa yang sedikit wara’nya, maka akan mati hatinya”. [25] 
Ibnu Mas’ud berkata: “Barang siapa yang tidak malu kepada sesama manusia maka ia tidak malu kepada Allah”. [26]
Ali berkata: Saya adalah orang yang mudah keluar madziy, tetapi aku malu menanyakannya kepada Rasulullah saw, lalu aku meminta Al Miqdad ibnu Al Aswad menanyakannya. Dan ketika ia menanyakannya Rasulullah menjawab: “Cukup berwudhu”. [27]
Iyas ibnu Qurrah berkata: Saya pernah berada bersama Umar bin Abdul Azis, ketika itu dibicarakan tentang malu, mereka mengatakan: malu itu sebagian dari agama. Umar berkata: “Bahkan malu itu adalah agama secara keseluruhan”. [28]
Wahb ibnu Munabbih berkata: “Iman itu telanjang dan pakaiannya adalah taqwa, hiasannya adalah rasa malu, dan kekayaannya adalah iffah (menjaga kehormatan diri dari meminta-meminta). [29]
Mujahid berkata: “Orang yang malu dan sombong tidak akan dapat memperlajari ilmu”. Dalam kesempatan lain ia mengatakan: “Jika seorang muslim tidak menemui saudaranya, maka rasa malunya dari saudaranya itu cukup untuk mencegahnya dari perbuatan ma’siat. [30]
Al Hasan Al Bashriy berkata: “Malu dan dermawan adalah dua sisi kebaikan, yang jika berada pada seseorang, maka pasti akan mengangkatnya di sisi Allah swt.[31]  
Al Fudhail bin Iyadh berkata: “Ada lima tanda kerugian, yaitu: keras hati, mata jumud (beku), sedikit rasa malu,cinta dunia, dan panjang angan-angan”.
Ada seorang penyair yang mengatakan:
Jika ujung malam tidak kau takuti
Rasa malu tidak kau miliki
Maka lakukan apa yang kau kehendaki

Demi Allah,
Keindahan hidup tak akan pernah lagi ada
Tiada pula indah dunia
Ketika malu telah tiada

Seseorang akan hidup dengan terhormat
Jika malu masih terawat
Seperti batang kayu tetap kuat
Ketika kulitnya masik melekat [32]
Di antara ungkatan ahli hikmah: “Hidupkanlah rasa malu dengan duduk di sisi orang yang kamu malu kepadanya. Ramaikan hati dengan wibawa dan malu. Ketika kedunya telah pergi meninggalkan hati, maka tidak ada lagi kebaikan yang tersisa”.
Dzunnun Al Mishriy berkata: “Rasa malau itu adalah adanya wibawa di hati, disertai dengan ketakutan masu lalu yang telah kamu lakukan kepada Rabbmu. Cinta itu berbicara, rasa malu membungkam, dan rasa takut menggetarkan”.
Ibnu Abdil Barr, menuturkan dari Nabi Sulaiman as: “ Malu itu adalah struktur iman, maka jika strukturnya berantakan, akan hilang semua isinya”. [33]
Ma’bad Al Juhaini mengatakan tentang firman Allah: “Dan pakaian taqwa itulah yang baik. (QS. 7/ Al A’raf: 26) Pakaian taqwa adalah rasa malu”.
Al Hasan Al Bashri berkata: “Empat hal yang jika dimiliki seseorang maka ia akan sempurna. Dan jika salah satunya dipegangi maka ia akan menjadi yang terbaik di kaumnya, yaitu : Agama yang membimbingnya, akan yang meluruskannya, status sosial yang menjaganya, dan malu yang menuntunnya”. [34]
Al Ashmu’iy berkata: Saya pernah mendengar seorang Arab Badui berkata: Pakaian akhlaq itu ada sepuluh, yaitu: Benar dalam bertutur kata, menjadi teladan yang benar dalam mentaati Allah, memberi kepada peminta, membalas kebaikan orang lain, menyambung silaturrahim, menunaikan amanah, menanggung jawabi tetangga, menanggung jawabi sahabat, menyuguhi tamu, dan menjadika rasa malu sebagai kepala semua itu. [35]
Abu Bakar ibnu Abid-Dunya (penulis kita Makarimul Akhlaq): Kami mulai menulis al haya karena ucapan Ummul Mukminin ra: “Kepala semua kemuliaan akhlaq adalah rasa malu”. [36]
Dari Ka’b Al Akhbar berkata: “Tidak akan pernah ada rasa malu yang melekat pada seseorang sekecil apapun kemudian ia terjilat api neraka”. [37]
 Dari Sulaiman (kemungkinan bin Abdul Malik) berkata: Ketika Allah menghendaki kehancuran seorang hamba, Allah cabut darinya rasa malu. Dan jika rasa malu telah tecabut maka tidak ada lagi yang menempelnya kecuali kebencian yang menjijikkan. [38]
Shalih bin Janah berkata:
Jika air wajah sudah berkurang, maka akan hilang rasa malu
Dan tidak ada kebaikan di wajah yang sedikit airnya.
Dari Ibnu Al A’rabiy, ada seorang Arab badui mengatakan:
Sesungguhnya aku melihat orang yang tidak punya malu dan tidak amanah
Bagikan orang yang telanjang bulat di tengah kerumunan ummat

DI ANTARA MANFAAT MALU
Malu merupakan pilar Iman dan kesempurnaan Islam
Menajuhkan diri dari ma’siyat karena takut cacat di hadapan Allah
Memotivasi untuk patuh kepada Allah karena cinta
Menjauhkan seseorang dari cemoohan dunia dan akhirat
Pokok dari seluruh cabang-cabang iman
Memberikan pakaian kematangan, sehingga tidak melakukan segala sesuatu yang akan merusak harga diri, mampu menghormati orang lain, dan tidak menyakiti orang-orang yang berhak untuk dihormati.
Tidak menghalangi untuk menghadapi ahlul-bathil dan pelaku kejahatan
Bukti kemuliaan diri dan mutu pertumbuhan
Satu dari sifat para nabi, sahabat, dan tabi’in
Orang memiliki sifat malu akan dicatat dalam barisan orang-orang yang dicintai Allah.

 Wallahu a’lam



[1] Manazilussairin, hal. 54
[2] ibid,  hal. 54-55
[3] ibid, hal 55
[4] Riwayat Ibnu Abi Hatim dari Muawiyah ibn Haidah, dan Ibnu Jarir dan Abu As Syaikh, ( Tafsir Ibnu Katsir, I hal. 218
[5] Al Fath I, 52
[6] At Ta’rifat, 94
[7] Riyadhushshalihin 272, Al Fath I, 52
[8] At Tauqif ala Muhimmatitta’arif, 150
[9] Tahdzizbul-Akhlaq, Al Jahizh,
[10] Tahdzibul-Akhlaq fi At Tarbiyah, Ibnu Mikawaih, hal. 17 (dengan sedikti ringkasan)
[11] Dalilul-falihin, III, 158
[12] Al Adab As Syar’iyyah wal Al Munah Al Mar’iyyah, II, hal 227
[13] Riyadhushshalihin, 246
[14] Fadhlullah as Shamad, II, 54
[15] Badzlul-Majuhul, VIII, hal 328 (dengan olah redaksi)
[16] Bashairu dzawit-tamyiz, II hal. 517
[17] Fathul Bariy, X, hal 522-523
[18] At Tauqif ala Mahamit-ta;rif, 150
[19] Al Adab Asy Syar’iyyah wal Munah al Mar’iyyah II, 227
[20] Ad Da’u wa Ad Dawa’u, hal. 131-133
[21] Fadhlullah Ash Shamad, II, hal 54
[22] ibid, II, hal.  691-692
[23] Ringkasan dari kitab Miftah Dar As Sa’adah, Ibnul Qayyim, 277
[24] Makarimul Akhlaq, Ibnu Abid-Dunya, 20
[25] ibid
[26] ibid
[27] ibid
[28] ibid
[29] ibid
[30] ibid, hal 84
[31] ibid, hal 24
[32] Fairuz Abadi, Bashairu Dzawit-Tamyiz, 155, Fadhlullah As Shamad, II, 57
[33] Al Adab Asy Syar’iyyah, II, 227
[34] ibid
[35] Makarimul Akhlaq, Ibnu Abid-Dunya. 40-41
[36] ibid, hal. 61-62
[37] ibid, hal. 83
[38] ibid, hal. 89

No comments:

Post a Comment