Meminta izin dalam Islam
Islam sebagai dien
yang lengkap dan sempurna tentunya tidak akan alpa mengatur sekecil apapun
urusan hidup dan kehidupan manusia. Hal itu telah jelas diatur dan dijamin oleh
pemiliknya, yaitu Allah SWT. Dari urusan yang paling ringan sampai kepada
urusan yang paling berat sekalipun (menurut ukuran manusia), semuanya diatur di
dalam Islam, termasuk juga dalam masalah izin dan perizinan.
Allah SWT di dalam
Kitab Nya yang suci, telah mengatur masalah ini, baik sebagai etika dalam
hubungan sosial kemasyarakatan seperti :
Þ
Lafaz
dan cara meminta izin: 24:61
Þ
Meminta
izin untuk menghindari pandangan (yang dilarang): 24:58
Þ
Meminta
izin di hotel dan tempat-tempat umum: 24:29
Þ
Meminta
izin ketika akan keluar: 24:62
Sampai kepada hal
yang terkait dengan urusan yang sulit, seperti dalam hal peperangan, jihad atau
kerja besar lainnya, QS. at-Taubah : 44-45, 83; an-Nuur : 62-63
"Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta
izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu,
agar kamu (selalu) ingat." QS. 24:27
"Jika kamu tidak
menemui seorangpun didalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat
izin. Dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, maka hendaklah kamu
kembali. Itu bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. "
QS. 24:28
Bagaimana para sahabat ra.
Memberikan contoh tentang masalah ini?
Dari Abu Musa ra., ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: "Minta
izin itu sampai tiga kali. Apabila diizinkan, maka masuklah kamu, dan apabila
tidak diizinkan, maka pulanglah kamu"
(HR.
Bukhari-Muslim)
Dari Sahal bin Sa'ad ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya minta izin itu dijadikan ketentuan karena untuk menjaga
pandangan mata."
(HR. Bukhari-Muslim)
Dari Kildah bin Hanbal ra., ia berkata: "Saya datang ke rumah
Nabi saw. Dan langsung masuk tanpa mengcapkan salam, kemudian Nabi saw.
Bersabda: "Kembalilah, dan ucapkanlah: "Assalaamu'alaikum,
bolehkan saya masuk?"
(HR.Abu Dawud dan Turmudzi, dan dia berkata
hadits ini hasan)
Kita
perhatikan taujih robbani tentang masalah ini :
Ibnu Ishak meriwayatkan
tentang asbabun nuzul 'sebab turunnya' ayat-ayat ini. Disebutkan bahwa setelah
orang-orang Quraisy dan sekutu-sekutu mereka (al ahzab) berhimpun dan
menggalang kekuatan di perang Khandaq (parit), dan setelah Rasulullah mendengar
mereka akan melakukan serangan,…atas ide seorang sahabat 'Salman Al Farisi' …
maka Rosulullah menyuruh untuk menggali parit di sekitar Madinah. Rasulullah
pun ikut terlibat langsung dalam penggalian itu untuk memberikan contoh dan
menyemangati kaum mu'minin untuk mendapatkan pahala. Maka orang-orang yang
beriman ikut serta bersama Rasulullah dan berlomba-berlomba.
Namun ada beberapa
orang munafik yang setengah-setengah dan terlambat datang bersama Rasulullah
dan kaum mu'minin dalam membuat parit itu. Mereka hanya ikut terlibat dengan
sekedarnya dan pekerjaan yang sangat kecil/ringan. Kemudian mereka mencari-cari
celah untuk pergi ke rumah-rumah mereka tanpa sepengetahuan Rasulullah dan juga
tanpa izinnya.
Sementara itu
orang-orang yang beriman bila ada hajat yang harus ditunaikan, dia menyebutkan
hajat itu di hadapan Rasulullah dan meminta izin untuk menunaikan hajatnya
tersebut. Maka Rasulullah pun memberikannya izin. Bila dia selesai menunaikan
hajatnya, maka diapun segera kembali menerusakan pekerjaan mengali parit,
karena ingin mendapatkan pahala dan mengharapkan kebaikan. Allah pun menurunkan
ayat kepada orang-orang beriman itu, sebagaiman ditulis pada surat An Nuur : 62.
"Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada
bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka
tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya
orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang
yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin
kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu
kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Allah berfirman
kepada orang-orang munafik yang mencari-cari celah untuk pergi ke rumah-rumah
mereka tanpa sepengetahuan Rasulullah dan juga tanpa izinnya. Hal ini dapat
dilihat dari ayat 63-nya :
"Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu
seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya
Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu
dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah
Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih."
Apapun sebab
turunnya ayat-ayat ini, ia tetap mengandung adab-adab mental yang mengatur
komunitas orang-orang yang beriman dengan pemimpin mereka. Urusan komunitas
orang-orang yang beriman tidak akan pernah beres sebelum adab-adab ini melekat
dalam perasaan-perasaan, kecenderungan-kecenderungan mereka, dan lubuk-lubuk
hati mereka yang paling dalam. Kemudian adab-adab itu juga harus bersemayam
dalam kehidupan komunitas orang-orang yang beriman, sehingga menjadi panutan
dan aturan yang dipatuhi. Bila tidak tercipta, maka yang akan terjadi adlah
kekacauan yang tiada terhingga.
Dalam ayat 62 tadi
dikatakan bahwa, bukanlah orang beriman, orang-orang yang hanya berkata dengan
mulut mereka, namun tidak membuktikannya dengan tanda-tanda kesejatian
perkataan mereka dan mereka tidak taat kepada Allah dan Rasulullah.
"… apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah
dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan
(Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya…"
Urusan bersama adalah urusan
yang sangat penting, yang membutuhkan keikutsertaan semua komponen dalam
jamaah, untuk mengatasi sebuah pandangan atau peperangan atau pekerjaan umum
yang dilakukan bersama-sama. Orang-orang yang beriman tidak akan pergi
meninggalkannya sampai mereka meminta izin kepada pemimpin mereka. Sehingga
urusan tidak menjadi kacau tanpa kestabilan dan keorganisasian.
Orang-orang yang beriman
dengan iman seperti ini dan berperilaku dengan adab seperti ini, tidak akan
pernah minta izin kecuali untuk sebuah urusan yang sangat darurat dan penting.
Mereka memiliki daya selektivitas dan pencegahan dari iman dan adab mereka yang
menjaga mereka dari bersikap berpaling dari urusan bersama itu yang telah
mengusik hati semua jamaah dan mengharuskan mereka sepakat atas semua keputusan
bersama. Bersama dengan ini, alqur'an tetap meletakkan hak memberi izin atau
tidak, kepada pendapat Rasulullah sebagai pemimpin jamaah. Hal itu dianugerahkan kepada
Rasulullah setelah setiap individu diberi hak yang sama dalam meminta izin.
"… maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena
sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara
mereka…"
(Rasulullah telah
disalahkan oleh Allah karena memberi izin kepada orang-orang munafik
sebelumnya, maka Allah berfirman kepada beliau dalam surah at-Taubah ayat 43,
"Semoga Allah mema'afkanmu. Mengapa kamu memberi izin
kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang
yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang
berdusta?"
Allah memberikan
hak penuh kepada pandangan Rasulullah. Bila beliau ingin mengizinkan, maka hak
beliau untuk mengizinkannya. Dan, bila beliau tidak ingin memberikan izin, juga
merupakan hak hak beliau. Allah menghilangkan perasaan bersalah dari Rasulullah
karena tidak memberikan, walaupun kadangkala di sana ada kebutuhan yang sangat mendesak. Jadi
kebebasan sepenuhnya diberikan kepada pemimpin dalam menimbang antara maslahat
orang tetap berada di tempat tugasnya dan maslahat bila dia pergi
meninggalkannya. Seorang pemimpin diberikan keleluasaan untuk menentukan
keputusan dalam masalah kepemimpinan ini sesuai dengan pandangannya.
Dari sini tersirat
bahwa keputusan untuk meninggalkan kepentingan darurat itu; dan tidak pergi
meninggalkan tugas itulah yang paling utama. Meminta izin dan pergi
meninggalkan tugas dalam kondisi itu merupakan kesalahan yang kemudian membuat
nabi SAW harus memohon ampunan bagi orang-orang yang memiliki uzur.
"…dan mohonkanlah
ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang."
Dengan permohonan
ampunan itu, ia mengikat hati orang-orang yang beriman. Sehingga, mereka tidak
berusaha meminta izin walaupun punya pilihan untuk itu, karena mereka mampu
menguasai uzur yang mendorongnya untuk meminta izin.
Kemudian Allah
memperingatkan orang-orang munafik dari sikap mencari-cari celah dan pergi
meninggalkan Rasulullahtanpa izin, dengan berlindung kepada sebagian teman
mereka yang lain dan saling menyembunyikan diri. Mereka harus yakin bahwa mata
Allah selalu mengintai mereka, walaupun mata Rasulullah tidak melihat mereka.
"…Sesungguhnya Allah
telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan
berlindung (kepada kawannya)…"
Ungkapan itu
menggambarkan tentang upaya melepaskan diri dan mencari-cari celah dari
perhatian majelis. Di situ jelas tergambar ketakutan mereka untuk berhadapan,
serta kehinaan gerakan dan perasaan yang menimpa jiwa-jiwa mereka.
"…maka hendaklah orang-orang
yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang
pedih."
Jadi, ternyata meminta
izin adalah simbol komunikasi yang efektif, sementara komunikasi adalah alat
yang penting dalam bekerja secara kelompok. Kelompok yang membiasakan minta
izin terlebih dahulu, menunjukan pribadi dan kelompok yang solid dan memiliki
aturan main.
Adab minta izin ini
sangat terkait dengan disiplin, sistem, dan aturan jamaah serta ketaatan kepada
pemimpin. Jika kita menyepelekan hal 'meminta izin' ini, maka keinginan menjadi
jamaah yang solid, sulit untuk diwujudkan.
Wallahu a'lam.
No comments:
Post a Comment