AFATUL LISAN
1. MAKNA
AFATUL LISAN
Afatul lisan adalah dua ungkapan kata yang memiliki arti bahaya
lidah, hal ini bukan berarti lidah selalu membawa mudhorat bagi manusia, karena
lidah juga bermanfaat bagi manusia. Dengan lidah seseorang dapat berbicara dan
menyampaikan maksud yang diinginkan. Namun harus disadari pula bahwa betapa
banyak orang yang tergelincir karena lidahnya, akibat ketidak mampuan pemilik
lidah menjaga dari ucapan dan kata-kata yang keluar dari lidah tersebut. Karena
itu sangatlah urgen dalam kehidupan seorang muslim memahami bahaya dari lisan
sebagaimana juga memahami akan manfaat lisan tersebut.
Dua hal penting yang sering diingatkan Islam kepada kita-manusia-
adalah menjaga dan memelihara dengan baik lidah dan tingkah laku. Rasulullah
saw. berpesan kepada kita semua yaitu :
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari
Qiyamat hendaklah berkata yang baik atau diam."
Pesan ini menekankan tentang pentingnya menjaga tutur kata, tidak
mengucapkan hal yang buruk dan menyakiti hati, karena bertutur sembarang tanpa
pikir akan membawa kepada krisis lain yaitu permusuhan, kekacauan bahkan
pertumpahan darah.
Maka dengan menjaga lidah dan tutur kata, dapat dipastikan akan
terjalinnya kehidupan yang tenteram, damai dan sejahtera di
tengah masyarakat sepanjang masa. Dalam konteks inilah Rasulullah saw
berpesan supaya menjaga lidah dan tingkah laku agar tidak mengganggu dan
melampaui batas atau menyentuh hak dan muruah (wibawa) orang lain.
Lidah memang tak bertulang, pepatah itu
menggambarkan betapa sulit mengatur lidah ini. Terkadang dalam tempat-tempat
perkumpulan, keadaan menjadi semakin seru bahkan akan menjadi segar, bila
seseorang menyodorkan gosip 'baru'. Terlebih bila sang pencetus ‘gosip' pernah
merasa dirugikan oleh 'sang calon' pesakitan. Yang ini bisa jadi akan tambah seru.
Dia pernah disakiti, disinggung, dipermalukan, dijahili, ataupun yang serupa
dengan itu. Maka rem lidah benar-benar sering blong.
2.
HAKIKAT LIDAH
Lidah adalah salah satu dari nikmat Allah. Manusia wajib memeliharanya
dari dosa dan kemaksiatan, menjaganya dari ucapan-ucapan yang bisa menimbulkan
penyesalan dan kerugian. Lidah akan menjadi saksi pada hari kiamat.
Allah SWT berfirman :
"Pada hari ketika lidah, tangan dan kaki
menjadi saksi atas mereka terhadap apa-apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. 24:24)
Lidah juga termasuk nikmat Allah SWT yang sangat besar bagi manusia.
Kebaikan yang diucapkannya akan melahirkan manfaat yang luas dan kejelekan yang
dikatakannya membuahkan ekor keburukan yang panjang. Karena dia tidak
bertulang, dia tidak sulit untuk digerakkan dan dipergunakan. Dia adalah alat
paling penting yang bisa dimanfaatkan oleh syaithan dalam menjerumuskan
manusia.
Dalam hadits disebutkan :
"Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata
tanpa dipikirkan yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya
lebih jauh antara timur dan barat". (Muttafaq
‘alaih, dari Abu Hurairah)
Dan lidah juga merupakan sarana mempermudah manusia menyampaikan
maksud yang diinginkan kepada orang yang diajak bicara sehingga dengan itu
orang yang diajak bicara akan memahami maksud dari orang tersebut. Jika lisan tidak
ada maka seseorang akan sulit berbicara dan menyampaikan sesuatu yang
diinginkan kecuali dengan bahasa isyarat.
3. FENOMENA
BAHAYA LISAN
1. Alkalaamu
fimaa laa ya'nihi (Ungkapan yang
tidak berguna)
Nabi Saw. telah bersabda: "Barang siapa mampu menjaga apa yang
terdapat antara dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin
dia masuk surga. ( Muttafaq ‘alaih, dari Sahl bin Sa'ad)
Kita hendaknya hanya mengucapkan sesuatu yang bermanfaat, karena
ucapan yang mubah dapat mengarah kapada hal yang makruh atau haram. Rasulullah
saw bersabda :
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari
akhir maka hendaklah dia berbicara yang baik atau diam". (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)
Bila seseorang telah mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas
segala ucapan lidahnya, maka dia akan tahu bahaya kata-kata yang diucapkan
lidah, dan dia pun akan mempertimbangkan dengan matang sebelum lidahnya
dipergunakan. Allah berfirman :
"Tidak ada satu
ucapan pun yang diucapkan, kecuali di
dekatnya ada malaikat Raqib dan ‘Atid."
(QS.Qoof: 18)
2. Fudhulul Kalaam (Berbicara yang berlebihan)
Lidah memiliki kesempatan yang sangat luas untuk taat kepada Allah
dan berdzikir kepadanya, tetapi juga memungkinkan untuk digunakan dalam
kemaksiatan dan berbicara berlebihan. Semestinya kita mampu mengendalikan lidah
untuk berdzikir dan taat kepada Allah, sehingga bisa meninggikan derajat kita.
Sedangkan banyak berbicara tanpa dzikir kepada Allah akan mengeraskan hati, dan
menjauhkan diri dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Menuju surga cepat dengan lisan, menuju nerakapun cepat dengan
lisan. Lisan bagai ‘jaring' kalau menjaringnya baik akan mendapatkan hasil yang
baik, sebaliknya jika tidak hasilnya akan sedikit dan melelahkan. Kata orang lidah tidak bertulang, maka
lebih senang mengatakan apa-apa tanpa berfikir. Bahaya lidah ini sebenarnya
besar sekali. Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, "Tiada akan
lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus
hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. dan seorang hamba tidak akan memasuki
syurga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya."
Allah telah memberikan batasan tentang pembicaraan
agar arahan pembicaran kita bermanfaat dan berdampak terhadap sesama,
sebagaimana firman-Nya:
"Tidak ada
kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi shodaqoh atau berbuat ma'ruf atau
mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian
karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang
besar." (Annisa :114)
3. Al-khoudh fil baathil (Ungkapan yang mendekati kebatilan dan
maksiat)
Orang-orang sufi lebih tekun menggunakan mulutnya
untuk berdzikir dari pada berbincang-bincang, memperingatkan dengan prihatin;
Manusia paling sering tertimpa bahaya dan paling banyak mendapatkan kesusahan
adalah lidahnya terlepas dan hatinya tertutup. Ia tidak dapat berdiam diri, dan
kalau berkata tidak bisa mengungkapkan yang baik-baik.
Hasan Al Bashri semasa mudanya pernah merayu
seorang wanita cantik di tempat sepi, perempuan itu menegur, "Apakah
engkau tidak malu? "Hasan Al Bashri menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu
mengawasi pula sekelilingnya, setelah ia yakin di tempat itu hanya ada mereka
berdua, dan tidak terlihat siapapun, Hasan Al Bashri bertanya, "Malu
kepada siapa? Di sini tidak
ada orang lain yang menyaksikan perbuatan kita. "Wanita itu menjawab,
"Malu kepada Dzat yang mengetahui khianatnya mata dan apa yang disembunyikan
di dalam hati "
Lemas sekujur tubuh Hasan Al Bashri. Ia menggigil
ketakutan hanya karena jawaban sederhana itu, sehingga ia bertobat tidak ingin
mengulangi perbuatan jeleknya lagi. Karena itulah Rasulullah saw. mengingatkan,
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, ucapkanlah yang
bermanfaat, atau lebih baik diam saja".
4. Al-Miraa' wal-jidaal (Berbantahan, bertengkar dan debat kusir).
Jidaal adalah menentang ucapan orang lain guna
menyalahkan secara lafadz dan makna. Perdebatan dalam isu-isu agama dan ibadah
tidak banyak faedah yang didapat kecuali jika dilangsungkan dengan etika debat
yang benar, saling menghormati antar peserta dan dengan kekuatan ilmiah yang
meyakinkan. Biasanya debat yang tidak dikawal oleh akhlak lebih banyak
mengundang kepada pertengkaran dan permusuhan yang merugikan.
Tidak dinafikan debat merupakan salah satu uslub
(cara) yang sangat efektif dan berkesan dalam menyebarkan Islam, dakwah dan
kebenaran, tetapi ia adalah langkah ketiga dan terakhir, yaitu setelah terjadi
kebuntuan dimana pendekatan dengan hikmah dan nasihat/pengajaran yang
baik tidak berhasil. Itupun dilangsungkan dengan akhlak dan adab yang tinggi.
Allah berfirman :
"Serulah ke
jalan Tuhanmu wahai Muhammad dengan hikmat kebijaksanaan dan nasihat pengajaran
yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik" (Al-Nahl: 125).
Ayat diatas meletakkan debat pada tempat terakhir,
yaitu selepas pendekatan hikmah dan nasihat yang baik. Debat menjadi langkah
terakhir, bukan karena kurang berkesan atau tidak ada faedahnya, tetapi karena
kesukaran mematuhi aturan, akhlak, adab-adabnya.
Debat selalu dirusak oleh tidak adanya ikhlas
antara dua kubu yang terkait. Pendebat selalu menginginkan kemenangan sekalipun
ia tidak mempunyai hujjah. Pendebat tidak bersedia mengalah, sekalipun ternyata
ia berada pada pihak yang salah. Pendebat akan memilih untuk berkata ‘ya'
apabila lawan berkata ‘tidak' dan berkata ‘tidak' apabila lawan berkata ‘ya'.
Debat selalu dikuasai oleh pihak yang handal
bercakap, sekalipun tidak berisi. Keadaannya bagaikan dua pasukan pemain sepak
bola yang masing-masing mempunyai ‘suporter' yang tidak pernah mengaku kalah
sekalipun tidak pernah bermain. Kalaupun ada yang mengaku, tetapi hanya dalam
gelanggang, di luar belum tentu. Begitulah debat yang tidak berakhlak dan biasa
kita saksikan.
Etika debat yang perlu dipatuhi untuk menghasilkan
natijah yang baik bahkan sekaligus debat disifatkan sebagai terbaik ialah:
1. Hindari penggunaan bahasa yang rendah,
tindakan yang kasar dan tidak menghormati pemikiran lawan. Jika perlu, adakan
penengah untuk menengahi perjalanan debat. Penengah perlu diberi hak memberi
kartu kuning atau merah, bahkan ‘menskor' pendebat yang melanggar disiplin
debat dan aturan.
2.
Hendaklah
lebih banyak mencari titik persamaan antara kedua belah pihak. Kurangi usaha
mencari titik perbedaan. Lebih banyak persamaan yang ditemui, lebih banyak
hasil yang diperoleh. Arahkan sepenuhnya kepada titik-titik persamaan.
Debat al-Quran yang berlangsung antara Nabi s.a.w.
dengan Yahudi dan Nashara bahkan dengan kaum musyrikin menjadi contoh untuk
dipelajari, disiplin, akhlak dan etikanya. Dikemukakan di sini debat antara
Nabi dengan musyrikin dalam ayat 24-26 surah Saba' yang bermaksud; Allah
berfirman :
"Bertanyalah
wahai Muhammad, siapa yang memberi rezeki kepada kamu dari langit dan bumi ?
Terangkanlah jawabnya ialah Allah. Sesungguhnya tiap-tiap satu golongan, sama
ada kami atau kamu tetap di atas hidayat atau tenggelam dalam kesesatan.
Katakanlah : Tuhan akan menghimpunkan kita semua pada hari kiamat, kemudian
akan menyelesaikan krisis di antara kita dengan penyelesaian yang benar."
Debat nabi-nabi jelas beretika dan halus budi
bahasanya. Setiap patah kata dalam ungkapannya dapat menjadi contoh bagi
para da'i yang mencintai kebenaran. Tetapi sayang, sebagian pendebat sekarang
banyak menyimpang jauh dari panduan nabi-nabi, mereka berdebat seolah-olah
berperang. Segala isu yang muncul dalam dakwah, besar kemungkinan ada
persamaannya dalam politik.
5. Al-Khushumah istifa-ulhaq (Banyak omong yang berlebih-lebihan ingin mendapatkan haknya).
Mulutmu
harimaumu. Pepatah ini mengingatkan kita agar lebih hati-hati
dalam berucap dan mengeluarkan pernyataan. Bahwa sumber dari segala bencana di
dunia ini bukan pada bencana alam, letusan gunung berapi, banjir, ataupun gempa
bumi, melainkan bersumber pada mulut kita sendiri.
Rasulullah saw bersabda : "Orang yang amat dibenci di sisi
Allah adalah orang yang banyak omong." (al hadits)
Menurut ilmu kedokteran, dalam tubuh manusia
terdapat banyak lubang, tetapi di antara lubang-lubang itu, hanya lubang mulut
yang paling banyak mengandung virus. Ada lubang telinga, lubang hidung, bahkan
lubang saluran pembuangan kotoran, tetapi semua itu tidak ada artinya jika
dibandingkan dengan lubang mulut. Mulut manusia memang berbisa.
Secara lahiriyah mulut manusia itu mengandung
banyak virus, terlebih secara batiniah. Itulah sebabnya, ketika Rasulullah
didatangi seseorang yang hendak menanyakan tentang Islam dengan satu pertanyaan
yang tidak perlu dan disusul dengan pertanyaan lainnya, maka Rasulullah memberi
jawaban singkat :
Katakanlah aku beriman kepada Allah, kemudian
beristiqamalah. Sahabat tersebut bertanya, dengan cara apa kami memeliharanya?
Rasulullah memberi isyarat kepada lisannya.
6. Al Mizaah (Bercanda
dan senda gurau)
Rasullullah acapkali bercanda. Rasullullah saw. Bersabda
:
"Sesungguhnya
saya (Nabi Muhammad saw) suka bersendagurau dan saya tidak akan mengatakan
kecuali yang benar-benar."
Seperti kisah Rasullullah bersama seorang nenek
yang menanyakan apakah si dia (nenek) akan masuk surga. Dan dijawab Rasul saw,
bahwa hanya orang muda saja penghuni syurga. Si nenek pun terkejut, dan
akhirnya Rasullullah menerangkan bahwa biarpun orang tua akan menjadi muda
kembali bila masuk surga.
Rasullullah saw. Bersabda : "Sesungguhnya
engkau (hai ibu tua) tidak lagi berupa seorang tua-bangka pada waktu itu (yakni
setelah masuk syurga). Karena Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya Kami
menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung ". Maksudnya :
tanpa melalui kelahiran dan langsung menjadi gadis. "Dan Kami jadikan
mereka gadis-gadis perawan"
Pada hadits tersebut dan hadits-hadits yang lain,
banyak menceritakan bagaimana Rasullullah saw. bercanda, dan sesungguhnya
bercanda yang benar saja yang diperbolehkan. Beberapa dai banyak yang
menggunakan banyolan-banyolan dalam penyampaian dakwahnya, terkadang sudah
keterlaluan. Padahal Islam adalah agama yang serius, bukan dijadikan bahan
tertawaan. Masyarakat yang mendengar dai-dai ini berbanyol, hanya mendapatkan
ketawanya saja, sedangkan ilmunya hilang terbawa gelak tawanya. Dan sesungguhnya
Allah sangat murka pada sesuatu yang berlebihan, termasuk tertawa. Padahal
dalam suatu hadits yang menyebutkan bahwa sesungguhnya bercanda itu
menyempitkan hati. Di hadist tsb, menerangkan bahwa Rasullulllah tak pernah
terlihat palate (langit-langit tenggorokan)-nya bila beliau sedang ketawa,
hanya senyuman-lah yang selalu menghiasi pribadi beliau saw.
7. Bidza'atul lisan wal qoulul faahisy was-sab (Ungkapan yang menyakitkan /nyelekit)
Secara sadar atau tidak banyak kita jumpai
perkataan yang menjurus kepada mencaci, menghina, merendahkan, mengejek dan
mempermainkan nama Allah, sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya,
ayat-ayat-Nya dan hukum-hukum-Nya serta hukum-hukum yang diterangkan oleh
rasul-Nya. Dan juga perkataan yang menolak, menafikan dan mengingkari segala
perkara dari ‘alim ulama' dimana semua orang tahu bahwa perkara itu dari agama.
Mislanya seperti katanya mengenai mana-mana hukum
Islam:
- "Hukum
apa ini?"
- "Hukum
ini sudah usang."
- "Zaman
sekarang tidak pantas diharamkan riba karena menghalangi kemajuan."
- "Dalam
zaman yang serba maju ini kaum wanita tak perlu dibungkus-bungkus."
- "Berzina
jikalau suka sama suka apalah haramnya?"
- "Minum
arak kalau dengan tujuan hendak menyehatkan badan untuk beribadat apalah
salahnya?"
- "Berjudi
kalau masing-masing sudah rela menerima untung ruginya apa salahnya?"
- "Kalau
diberlakukan hukum-hukum Islam sampai kiamat kita tak maju-maju."
- "Ini
perbuatan tidak beradab' - diceritakan bahwa Nabi Muhammad saw.
setelah makan: menjilat sisa makanan di jarinya.
Untuk itu Imam Al Bashri mengemukakan bahwa lidah
orang berakal itu terletak dibelakang akalnya. Jika ia hendak berkata,
dipikirkannya lebih dahulu. Kalau perkataan itu kira-kira bakal bermanfaat
baginya, ia akan mengucapkannya,. Kalau dirasakannya akan membahayakan dirinya,
ia memilih diam. Sedangkan hati orang dungu terletak dibelakang lidahnya. Jika
ia mau berkata, langsung saja diucapkannya. "Apalagi mengatakan yang tidak
pernah dikerjakan, dan membungkus keburukan hati dan keculasan perangai dengan
ucapan indah yang berbunga-bunga. Barangkali manusia dapat dikelabui, tetapi
apakah Allah swt. dapat ditipu?
8. Al La'nu (Melaknat, walaupun binatang atau benda, apatah lagi manusia)
Akhir-akhir ini kebiasaan melaknat (mengutuk)
banyak merebak di tengah-tengah masyarakat, baik yang tua maupun yang muda,
laki-laki maupun wanita, dewasa maupun anak-anak, sehingga didapati seseorang
melaknat anaknya, saudaranya, tetangganya, bahkan melaknat kedua orang tuanya
dengan mengatakan, "Terlaknatlah kedua orang tuaku atau terlaknatlah
ibuku, aku akan melakukan ini dan ini (seperti terkutuk bapakku jika aku tidak
melakukan ini dan ini)." Biasanya dipakai untuk mengancam atau menantang.
Tidak diragukan lagi ucapan seperti itu adalah
ucapan keji dan mungkar yang tidak mendatangkan ridha Allah , seperti dalam
firman-Nya :
"Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar
mengawasi." (al-Fajr
: 14)
Dan firman Allah :
"Dan katakanlah
kepada hamba-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik,
sesungguhnya syaithan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka." (Al-Isra : 53)
Dan beberapa hadits Nabi yang melarang hal
tersebut di antaranya: Hadits Abu Dawud Tsabit bin ad-Dhahak berbunyi : ”Melaknat
seorang mukmin adalah seperti membunuhnya." (Mutafaqun ‘alaihi)
Hadits dari Abu Hurairah berbunyi : "Tidak
pantas bagi seorang shiddiq (orang yang mengikuti kebenaran) menjadi tukang
laknat." (HR Muslim)
Dan Hadits dari Abu Darda' berbunyi : "Tukang-tukang
laknat tidak akan menjadi pemberi syafaat dan pemberi kesaksian pada hari
kiamat." (HR Muslim)
Hadits Abdullah bin Mas'ud berbunyi : "Seorang
mukmin bukanlah tukang cela dan tukang laknat dan bukanlah orang yang suka
berkata keji lagi kotor." (HR Tirmidzi) ; Hadits ini dicantumkan oleh
Syaikh al-Albani di dalam kitab beliau Shahih Jami' Tirmidzi no 610 dan
Silsilah Hadits Shahih no 320
Di dalam Silsilah Hadits Shahih tercantum
sebuah hadits yang berbunyi : "Apabila sebuah laknat terucap dari
mulut seseorang, maka ia (laknat itu) akan mencari sasarannya. Jika ia tidak
menemukan jalan menuju sasarannya, maka ia akan kembali kepada orang yang
mengucapkannya."
Hakekat laknat adalah menjauhkan sesuatu dari
rahmat Allah. Seseorang yang melaknat berarti telah menyatakan bahwa sesuatu
telah dijauhkan dari rahmat Allah, padahal itu termasuk perkara gaib, tidak ada
yang mengetahuinya kecuali Allah Maka perbuatan seperti ini termasuk berdusta
dan mengada-ada atas nama Allah Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ia
berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda,
"Dahulu kala ada dua orang Bani Israil yang bersaudara. Salah seorang di antara keduanya sering berbuat dosa, sedangkan yang lain tekun beribadah. Yang tekun beribadah selalu mendapati saudaranya berbuat dosa, ia berkata, ‘Tahanlah dirimu dari perbuatan dosa!' Pada suatu hari, ia melihat hal serupa, ia berkata, ‘Tahanlah dirimu.' Saudaranya berkata, ‘Biarkan aku bersama Rabbku! Apakah engkau diutus sebagai pengawasku?' Maka ia pun berkata kepada saudaranya tersebut, ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu atau demi Allah, Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga.' Kemudian ruh keduanya dicabut, lalu bertemu kembali di hadapan Allah Rabbul ‘Alamin. Allah berkata kepada yang tekun beribadah, ‘Apakah engkau mengetahui tentang Aku? Atau apakah engkau berkuasa atas apa yang ada ditangan-Ku?' Kemudian Allah berkata kepada saudaranya, ‘Masuklah ke dalam surga dengan rahmat-Ku.' Dan Allah berkata kepadanya, ‘Seret ia ke neraka!'"
"Dahulu kala ada dua orang Bani Israil yang bersaudara. Salah seorang di antara keduanya sering berbuat dosa, sedangkan yang lain tekun beribadah. Yang tekun beribadah selalu mendapati saudaranya berbuat dosa, ia berkata, ‘Tahanlah dirimu dari perbuatan dosa!' Pada suatu hari, ia melihat hal serupa, ia berkata, ‘Tahanlah dirimu.' Saudaranya berkata, ‘Biarkan aku bersama Rabbku! Apakah engkau diutus sebagai pengawasku?' Maka ia pun berkata kepada saudaranya tersebut, ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu atau demi Allah, Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga.' Kemudian ruh keduanya dicabut, lalu bertemu kembali di hadapan Allah Rabbul ‘Alamin. Allah berkata kepada yang tekun beribadah, ‘Apakah engkau mengetahui tentang Aku? Atau apakah engkau berkuasa atas apa yang ada ditangan-Ku?' Kemudian Allah berkata kepada saudaranya, ‘Masuklah ke dalam surga dengan rahmat-Ku.' Dan Allah berkata kepadanya, ‘Seret ia ke neraka!'"
Abu Hurairah berkata, "Demi Dzat yang jiwaku
ada di tangan-Nya, orang tersebut telah mengatakan sebuah kalimat yang
menghancurkan dunia dan akhiratnya." (HR Abu Dawud dengan sanad hasan)
Cobalah perhatikan kalimat yang diucapkan oleh seorang ahli ibadah tadi
ternyata lebih besar daripada dosa yang dilakukan saudaranya, karena ia berani
bersumpah atas nama Allah. Hanya Allah sajalah yang dimintai pertolongan-Nya.
Merupakan musibah besar jika seseorang berani melaknat ibunya. Para sahabat
sempat menganggap mustahil perbuatan seperti itu, lalu Rasulullah menjelaskan
maksudnya kepada mereka, yaitu dengan mencela ayah ibu orang lain hingga orang
tersebut mencaci ayah ibunya.(Muttafaqun ‘alaihi)
9. Al Ghina' wasy-syi'r (Bernyanyi dan bersyair)
Allah berfirman :
"Dan di antara
manusia (ada) yang mempergunakan lahwul hadits untuk menyesatkan (manusia) dari
jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu bahan
olok-olokan." (Luqman: 6)
Mengenai ayat ini Ibnu Abbas ra berkata bahwa
Lahwal hadist dalam ayat ini berarti "Nyanyian". Ibnu Mas'ud r.a
menerangkan bahwa Lahwal hadist itu adalah al-Ghina (nyanyian).
Allah berfirman :
"Maka apakah
kamu merasa heran dengan pemberitaan ini dan kamu mentertawakan dan tidak
menangis sedang kamu bernyanyi-nyanyi." (An-Najm : 59-60)
Kata Ikrimah r.a dari Ibnu Abbas r.a bahwa kata
"As-Sumud" dalam akhir ayat ini berarti Al-Ghina menurut dialek
Himyar. Dia menambahkan bahwa jika mendengar Al-Qur'an dibacakan, mereka
bernyanyi-nyanyi, maka turunlah ayat ini.
Dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dari sahabat Abi Amir dan Abi Malik Al Asy'ari Rasulullah saw
bersabda : "Akan muncul dari kalangan ummatku sekelompok orang yang
menghalalkan farj (perzinahan), sutera, khamar dan alat-alat musik."
(lihat Fatul Bari, 10/51).
Nyanyian dan musik merupakan dua pintu yang
dilalui setan untuk merusak hati dan jiwa. Kaitannya dengan hal itu, Imam
Al-Hafiz Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: "Diantara tipu daya setan -
musuh Allah - dan diantara jerat yang dipasangnya untuk orang yang sedikit
ilmu, akal dan agamanya, sehingga orang yang bersangkutan tersebut terjebak
kedalamnya untuk mendengarkan kidung dan nyanyian yang diiringi musik yang
diharamkan. Satu hal yang mengherankan adalah sebagian manusia yang mengaku memiliki
konsentrasi untuk ibadah justru telah menjadikan nyanyian, tarian dan lagu-lagu
lain sebagai wahana untuk beribadah sehingga mereka meninggalkan Al-Qur'an.
Ibnu Qayyim dalam kitabnya "Ighatsatul-Lahfan
min Mashayidisy-Syaithan" menamai nyanyian seperti itu dengan sepuluh
nama, yaitu: lahwun (main-main), laghwun (pekerjaan sia-sia), zuur
(kebathilan), muka (siulan), tasydiah (tepuk tangan), ruqyatuz-zina (jimat
dalam perzinahan), pedomannya setan, penumbuh nifak didalam hati, suara
kedunguan, suara yang penuh dosa, suara setan atau seruling setan.
Ada beberapa nyanyian yang diperbolehkan yaitu :
Menyanyi pada hari raya. Hal itu berdasarkan hadits A'isyah: "Suatu ketika
Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam masuk ke bilik 'Aisyah, sedang di sisinya
ada dua orang hamba sahaya wanita yang masing-masing memukul rebana (dalam
riwayat lain ia berkata: "... dan di sisi saya terdapat dua orang hamba
sahaya yang sedang menyanyi."), lalu Abu Bakar mencegah keduanya. Tetapi
Rasulullah malah bersabda: "Biarkanlah mereka karena sesungguhnya
masing-masing kaum memiliki hari raya, sedangkan hari raya kita adalah pada
hari ini." (HR. Bukhari)
Menyanyi dengan rebana ketika berlangsung pesta
pernikahan, untuk menyemarakkan suasana sekaligus memperluas kabar
pernikahannya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : "Pembeda
antara yang halal dengan yang haram adalah memukul rebana dan suara (lagu) pada
saat pernikahan." (Hadits shahih riwayat Ahmad). Yang dimaksud di sini
adalah khusus untuk kaum wanita. Nasyid Islami (nyanyian Islami tanpa diiringi
dengan musik) yang disenandungkan saat bekerja sehingga bisa lebih
membangkitkan semangat, terutama jika di dalamnya terdapat do'a.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
menyenandungkan sya'ir Ibnu Rawahah dan menyemangati para sahabat saat menggali
parit. Beliau bersenandung: "Ya Allah tiada kehidupan kecuali kehidupan
akherat maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin." Seketika kaum Muhajirin
dan Anshar menyambutnya dengan senandung lain: "Kita telah membai'at
Muhammad, kita selamanya selalu dalam jihad." Ketika menggali tanah
bersama para sahabatnya, Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga bersenandung
dengan sya'ir Ibnu Rawahah yang lain: "Demi Allah, jika bukan karena
Allah, tentu kita tidak mendapat petunjuk, tidak pula kita bersedekah, tidak
pula mengerjakan shalat. Maka turunkanlah ketenangan kepada kami, mantapkan
langkah dan pendirian kami jika bertemu (musuh) Orang-orang musyrik telah
mendurhakai kami, jika mereka mengingin-kan fitnah maka kami menolaknya."
Dengan suara koor dan tinggi mereka balas bersenandung "Kami menolaknya,
... kami menolaknya." (Muttafaq 'Alaih)
10. Attaqo'ur fil kalaam
(Berfasih-fasih dalam berbicara untuk menarik perhatian)
Salah satu modal untuk dapat diterima dalam
menjalin hubungan dengan orang lain adalah menarik perhatian. Untuk itu kerap
kali orang berakting untuk mendapatkan perhatian orang lain. Namun kadang orang
sering kebablasan dalam akting yang dimainkan, sehingga sering dijuluki over
acting, sok gagah, sok fasih. Misalnya saja ada orang yang sering menggunakan
action Inggris untuk menunjukkan bahwa dia dapat berbahasa Inggris. Atau dengan
action Arab untuk menunjukkan dia dapat berbahasa Arab, walaupun pada
kenyataannya tidak. Pernah dalam kampanye Pemilu seorang jurkam sebuah parpol
besar (dengan penuh semangat berpidato di hadapan massanya) berkata,"
Saudara-saudara parpol kami sangat berempati dan antonius dengan nasib rakyat
jelata..." (Maksudnya mungkin antusias).
11.Ifsyaa'ussirri (Membocorkan rahasia)
Mudrik bin 'Aun Al-Ahmas berkata : "Ketika
aku berada di sisi Umar radhiyallahu 'anhu, datanglah utusan An-Nu'man. Umar
radhiyallahu 'anhu pun menanyakannya tentang keadaan pasukan. Utusan itu
menyebutkan orang-orang yang terluka dan terbunuh di Nahawand, ia berkata:
"Si Fulan bin Fulan, Fulan bin Fulan dan lain-lain yang tidak engkau
kenal. Umar radhiyallahu 'anhu berkata : "Akan tetapi Allah Subhanahu wa
Ta'ala mengetahui mereka." Dalam riwayat lain disebutkan: "Akan
tetapi Dzat Yang telah mengkaruniakan mereka syahadah (mati syahid) mengetahui
wajah dan nasab mereka."
Hubungan istri adalah hubungan yang khas, dimana
keduanya bisa saling meleburkan diri menjadi satu kesatuan. Di sana ada cinta,
juga kasih dan sayang. Karenanya, dalam kehidupan suami istri pasti terjadi
hubungan intim yang tidak ada orang lain yang mengetahuinya, kecuali mereka
berdua. Saat-saat itu suami mencurahkan segala kasih sayangnya kepada istri,
demikian juga sebaliknya.
Hubungan yang demikian, sekalipun berbaur antara
cinta dan nafsu tapi Allah telah mensakralkannya. Hubungan itu suci dan
berpahala. Hunbungan itu baru ternoda jika ada salah seorang di antaranya, baik
suami atau istri yang membuka rahasia mereka berdua kepada orang lain. Baik
karena ingin mengungkapkan rasa bahagianya maupun karena rasa kecewa.
Membuka rahasia rumah tangga kepada pihak lain
sama sekali tidak mendatangkan keuntungan, justru bencana dan malapetaka. Rumah
tangga bisa berantakan karena salah satu pihak merasa tersinggung dan terhina
karenanya. Kehidupan rumah tangga terganggu, bahkan tidak tertutup kemungkinan
jika kemudian masalahnya berkembang sampai akhirnya terjadi perceraian.
Jika anggota badan yang terluka bisa dijahit dan
diperban. Akan tetapi jika hati yang terluka bisa dibawa sampai mati. Hari ini
bisa ditekan, tapi besok bisa muncul kembali. Itulah sebabnya kenapa kita harus
menjaga rahasia istri atau suami.
Dari Abu Said Al-Khudri ra beliau berkata:
Rasulullah saw bersabda : "Sesungguhnya sejelek-jelek orang di sisi
Allah pada hari qiamat kelak adalah suami yang sudah mencurahkan segala kasih
sayangnya kepada istrinya dan istrinya pun sudah menyerahkan segala kasih
sayangnya kepadanya, kemudian dia (suami) menyebarkan rahasia istrinya (dan
istrinya membuka rahasia suaminya).” (HR. Muslim)
12. Alkadzibu (Dusta atau berbohong dalam perkataan, janji dan sumpah)
Allah SWT berfirman
"Hendaklah kita
menjauhi perkataan-perkataan dusta." (Al-Hajj : 30)
Dalam peribahasa mengatakan, "kerana lidah
(mulut) badan binasa" ini mengingatkan kita untuk hidup dalam
suasana yang tenteram, aman dan damai, hendaklah diawasi lidah kerana melalui
tutur kata akan menjadi lebih benar, beradab dan bahasanya lebih santun.
Suka berbohong bukan saja menimbulkan kemarahan
orang yang mendengarnya, malah menimbulkan implikasi buruk kepada si pembohong
itu sendiri. Dari Abu Hurairah r.a. katanya Rasulullah s.a.w. bersabda :
"Tidak beriman seseorang dengan sempurna sehingga ditinggalkan
pembohongan walaupun senda gurau, bersengketa atau perbalahan."
Tabiat suka berbohong termasuk dalam kategori dosa
besar setelah syirik (menyekutukan Allah) dan durhaka terhadap kedua orang tua.
Ini ditegaskan dalam sabda Rasulullah saw : "Maukah aku tunjukkan
perihal dosa-dosa besar? Kami menjawab: Ya, tentu mau wahai Rasulullah.
Rasulullah menjelaskan: Menyektukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua. Oh
ya, (ada lagi) yaitu perkataan dusta." (Riwayat Muttafaq Alaih)
Berkata Imam Nawawi di kitabnya Al-Adzkar (halaman
326): "Ketahuilah! Sesungguhnya menurut madzhab Ahlus Sunnah bahwa dusta
itu ialah : Mengkabarkan tentang sesuatu yang berlainan (berbeda/menyalahi)
keadaannya. Baik dilakukan dengan sengaja atau karena kebodohan (tidak
sengaja), akan tetapi tidak berdosa kalau karena kebodohan (tidak sengaja) dan
berdosa kalau dilakukan dengan sengaja".
13. Al Ghiibah (Menceritakan keburukan orang lain)
Dalam sebuah perjalanan ke suatu daerah, para
sahabat diatur agar setiap dua orang yang mampu, membantu seorang yang tak
mampu (tentang makan-minum). Kebetulan Salman Al Farisi diikutkan pada dua
orang, tetapi ketika itu ia lupa tidak melayani keperluan keduanya. Ia disuruh
minta lauk pauk kepada Rasulullah saw. Dan setelah ia berangkat, keduanya
berkata, "Seandainya ia pergi ke sumur, pasti surutlah sumurnya."
Sewaktu Salman menghadap, beliau bersabda,
"Sampaikan kepada kedua temanmu bahwa kalian sudah makan lauk
pauknya." Setelah ia menyampaikan kepada mereka berdua, lalu keduanya
menghadap kepada Nabi saw dan katanya, "Kami tidak makan lauk pauk dan
seharian kami tidak makan daging." Kemudian Rasulullah bersabda,
"Kalian telah mengatakan saudaramu (Salman) begini-begitu. Maukah kalian
memakan daging orang mati?" Mereka menjawab, "Tidak!" "Jika
kalian tidak mau makan daging orang mati, maka janganlah kalian ghibah
mengatakan kejelekan orang lain, sebab yang demikian itu berarti memakan daging
saudaranya sendiri."
Menurut Ibnu Abbas, kisah tersebut yang
melatarbelakangi diturunkannya surat Al-Hujarat : 12
"Hai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (buruk), karena setengahnya itu
dosa, dan janganlah menyelidiki kesalahan orang lain, dan jangan pula setengah
kamu menggunjing (ghibah) atas sebagian yang lainnya. Maukah seseorang di
antara kamu makan daging saudaranya yang mati? Pasti kamu jijik (tidak mau).
Bertaqwalah kepada Allah, bahwasannya Allah menerima taubat lagi
Penyayang."
Dari Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari An-Naufal,
dari Al-Sakkuni, dari Abu Abdillah ra berkata: Rasulullah SAW bersabda : ”Kerusakan
yang dilakukan oleh ghibah (mengumpat/memfitnah) pada iman seorang mukmin lebih
cepat daripada kerusakan yang disebabkan oleh penyakit aklah (penyakit yang
memakan daging di tubuh manusia) pada tubuhnya.”
Diriwayatkan dari Abu Dzar berkata: Ya Rasulullah,
apakah ghibah itu? Rasul menjawab : ”Menyebutkan tentang saudaramu akan
sesuatu yang membuat dia merasa jijik.” Aku berkata: Ya Rasulullah,
bagaimana jika hal tersebut memang ada pada dirinya? Rasul menjawab:
Ketahuilah, bahwa menyebut tentang sesuatu yang memang ada pada dirinya, berarti
kamu telah mengumpatnya. Abu Dzar berkata : Nabi SAW bersabda : Ghibah
merupakan suatu dosa yang lebih besar daripada berzina. Kataku : Bagaimana itu,
ya Rasulullah? Rasul menjawab : ”Itu karena orang yang berzina, jika dia
bertobat kepada Allah, Allah menerima tobatnya. Namun ghibah tidak diampuni
oleh Allah, hingga korban daripada ghibah mengampuninya.”
14. Al-madhu (Sanjungan yang menjerumuskan)
Imam Ats-Tsauri menuturkan: "Apabila engkau
bukan termasuk orang yang takjub terhadap diri sendiri, hal lain yang perlu
diingat ialah; hindarilah sifat senang disanjung orang." Maksudnya bukan
orang lain tidak boleh memuji perbuatanmu itu, tetapi janganlah kamu meminta
pujian dari orang lain. Hendaknya engkau selalu berhubungan dengan Allah
Subhanahu wa Ta'ala (dengan selalu mengingatnya).
Dalam sebuah hadits disebutkan : "Barangsiapa
yang mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta'ala, meskipun menimbulkan kemarahan
manusia, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meridhainya dan akan membuat
manusia ridha terhadapnya. Dan barangsiapa yang mencari kesenangan manusia,
hingga membuat Allah murka maka Allah murka kepadanya dan membuat manusia murka
terhadapnya." (HR. At-Tirmidzi).
Jenis pujian lain adalah memuji diri sendiri atas
kekurangan yang ada padanya. Ini termasuk rekomendasi terhadap diri sendiri.
Sebagian orang sengaja memuji diri sendiri di hadapan orang banyak. Padahal
Allah SWT telah berfirman :
"Janganlah kamu menganggap diri kamu
suci" (An-Najm: 32).
Dan perbuatan tadi termasuk menganggap suci diri
sendiri. Rabbah Al-Qaisi pernah ditanya: "Apakah yang dapat merusak amalan
seseorang?" Beliau menjawab: "Sanjungan orang dan lupa terhadap Allah
Subhanahu wa Ta'ala yang telah memberi nikmat"
Seorang penyair berkata:
Sungguh aneh orang yang memuji dirinya
sendiri
Namun tidak menyadari bahwa pujiannya itu
sendiri adalah kekurangan dirinya
Seorang pemuda memuji diri atas kekurangan
yang ada padanya,
Menyebut-nyebut aibnya sendiri hingga
diketahui kejelekannya
Pujian sesekali perlu diberikan. Hal ini membuat
orang lain berusaha untuk bekerja lebih baik lagi. Karena, pada dasarnya semua
orang mendambakan penghargaan walaupun hanya berupa kata-kata pujian.
Rasulullah saw. memberikan reward kepada para
sahabatnya selalu disertai doa. Misalnya Saad Bin Abi Waqash pernah didoakan
Rasulullah tentang dua hal yaitu kalau berdoa pasti dikabulkan Allah dan kalau
memanah pasti kena sasaran. Inilah sanjungan yang dilandasi persahabatan yang
dibangun atas dasar cinta kepada Allah.
Biasanya kita dapati pada masyarakat yang budaya
paternalistiknya sangat kuat; budaya ‘Asal Bapat Senang'; budaya Yes Man dan
sebagainya. Berbagai gelar, acap kali disematkan sebagai tanda loyalnya bawahan
terhadap atasan, misalnya Bapak Revolusi, Wali ul Amri, Bapak Pembangunan dan
banyak bentuk-bentuk sanjungan yang pada akhirnya justru akan menghancurkan
orang tersebut. Seperti Firaun yang selalu disanjung, dipuja oleh rakyatnya dan
pada gilirannya Firaun mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan. Dan kita tahu
bagaimana akhir dari kehidupan Firaun itu sangat tragis dan mengenaskan. Dan
hanya Allah yang pantas mendapat segala jenis sanjungan dan pujian.
15. Assukhriyah wal istihza' (Menyebutkan hal yang bikin malu - kejelekan diceritakan untuk ditertawakan)
Menjelang perpisahannya dengan Nabi Musa as, Nabi
Khidir as, memberi nasihat, "Hai Musa, janganlah terlalu banyak bicara,
dan jangan pergi tanpa perlu, dan jangan banyak tertawa, juga jangan
mentertawakan orang yang berbuat salah, dan tangisilah dosa-dosa yang telah
kamu perbuat, hai putra Ali 'Imran." (Tanbighul Ghafilin: 192-193).
Tertawa, tentu saja, bukanlah sesuatu yang
dilarang. Siapa saja boleh tertawa selagi ingin. Dengan tertawa menunjukkan,
bahwa seseorang sedang dalam keadaan senang.
Bahkan tertawa bisa menjadi ilham bagi seorang
penulis untuk membuat sebuah buku. Akan tetapi, tertawa dalam pengertian
mengeluarkan suara meledak-ledak oleh sebab rasa suka, geli apalagi mengandung
unsur menghina seseorang, ini akan lain ceritanya.
Tidak didapati dalam ajaran di luar Islam yang
mengatur tata hidup sedemikian rupa, hingga masalah tertawa.
Allah swt berfirman :
"Maka hendaklah
mereka sedikit tertawa dan banyak menangis sebagai pembalasan dari apa yang
selalu mereka kerjakan." (QS. At-Taubah:82).
Dalam salah satu haditsnya Rasulullah saw bersabda
: "Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan
sedikit tertawa, ...." (HR.Abu Dzar ra) . Rasulullah saw tidak pernah
tertawa, kecuali hanya tersenyum, tidak menoleh kecuali dengan wajah penuh
(maksudnya: tidak melirik). (Ja'far Auf, Mas'ud dari Auf Abdillah)
Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama
berpendapat bahwa tersenyum itu hukumnya sunah, sedang tertawa terbahak-bahak
makruh. Maka bagi mereka yang tetap ingin sehat akalnya, seyogyanya menjauhi
tertawa dengan cara demikian (terbahak-bahak atau meledak-ledak), kata Al-Faqih
Abu Laits Samarqandi. Dengan kata lain, orang yang tidak bisa mengendalikan
diri dan gemar tertawa, akan membuat fungsi akalnya terganggu, lengah dan lupa
diri, yang berarti membuka pintu bagi syetan untuk masuknya godaan. Dalam surat
An-Najm (53): 59-61 Allah memperingatkan,
"Apakah dengan
ajaran ini, kalian ta'ajub (heran)? Kamu tertawa dan tidak menangis. Sedangkan
kalian lengah." (An-Najm : 59-61)
Ibnu Abbas ra berkata, "Barangsiapa tertawa
di saat berbuat maksiat, maka akan bercucuran tangis di neraka."
Tertawa yang berlebihan, termasuk di antara 3 perkara yang menyebabkan hati
seorang menjadi bebal dan membatu. Sedang dua penyebab yang lainnya yaitu :
belum lapar sudah makan lagi dan gemar omong kosong (bicara ke sana kemari yang
tak berguna). Terkadang kita mendapati seseorang yang kesibukannya membuat
orang tertawa-tawa, sehingga bukan semata menjadi hiburan hati, tapi sudah
mengarah pada membuat orang menjadi lengah dan lupa.
Kepada yang berbuat seperti ini Rasulullah saw memberi peringatan : "Celakalah orang yang berdusta supaya ditertawakan orang lain. Celakalah dia, celakalah dia!" (HR. Tirmidzi)
Kepada yang berbuat seperti ini Rasulullah saw memberi peringatan : "Celakalah orang yang berdusta supaya ditertawakan orang lain. Celakalah dia, celakalah dia!" (HR. Tirmidzi)
16. An-namiimah (Adu domba atau menghasut)
Adu domba merupakan perangai tercela yang menanamkan
dendam diantara manusia, ini merupakan sifat yang dibenci setiap muslim dan
muslimah. Sifat yang buruk ini tidak boleh diremehkan, karena diantara
ciri-ciri adu domba dan yang telah ditetapkan baginya, bahwa ia bisa memisahkan
seseorang dengan kerabatnya, seseorang dengan teman-temannya, bahkan dirinya
dengan anggota saudaranya sendiri.
Adu domba bisa menimbulkan tindak pembunuhan,
bahkan peperangan antara dua kabilah. Di dalam masyarakat kita banyak terdapat
peristiwa yang menunjukkan betapa besar akibat yang ditimbulkan adu domba.
Sedangkan istri yang ideal mempunyai sikap yang pasti dalam menghadapi adu
domba sesuai dengan hukum syari'at tentang adu domba, bahwa nabi perbah
bersabda :
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ
"Tidak akan masuk surga orang yang suka
mengadu domba." (muttafaq alaihi).
17. Al khotho' fi daqo-iqul kalaam (Bertanya yang
bukan-bukan, hingga memberatkan orang yang menjawab)
Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, menceritakan bahwasanya di mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda :
مَا
نَهَيْتُكُمْ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَائْتُوْا مِنْهُ مَا
اسْتَطَعْتُمْ إِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ سُؤَالِهِمْ
وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلىَ أَنْبِيَاءِهِمْ
"Apa yang aku larang kalian dari
(mengerjakan)-nya maka jauhilah ia, dan apa yang aku perintahkan kalian untuk
(melakukan)-nya maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian, karena
sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang yang sebelum kalian adalah karena
banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka (yang mereka ajukan) dan perselisihan
mereka dengan para Nabi-Nabi (yang diutus kepada) mereka".
(H.R.Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits tersebut kita diperintahkan untuk melakukan apa yang
diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam dan menjauhi apa
saja yang dilarang oleh beliau. Larangan tersebut dimaksudkan agar kita tidak
terjebak dengan apa yang telah menimpa umat-umat terdahulu yang hancur dan
binasa gara-gara terlalu banyak bertanya kepada Nabi-Nabi mereka tentang
sesuatu yang tidak ada faedahnya begitu juga seringnya mereka berselisih dan
membantah Nabi-Nabi mereka tersebut.
Secara global, barangsiapa yang melakukan apa yang diperintahkan
oleh Nabi saw dan menjauhi apa yang dilarang oleh beliau dan memfokuskan diri
pada apa yang diperintahkan kepadanya, terlepas dari yang lainnya maka dia akan
mendapakan keselamatan di dunia dan akhirat sedangkan orang yang berbuat
sebaliknya dengan menyibukkan dirinya berdasarkan pertimbangan logika dan
perasaan semata, maka dia telah terjerumus kedalam apa yang dilarang oleh Nabi saw
sama seperti halnya Ahlul Kitab yang binasa lantaran terlalu banyak bertanya
dan berselisih dengan para Nabi mereka dan ketidaktundukan serta ketidakta'atan
mereka kepada para Rasul yang diutus kepada mereka.
4. MENJAUHI BAHAYA LIDAH
- Menjaga
mulutnya agar tidak kemasukan barang haram.
- Menjaga mulutnya agar tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya dikatakan.
Masuk keluarnya sesuatu dari
mulut itu harus benar-benar dijaga, sebab letak keselamatan manusia, dunia dan
akhiratnya itu terletak pada kemampuannya untuk menjaga hal tersebut di atas.
Abu Bakar ash-Shiddiq,
khalifah pertama pengganti Rasulullah pernah meletakkan tongkat di mulutnya
untuk menjaga ucapannya. Lalu ia menunjuk lisannya seraya berkata: "Inilah
yang dapat mengeluarkanku dari tempat tempat keluar (maksudnya: keluar dari
batas-batas kebenaran)."
Sebagai khalifah, Abu Bakar
dikenal orang yang paling hemat dalam berbicara. Ketika ditunjuk menjadi
khalifah, ia hanya berpidato sebentar.
Meskipun pidatonya sebentar,
tapi kata-katanya dihafal oleh para sahabat, juga kaum muslimin hingga
sekarang. Singkat tapi padat. Penuh arti dan konsisten. Apa yang dikatakan,
itulah yang ada di dalam pikiran dan perasaannya. Antara ucapan dan tindakannya
tidak terdapat perbedaan. Antara ucapannya hari ini dan besok tidak saling
bertentangan.
Meskipun Abu Bakar
memerintah kaum muslimin dalam tempo yang amat singkat, tapi banyak hal yang
bisa diselesaikan. Ancaman disintegrasi (pemurtadan), kerusuhan rasial antar
suku dan golongan, dan berbagai gejolak dalam negeri segera dapat diatasi,
bukan dengan kata-kata, tapi tindakan. Bukan dengan lelucon, humor, apalagi
gaya ketoprakan.
Pemimpin model Abu Bakar
inilah yang kita nantikan saat ini untuk memimpin bangsa Indonesia menuju
gerbang masa depan.
Semua pemimpin seharusnya
dapat menahan diri dari perkataan yang tidak benar, mengandung fitnah, dan adu
domba. Mereka harus menahan diri dari ucapan yang dapat menyakiti atau melukai
perasaan orang lain, walaupun mengandung substansi yang benar. Pemimpin adalah
orang yang hemat berbicara, sedikit berkata-kata, dan berbicara seperlunya
saja.
No comments:
Post a Comment