ASY SYAJA'AH FIY AD DA'WAH
Kehidupan dunia ini diiringi kesulitan
demi kesulitan (Q.S. Al Balad: 4). Sehingga kesulitan sesuatu yang tak bisa
dielakkan. Ia adalah realita perjalanan sebuah kehidupan di dunia ini.
Kesulitan menjadi sebuah resiko dalam hidup. Tak seorang pun yang dapat lepas
dari kenyataan itu. Namun yang acap kali terjadi adalah takut terhadap resiko
yang bakal muncul, hal ini disebabkan oleh kekerdilan jiwa untuk menghadapinya.
Lalu timbullah ketakutan-ketakutan. Rasa ketakutan ini cuma menggiring seseorang
menjadi pengecut. Dan akhirnya lari dari kenyataan.
Sifat pengecut dipandang sebagai sifat
tercela yang tidak boleh dimiliki orang-orang yang beriman. Karena pengecut
artinya ia tidak mau menanggung dan menghadapi resiko yang memang sudah menjadi
konsekwensinya. Perilaku ini merupakan perilaku orang-orang yang setengah hati
dalam keimanan, hanya ingin serba enak tanpa harus bersusah payah menghadapi
masalah rumit. Sifat pengecut akan menjadi penghalang untuk maju dan pemberat
langkah kesuksesan.
Saat ini, dunia dipenuhi oleh
orang-orang yang memiliki sifat pengecut. Sebuah hadits Nabi SAW.
memprediksikan di suatu masa umat Islam akan menjadi bulan-bulanan dan santapan
empuk musuh-musuh Islam karena sudah mengidap penyakit wahn, yakni cinta
dunia dan takut mati. Memang, penyakit wahn-lah yang menyebabkan umat Islam
banyak yang menjadi pengecut sehingga tidak lagi disegani oleh musuh-musuhnya
yakni kaum kafir, musyrikin dan munafikin.
Rasulullah Saw bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
« يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا
». فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ « بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ
كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ
عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ ». فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ « حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ ».ابوداود
Seluruh bangsa akan mengerumuni kalian
seperti halnya orang-orang lapar
mengerumuni hidangan. seoang sahabat
bertanya, apakah waktu itu jumlah kami sedikit? Tidak! Bahkan jumlah kalian sangat
besar. Akan tetapi seperti buih dilautan. Allah akan mencabut dari hati musuh-musuh
kalian rasa takut terhadap kalaian. Dan menanamkan pada hati kalian penyakit
Wahn. Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah apa yang dimaksud dengan Wahn? Rasul
bersabda; Cinta dunia dan takut mati. “ (HR. Abu Daud)
Islam memandang
hina orang yang pengecut. Baik pengecut dalam mempertahankan
hidup sehingga gampang putus asa. Pengecut lantaran takut dikucilkan dari
komunitasnya. Pengecut karena berlainan dengan sikap banyak orang. Atau
pengecut untuk membela sebuah nilai. Kemudian menjerumuskan pelakunya pada
sikap yang plin-plan tanpa prinsip.
Rasulullah SAW. bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « لاَ تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا
وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا وَإِنْ أَسَاءُوا
فَلاَ تَظْلِمُوا ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لاَ نَعْرِفُهُ
إِلاَّ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ.
'Janganlah kamu menjadi orang yang
tidak punyai sikap. Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya.
Namun bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga. Akan
tetapi jadilah orang yang punya sikap dan keberanian. Jika orang melakukan
kebaikan maka aku melakukannya. Namun jika orang melakukan keburukan maka aku
tinggalkan sikap buruk mereka'. (HR. Tirmidzi)
Allah SWT. selalu menggelorakan orang-orang
yang beriman agar jangan takut, jangan pengecut. Karena rasa takut akan membawa
kegagalan dan kekalahan. Akan tetapi keberanian menjadi seruan yang terus
berulang-ulang dikumandangkan. Karena keberanian adalah tuntutan keimanan. Iman
pada Allah SWT. mengajarkan menjadi orang-orang yang berani menghadapi beragam
resiko dalam hidup ini terlebih lagi, resiko dalam memperjuangkan dakwah ini.
Syaja'ah atau keberanian merupakan
jalan untuk mewujudkan sebuah kemenangan dan sebagai izzah keimanan. Tak pernah
boleh ada, kata gentar bagi kader dakwah saat mengemban tugas bila ingin meraih
kesuksesan yang gemilang. Dari sisi inilah kaum yang beriman berada jauh di
atas kebanyakan orang. Karena izzah keimanan menuntun mereka untuk tidak takut
dan gentar sedikit pun pada resiko Da’wah.
"Janganlah kamu bersikap lemah,
dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang
paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman". (Q.S. Ali
Imran: 139)
Dahulu yang membuat gentar musuh-musuh
Islam adalah keberanian pejuang-pejuang Islam yang menghambur ke medan perang dengan suka
cita karena pilihannya sama-sama baik yakni hidup mulia dengan meraih
kemenangan atau mati syahid di jalan Allah. Bahkan mereka jauh mencintai
kemuliaan sebagai syahid sebagaimana kecintaan kaum kafir terhadap dunia.
Dengan sikap ini kaum muslimin banyak memperoleh anugerah kemenangan dakwah di
berbagai tempat.
Orang-orang kafir amat takut terhadap
orang-orang yang beriman yang memiliki prinsip ini. Sehingga mereka berupaya
agar sifat berani tidak bersemayam dalam diri orang-orang mukmin. Lalu mereka
takut-takuti kaum muslimin dengan situasi dan kondisi masa depan yang suram,
ancaman, teror, intimidasi atau tekanan-tekanan lainnya agar umat ini tidak
lagi berani memperjuangkan nilai dan norma yang diyakininya. Akhirnya timbullah
sikap takut yang luar biasa hingga melemahkan semangat juangnya.
Oleh karena itu jangan tertipu oleh
upaya orang-orang kafir untuk menghilangkan sifat syaja'ah. Sebab syaja'ah
merupakan harga diri orang-orang beriman. Lantaran sifat itu sebulan sebelum
kedatangan kaum muslimin orang-orang di Babylonia telah lari tunggang langgang
mendengar umat Islam akan tiba di negeri mereka. Sampai-sampai Khalid bin Walid
RA. menenangkan masyarakat Romawi agar tidak perlu teramat takut pada kaum
muslimin karena kedatangan umat Islam hanya untuk menyerukan Islam dan mengajak
mereka menghamba pada Allah SWT. semata.
Asy syaja'ah (keberanian)
menjadi salah satu ciri yang dimiliki orang yang istiqamah di jalan Allah,
selain ciri-ciri berupa al-ithmi’nan (ketenangan) dan at-tafaul (optimisme).
Dengan demikian orang yang istiqamahlah akan senantiasa berani, tenang dan
optimis karena yakin berada di jalan yang benar dan yakin pula akan dekatnya
pertolongan Allah. Namun memang tak mudah untuk menjadi orang yang istiqamah
atau teguh pendirian memegang nilai-nilai kebenaran dan senantiasa berada di
jalan Allah. Bahkan Rasulullah SAW. mengatakan bahwa turunnya surat Hud membuat beliau beruban karena di
dalamnya ada ayat (QS. Huud: 112)
yang memerintahkan untuk beristiqamah,
“Maka tetaplah
kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang
yang telah tobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
Rasulullah SAW.
memahami benar makna istiqamah yang sesungguhnya sampai ketika Abu Sufyan
bertanya hal terpenting apa dalam Islam yang membuatnya tak perlu bertanya
lagi, beliau menjawab,
“Berimanlah kepada Allah dan kemudian beristiqamahlah (terhadap
yang kau imani tersebut)”. (HR. Bukhari). Di kesempatan
lain, Rasulullah SAW. juga mengatakan tantangan buat orang yang istiqamah
memegang Islam di akhir zaman, begitu berat laksana menggenggam bara api.
Keberanian
untuk tetap istiqamah walau nyawa taruhannya nampak pada diri orang-orang
beriman di dalam surat
Al-Buruuj: 4 - 8 yang dimasukkan ke dalam parit dan dibakar oleh as-habul
ukhdud hanya karena mereka menyatakan keimanannya kepada Allah SWT. Begitu
pula Asiah, istri Firaun dan Masyitah, pelayan Firaun, kedua-duanya harus
menebus keimanan mereka kepada Allah dengan nyawa mereka. Asiah di tiang
penyiksaannya dan Masyitah di kuali panas mendidih beserta seluruh keluarganya
karena mereka berdua tak sudi mentuhankan Firaun. Demikian sulitnya untuk
mempertahankan keistiqamahan di jalan Allah, dan demikian sulit pula untuk
mewujudkan asy syaja'ah sebagai salah satu aspeknya.
Muthallibatu Ad Da'wah (Tuntutan
Dakwah)
Dalam mengusung amanah dakwah, slogan 'Jangan
pernah takut, Maju pantang mundur, Berani karena benar, rela mati demi
kebenaran' tidak boleh luntur melainkan harus tetap terpatri dalam sanubari
kader dakwah. Melekatnya doktrin itu, membuat kader dakwah tidak akan lari ke
belakang demi kemenangan dakwah ini. Karena asy syaja'ah (keberanian) mengemban
amanah umat merupakan tuntutan dakwah.
Firman Allah SWT. tentang penyelamatan
dakwah sebagaimana disebutkan dalam Q.S. At Taubah: 40,
'Jikalau kamu tidak menolongnya
(Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang
kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkan kalian (dari Mekah) sedang dia salah
seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata
kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita (takut), sesungguhnya Allah
beserta kita." Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan
membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan
seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang
tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana'.
Di samping itu sikap syaja'ah para
kader dakwah menjadi sebab dakwah berjalannya dakwah secara berkesinambungan di
muka bumi ini. Dengannya (Syaja’ah) dakwah ini berjalan terus sekalipun harus
melewati bukit terjal ataupun tembok besar. Beresiko berat ataupun ringan. Dengan
keberanian para pejuang dakwah, ajaran Islam ini merambah ke berbagai pelosok
dunia bahkan sampai pada diri kita saat ini. Padahal bila dilihat tantangan dan
rintangan yang dihadapi sangat berat. Tantangan alam, geografis, budaya, maupun
rintangan dari musuh-musuh dakwah. Tanpa keberanian mereka, perjalanan dakwah
ini akan tertatih-tatih lantaran ketakutan yang melemahkan gerak dakwah ini.
Da'aimu Asy Syaja'ah (Pilar Keberanian)
Karena sikap asy syaja'ah merupakan
tuntutan dakwah maka para kader dakwah mesti selalu memompa dan menopang
keberaniannya agar kata takut dan pengecut tidak lagi melekat dalam dirinya.
Takut dan pengecut tidak boleh ada dalam memperjuangkan dakwah. Adapun
pilar-pilar yang menghantarkan diri seorang kader memiliki sifat asy syaja'ah
adalah sebagai berikut ini:
1.
Al Iman bil Ghaib (Iman Dengan Yang
Ghaib)
Penopang yang amat kokoh untuk
menguatkan sikap asy syaja'ah dalam diri kader dakwah adalah memperkuat
keyakinannya akan hal-hal yang ghaib. Seperti yakin akan pertolongan Allah SWT.
Yakin akan malaikat-malaikat-Nya yang senantiasa membantu orang yang
memperjuangkan agama Allah SWT. Begitu pula yakin akan kehidupan akhirat yang
ditentukan oleh amaliyah kita di dunia ini, khususnya amal-amal dakwah.
Keyakinan pada hal yang ghaib
memunculkan sikap berani, tak takut terhadap apa yang terjadi. Karena semua
yang bakal terjadi telah menjadi ketentuan dalam kehidupan seseorang. Ia
merupakan takdir yang telah ditetapkan. Sebagaimana pengalaman nyata yang
menarik dari seorang kader dakwah yang diancam atas perjuangannya selama ini. Tatkala
di atas kepalanya ditodongkan pistol.
Lalu sang algojo mengatakan, 'Mana Tuhanmu, Apakah ia bisa menyelamatkan kamu
kalau pelatuk pistol ini kugerakkan. Dan hancurlah batok kepalamu
berkeping-keping. Jawab sang aktivis, Bila Tuhanku tidak mengizinkan pistol itu
meledak maka aku tidak akan mati. Atau kalaupun pistol itu meledak namun
Tuhanku tidak menetapkan aku mati maka aku pun tidak akan mati'. Jawaban ini
sebagai jawaban atas keyakinan pada Yang Ghaib, yakni Allah SWT.
Keyakinan semacam ini adalah buah dari
tarbiyah yag telah menanamkan rasa takut hanya pada Allah SWT. dan senantiasa
bergantung pada-Nya. Sehingga kader memiliki cantolan yang teramat kuat.
Lantaran keyakinan dirinya kepada yang Maha
Kuat , ia tidak pernah
mundur menghadapi cobaan dan rintangan dakwah. Demikianlah hasil dari proses tarbiyah
yang panjang, membina aktivis untuk senantiasa yakin dengan sebenar-benarnya
pada kekuatan yang Ghaib.
Rasulullah SAW. telah mengingatkan Abu
Bakar RA. akan keyakinan pada Rabbul Izzati. Di saat orang-orang kafir sudah
berada di gua Tsur ingin membunuhnya. Abu Bakar hingga mencemaskan, Ya
Rasulullah, sekiranya salah satu dari mereka melihat betisnya maka mereka pasti
akan melihat kita. Nabi SAW. menenangkannya dengan menyatakan, 'Wahai Abu
Bakar, apakah kamu mengira kita di sini Cuma berdua. Tidak, Abu Bakar, kita di
sini bertiga. Janganlah takut dan gentar, Allah bersama kita.
Karenanya jiwa para kader tidak boleh
luput untuk selalu berinteraksi pada Allah SWT. agar dikuatkan diri dan jiwa
dalam memperjuangkan dakwah. Karena kemenangan para pejuang dakwah bukan
ditentukan oleh kekuatan material melainkan kekuatan dari Yang Maha Perkasa.
2.
Al Mujahadah Ala Al Khauf (Menaklukkan Rasa Takut)
Rasa takut sebagai lawan dari asy syaja'ah memang amat
manusiawi. Kenyataan ini merupakan watak alamiyah yang dimiliki setiap insan.
Seperti takut terbakar, tenggelam, terjatuh di mangsa binatang buas dan lain
sebagainya. Namun rasa takut semacam itu harus berada di bawah khauf syar’i yakni
takut kepada Allah SWT. Sehingga setiap kader dakwah sepatutnya menaklukkan
rasa takut alami/bawaan (thabi'inya) dengan mengkedepankan rasa takut kepada
Rabbbul Izzati. Dengan begitu mereka akan ringan dalam memperjuangkan dakwah,
tidak maju mundur lantaran ketakutan-ketakutan yang ada pada dirinya.
Hal tersebut secara indah dan heroik terlihat gamblang pada
kisah Nabi Musa AS., Ibrahim
AS. dan Muhammad SAW atau seperti
kisah yang terjadi dijaman sekarang. Rasa takut pada kemungkinan tenggelam ke
laut merah teratasi oleh ketenangan, optimisme dan keberanian Nabi Musa AS.
yang senantiasa yakin Allah bersamanya dan akan menunjukinya jalan. Dan benar
saja Allah memberinya jalan keluar berupa mukjizat berupa terbelahnya laut
merah dengan pukulan tongkatnya sehingga bisa dilalui oleh Nabi Musa dan
pengikutnya. Kemudian laut itu menyatu kembali dan menenggelamkan Firaun
beserta bala tentaranya.
Kisah yang tidak kalah mencengangkan terlihat pada peristiwa
pembakaran Nabi Ibrahim AS. Rasa takut thabi’i terhadap api dan
terbakar olehnya teratasi oleh rasa takut syar’i yakni takut kepada Allah saja.
Dan subhanallah, pertolongan Allah datang dengan perintah-Nya kepada api
agar menjadi dingin dan sejuk serta menyelamatkan Nabi Ibrahim AS.
Demikian juga apa yang dialami para
murid-murid syeikh Umar Tilmisani yang harus menerima hukuman atas
perjuangannya selama ini. Sang syeikh digugat oleh murid-muridnya yang telah
disiksa musuh-musuh dakwah. Ada
yang digantung, ada yang disetrum, ada yang dibunuh. Para
murid meminta syeikh untuk keringanan hukuman yang mereka derita karena rasa
takut yang luar biasa. Syeikh mengusir rasa takut murid-muridnya dengan
menyatakan, 'wahai murid-muridku. Musuh-musuh Allah itu bisa berbuat apa saja
pada kita. Mereka mampu mencincang kita, mereka juga dapat menggantung kita,
mereka juga bisa membunuh kita. Namun ada hal yang harus kamu yakini bahwa
mereka tidak akan pernah melakukannya di tempat yang tidak ada Allahnya. Pasti
Allah bersama kalian dalam berbagai keadaan'.
Selayaknya setiap kader dakwah selalu
menundukkan rasa takut insaniyah/thabi’inya dengan mendominasikan rasa takut
syar'inya. Sehingga yang selalu tertanam dalam dirinya hanya takut pada Allah
semata. Dan tidak pernah gentar akan kekuatan-kekuatan selain Allah SWT.
3.
Taurits Al Khairiyah (Mewariskan Hal
Yang Terbaik)
Penopang lainnya adalah dengan
mempertimbangkan keadaan generasi berikutnya harus lebih baik dari sebelumnya.
Maka warisan yang ditinggalkan untuk mereka adalah warisan-warisan kemuliaan.
Sehingga mereka mengikuti jejak para pendahulunya yang mempunyai akhlaq mulia. Bila
menginginkan generasi sesudahnya menjadi pemberani maka wariskan sifat berani
pada mereka. Namun bila mewariskan sifat takut dan pengecut maka jangan harap
generasi berikutnya menjadi orang-orang yang heroik dan patriotik.
Abul 'Ala Al Maududi menegaskan bahwa
untuk mewariskan keturunan dan generasi yang lebih baik maka jangan lakukan sifat-sifat
rendahan. Karena itu akan menjadi contoh bagi mereka. Ingatlah kebaikan akan
mewariskan kebaikan dan keburukan akan mewarisi keburukan pula. Oleh karena itu
Allah SWT. telah mengingatkan agar memperhatikan nasib generasi berikutnya
dengan mewariskan nilai-nilai kebaikan untuk menjadi dhawabith khairiyah bagi
mereka.
"Dan hendaklah takut kepada Allah
orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar". (Q.S. An Nisa': 9)
Adalah hal yang patut dipikirkan para
kader dakwah untuk selalu menanamkan tekad dan kemauan agar melahirkan generasi
yang terbaik dengan selalu berpegang pada sikap-sikap keteladanan yang di
antaranya sikap asy syaja'ah.
4.
As Shabru Ala
Ath Tha'ah (Bersabar Terhadap Ketaatan)
Keberanian akan terus ada pada diri
kader dakwah apabila mereka bersabar. Sabar terhadap peristiwa yang mereka
alami. Karena kesabaran itu merupakan senjata yang ampuh yang memberikan
ketahanan menghadapi tekanan berat sekalipun. Dengan kesabaran kita pun dapat
membandingkan kejadian yang dirasakan generasi yang lalu dengan yang sedang
kita rasakan . Mereka tentu telah mengalami cobaan yang lebih berat ketimbang
yang kita alami saat ini. Dengan kesabaran ini kita dapat bertahan dan terus
maju melangkah di atas jalan dakwah dengan gagah berani.
Sebagaimana yang dicontohkan oleh
Rasulullah saat menasihati Khabbab bin Al Arts yang berkeluh kesah atas
beratnya penderitaan yang dialaminya, beliau mengingatkan Khabbab akan
perjuangan para Nabi dan orang-orang shaleh terdahulu yang jauh lebih berat
tapi mereka tetap berani dan tabah. Jadi kita bisa memupuk keberanian dan
kesabaran dengan berkata, “Ah... cobaan ini belum seberapa dibanding yang
pernah dialami orang-orang shaleh terdahulu”.
Oleh sebab itu bekal kesabaran tidak
boleh dalam keadaan defisit. Kesabaran mesti dalam kondisi yang selalu cukup
dan bertambah. Karena kesabaran yang kuat menjadi tameng dalam menyelamatkan
diri atas cobaan-cobaan berat dakwah ini. Allah SWT. pun mengingatkan agar
senantiasa bersabar dan menguatkan kesabaran.
"Hai orang-orang yang beriman,
bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di
perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung".
(Q.S. Ali Imran: 200)
5.
Al Ajru min Allah (Berharap Balasan
Dari Allah)
Seorang kader dakwah juga bisa
mengusung dakwah ini dengan berani karena berharap balasan yang besar dari
Allah SWT. Balasan yang dijanjikan ini meminimalkan perasaan takut akan ancaman
dalam memperjuangkan dakwah. Rasa takut akan segera sirna bila balasan yang
dijanjikan jauh lebih besar dari apa yang diderita saat itu. Bahkan balasan
yang pasti diberikan itu dapat memompa semangat juang kader untuk terus berada
di jalan dakwah dan memperjuangkannya sampai titik darah penghabisan. Maka
balasan Allah SWT. itu seyogianya tervisualisasi dengan baik pada diri kader dakwah.
Seakan-akan semua balasan itu ada di pelupuk mata.
"Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan: "Tuhan kami adalah Allah" kemudian mereka meneguhkan
pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan):
"Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan
bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah
kepadamu". Kamilah Pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di
akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh
(pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (Q.S. Fushshilat: 30 – 32)
Bila balasan yang dijanjikan Allah SWT.
senantiasa terngiang-ngiang dalam benak kader dakwah maka tidak ada alas an
lagi untuk takut dan menjadi pengecut. Rasulullah SAW. mengingatkan Abdullah
bin Harits yang mengungkapkan keinginannya untuk masuk Islam. Namun ia perlu
mengajukan dua syarat yang memang terjadi pada dirinya. Pertama, tidak
dibebankan infak karena dia orang yang termiskin di keluarga dan kabilahnya dan
tidak pula diwajibkan berperang karena dia seorang yang penakut. Nabi menjawab,
'wahai Abdullah, bila itu kamu syaratkan lalu dengan apa kamu akan masuk
syurga?'. Maka Abdullah menandaskan, 'kalau begitu, ya Rasulullah aku akan
berinfak dan akan berjuangan di jalan Allah SWT'. Begitulah akhirnya Abdullah
bin Harits berada di barisan terdepan di jalan dakwah tanpa rasa takut dan
lemah.
Syaja’ah atau pemberani tentu saja berbeda dengan bersikap
nekat, “ngawur” atau tanpa perhitungan dan pertimbangan. Asy syaja'ah adalah
keberanian yang didasari pertimbangan matang dan penuh perhitungan karena ingin
meraih ridha Allah. Dan untuk meraih ridha Allah, tentu saja diperlukan
ketekunan kecermatan dan kerapian kerja (itqan). Bukan keberanian yang
tanpa perhitungan yang melahirkan kenekatan, namun juga bukan terlalu
perhitungan dan pertimbangan yang melahirkan ketakutan.
Perwujudan sikap asy syaja'ah dalam kehidupan ini amatlah
banyak terlebih dalam memperjuangkan dakwah. Implementasinya bisa
bermacam-macam. Di antaranya:
a.
Quwwatul Ihtimal
(Memiliki Daya Tahan Yang Besar)
Seseorang dapat dikatakan memiliki sifat berani jika ia
memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan
mungkin saja bahaya dan penyiksaan karena ia berada di jalan Allah.
Begitu banyak orang yang tidak memiliki
daya tahan tinggi terhadap segala tantangan dan kesulitan sehingga mudah surut,
menyerah atau berputus-asa. Padahal dalam kehidupan yang semakin berat dan
sulit dewasa ini begitu banyak tantangan dan marabahaya yang harus disikapi dan
dihadapi dengan berani, karena bersikap pengecut dan melarikan diri dari
persoalan hidup yang berat tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Apalagi
dalam perjuangan dakwah untuk mencapai kemenangannya.
Daya tahan yang besar terhadap tekanan memberikan kemampuan
menanggung beban-beban berat sendirian tanpa menyertakan yang lainnya. Malah ia
ingin saudara-saudaranya tidak boleh mengalami kesulitan lantaran dirinya. Bila
perlu ia yang menanggung penderitaan saudaranya yang lain. Begitulah kekuatan
daya tahan kader dakwah yang pemberani dan patriotik.
Khubaib bin 'Ady pernah ditawari Abu Sufyan ketika akan dieksekusi
mati. 'Wahai Hubaib bagaimana kalau dirimu digantikan oleh Muhammad yang akan
menduduki kursi pesakitan itu. Khubaib menjawab, Demi Allah yang diriku dalam
genggaman-Nya. Aku tidak akan rela bila Muhammad menggantikan diriku begini.
Kalau sekiranya aku tahu bahwa Muhammad sekarang ini tertusuk duri maka aku
tidak bisa tenang dan aku beserta keluargaku akan menggantikannya menderita
karena tertusuk duri. Inilah daya tahan yang kuat, berani menanggung beban
resiko sendirian dan tidak ingin melibatkan kesulitan dirinya pada saudaranya.
b.
As Sharahah fi Al Haq (Berterus Terang
pada Kebenaran)
Keterus terangan dalam kebenaran
sebagai indikasi keberanian. Sekalipun hal itu akan mengundang ekses padanya.
Terkadang ada yang tidak bisa menerimanya. Ada juga yang memusuhinya. Ada pula yang mengancamnya. Bahkan ada pula
yang tidak siap mendengarnya lalu membunuhnya.
Mengatakan yang benar dengan terus
terang memang sesuatu yang pahit bila dilihat dari sisi dampak yang bakal
muncul. Namun bila dilihat dari sisi manfaat dan izzah keimanan ia menjadi
sebuah keharusan. Sebagaimana sabda Nabi SAW. 'Qulil haq walau kaana muuran'
(katakan yang benar meskipun itu pahit) dan berkata benar di hadapan
penguasa yang zhalim adalah juga salah satu bentuk jihad bil lisan. Jelas
saja dibutuhkan keberanian menanggung segala resiko bila kita senantiasa
berterus terang dalam kebenaran.
Tidak sedikit orang tergelincir dalam
bersikap lalu ia berdusta atau diam karena khawatir akan resiko-resikonya.
Sikap ini dipilih untuk mencari jalan selamat. Atau memang ia seorang pengecut
dan penakut. Padahal sangat mungkin penguasa itu mendapatkan hidayah bila
seseorang menyampaikan kebenaran tanpa rasa takut kepadanya. Ada seorang penguasa zhalim menginsafi
dirinya. Sang penguasa menangis atas nasihat yang diucapkan seorang ulama yang
berani memaparkan kebenaran padanya.
Sikap berani menyampaikan kebenaran
yang mengandung resiko berat menjadi harga diri seorang kader dalam
memperjuangkan dakwah. Para musuh tidak akan
menganggap miring pada orang-orang yang mempunyai sikap ini. Malah mungkin
sangat dipandang. Paling tidak sang penguasa akan gentar menghadapinya.
Syeikh Umar Tilmisani sewaktu mendengar
pidato Jamal Abdul Nasher, sesudahnya ia berkata lantang.’Kalau saja yang
berpidato tadi bukan anda maka akan aku adukan pada anda kasus ini. Akan tetapi
karena anda yang mengucapkannya maka akan aku adukan pada Tuhanku dan Tuhanmu’.
Mendengar teguran sang syeikh, Jamal Abdul Nasher tertunduk diam tanpa
mengucapkan sepatah kata bantahan.
c.
Kitmanu As Sirri
(Kemampuan Menjaga Rahasia)
Kemampuan menyimpan rahasia merupakan bentuk keberanian yang
bertanggung jawab. Orang yang berani adalah orang yang bekerja dengan baik,
cermat dan penuh perhitungan terutama dalam persiapan jihad menghadapi
musuh-musuh Islam termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia dengan
serapat-rapatnya. Sebab kerahasiaan adalah tanggungan yang harus disimpan
dengan baik meski beresiko tinggi. Ia bukanlah sesuatu yang diumbar-umbar
kepada orang yang tidak berhak. Apalagi terhadap kerahasiaan dakwah. Karena
terbongkarnya sebuah kerahasiaan akan berakibat fatal. Sangat banyak
operasional dakwah berantakan karena tersiarnya rahasia dakwah.
Menyimpan rahasia bukanlah hal yang gampang. Ia merupakan
pekerjaan berat yang tidak sembarang orang mampu melakukannya. Hanya
orang-orang yang berani dan terampil menyimpan rahasia sajalah yang dapat
melakukannya. Karenanya sahabat Rasulullah SAW. yang memiliki kemampuan ini
tidaklah banyak. Mereka adalah sahabat pilihan Nabi SAW. untuk bisa menjaganya.
Ada pepatah
yang menyatakan bahwa selamatnya manusia tergantung dalam menjaga lidahnya.
Tentu juga termasuk di dalamnya adalah menjaga kerahasiaan. Ini sangat
ditentukan oleh keberanian menanggung beban akibat dari rahasia yang
dipikulnya.
Huzaifah ibnul Yaman r.a. seorang sahabat Nabi yang dikenal
dengan sebutan Shohibus sirri. Dia dapat menyimpan rahasia dengan baik. Hingga
tidak diketahui yang lain akan tugas dan tanggung jawabnya menjaga rahasia. Dia
berani menghadapi konsekwensinya sekalipun terasa amat berat. Akan tetapi yang
membuat gentar dirinya adalah bila tertangkap musuh. Sebagaimana yang pernah ia
ungkapkan pada Rasulullah SAW. 'Ya Rasulullah, saya tidak takut bila harus mati
akan tetapi yang aku takutkan adalah bila aku tertangkap.
d.
Al 'Itirafu bil Khatha'i (Mengakui
Kesalahan)
Salah satu orang yang memiliki sifat pengecut adalah tidak
mau mengakui kesalahan, mencari kambing hitam dan bersikap “lempar batu,
sembunyi tangan”. Sebaliknya orang yang memiliki sifat syaja’ah adalah berani
mengakui kesalahan, mau meminta maaf, bersedia mengoreksi kesalahan dan
bertanggung jawab.
Memang mengakui kesalahan tidaklah mudah. Kadang ada rasa
malu, perasaan takut dikucilkan, perasaan cemas akan pandangan sinis orang lain
karena kesalahannya. Padahal mengakui kesalahan diri sendiri sangat
menguntungkan. Sebab ia lantas bisa melihat kesalahan dirinya. Ia pun tidak
menyalahkan orang lain. Ia juga akan cepat memperbaiki dirinya. Dan berani
mengakui kesalahannya akan membuka pintu keinsafan selebar-lebarnya.
Allah SWT. memberikan contoh pelajaran dari sikap Nabi Adam
AS. ketika melakukan kesalahan, ia tidak limpahkan kesalahan itu pada setan
yang menggodanya. Akan tetapi ia lebih memberatkan dirinya sehingga terbukalah
pintu ampunan untuknya.
"Keduanya berkata: "Ya Tuhan
kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni
kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang
yang merugi". (Q.S. Al 'Araf: 23).
e.
Al Inshafu min Ad Dzati (Bersikap
Obyektif Pada Diri Sendiri)
Obyektif dalam memandang diri sendiri
akan membuka kesempatan pada orang lain untuk ikut berperan serta. Malah ia
akan sangat berhajat pada keberadaan orang lain. Karena ia tahu benar bahwa ia
tidak bisa berbuat apa-apa tanpa partisipasi yang lainnya. Di samping itu ia pun
tidak akan meremehkan kemampuan dirinya. Sehingga ia bisa berbuat lebih banyak
secara optimal dari potensi miliknya.
Umar bin Abdul Aziz saat diangkat
menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak rakyatnya. 'Aku bukanlah
orang yang paling baik dari kalian. Aku hanyalah manusia seperti kalian akan
tetapi aku mendapatkan amanah yang amat besar melebihi kalian. Karena itu
bantulah diriku dalam menunaikan amanah ini'. begitulah layaknya orang yang
berani memandang kemampuan dirinya secara obyektif.
f.
Milku An Nafsi 'inda Al Ghadhabi (Menahan Nafsu di saat Marah)
Seseorang dikatakan berani bila ia tetap mampu bermujahadah
li nafsi, melawan nafsu dan amarah. Kemudian ia tetap dapat mengendalikan
diri dan menahan tangannya padahal ia punya kemampuan dan peluang untuk
melampiaskan amarahnya. Orang yang bisa melakukan itu dipandang sebagai orang
kuat karena kemampuannya menahan amarah.
Amarah dapat menggelincirkan manusia pada sikap serampangan.
Ia akan kehilangan kontrol diri. Bisa jadi ia lupa diri akan sikapnya yang
keliru. Malah ia tak akan pernah menemukan solusi jitu akan masalahnya. Oleh
karena itu Islam memerintahkan untuk bisa mengendalikan diri dari amarah.
Sampai-sampai Rasulullah SAW. mengajarkan untuk tidak marah berulang-ulang.
Bila masih muncul perasaan itu maka rubahlah posisi dirinya. Bila juga masih
berkobar-kobar maka pergilah dan ambillah wudhu. Karena rasa marah dari setan.
Setan diciptakan dari api. Dan api bisa mati disiram dengan air.
Keberanian adalah kelaziman dalam
dakwah dan menjadi sikap yang melekat dalam diri sang kader. Ia adalah
identitas pengemban amanah umat untuk bisa menunaikan tugas berat yang
diusungnya. Ingat-ingatlah senandung para senior dakwah yang menggumankan:
'Di dalam hatiku selalu terdengar suara
Nabi yang memerintahkan, 'Berjihadlah, berjuanglah dan lelahkanlah dirimu'. Dan
berseru, 'Menanglah, kalahkanlah musuh dan berlatihlah jadilah kamu selamanya
orang merdeka yang pantang menyerah. Hai pemberani lakukanlah karena kita punya
hari esok dan harapan'.
Wallahu a’lam bishshawwab.
No comments:
Post a Comment