أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ
وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
"Rasulullah saw melewati
seorang Anshar saat ia menasihati saudaranya tentang malu. Rasulullah saw
bersabda, 'Biarkan saja, sebab rasa malu itu bagian dari iman." (Muttafaq Alaihi)
Imran bin Hushain ra berkata, Rasulullah saw bersabda,
الْحَيَاءُ لَا
يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
"Tidaklah datang rasa malu
selain dengan kebaikan." (Muttafaq
Alaihi).
Di riwayat Muslim disebutkan,
الْحَيَاءُ ِخَيْرٌ
كُلُّهُ
"Rasa malu itu adalah kebaikan,
semuanya."
الْحَيَاءُ
كُلُّهُ ِخَيْرٌ
"Rasa malu itu semuanya
kebaikan."
الْإِيمَانُ
بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
"Iman itu ada tujuh puluh sekian
atau enam puluh sekian cabang. Yang paling mulia adalah ucapan La ilaha
Illallah dan yang paling rendah menyingkirkan penghalang dari jalan. Keimanan
adalah cabang dari iman."
(Muttafaq Alaihi).
Abu Sa'id Al-Khudri meriwayatkan,
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي
خِدْرِهَا وَكَانَ إِذَا كَرِهَ شَيْئًا عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ
"Adalah Rasulullah saw itu
orang yang paling malu terhadap gadis yang berada dalam biliknya. Dan jika
beliau tidak suka sesuatu, kami mengetahuinya dari wajahnya." (Muttafaq Alaihi).
Para ulama berkata, "Hakikat malu adalah akhlak yang
mendorong seseorang meninggalkan perbuatan buruk dan menecegahkan
bermalas-malasan menunaikan hak sapa saja.
Kami juga meriwayatkan dari Abul Qasim, Al-Junaid ra. Ia
berkata, "Malu adalah melihat semua nikmat dan melihat sikap malas, lalu
dari keduanya muncul kondisi yang dinakaman malu. Wallahu A'lam.
AL HAYA’ (rasa malu)
KEDUDUKAN
AL HAYA
Dan di antara stasion “ Hanya kepada-Mu
kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan” adalah kedudukan
al haya.
Allah swt berfirman:
Artinya: Apakah dia tidak mengetahui,
bahwasannya Allah melihatnya. QS. 96/Al ‘Alaq: 14
Artinya: Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu. QS. 4/An Nisa: 1
Artinya: Dia mengtahui pandangan mata
yang khianat dan apa yang tersembunyi oleh hati. QS. 40/ Ghafir: 19
Dalam hadits shahih dari Abdullah ibn Umar
ra. Bahwasannya Rasulullah saw pernah melewati seseorang yang sedang menasehati
saudaranya tentang rasa malu, lalu Rasulullah saw bersabda:
Artinya: Biarkan dia, karena
sesungguhnya rasa malu itu adalah sebagian dari iman. HR. Al Bukhariy,
Muslim, Malik dan At Tirmidziy
Dalam hadits shahih yang lain disebutkan
Artinya: Dari Imran bin Hushain ra
berkata: Rasulullah saw bersabda: “Rasa malu itu tidak mendatangkan sesuatu
kecuali kebaikan. HR. Al Bukhariy,
Muslim dan Abu Daud.
Artinya: Dari Abu Hurairah ra dari Nabi
Muhammad saw. Sesungguhnya Nabi bersabda: Iman itu ada tujuh puluh lebih-atau
enam puluh lebih cabangnya, yang paling utama adalah : Ucapan”La ilaaha
illallah” Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan yang terendah
adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah sebagian dari
iman. HR, Al Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan At Tirmidziy.
Artinya: Dari Abu Said al Khudriy ra,
bahwasannya ia berkata: Rasulullah saw adalah orang yang sangat pemalu melebihi
gadis pingitan. Ketika ada sesuatu yang tidak ia sukai, kamu dapat mengetahui
dari wajahnya. HR. Al Bukhariy, Muslim dan Ibnu Majah.
Artinya: Sesungguhnya di antara ucapan
kenabian yang ditemui manusia, pertama kali adalah: “Jika kamu tidak malu, maka
lakukan apa saja.”. HR. Al Bukhariy, Abu Daud, dan Ibnu Majah.
Ada dua
pendapat tentang hadits ini, yaitu:
Bahwa dalam hadits itu terdapat ancaman, artinya adalah
berita, bahwa barang siapa yang tidak punya rasa malu akan melakukan apa saja
Bahwa hadits di atas bermakna ibahah (pembolehan) artinya:
perhatikan apa yang hendak kamu lakukan, jika termasuk perbuatan yang tidak
memalukanmu maka silahkan dikerjakan.
Dari dua pendapat ini, pendapat pertama lebih baik, dan
merupakan pendapat mayoritas (ulama).
Dalam hadits At Tirmidziy disebutkan dengan sanad marfu’
(sampai kepada Nabi) :
Artinya: Malulah kamu semua kepada Allah dengan
sebenar-benaranya rasa malu. Para sahabat menjawab: “Sesungguhnya kami telah
malu wahai Rasulullah”. Rasulullah bersabda: “Bukan seperti itu. Akan tetapi
orang yang malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu itu hendaklah menjaga
kepala dan apa yang memenuhinya, memelihara perut dan apa yang menjadi isinya,
mengingat kematian dan kehancuran, dan barang siapa menghendaki kehidupan
akhirat ia akan meninggalkan perhiasan duni. Maka barang siapa dapat
melaksanaan hal ini ssesungguhnya ia telah malu kepada Allah dengan
sebenar-benarnya malu”. HR. At Tirmidzi dan Al Hakim.
TA’RIF AL HAYA’
Kata “al haya” berasal dari kata “al hayat” yang berarti
hidup, di antara kata jadian dari al hayat itu adalah kata “al haya” dengan
dibuang huruf terakhirnya (ta’marbuthah) yang berarti hujan. Maka sesuai dengan
hidup matinya hati, di sanalah kuat dan lemahnya rasa malu itu ada. Sedikitnya
rasa malu adalah akibat dari kematian qalb (hati) dan ruh (jiwa). Dan semakin hidup hati seseorang
maka semakin sempurna rasa malunya.
Al Junaid –rahimahullah/semoga Allah
menyayanginya- berkata:
Artinya: Al haya itu adalah melihat
pemberian (Allah) dan melihat kekurangan (amal kebaikannya). Di antara dua
sifat inilah akan lahir sikap yang disebut al haya’. Hakekat al haya’ adalah
akhlak yang mendorong orang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, dan
mencegah seseorang mengurangi hak fihak yang berhak (kewajiban atas dirinya).
Dan di antara ungkapan sebagian ulama
adalah :
Artinya:
Hidupkan rasa malu dengan mujalasah (menghadap, duduk bersama) orang
yang kamu malu kepadanya. Pemakmuran hati adalah dengan: rasa takut dan rasa
malu, jika keduanya telah hilang dari hati seseorang maka tidak ada lagi
kebaikan yang ada.
Dzunnun berkata:
Artinya: Al haya’ itu adalah adanya rasa takut di dalam
hati karena masa lalu yang telah kamu lakukan terhadap Tuhanmu. Al Mahabbah
(cinta) itu menyebabkan bicara, rasa malu itu menyebabkan diam, dan rasa takut
itu menyebabkan gemetaran.
As Sirry berkata:
Artinya: Sesungguhnya malu dan bahagia itu
mengetuk-ngetuk hati, jika mereka temukan zahud dan wara’(menghindari dosa) di
sana mereka singgah, dan jika tidak ada mereka pergi.
Dalam hadits Qudsiy disebutkan, Allah swt
berfirman:
Artinya: Wahai anak Adam, sesungguhnya
jika kamu malu kepada-Ku, akan Aku lupakan orang-orang akan aib (kekurangan)mu,
Aku lupakan penjuru bumi akan dosa-dosa, Aku hapuskan kesalahan-kesalahanmu
(tanpa sengaja) dari ummul-kitab (buku induk). Dan jika kamu tidak malu maka
akan Aku adili kamu di hari kiamat.
Dalam hadits qudsiy yang lain disebutkan
bahwa Allah swt menyampaikan wahyu kepada Isa as:
Artinya: Nasehatilah dirimu sendiri,
jika kamu mau menasehati, jika tidak maka malulah kamu kepada-Ku, kalau memberi
nasehat kepada orang lain.
Al Fudhail bin Iyadh berkata:
Artinya: Ada lima cirri orang celaka:
hati yang keras, mata yang beku, sedikit rasa malu, cinta dunia, dan panjang
angan-angan.
Dalam hadits Qudsiy yang lain disebutkan,
Allah swt berfirman:
Artinya: Hamba-Ku tidak obyektif kepada-Ku,
ia berdoa (meminta) kepada-Ku, maka Aku malu menolaknya, dan ia berma’siat
tanpa rasa kepada-Ku
Yahya bin Muadz berkata:
Artinya: Barang siapa yang malu kepada
Allah pada saat mematuhi-Nya, maka Allah akan malu kepadanya ketika ia berbuat
dosa.
Ungkapan memerlukan penjelasan. Artinya:
bahwa seseorang yang dominan rasa malunya kepada Allah sehingga ketika ia
mematuhi Allah, maka hatinya tertunduk malu dan cemas di hadapan Allah. Maka
ketika orang itu terjatuh dalam dosa Allah swt malu melihatnya dalam keadaan
berdosa itu untuk menghormatinya. Allah malu melihat orang yang disayangi dan
dimuliakan melakukan kesalahan di
hadapan-Nya. Bukti lain dalam hal ini adalah: bahwa seseorang ketika melihat
orang yang paling spesial baginya, paling dicintai, paling dekat, baik sebagai
sahabat, mapun anak, melakukan kesalahan, maka melihatnya bersalah menimbulkan
rasa malu, dan keheranan sepertinya ia yang melakukan kesalahan. Hal ini
menunjukkan adanya
penghormatan yang berlebih.
penghormatan yang berlebih.
Ada yang mengatakan bahwa penyebab rasa malu ini adalah: bahwa ia memposisikan dirinya saat mentaati Allah swt sepertinya ia masih berbuat ma’siat, sehingga ia malu pada saat itu. Dari itulah diajarkan beristighfar setiap usai menunaikan amal-amal shalih, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Ada yang mengatakan: bahwa ia memposisikan
dirinya sebagai orang yang bersalah, sehingga ia merasa malu. Seperti seseorang
yang menyaksikan sahabat dipukul orang lain, atau orang yang tidak dapat
berbicara ketika di atas mimbar, ia menjadi gugup, karena ia memposisikan bahwa
dialah yang di atas mimbar itu.
Hal ini dapat saja terjadi, akan tetapi
rasa malu orang yang melihat orang kekasihnya berbuat salah, bukan dalam bab
ini, sebab jika ia melihat orang lain yang tidak ada hubungan hati atau kedekatan
dengannya, tidak ada rasa malu yang muncul, tetapi yang muncul adalah kebencian
dan jatuhnya nilai orang itu di hadapannya. Hal ini disebabkan oleh sangat
kuatnya keterikatan hati dan jiwanya. Maka ketika orang yang dicintainya
melakukan sesuatu ia merasa ikut melakukannya, apalgi jika sampai pada tingkat
mukasyafah (menyikap tabir penghalang). Sebab jika itu terjadi akan
membangkitkan rasa malu karena rasa hormat. Pada saat menghormati itulah muncul
rasa malu itu.
Sedangkan malu Allah kepada hamba-Nya adalah jenis lain, yang tidak terjangkau oleh pemahaman, dan tidak tertangkap oleh akal manusia. Karena sesungguhnya rasa malu Allah itu adalah penghormatan, kebajikan, kemurahan, dan keagungan. Sesungguhnya Allah swt Maha Hidup dan Maha Mulia, Malu jika ada hamba-Nya yang menengadahkan tangan (meminta) lalu kembali dengan tangan hampa. Dan malu menyiksa pemilik uban (orang tua) yang tumbuh dalam Islam.
Yahya bin Mu’adz pernah mengatakan:
Artinya: Maha suci Dzat, yang jika
hamba-Nya berdosa, Dia malu.
Dalam hadits disebutkan :
Artinya: Barang siapa yang malu kepada
Allah maka Allah akan malu padanya.
Al Haya’ (rasa malu) terbagi dalam sepuluh
macam, yaitu: haya’ jinayah (kesalahan), haya’ taqshir (kekurangan dalam
beramal), haya’ ijlal (pengagungan), haya’ karam (kemurahan), haya’ hasymah
(kedekatan tertentu), haya’ istisghar linnafsi (merasa lebih kecil), haya’
mahabbah (cinta), haya’ ‘ubudiyyah (pengabdian), haya’ syaraf wa izzah
(kehormatan dan kemuliaan), haya’ al mustahyi min nafsihi (orang yang malu pada
dirinya sendiri).
Haya’ jinayah, adalah seperti rasa malu
Nabi Adam as ketika meninggalkan surga. Allah swt berfirman : “Wahai Adam
apakah kamu melarikan diri dariku? Ia menjawab:
“Tidak Ya Rabb, tetapi saya malu kepada-Mu”
Haya’ taqshir, adalah seperti rasa malunya para malaikat
yang bertasbih siang dan malam tidak pernah lelah dan bosan. Dan ketika hari
kiamat tiba mereka berkata: Maha suci
Engkau Ya Allah, kami tidak dapat mengabdikan diri kepada-Mu dengan
sebenar-benarnya pengabdian.
Haya’ Ijlal adalah rasa malu karena ma’rifah (mengenal),
sesuai dengan pengenalan yang dimiliki seorang hamba tentang Rabb-nya di
situlah kualitas rasa malunya ditentukan.
Haya’ Karam, seperti rasa malu Nabi Muhammad saw dari para sahabat yang diundangnya dalam acara walimah pernikahannya dengan Zainab, karena mereka terus duduk di rumah Nabi (tidak pulang setelah jamuan). Nabi Muhammad bangun dari duduknya dan malu mengatakan kalimat untuk mengusir mereka.
Haya’ Hasymah, adalah seperti rasa malu Ali bin Abi Thalib
bertanya kepada Rasulullah saw tentang hokum madziy, karena posisi puteri
Rasulullah yang menjadi isterinya.
Haya’ Istishghar linnafsi, adalah seperti rasa malu seorang hamba Allah ketika meminta hajat-hajatnya kepada Allah, karena dirinya yang sangat kecil dan lemah. Dalam kisah Israiliyah disebutkan bahwa: Nabi Musa as berkata: Ya Rabbi sesungguhnya aku menghadapi kebutuhan-kebutuhan duniawi, sehingga aku malu meminta kepada-Mu, Ya Rabb. Allah swt berfirman: “Mintalah apa saja kepada-Ku, termasuk garam adonanmu, dan makanan kambingmu” hal ini dapat disebabkan oleh dua hal:
Peminta merasakan dirinya yang sangat kecil, sementara dosa
dan kesalahannya demikian besar.
Kebesaran Dzat yang diminta.
Haya’ Mahabbah, adalah rasa malu seorang kekasih kepada kekasihnya,
sehingga ketika terlintas sesuatu di hatinya pada saat tidak bersama dengan
kekasihnya itu muncul rasa malu dalam dirinya, terasa di wajahnya, dan ia tidak
menyadari apa penyebabnya. Demikian juga situasi saat mendadak bertemu dengan kekasihnya itu timbul
berbagai macam perasaan kekaguman. Sehingga muncul ucapan ”alangkah cantiknya”.
Rasa malu dan kekaguman ini disebabkan oleh hal-hal yang tidak diketahui
kebanyakan orang. Dan tidak diragukan lagi, bahwa rasa cinta itu memiliki
kekuasaan yang luar biasa untuk memaksa hati, melebih tekanan siapapun pada
fisiknya. Coabalah bandingkan antara kekuatan yang memaksa hati dan kekuatan
yang memaksa fisik? Dari itulah sangat mengherankan sekali sikap para penguasa
dan para dictator yang memaksa manusia untuk mencintainya, patuh kepadanya. Dan
ketika orang-orang itu terganggu cintanya atau membencinya, hatinya merasakan
telah terjadi serangan/ancaman bagi kekuasaannya, yang menyebabkannya cemas dan
ketakutan. Pernah suatu hari Imam Ibnu Taimiyah –qaddasa Allahu ruhahu/semoga
Allah mensucikan ruhnya- bertanya kepada kami tentang hal ini, kemudian saya
jawab dengan jawaban di atas, ia tersenyum dan tidak berkomnetar sedikitpun.
Sedangkan rasa malu yang ada pada seseorang dari orang yang ada di bawah kekuasaannya -seperti budak atau isterinya- maka sebabnya –wallahu a’lam- adalah bahwa ketika kekuasaan itu telah hilang rasa takutnya dari hati, masih menyisakan wibawa dan hubungan khusus, yang kemudian melahirkan rasa malu.
Dan terjadinya rasa malu pada saat tidak
terlihat dari orang yang dicintai itu disebabkan oleh dominasi cinta dalam
hati, sehingga begitu besar dan menguasainya kekasih itu di hatinya, sampai
pada saat tidak ada di sisinya tetap merasa ada bersamanya.
Haya’Ubudiyyah adalah rasa malu yang terbentuk oleh rasa cinta, takut, dan kesaksian bahwa ibadah yang dilakukannya belum layak untuk yang disembahnya. Dan sesungguhnya yang disembah itu jauh lebih tinggi dan lebih mulia dari ibadah yang dikerjakannya. Maka ibadah orang itu pasti menimbulkan rasa malu terhadap yang disembahnya.
Haya’ Syarafa dan Izzah, adalah rasa malu seorang yang
merasa besar dan agung ketika melakukan sesuatu yang dibawah ukuran dirinya
baik berupa pengorbanan, pemberian, atau kebaikan. Maka ketika ia hanya dapat
melakukan sesuatu yang jauh lebih kecil dari yang sepatutunya ia kerjakan itu
ia merasa malu pada kehormatan dan kemuliaan dirinya. Hal ini disebabkan oleh
dua hal, yaitu:
Seperti yang disebutkan di atas.
Ia malu karena pengambilan, ia merasakan sepertinya dialah peminta yang mengambil. Sehingga ada sebagian ahlul-karam (orang mulia) yang tidak mampu memandang pemberinya karena merasa malu atas pemberian itu. Hal ini bias masuk dalam bab Haya’ Talawwum (menyalahkan diri) karena ia merasa malu mengambil hal itu.
Sedangkan haya’min nafsihi, adalah rasa malu jiwa orang yang mulia dan terhormat, dan berposisi tinggi ketika ridha dengan dirinya yang melakukan kekurangan, dan qana’ah (menerima) sesuatu yang rendah. Ia merasa malu pada diri sendiri, sepertinya ia memiliki dua jiwa, yang satu malu dari yang lainnya. Inilah rasa malu yang paling sempurna. Sebab jika seorang hamba Allah merasa malu pada dirinya sendiri ia lebih merasa malu kepada orang lain.
Berkata shahibul-manazil (ahli station): “ Al Haya’ adalah
yang terdepan dalam tingkatan ahlu-khushus (orang-orang khusus) yang lahir dari
rasa pengagungan sebagai konsekwensi cinta”.
Sesungguhnya rasa malu itu dijadikan start awal dari tangga
ahlil-khusus karena dalam malu itulah terdapat mulahadhah (pengawasan) hadirnya
orang yang dia malu kepadanya, dan jalan pertama yang dilalui ahlul-khusus
adalah melihat kehadiran Al Haq, Allah swt selalu ada bersamanya. Dan di atas
prinsip itulah ia mambangun sikap hidup.
Kalimat: “Bahwa sesungguhnya rasa malu lahir dari pengagungan sebagai konsekwensi cinta”,[1] artinya: Bahwa rasa malu itu adalah keadaan yang dihasilkan dari pertemuan rasa pengagungan dan cinta. Ketika dua rasa ini bersamaan maka lahirlah rasa malu di antara keduanya. Al Junaid mengatakan bahwa: Kelahiran rasa malu adalah berasal dari kesaksian akan nikmat-nikmat Allah dan kesadaran akan kekurangan diri sendiri.
Dan yang lainnya mengatakan bahwa rasa
malu lahir dari perasaan hati karena sesuatu yang membuatnya malu. Dari perasaan dan penolakan inilah
melahirkan sikap yang desebut al haya’.
Pendapat-pendapat itu tidak ada yang berbenturan. Karena al haya dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab. Seperti yang telah disebutkan terdahulu. Dan masing-masing menunjukkan kepada sebagian penyebab-penyebab itu. Wallahu a’lam.
TINGKATAN AL HAYA’
Ada yang mengatakan bahwa al haya itu
memiliki tiga tingkatan, yaitu:
Tingkat Pertama,
Yaitu rasa malu yang dilahirkan oleh pengetahuan seorang
hamba tentang Al Haq Allah swt. Rasa malu ini mendorongnya untuk tahan dalam bermujahadah,
merasa keji melakukan salah, dan diam dari berkeluh kesah.[2]
Artinya: Ketika seorang hamba Allah menyadari bahwa Allah
selalu melihatnya, ilmu itu akan mengakibatkan rasa malu, yang membuatnya tahan
dalam memikul beban ibadah. Seperti seorang budak yang bekerja di hadapan
tuannya, maka ia akan bekerja dengan sangat gigih, tahan atas segala beban yang
ada, apalagi jika ditambah dengan kebaikan tuannya itu kepadanya, dan cintanya
kepada tuannya. Berbeda jika tuannya tidak ada di hadapannya.
Dan Allah swt tidak pernah absen dalam melihat para hamba-Nya, akan tetap pandangan hati dan perhatian hamba-Nya yang sering absen kepada Allah swt. Dan jika hati sering absen dalam memandang Allah, sedikit memperhatikan Allah swt maka akan melahirkan hati yang sedikit rasa malunya, dan bahkan habis sama sekali.
Demikian juga rasa ilmu itu akan membuatnya merasa jijik untuk berbuat salah. Perasaan yang dihasilkan oleh rasa malu ini melebihi perasaan jijiknya ketika mengingat ancaman Allah. Sehingga rasa malu ini lebih tinggi dari sekedar rasa takut hukuman. Dan lebih tinggi lagi jika perasaan jijik berbuat salah itu muncul dari rasa cinta. Karena perasaan jijik seorang yang mencintai lebih sempurna dari perasaan jijik orang yang ketakutan. Dari itulah rasa malu ini pula mencegah seseorang untuk berkeluh kesah kepada selain Allah, dan hanya mengadu kepada Allah. Rasa malu tidak menghalangi seseorang mengadu kepada Allah karena pengaduan kepada adalah bukti kefaqiran (kebutuhan), penyerahan, dan pengabdian. Sehingga malu dalam hal ini tidak menjadi penghalang.
Tingkatan kedua
Yaitu malu ditimbulkan dari pandangan tentang hakekat
kedekatan (Allah dengan makhluk-Nya) sehingga mendorongnya untuk mencintai,
mengikatnya dengan tali bahagia, dan menjadi tidak suka bergaul dengan
kebanyakan manusia.[3]
Pandangan tentang hakekat kedekatan adalah pembuktian hati yang merasa bersama Allah dengan ma’iyyah khashshah (kebersamaan khusus). Karena ma’iyyah itu ada dua macam, yaitu:
‘Ammah (umum), yaitu kebersamaan Allah
karena pengetahuan dan jangkauan-Nya seperti firman Allah:
Artinya: Dan Dia selalu bersamamu di
manapun kamu berada. QS. 57/Al Hadid: 3
Artinya: Tiada pembicaraan rahasia
antara tiga orang , melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada pembicaraan
rahasia empat orang kecuali Dia-lah yang keenamnya. Dan tiadalah pembicaraan
antara jumlah yang kurang dari itu, atau lebih banyak, melainkan Dia ada
bersama mereka di manapun mereka berada. QS.
58/Al Mujadilah: 7
Khashshah (khusus), yaitu kebersamaan dalam qurb (kedekatan),
seperti dalam firman Allah:
Artinya: Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
bertaqwa dan orang-orang yang berbuat
baik. QS. 16/ An Nahl: 128
Artinya: Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
sabar. QS. 2/Al Baqarah: 153
Artinya: Dan sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang
yang berbuat baik. QS. 29/Al Ankabut: 69
Ma’iyyah qurb inilah yang mengandung pembelaan, pertolongan,
dan pemeliharaan.
Kedua makna sama-sama ini mengiringi hamba Allah, hanya ada
yang sekedar melihat dan menjangkau, dan yang ini kebersamaan dalam pembelaan,
pertolongan, dan perlindungan.
Kata “Ma’a” dalam bahasa Arab memiliki makna “kebersamaan “
yang tidak menunjukkan peleburan, percampuran, persandingan, atau pendampingan.
Dan barang siapa yang menganggap ada makna itu dalam hal ini, maka itu karena
pemahaman yang salah.
Sedangkan “al qurbu/dekat” dalam Al Qur’an tidak pernah
diungkapkan kecuali untuk makna khusus, yaitu ada dua macam kedekatan:
kedekatan dengan para peminta berupa pengkabulan, dan kedekatan dengan para
penyembah berupa pemberian balasan.
Kedekatan pertama, seperti dalam firman Allah:
Artinya: Dan jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, maka sesungguhnya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa pabila ia memohon kepada-Ku. QS. 2/Al Baqarah: 186
Ayat ini turun sebagai jawaban atas
pertanyaan para sahabat kepada Rasulullah saw: “Tuhan kita dekat, sehingga kita
berbisik, atau jauh sehingga kita harus menyeru?” maka turunlah ayat di atas. [4]
Kedekatan kedua, seperti diungkapkan dalam
hadits Nabi:
Artinya: Keadaan seorang hamba yang
paling dekat dengan Tuhannya adalah pada saat ia bersujud. Dan keadaan Allah
yang paling dekat dengan hamba-Nya adalah di tengah malam.
Kedekatan ini adalah kedekatan Allah
dengan para hamba yang mentaati-Nya. Dalam hadits shahih disebutkan :
Artinya: Dari Abu Musa al Asy’ari ra
berkata: Kami pernah bersama Nabi Muhammad saw dalam sebuah perjalanan, lalu
suara kami keras-kerasan mengumandangkan takbir. Ketika itu Rasulullah mengingatkan:
Wahai sekalian manusia, perhatikanlah dirimu masing-masing, sesungguhnya kalian
tidak menyeru kepada yang tuli atau yang gaib (tidak ada) sesungguhnya yang
kalin seru adalah Maha Mendengar dan Maha Dekat, lebih dekat denganmu daripada
leher hewan tungganganmu.
Kedekatan ini adalah kedekatan khusus,
dengan para peminta lewat doa’ ibadah, pujian dan sanjungan. Kedekatan ini
tidak mengurangi kesempurnaan Allah yang berbeda dengan makhluk-Nya, bersingga
sana di atas ary-Nya. Kedekatan Allah tidak seperti kedekatan fisik dengan
benda lainnya. Allah Maha Tinggi dari semua itu. Tetapi kedekatan Allah adalah
bentuk lain. Dalam kehidupan nyata kita temukan bukti jelas, bahwa jiwa
seseorang akan sangat dekat dengan kekasihnya walaupun keduanya dipisahkan oleh
jarak yang jauh, dan bahkan kedekatan rasa itu melebihi kedekatan seseorang
dengan orang yang ada di sisinya. Seperti yang dikatakan dalam sebuah syair:
Aduhai!
Banyak yang mendekat,
mengaku cinta sudah melekat
Akan tetapi yang lebih jauh
terpisah
Lebih dicinta dan lebih dekat
Ahlussunnah adalah, pendukung, pewaris dan
kekasih Rasulullah. Orang-orang yang menjadikan Rasulullah lebih dibela dan
dicintai daripada dirinya sendiri, jiwa mereka lebih dekat dengannya, meskipun
mereka berada di belahan bumi yang jauh dari rumah Nabi di Madinah. Para
kekasih yang merindukan Ka’bah-Baitil Haram, hati dan jiwa mereka lebih dekat
dengan Ka’bah melebihi orang-orang yang bertetangga dengannya. Ini bisa terjadi
pada orang yang tidak mampu mendatanginya. Lalu bagaimana dengan Dzat yang dapat mendekati siapa saja dari
makhluk-Nya, bersingga sana di atas arsy-Nya. Ahludzdzauiqi (orang yang telah
menemukan cita rasa ini) tidak tergoyahkan oleh sybhat para Mu’aththil
(menafikan sifat Allah) yang jauh dari Allah, sunyi dari cinta dan ma’rifah.
Al Qashdu (tujuan). Kedekatan ini akan
mendorong orang untuk naik kendaraan mahabbah (cinta), semakin ia cinta semakin
ia dekat. Mahabbah berada di antara dua kedekatan, kedekatan sebelumnya dan
kedekatan sesudahnya. Dan mahabbah berada di antara dua ma’rifah, yaitu:
ma’rifah sebelumnya yang membawa, mengajak dan menuntunnya, dan ma’rifa
sesudahnya yaitu hasil dan pengarunya.
Sedangkan keterikatannya dengan ruhul-unsi
(kebahagiaan), yaitu kebahagiaan hati karena bergantung dengan Allah, dengan
keterikatan kuat yang tidak terpisahkan. Antara hati dan kebahagiaan itu
terdapat simpul mati. Dan hal ini akan membuatnya tidak suka berbaur dengan
kebanyakan makhluk. Terdapat kecemasan ketika berbaur dengan mereka sesuai
dengan kebahagiaannya bersama Tuhannya, dan ketenangan hati karena cinta dan
kedekatannya. Tidak ada selain Allah yang menyertainya. Ia berbaur dengan
makhluk lain hanya dengan fisiknya, tidak dengan jiwa danhatinya, sebab hati
dan jiwanya berada di tempat yang lain, dan fisiknya berada di tempat yang
lain.
3. Tingkatan ketiga.
Yaitu rasa malu yang lahir dari syuhudul
hadhrah (kesaksian akan kehadiran Allah). Rasa malu ini tidak terkontaminasi
oleh ketakutan kepada Allah, tidak ada keinginan untuk berpisah, wala yuqafu laha
ghayah (dan tidak pula terhenti pada satu tujuan).
Syuhudul-hadhrah adalah tercabutnya jiwa dan hati dari alam semesta, dan terdiam di hadapan Pencipta alam raya. Ia merasa berada ada di sisi-Nya. Dan ketika hati telah sampai seperti ini rasa takut akan melingkupinya, dan hilang keinginan untuk berpisah dari-Nya, tidak ada yang beserta Allah kecuali dirinya. Tidak terlintas di hatinya dalam keadaan itu selain Allah. Inilah maqam al Jam’iyyah (station pertemuan).
Wala yuqafu laha ghayah, artinya bahwa setiap
orang yang telah menemukan apa yang ia cari, dan mendapatkannya ia telah sampai
kepada tujuannya, kecuali orang yang berada dalam kenyataan ini. Sesungguhnya
tidak pernah ada tujuan yang berhenti di hadapan Allah Pencipta alam. Hal ini mustahil, karena ketika ia merasa telah
berada di batas itu, dan menyaksikan kehadiran Allah yang menjadi tujuan awal,
ia akan segera berhadapan dengan seuatu yang baru dan tidak berbatas. Semua
tujuan dan batas terhenti pada firman Allah:
Artinya: Dan bahwasannya kepada
Tuhanmulah kesudahan segala sesuatu. QS. 53/An Najm: 42
Ketika itulah berhenti semua tujuan, dan
Allah swt tidak ada batasnya, tidak dalam wujud-Nya maupun dalam tambahan
kedermawanannya. Dialah Yang Maha Awwal tidak ada yang mendahului-Nya, dan Maha
Akhir tidak adal lagi sesudah-Nya. Tidak ada batas untuk memuji dan tidak ada
batas ketika Dia memberi, semakin bertambah syukur hamba-Nya semakin bertambah
pemberian-Nya. Semakin bertambah patuh kepada-Nya semakin ditambah kedudukan
dan balasannya. Semakin dekat kepada-Nya, akan terkuak baginya kebesaran dan
keagungan Allah yang belum pernah ditemukan sebelumnya.Demikianlah selamanya,
tidak berhenti pada batas tujuan tertentu, sehingga dikatakan:
Artinya: Sesungguhnya penghuni surga
itu selalu mendapatkan tambahan yang tidak pernah terhenti.
Kerena nikmat surga yang terus bersambung,
tidak ada batas bagi anugerah dan pemberian Allah. Maha Tinggi Allah Yang
Memiliki Kebesaran dan Keagungan. Firman Allah:
Artinya: Sesungguhnya ini adalah rizki
dari Kami yang tiada habis-habisnya. QS. 38/Shad: 54
Dalam hadits Qudsiy disebutkan:
Artinya: Wahai hamba-Ku, seandainya
dari yang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin berada di satu
tempat, lalu mereka semua meminta kepada-Ku dan Aku berikan setiap orang sesuai
dengan permintaan-Nya, maka semua tidak akan mengurangi sedikitpun dari
kepunyaanKu, kecuali seperti jarum yang membawa air laut ketika dicelupkan.
PENDAPAT ULAMA TENTANG AL HAYA’
Al Jurjani mengatakan: Al Haya’ adalah
pengunduran diri dan meninggalkan sesuatu karena takut tercela.[6]
Ada yang mengatakan bahwa al haya adalah
akhlaq yang memacu seseorang untuk meninggalkan sesuatu yang buruk, dan
mencegahnya mengurangi hak orang lain. [7]
Ar Raghib mengatakan: Al Haya’ adalah
pengunduran diri dari kebiasaan yang biasa dilakukan secara fisik karena ia
melihat kekurangan hal itu, tetapi dalam keadaan yang tidak memungkinnya
menghindar lagi secara fisik.
Ada yang mendefinisikan lagi; bahwa al
haya adalah meninggalkan keburukan-keburukan karena takut celaan.
Al Jahidh mengatakan: Al Haya adalah salah
satu bentuk ketenangan, yaitu pengendalikan anggota tubuh dan pengurungan
bicara karena merasa malu kepada seseorang. Al Haya adalah kebiasaan terpuji
selama tidak berasal dari kelemahan dan ketidak berdayaan.[9]
Ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa al haya termasuk dalam
sifat-sifat mulia yang masuk dalam bab iffah, dan al haya adalah yang pertama,
kemudian ia mendefinisikannya dengan mengatakan: “Al Haya adalah menarik diri
karena takut melakukan sesuatu yang tercela, dan waspada terhadap celaan dan
cacian”. [10]
Ibnu ‘Allan berkata: “Al haya adalah
akhlaq yang mendorong seseorang meninggalkan segala yang tercela berupa ucapan,
dan pebuatan. Dan akhlaq yang mencegah seseorang untuk mengurangi hak orang
yang berhak”
Ada yang mengatakan: Al haya’ adalah
kemampuan yang melekat pada jiwa seseorang yang mendorongnya untuk
mempertahankan hak-hak orang lain, meningglkan pemutusan dan pengingkaran. [11]
Ibnu Miftah Al Hanbali mengatakan:
“hakekat haya adalah akhlaq yang mendorong untuk melakukan perbuatan baik dan
meninggalkan yang buruk”. [12]
An Nawawi berkata, telah disampaikan
kepadaku dari Abul Qasim al Junaid, rahimahullah, yang mengatakan: “Al haya
adalah pengakuan akan nikmat Allah dan pengakuan akan kekurangan dirinya,
kemudian melahirkan sikap yang disebut al haya’.[13] Dari dari ungkapan ini adalah
bahwa al haya itu keadaan jiwa yang lahri dari pengakuan dua hal, yaitu:
pengakuan nikmat dari satu sisi, dan pengakuan kekurangan diri pada sisi lain.
Dan ungkapan ini khusus tentang malu kepada Allah swt.
Fadhlullah al Jailani berkata: Al haya
adalah perubahan dan frustasi yang terjadi pada seseorang karena takut celaan
dari perbuatan yang hakekatnya buruk.[14]
AL HAYIYYU ADALAH SIFAT ALLAH SWT
Di antara sifat Allah swt adalah “Al
hayiyyu” seperti dalam hadits Nabi,
Artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu itu Maha
Malu,dan Mulia. Ia malu dari hamba-Nya….”
Arti ungkapan ini adalah yang Maha Sempurna
rasa malunya.
Tujuan dari sifat Allah yang demikian itu
adalah bahwa Allah melakukan sesuatu yang mudah, meninggalkan yang berbahaya,
dan memberi tanpa diminta. [15]
Fairuz Abadi mengatakan: “Adapun malu
Allah swt dari hamba-Nya adalah bentuk lain yang tidak terjangkau akal manusia.
Karena sesungguhnya rasa malu-Nya adalah malu kemurahan, kebaikan, dan
kedermawanan. Ia malu kepada hamba-Nya yang menengadahkan kedua tangan dan
kembali dengan hampa, dan malu menyiksa orang tua yang sejak muda tumbuh dalam
Islam. [16]
MACAM AL HAYA
Rasa malu itu dua macam, yaitu ghariziy
(bakat) dan muktasab (hasil belajar). Dan malu muktasab inilah
yang dijadikan agama sebagai bagian dari iman. Dialah rasa malu yang diwajibkan
untuk dikuasai, bukan yang ghariziy. Dan seseorang mungkin dapat membentuk
dirinya dengan malu muktasab sehingga menjadi seperti gharizah.
Rasulullah saw telah mampu menggabungkan
dua macam rasa malu itu. Secara gharizah ia sangat malu, bahkan melebihi para
gadis dalam pingitannya. Dan dalam menguasai malu muktasab ia telah sampai pada
klimak tertingginya. [17]
Al Manawiy berkata: malu itu ada dua
macam, malu nafasaniy (kejiwaan) yaitu yang sudah tercipta dalam
jiwa secara umum, seperti malu membuka aurat, berhubungan seksual di depan
umum, dan malu imaniy yaitu pencegahan diri seorang muslim
melakukan perbuatan harm karena takut kepada Allah. [18]
Dan penulis Al Adab Asy Syar’iyyah
meriwayatkan dari banyak ulama yang mengatakan: bahwa rasa malu itu bisa
berbentuk sifat yang melekat pada diri seseorang, atau proses belajar
sebagaimana amal kebaikan lainnya, terkadang juga gharizah. Dan yang
dikehendaki syari;ah adalah malu yang muktasab disertai dengan niat dan ilmu. [19]
MA’SIYAT AKAN MELUNTURKAN RASA MALU
Ibnul Qayyim -rahimahullah-berkata: Di
antara hukuman ma’siat adalah hilangnya rasa malu yang merupakan dinamika hati,
dan dasar semua kebaikan, dan hilangnya kebaikan secara keseluruhan. Dalam
hadits shahih disebutkan : “bahwa rasa malu adalah kebaikan semua”. Maksudnya
bahwa dosa-dosa itu akan melmpuhkan rasa malu pada seseorang, sampai rasa malu
itu tercabut semuanya, sehingga ia tidak terpengaruh oleh pengetahuan tentang
keburukan dirinya, atau penglihatan umum atas dirinya, bahkan kebanyakan mereka
menceriterakan keburukan yang diperbuat. Dan yang mendorong semua itu adalah
tercabutnya rasa malu. Dan ketika seseorang telah sampai pada batas ini maka
tidak ada lagi harapan untuk baik. Dan ketika iblis melihatnya dia memberikan
ucapan selamat, dan mengatakan: “ Selamat, wahai orang yang tidak beruntung,
dan orang yang tidak punya malu di dunia ia telah mati dan di akhirat akan
menjadi orang merugi”.
Antara dosa, tidak punya malu, dan tidak
punya ghirah (cemburu) memiliki keterikatan erat satu dengan lainnya,
masing-masing menarik sisi yang lain dan mendorongnya.
Barang siapa malu kepada Allah ketika
berbuat ma’siyat, maka Allah akan malu menghukumnya di hari kiamat. Sedangkan
orang yang tidak malu ketika berbuat ma’siyat maka Allah tidak malu untuk
menghukumnya di hari kiamat. [20]
AL HAYA DAN AMAR MA’RUF
Al haya yang sebenarnya tidak mencegah
seseorang melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Penulis “Fadhlullah Ash Shamad”
menngatakan: Jika ada orang yang mengatakan bahwa orang yang memiliki rasa malu
terkadang malu menghadapi al haq (kebenaran), sehingga ia tidak melakukan amar
ma’ruf nahi munkar, dan bahkan rasa malunya terkadang mempengaruhinya untuk
meninggalkan sebagian al haq, dsb yang jelas ma’ruf. Maka saya katakan tentang
orang itu bahwa ia tidak memiliki rasa malu yang sesungguhnya, tetapi al ‘ajz
(ketidak mampuan), minder dan rendah diri, sering disebut rasa malu karena ada
kemiripan dan majaz (bukan yang sebenarnya).[21]
Disebut rasa malu yang sebenarnya jika perbuatan yang membuatnya malu adalah perbuatan yang hakekatnya tercela, maka tidak termasuk di dalamnya adalah hal-hal yang dianggap tidak baik oleh sebagian orang padahal sesungguhnya hal itu baik. Dan juga tidak termasuk dalam hal ini sesuatu yang sudah buruk tetapi jika tidak menarik diri akan terjerumus kepada hal yang lebih buruk lagi. Seperti seorang wanita yang bernyanyi-nyanyi di tempat yag sunyi, kemudian ia didatangi orang jahat yang hendak memperkosanya, kemudian ia tidak mau berteriak meminta tolong karena khawatir beritanya akan menyebar. Kalau ia berfikir panjang maka berteriak meminta tolong itu bukan sesuatu yang buruk, jika memang ia tidak ingin berbuat keji, dan orang lain akan memujinya sebagai orang yang mampu menjaga harga diri, dan komitmen dengan kebenaran, ketika orang lain mendengar ia berteriak meminta tolong, mereka akan datang dan memberikan pertolongan. Demikianlah diberlakukan hadist Nabi:
Artinya: “Rasa malu itu tidak
mendatangkan kecuali kebaikan”, itulah hakekat rasa malu. Dan Rasulullah
adalah orang yang sangat malu, melebihi
para gadis dalam pingitannya, dan itu menjadi teladan kita, Beliau tidak
terhalang untuk marah ketika ada pelanggaran aturan Allah. [22]
RASA MALU SUMBER SEGALA KEBAIKAN
Ibnul Qayyim –rahimahullah- mengatakan:
rasa malu adalah akhlak yang paling utama, paling agung, paling tinggi
kedudukannya, dan paling banyak manfaatnya, dan bahkan rasa malu adalah ciri
manusia. Maka barang siapa yang tidak memiliki rasa malu maka ia telah
kehilangan kemanusiannya, yang ada tinggal daging dan darah, serta bentuk fisik
yang tampak. Sebagaimana ia tidak lagi memiliki kebikan sedikitpun. Jika tidak
ada rasa malu, maka tidak ada jamuan untuk tamu, tidak ada tepat janji, tidak
tertunaikan amanah, tidak ada pemenuhan kebutuhan orang lain, tidak ada
pemilihan orang yang baik untuk diprioritaskan, dan orang yang buruk untuk
disisihkan, tidak ada pakaian dan menutup aurat, tidak ada penghindaran dari
keburukan. Dan banyak orang yang jika tidak lagi memiliki rasa malu ia tidak
akan menunaikan kewajibannya, tidak menjaga hak orang lain, tidak menyambung
silaturrahim, tidak berbakti kepada kedua orang tua. Sebab yang menjadi
motivator hal-hal di atas bisa bersifat relegius, yaitu mengharapkan hasil yang
baik, atau motivasi duniawi yang luhurm yaitu rasa malu pelakunya dari sesama
manusia.
Maka sudah sangat jelas bahwa jika tidak ada rasa malu, baik kepada Al Khaliq (Allah) maupun kepada makhluk, orang tidak akan melakukannya. Kemudian Ibnul Qayyim –rahimahullah- mengatakan: “Sesungguhnya manusia itu mempunyai pendorong dan pencegah, dari sudut rasa malu. Jika ia mau mengikutinya ia akan mengendalikan dari semua yang menjadi keinginannya, ia juga memiliki pendorng dan pencegah dari sisi selera dan tabiat, maka barang siapa tidak mematuhi perintah rasa malu dan pencegahannya, ia pasti akan mengikuti perintah selera dan tabiatnya.[23]
HADITS NABI TENTANG AL HAYA
Dari Abdullah ibnu Mas’ud ra. Berkata:
Rasulullah saw bersabda: ”Malulah kamu semua kepada Allah dengan
sebenar-benarnya rasa malu!” Ibnu Mas’ud berkata: Kami bertanya: “Ya
Rasulullah, sesungguhnya kami telah malu, alhamdulillah”. Rasulullah bersabda:
“Bukan itu, tetapi rasa malu kepada Allah yang sesungguhnya adalah: Hendaknya
kamu menjaga kepada dan yang menjadi isinya, perut dan isinya, mengingat mati
dan kehancuran. Dan barang siapa menghendaki akhirat ia akan tinggalkan hiasan
dunia. Maka barang siapa melakukan hal ini ia sungguh telah malu kepada Allah
dengan sebenar-benarnya malu. (HR. At Tirmidzi)
Dari Said bin Zaid Al Anshari ra, sesungguhnya ada seseorang yang meminta: “ Ya Rasulallah, berikanlah wasiat kepadaku”. Rasulullah bersabda: “Aku berwasiat kepadamu agar kamu malu kepada Allah swt sebagaimana kamu malu kepada orang shaleh di kaummu”. HR Ahmad dan Al Baihaqi.
Dari Abu Ayyub al Anshariy ra berkata: Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pemalu, Maha Mulia. Ia malu jika dari seorang
hamba-Nya yang menengadahkan tangannya memohon kepada-Nya kemudian kembali
dengan tangan hampa, tidak mendapatkan apa-apa. HR. At Tirimidzi, dan Abu Daud.
Dari Al Asyajj Abdul Qais, berkata:
Rasulullah bersabda kepadaku: “Sesungguhnya kamu memiliki dua hal yang Allah
mencintainya”. Saya bertanya: “Apa saja dua hal itu?” Rasulullah menjawab: “al
hilmu (tidak cepat menghukum) dan rasa malu”. Saya bertanya lagi: “Keduanya
sudah lama, atau baru?” Jawab Nabi: “Sudah lama”. Saya mengucapkan: “Segala
puji bagi Allah yang Memberikan kepadaku dua hal yang disukainya”. HR. Ahmad,
Ibnu Majah. Al Bukhari dan Muslim.
Dari Anas ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlaq dan akhlaq Islam adalah rasa malu”. HR. Ibnu Majah, Malik
Dari Abu Mas’ud Al Badriy ra berkata:
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya ucapan lenabian pertama yang diterima
umatnya adalah: Jika kamu tidak malu lakukan apa saja”. HR. Al Bukhariy
Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah
saw bersabda: “Iman itu ada tujuh puluh lebih cabangnya, dan rasa malu adalah
salah satu cabang iman”. HR. Al Bukhariy,
Muslim.
Dari Ummu Salamah ra berkata: Ummu Sulaim pernah datang
menemui Rasulullah saw, lalu berkata: “Sesungguhnya Allah tidak malu dari
makhluk-Nya. Apakah wanita itu wajib mandi jika bermimpi? Nabi menjawab: Jika
melihat ada air (sperma) yang keluar. Kemudian Ummu Salamah menutup wajahnya dan mengatakan: “Ya Rasulallah: Apa memang
wanita juga bermimpi”. Rasulullah menjawab: ”Ya, lalu dari mana ada kemiripan
dengan anaknya?”. HR. Al Bukhari dan Muslim.
Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: “
Malu adalah sebagian dari iman. Iman itu tempatnya di surga. Dan Ucapan
keji/jorok itu itu sebagian dari sikap permusuhan, dan permusuhan itu tempatnya
di neraka”. HR. At Tirmidzi dan Al Hakim.
Dari Abdullah ibnu Umar ra berkata: Rasulullah saw bersabda:
“Rasa malu dan iman selalu berbarengan, jika ada salah satu terangkat maka
terangkat pula yang lainnya”. HR. Al Hakim.
Dari Abu Said al Khudzriy ra berkata: “Rasulullah itu sangat
pemalu, melebihi para gadis dalam pingitannya”. HR. Al Bukhari dan Muslim
Dari Abdullah ibnu Umar ra berkata: “Rasulullah pernah melewati seorang Anshar yang sedang menasehati saudaranya tentang malu. Lalu Rasulullah bersabda: “Biarkan ia menasehatinya karena malu itu sebagian dari iman”. HR. Al Bukhari dan Muslim.
Dari Aisyah ra berkata: “Ketika ada berita yang kurang
menyenangkan tentang seseorang Rasulullah tidak mengatakan: ”Mengapa kamu
kataka ini-ini” Tetapi ia mengatakan dengan global: “ apa yang terjadi pada
kaum…..” HR. Ibnu Abid-Dunya.
CONTOH APLIKATIF RASA MALU DALAM KEHIDUPAN NABI MUHAMMAD SAW
Dari Aisyah ra berkata: Suatu saat Rasulullah tidur-tiduran
di rumahku, tersingkap kedua paha atau betisnya. Ketika itu Abu Bakar ra
meminta izin masuk lalu beliau mengizinkan dengan posisinya itu. Keduanya
berbicara, kemudian Umar meminta izin mau masuk dan beliau mengizinkannya tanpa
merubah posisinya. Terjadi perbincangan. Kemudian Utsman meminta izin masuk,
Rasulullah duduk dan merapikan pakaiannya. Ketika mereka sudah keluar, Aisyah
bertanya: “Ketika Abu Bakar masuk engkau tidak merubah posisi, ketika Umar masuk
engkau tidak merubah pisisi, tetapi ketika Utsman masuk engkau duduk dan
merapikan pakaianmu? Rasulullah menjawab: “Tidakkah aku malu kepada seseorang
yang Malaikat malu kepadanya”. HR.
Muslim.
Dari Aisyah ra berkata: “Sesungguhnya ada seorang wanita Anshar bertanya kepada Nabi: Bagaimana cara mandi dari haidh? Rasulullah menjawab: “Ambillah segumpal kapas kemudian bersihkan tiga kali”. Kemudian Rasulullah malu dan memalingkan wajahnya dengan mengatakan: “Bersihkan dengannya”. Lalu aku (Aisyah) menariknya dan memberitahukan (mencontohkan) kepadanya apa yang Rasulullah maksudkan. HR. Al Bukhari dan Muslim.
ATSAR, UCAPAN ULAMA DAN AHLI TAFSIR TENTANG MALU
Abu Bakar pernah mengatakan saat berkhutbah: “Wahai umat
manusia, malulah kamu semua kepada Allah. Demi Dzat yang jiwaku ada di
tangan-Nya, sesungguhnya ketika aku buang hajat di tanah lapang, akau
menutupkan pakaianku karena malu kepada Tuhanku Yang Maha Agung dan Maha Mulia.[24]
Umar ra berkata: “Barang siapa yang sedikit rasa malunya,
maka sedikit pula wara’nya (menghindari dosa saat mampu melakukannya), dan
barang siapa yang sedikit wara’nya, maka akan mati hatinya”. [25]
Ibnu Mas’ud berkata: “Barang siapa yang tidak malu kepada
sesama manusia maka ia tidak malu kepada Allah”. [26]
Ali berkata: Saya adalah orang yang mudah keluar madziy,
tetapi aku malu menanyakannya kepada Rasulullah saw, lalu aku meminta Al Miqdad
ibnu Al Aswad menanyakannya. Dan ketika ia menanyakannya Rasulullah menjawab:
“Cukup berwudhu”. [27]
Iyas ibnu Qurrah berkata: Saya pernah berada bersama Umar
bin Abdul Azis, ketika itu dibicarakan tentang malu, mereka mengatakan: malu
itu sebagian dari agama. Umar berkata: “Bahkan malu itu adalah agama secara
keseluruhan”. [28]
Wahb ibnu Munabbih berkata: “Iman itu telanjang dan
pakaiannya adalah taqwa, hiasannya adalah rasa malu, dan kekayaannya adalah
iffah (menjaga kehormatan diri dari meminta-meminta). [29]
Mujahid berkata: “Orang yang malu dan sombong tidak akan
dapat memperlajari ilmu”. Dalam kesempatan lain ia mengatakan: “Jika seorang
muslim tidak menemui saudaranya, maka rasa malunya dari saudaranya itu cukup
untuk mencegahnya dari perbuatan ma’siat. [30]
Al Hasan Al Bashriy berkata: “Malu dan dermawan adalah dua
sisi kebaikan, yang jika berada pada seseorang, maka pasti akan mengangkatnya
di sisi Allah swt.[31]
Al Fudhail bin Iyadh berkata: “Ada lima tanda kerugian,
yaitu: keras hati, mata jumud (beku), sedikit rasa malu,cinta dunia, dan
panjang angan-angan”.
Ada seorang penyair yang mengatakan:
Jika ujung malam tidak kau takuti
Rasa malu tidak kau miliki
Maka lakukan apa yang kau
kehendaki
Demi Allah,
Keindahan hidup tak akan pernah
lagi ada
Tiada pula indah dunia
Ketika malu telah tiada
Seseorang akan hidup dengan
terhormat
Jika malu masih terawat
Seperti batang kayu tetap kuat
Di antara ungkatan ahli hikmah:
“Hidupkanlah rasa malu dengan duduk di sisi orang yang kamu malu kepadanya.
Ramaikan hati dengan wibawa dan malu. Ketika kedunya telah pergi meninggalkan
hati, maka tidak ada lagi kebaikan yang tersisa”.
Dzunnun Al Mishriy berkata: “Rasa malau
itu adalah adanya wibawa di hati, disertai dengan ketakutan masu lalu yang
telah kamu lakukan kepada Rabbmu. Cinta itu berbicara, rasa malu membungkam,
dan rasa takut menggetarkan”.
Ibnu Abdil Barr, menuturkan dari Nabi
Sulaiman as: “ Malu itu adalah struktur iman, maka jika strukturnya berantakan,
akan hilang semua isinya”. [33]
Ma’bad Al Juhaini mengatakan tentang
firman Allah: “Dan pakaian taqwa itulah yang baik. (QS. 7/ Al A’raf: 26)
Pakaian taqwa adalah rasa malu”.
Al Hasan Al Bashri berkata: “Empat hal
yang jika dimiliki seseorang maka ia akan sempurna. Dan jika salah satunya
dipegangi maka ia akan menjadi yang terbaik di kaumnya, yaitu : Agama yang
membimbingnya, akan yang meluruskannya, status sosial yang menjaganya, dan malu
yang menuntunnya”. [34]
Al Ashmu’iy berkata: Saya pernah mendengar
seorang Arab Badui berkata: Pakaian akhlaq itu ada sepuluh, yaitu: Benar dalam
bertutur kata, menjadi teladan yang benar dalam mentaati Allah, memberi kepada
peminta, membalas kebaikan orang lain, menyambung silaturrahim, menunaikan
amanah, menanggung jawabi tetangga, menanggung jawabi sahabat, menyuguhi tamu,
dan menjadika rasa malu sebagai kepala semua itu. [35]
Abu Bakar ibnu Abid-Dunya (penulis kita
Makarimul Akhlaq): Kami mulai menulis al haya karena ucapan Ummul Mukminin ra:
“Kepala semua kemuliaan akhlaq adalah rasa malu”. [36]
Dari Ka’b Al Akhbar berkata: “Tidak akan
pernah ada rasa malu yang melekat pada seseorang sekecil apapun kemudian ia
terjilat api neraka”. [37]
Dari Sulaiman (kemungkinan bin Abdul Malik)
berkata: Ketika Allah menghendaki kehancuran seorang hamba, Allah cabut darinya
rasa malu. Dan jika rasa malu telah tecabut maka tidak ada lagi yang
menempelnya kecuali kebencian yang menjijikkan. [38]
Shalih bin Janah berkata:
Jika air wajah sudah berkurang, maka akan
hilang rasa malu
Dan tidak ada kebaikan di wajah
yang sedikit airnya.
Dari Ibnu Al A’rabiy, ada seorang Arab
badui mengatakan:
Sesungguhnya aku melihat orang yang tidak
punya malu dan tidak amanah
Bagikan orang yang telanjang bulat
di tengah kerumunan ummat
DI ANTARA MANFAAT MALU
Malu merupakan pilar Iman dan kesempurnaan
Islam
Menajuhkan diri dari ma’siyat karena takut
cacat di hadapan Allah
Memotivasi untuk patuh kepada Allah karena cinta
Menjauhkan seseorang dari cemoohan dunia
dan akhirat
Pokok dari seluruh cabang-cabang iman
Memberikan pakaian kematangan, sehingga tidak melakukan
segala sesuatu yang akan merusak harga diri, mampu menghormati orang lain, dan
tidak menyakiti orang-orang yang berhak untuk dihormati.
Tidak menghalangi untuk menghadapi ahlul-bathil dan pelaku
kejahatan
Bukti kemuliaan diri dan mutu pertumbuhan
Satu dari sifat para nabi, sahabat, dan
tabi’in
Orang memiliki sifat malu akan dicatat
dalam barisan orang-orang yang dicintai Allah.
Wallahu
a’lam
[1] Manazilussairin, hal. 54
[2] ibid, hal. 54-55
[3] ibid, hal 55
[4] Riwayat Ibnu Abi Hatim dari Muawiyah ibn Haidah, dan Ibnu Jarir dan
Abu As Syaikh, ( Tafsir Ibnu Katsir, I hal. 218
[5] Al Fath I, 52
[6] At Ta’rifat, 94
[7] Riyadhushshalihin 272, Al Fath I, 52
[8] At Tauqif ala Muhimmatitta’arif, 150
[9] Tahdzizbul-Akhlaq, Al Jahizh,
[10] Tahdzibul-Akhlaq fi At Tarbiyah, Ibnu Mikawaih, hal. 17 (dengan
sedikti ringkasan)
[11] Dalilul-falihin, III, 158
[12] Al Adab As Syar’iyyah wal Al Munah Al Mar’iyyah, II, hal 227
[13] Riyadhushshalihin, 246
[14] Fadhlullah as Shamad, II, 54
[15] Badzlul-Majuhul, VIII, hal 328 (dengan olah redaksi)
[16] Bashairu dzawit-tamyiz, II hal. 517
[17] Fathul Bariy, X, hal 522-523
[18] At Tauqif ala Mahamit-ta;rif, 150
[19] Al Adab Asy Syar’iyyah wal Munah al Mar’iyyah II, 227
[20] Ad Da’u wa Ad Dawa’u, hal. 131-133
[21] Fadhlullah Ash Shamad, II, hal 54
[22] ibid, II, hal. 691-692
[23] Ringkasan dari kitab Miftah Dar As Sa’adah, Ibnul Qayyim, 277
[24] Makarimul Akhlaq, Ibnu Abid-Dunya, 20
[25] ibid
[26] ibid
[27] ibid
[28] ibid
[29] ibid
[30] ibid, hal 84
[31] ibid, hal 24
[32] Fairuz Abadi, Bashairu Dzawit-Tamyiz, 155, Fadhlullah As Shamad,
II, 57
[33] Al Adab Asy Syar’iyyah, II, 227
[34] ibid
[36] ibid, hal. 61-62
[37] ibid, hal. 83
[38] ibid, hal. 89
No comments:
Post a Comment