Salah satu fenomena yang cukup
menghebohkan dunia Islam saat ini adalah adanya sekelompok umat yang aktif
mengkafirkan kelompok lainnya. Mereka memandang bahwa orang-orang yang ada di
luar kelompoknya, atau yang tidak berbaiat kepada imam mereka sebagai kafir,
murtad dan keluar dari Islam.
Bahkan terkadang dosa-dosa yang dilakukan
oleh umat Islam ini sudah cukup dijadikan dasar oleh mereka untuk memposisikan
umat Islam di dalam kekafiran.
Lebih jauh lagi, para pemimpin negeri
Islam dan termasuk juga ulama pun dikafirkan karena dianggap mendiamkan
kemungkaran. Jadi dalam pandangan mereka, tidak harus menjalankan kemungkaran,
tapi sekedar mendiamkan kemungkaran pun sudah bisa membuat seseorang atau
sebuah pemerintahan menjadi kafir.
Maka setiap kali berbeda pendapat
dengan orang lain, mereka dengan mudah menyerang lawan bicaranya itu dengan
julukan kafir. Seolah-olah di dunia ini hanya dirinya saja yang berhak menganut
agama Islam, sedangkan orang lain sangat rentan untuk menjadi kafir.
1.
Latar Belakang Munculnya Takfir
Untuk bisa menanggapi fenomena
tersebut, tidak ada salahnya bila kita coba untuk menelusuri latar belakang dan
motivasi yang menyebabkan sebagian saudara kita melakukannya. Sebab dengan
mengenal latar belakang dan motivasinya, kita bisa memahami alur berpikir
mereka. Dan dengan itu, kita pun bisa melakukan koreksi dan memberikan masukan
yang positif atas pendapat itu.
A. Fenomena
tersebarnya kekufuran, kemaksiatan serta kemurtadan di tengah masyarakat Islam
memang sudah sedemikian parah. Para penyeru kebatilan menarikan tarian syetan
tanpa malu dan tanpa harga diri di depan hidung kita. Mereka dengan luluasa
memanfaatkan media informasi untuk menyiarkan dan menyebarkan kebatilan tanpa
ada upaya pencegahan yang berarti. Seks bebas, pelacuran, pemerkosaan,
pencurian, khamar, narkotika, kolusi di antara penguasa serta pelecehan hukum
dan agama telah membuat darah pendukung takfir ini bergejolak untuk bertindak.
B. Tingkat
toleransi dari sebagian ulama yang terlalu berlebihan mengakibatkan tidak
sabarnya kelompok pentakfir untuk segera mengeluarkan vonis kafir kepada siapa
saja yang dipandang keluar dari ajaran Islam.
C. Umumnya
mereka yang suka mengkafirkan orang lain itu adalah generasi muda, punya niat
ikhlas, semangat membara, fitalitas yang tingggi, taat beribadah, punya
semangat amar ma'ruf nahi mungkar dan punya rasa memiliki atas umat ini yang tinggi.
Dan paling utama adalah rasa keprihatinan mereka atas apa yang kita saksikan
termasuk kerusakan moral, akhlaq, adab Islam, kemurtadan dan tekanan kekuatan
kafir. Semua problem itu demikian menyiksa batin mereka sehingga keluarlah
mereka dari kearifannya dan masuk ke wilayah yang out of control.
D. Namun energi
yang tinggi itu tidak diimbangi dengan kemampuan syar'iyah yang mendasar.
Kurangnya latar belakang kafaah syar'iyah dan pendalaman bidang hukum Islam
telah membuat mereka cenderung untuk mengambil ayat-ayat yang mutasyabihat dan
meninggalkan yang muhkamat. Selain itu karena kurang luasnya wawasan mereka,
sehingga seringkali mereka hanya menemukan sepotong dalil dan terluput dari
dalil lainnya. Akibatnya pemahaman mereka menjadi sepotong-sepotong, tidak
lengkap dan tidak komprehensif.
2.
Bahaya Menuduh Kafir Kepada Seorang Muslim
Sesungguhnya perkataan tafsiq (menuduh fasiq), tabdi' (menuduh bid’ah) dan takfir (menuduh kafir) adalah kalimat
kotor yang tidak akan hilang begitu saja. Bila kata-kata itu dilontarkan kepada
manusia, maka akan mempunyai dampak.
"Bila seseorang berkata kepada saudaranya, hai si kafir! maka sungguh
akan kembali ucapan itu kepada salah satu dari keduanya" (HR Bukhari
VII/97 dari Abi Hurairah)
"Barangsiapa yang melaknat seorang mukmin, maka dia seperti
membunuhnya dan barang siapa yang menyatakan seorang mukmin dengan kekafiran,
maka ia seperti membunuhnya." (HR Bukhari VII/84 dari Tsabit bin
Dhihah).
Maka jika seseorang berkata kepada
saudaranya: Hai si Fasiq, hai si Kafir, hai musuh Allah, sedangkan orang itu
tidak demikian, maka akan kembali ucapan itu kepada yang berkata. Seperti
perkataan seseorang: Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni fulan, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda bahwa Allah berfirman :
"Barang siapa menyangka kepada-Ku tidak akan mengampuni fulan, sungguh
aku telah ampuni dia dan aku hapuskan amalmu." (HR Muslim IV/2023
dari Jundab)
"Bisa jadi seorang hamba berkata dengan satu perkataan yang bisa
menjerumuskan dia di neraka lebih jauh antara arah timur dan barat." (HR Bukhari
VII/184 dari Abi Hurairah)
Dr. Yusuf al-Qaradawi ketika
menjelaskan tentang bahaya dari menuduh atau mengkafirkan seorang muslim,
menjelaskan beberapa konsekuensi yang berat. Padahal setiap orang yang berikrar
dan mengucapkan syahadat telah dianggap muslim, di mana nyawa dan hartanya
terlindung. Dalam hal ini tidak perlu diteliti batinnya. Menuduh seorang muslim
sebagai kafir, hukumnya amat berbahaya dan akibat yang akan ditimbulkannya
lebih berbahaya lagi.
Di antaranya ialah: bagi isterinya, dilarang berdiam
bersama suaminya yang kafir, dan mereka harus dipisahkan. Seorang wanita
Muslimat tidak sah menjadi isteri orang kafir.
Bagi anak-anaknya, dilarang berdiam di bawah kekuasaannya, karena
dikhawatirkan akan mempengaruhi mereka. Anak-anak tersebut adalah amanat dan
tanggungjawab orangtua. Jika orangtuanya kafir, maka menjadi tanggungjawab
ummat Islam.
Dia kehilangan haknya dari kewajiban-kewajiban masyarakat atau orang lain yang
harus diterimanya, misalnya ditolong, dilindungi, diberi salam, bahkan dia
harus dijauhi sebagai pelajaran.
Dia harus dihadapkan kemuka hakim, agar djatuhkan hukuman baginya,
karena telah murtad.
Jika dia meninggal, tidak perlu diurusi, dimandikan, disalati, dikubur di
pemakaman Islam, diwarisi dan tidak pula dapat mewarisi.
Jika dia meninggal dalam keadaan kufur, maka dia mendapat
laknat dan akan jauh dari rahmat Allah. Dengan demikian dia akan kekal dalam
neraka.
Demikianlah hukuman yang harus
dijatuhkan bagi orang yang menamakan atau menganggap golongan tertentu atau
seseorang sebagai orang kafir; itulah akibat yang harus ditanggungnya. Maka,
sekali lagi amat berat dan berbahaya mengafirkan orang yang bukan (belum jelas)
kekafirannya.
3.
Yang Berhak Dikafirkan
Golongan Komunis atau Atheis, yang percaya pada suatu falsafah dan
undang-undang, yang bertentangan dengan syariat dan hukum-hukum Islam. Mereka
itu musuh agama, terutama agama Islam. Mereka beranggapan bahwa agama adalah
candu bagi masyarakat.
Orang-orang atau golongan dari paham yang menamakan dirinya sekular, yang
menolak secara terang-terangan pada agama Allah dan memerangi siapa saja yang
berdakwah dan mengajak masyarakat untuk kembali pada syariat dan hukum Allah.
Orang-orang dari aliran kebatinan, misalnya golongan Duruz, Nasyiriah,
Ismailiah dan lain-lainnya. Kebanyakan dari mereka itu berada di Suriah dan
sekitarnya.
Al-Imam Ghazali pernah berkata,
"Pada lahirnya mereka itu bersifat menolak dan batinnya kufur."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata, "Mereka lebih kafir daripada
orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena sebagian besar mereka ingkar pada
landasan Islam." Seperti halnya mereka yang baru muncul di masa itu, yaitu
yang bernama Bahaiah, agama baru yang berdiri sendiri. Begitu juga golongan
yang mendekatinya, yaitu Al-Qadiyaniah, yang beranggapan bahwa pemimpinnya adalah
Nabi setelah Nabi Muhammad saw.
4. Syarat
Ke-Islaman: Ikrar Dua Kalimat Syahadat
Syarat utama bagi orang yang baru masuk
Islam ialah mengucapkan dua kalimat Syahadat. Yaitu, "Asyhadu
allaa ilaaha ilallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah." Barangsiapa
yang mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisannya, maka dia menjadi orang
Islam. Dan berlaku baginya hukum-hukum Islam, walaupun dalam hatinya dia
mengingkari. Karena kita diperintahkan untuk memberlakukan secara lahirnya.
Adapun batinnya, kita serahkan kepada Allah. Dalil dari hal itu adalah ketika
Nabi saw. menerima orang-orang yang hendak masuk Islam, beliau hanya mewajibkan
mereka mengucapkan dua kalimat Syahadat. Nabi saw. tidak menunggu hingga
datangnya waktu salat atau bulan Puasa (Ramadhan).
Di saat Usamah, sahabat Rasulullah saw,
membunuh orang yang sedang mengucapkan, "Laa ilaaha illallaah, " Nabi
menyalahkannya dengan sabdanya, "Engkau bunuh dia, setelah dia mengucapkan
Laa ilaaha illallaah." Usamah lalu berkata, "Dia mengucapkan Laa ilaaha
illallaah karena takut mati." Kemudian Rasulullah saw. bersabda,
"Apakah kamu mengetahui isi hatinya?"
Dalam Musnad Al-Imam Ahmad diterangkan,
ketika kaum Tsaqif masuk Islam, mereka mengajukan satu syarat kepada Rasulullah
saw, yaitu supaya dibebaskan dari kewajiban bersedekah dan jihad. Lalu Nabi
saw. bersabda, "Mereka akan melakukan (mengerjakan) sedekah dan
jihad."
5. Dosa Besar Tidak
Merusak ke-Islaman
Dalam paham aqidah ahlisunnah wal
jamaah, dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang meski dilakukan berulang-ulang
tidak membatalkan syahadat alias tidak membuatnya berubah statusnya menjadi
kafir. Kecuali bila menafikan kewajiban-kewajiban yang mutlak seperti kewaiban
shalat, zakat dan lainnya. Yang membuat kafir itu bukan tidak melakukan ibadah
shalat atau tidak bayar zakat, tetapi mengingkari adanya kewajiban tersebut.
Jadi bila ada seorang muslim shalatnya
jarang-jarang tapi dalam keyakinannya dia sadar bahwa shalat itu wajib, Cuma
masalahnya dia malas, maka dia tidak bisa dikatakan kafir atau keluar dari
Islam.
Pemikiran bila seorang berbuat dosa
besar lalu menjadi kafir seperti itu justru datang dari paham aqidah
Mu`tazilah. Menurut paham ini tuhan berjanji untuk meberi pahala kepada yang
berbuat baik dan mengancam yang berbuat dosa. Sekali orang melakukan
dosa, maka tidak ada ampun lagi selamanya. Karena itu bila seorang berdosa dan
mati sebelum bertaubat, maka dia akan kekal selamanya di neraka.
Dalam aqidah ahlisunnah, bila seorang
berbuat dosa maka dicatat amal buruknya itu dan bila dia bertobat maka
tergantugn Allah, apakah akan diterima tobatnya atau tidak. Tapi yang jelas dia
tidak menjadi kafir lantaran melakukan dosa meski sering diulangi.
6. Kafir Yang Bukan
Kafir
Jika seseorang tidak mengerti bahwa itu
adalah suatu bentuk kekafiran, maka ia tidak berhak divonis kafir. Dasarnya
adalah firman Allah taala:
“Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti
selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam
kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah
memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang
harus mereka jauhi.” (At-Taubah: 115)
“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
(Al-Isra: 15)
Namun jika seseorang sangat berlebihan
di dalam meninggalkan thalabul ilmi
dan mencari kejelasan (tentang permasalahannya), maka ia tidak diberi udzur.
Contohnya, ketika disampaikan kepada seseorang bahwa ia telah mengerjakan
sebuah perbuatan kekafiran, namun ia tidak mau peduli dan tidak mau mencari
kejelasan tentang permasalahannya, maka sungguh ketika itu ia tidak mendapat
udzur. Namun jika seseorang tidak bermaksud untuk mengerjakan perbuatan
kekafiran, maka ia tidak divonis kafir. Misalnya seseorang yang dipaksa untuk
mengerjakan kekafiran, namun hatinya tetap kokoh di atas keimanan.
Juga seseorang yang tidak sadar atas
apa yang diucapkan baik disebabkan sesuatu yang sangat menggembirakannya
ataupun yang lainnya, sebagaimana ucapan seseorang yang kehilangan untanya,
kemudian ia berbaring di bawah pohon sambil menunggu kematian, ternyata untanya
telah berada di dekat pohon tersebut. Lalu ia pun memeluknya seraya berkata: “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabb-Mu.”
Orang ini salah mengucap karena sangat gembira. Namun bila seseorang
mengerjakan kekafiran untuk gurauan (main-main) maka ia dikafirkan, karena
adanya unsur kesengajaan di dalam mengerjakannya, sebagaimana yang dinyatakan
oleh ahlul ilmi (para ulama). (Majmu’ Fatawa Wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin, 2/125-126, dinukil dari Fitnatut Takfir, hal. 70-71)
Umumnya kelompok takfir yang kerjanya menuduh kafir
menggunakan ayat Al-Quran secara zahir. Misalnya ayat berikut ini:
”Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)
Kafirkah Berhukum dengan Selain Hukum
Allah? Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Yang benar
adalah bahwa berhukum dengan selain hukum Allah mencakup dua jenis kekafiran,
kecil dan besar, sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya
berhukum dengan hukum Allah (dalam permasalahan tersebut) namun ia condong
kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa karenanya ia berhak mendapatkan hukuman dari
Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak mengeluarkannya dari
Islam-pen).
Jika ia berkeyakinan bahwa berhukum
dengan hukum Allah itu tidak wajib -dalam keadaan ia mengetahui bahwa itu
adalah hukum Allah- dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa saja), maka
kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari Islam -pen). Dan
jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah lalu ia salah dalam
memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai seorang yang bersalah (tidak terjatuh
ke dalam salah satu dari jenis kekafiran -pen).” (Madarijus Salikin,
1/336-337).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 44: “Berhukum
dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur, terkadang ia sebagai
bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila ia
berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah
tersebut dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak
mengeluarkan pelakunya dari Islam -pen), namun ia berhak mendapatkan adzab yang
pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 195).
Beliau juga berkata tentang tafsir
Surat Al-Maidah ayat 45: “Ibnu 'Abbas berkata: Kufrun duna kufrin (kufur kecil -pen), zhulmun duna zhulmin (kedzaliman kecil) dan fisqun duna fisqin (kefasikan kecil). Disebut dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan
dari keislaman) di saat ada unsur pembolehan berhukum dengan selain hukum
Allah, dan termasuk dari dosa besar (yang tidak mengeluarkan dari keislaman
-pen) ketika tidak ada keyakinan halal dan bolehnya perbuatan tersebut.”
(Taisirul Karimir Rahman, hal. 196)
Maka dalam pandangan mereka (jamaah takfir), muslim mana pun sudah
dianggap kafir lantaran tidak menjalankan hukum Allah dalam kehidupan
sehari-hari. Bukan hanya penguasa, tapi semua orang Islam yang tidak
menjalankan hukum Islam.
Sedangkan dalam pemahaman aqidah Ahli
Sunnah Wal Jamaah, mereka tidak kafir yang menyebabkan gugurnya status
ke-Islaman dan murtad dari agama Islam. Tentang ayat di atas, Ibnu Abbas ra
berkata, "Kafir yang dimaksud bukanlah kafir yang membuat seseorang keluar
dari millah (agama). Tidak seperti kafir kepada Allah dan hari akhir." Hal
yang sama juga dikatakan oleh Thaus.
Sedangkan Atha` mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
kafir bukanlah kafir yang sesungguhnya.
Sedangkan Ibnul-Qayyim menerangkan
tentang kandungan ayat itu sebagai berikut, "Kufur itu ada dua macam.
Kufur akbar (besar) dan kufur ashghar (kecil). Kufur akbar adalah kufur yang
mewajibkan pelakunya masuk neraka dengan kekal. Sedangkan kufur ashfghar akan menjadikan pelakukanya diazab di neraka tapi
tidak abadi selamanya.
Refleksi
Terhadap Fenomena Takfir
Sejarah Munculnya Fitnah Takfir bila dilihat
sejarahnya, ternyata fitnah bermudah-mudahan (dalam) mengkafirkan seorang
muslim ini telah lama ada, seiring dengan munculnya Khawarij, kelompok sesat
pertama dalam Islam.
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani rahimahullah berkata: “Ia merupakan fitnah yang telah lama ada, yang
diprakarsai oleh kelompok (sesat) dari kelompok-kelompok Islam pertama, yang
dikenal dengan Khawarij.” (Fitnatut Takfir, hal. 12) Mereka telah berani
mengkafirkan Khalifah 'Utsman bin 'Affan dan orang-orang yang bersamanya,
mengkafirkan orang-orang yang memerangi 'Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal
dan Shiffin, kemudian mengkafirkan semua yang terlibat dalam peristiwa Tahkim
(termasuk di dalamnya 'Ali bin Abi Thalib), dan akhirnya mengkafirkan siapa
saja yang tidak sepaham dengan mereka. (Diringkas dari Fathul Bari, karya
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqalani, 12/296-297)
Sebab Munculnya Fitnah Takfir
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Sejauh apa
yang aku pahami, sebabnya kembali kepada dua perkara: - Dangkalnya ilmu dan kurangnya
pemahaman tentang agama. - (Ini yang terpenting), memahami agama tidak
dengan kaidah syar’iyyah.
Kemudian beliau berkata: “Dari sinilah
banyak sekali kelompok-kelompok yang tersesat sejak dahulu hingga kini, karena
mereka tidak mengikuti jalan orang-orang mukmin dan semata-mata mengandalkan
akal, bahkan mengikuti hawa nafsu di dalam menafsirkan Al-Qur'an dan As-Sunnah,
yang kemudian membuahkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat berbahaya, dan
akhirnya menyimpang dari jalan As-Salafush Shalih.” (Fitnatut Takfir, hal. 13)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin menambahkan sebab ketiga, yaitu jeleknya pemahaman yang dibangun
di atas jeleknya niat. (Fitnatut Takfir, hal. 19)
Demikian pula Asy-Syaikh Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan menambahkan sebab yang lain, yaitu adanya kecemburuan
(ghairah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat yang tidak pada
tempatnya. (Zhahiratut-Tabdi’ Wat-Tafsiq Wat-Takfir Wa-Dhawabithuha, hal. 14)
Kehati-hatian Ahlus Sunnah Wal Jamaah
dalam Masalah Takfir Adapun Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah orang-orang yang
sangat berhati-hati dalam masalah takfir.
Fenomena takfir pun ternyata masih
berlanjut hingga kini. Ia tak hanya menimpa para “aktivis,” bahkan orang-orang
awam sekalipun tak luput darinya. Sampai-sampai tertanam suatu paradigma yang
salah, bahwa siapa saja yang tidak berani mengkafirkan pemerintah-pemerintah
kaum muslimin yang ada atau tokoh fulan dan fulan, maka masih diragukan
kualitas militansinya. Bahkan fitnah ini pun dijadikan-- oleh Jamaah Takfir dari
berbagai kelompok-- sebagai media untuk memberontak terhadap pemerintah kaum
muslimin dan sebagai landasan bolehnya mengadakan peledakan-peledakan di
negeri-negeri kaum muslimin. Wallahul Musta’an.
Betapa mengerikan fitnah ini, padahal Rasulullah jauh-jauh
hari telah memperingatkan dengan sabdanya:
“Jika seorang lelaki berkata kepada kawannya: Wahai Kafir, maka sungguh
perkataan itu mengenai salah satu dari keduanya. Bila yang disebut kafir itu
memang kafir maka jatuhlah hukuman kafir itu kepadanya, namun bila tidak,
hukuman kafir itu kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Ahmad dari shahabat
Abdullah bin 'Umar, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya
terhadap Musnad Al-Imam Ahmad no. 2035, 5077, 5259, 5824)
No comments:
Post a Comment