Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Tuesday, December 18, 2012

Mewaspadai Gejala Faqdus-tsiqah (kehilangan kepercayaan)


Akhi dan Ukhti fillah…
Pada suatu saat seorang karyawan mengadukan kegundahannya kepada seorang ustadz. Ia membeberkan hubungannya yang tidak harmonis terhadap atasnnya. Sebut saja Ahmad. Ikutilah…

Ahmad: Saya berharap kiranya ustadz berkenan memberikan bimbingan praktis agar saya lega terhadap posisi saya dalam sebuah jabatan. Saya sekarang ini menjadi bawahan orang yang secara usia, pengalaman organisasi, dan jenjang pendidikanya jauh di bawah saya. Saya mengharapkan jawaban itu karena saya sendiri sedang tidak stabil, secara dakwah, keimanan, dan kejiwaan. Tsiqah saya dalam organisasi ini demikian terganggu karena fenomena ini

Ustadz: Akhi, terima kasih atas keparcayaan antum kepada saya sehingga sudi menyampaikan pertanyaan kepada saya. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua berada seperti kadar kepercayaan tersebut.
Akhi, keterlibatan antum dalam aktifitas Islam menurut saya merupakan sesuatu yang luar biasa.

Pertama-tama antum adalah seseorang yang komitmen terhadap agama antum dan cinta kepadanya. Antum sadar sepenuhnya akan tujuan dan peran yang mesti antum mainkan selaku makhluk yang diciptakan untuk itu. Antum juga memiliki cara pandang yang jelas dan bashirah yang membuat antum mampu mementukan jalan dan sarana yang akan antum tempuh untuk mencapai tujuan dengan memainkan peran itu. Kita memohon kepada Allah kiranya menjadikan bashirah itu memantulkan cahaya Allah Ta'ala.

Apa yang antum katakan itu menuntuku untuk memberikan jawaban yang luas. Terutama ketika saya melihat umur yang antum sebutkan itu. Dengan karunia Allah ternyata antum berada pada kematangan usia dan akal pikiran yang membuat antum bisa meliai sesuatu secara terukur serta menjaga antum dari ketergesaan seorang pemuda.

Saya ingin membagi jawabannya menjadi dua bagian:
Pertama saya tujukan kepada antum
Kedua saya tujuan untuk semua qiyadah dalam harakah Islamiyah dan semua organisasi dakwah Islam.

Untuk antum, saya tidak akan memperpanjang kata, sebab saya yakin antum sering mendangar kata-kata semacam ini melalui qiyadah antum. Juga antum telah sering membaca hal-hal yang berkaitan dengan etika amal jama'i. Tugas saya kepada antum hanyalah mengingatkan dan memfokuskan perhatian kepada hal-hal yang boleh jadi terlupakan.

Akhi Ahmad.
Saya akan memulai jawaban ini dengan berita gembira dari kekasih kita Muhammad saw yang beliau sampaikan kepada siapa saja yang berbuat untuk Islam seperti antum. Yang bisa jadi mereka tidak mendapatkan hak manusiawinya atau penghargaan duniawinya. Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, "Berbahagialah seorang hamba yang memegang kendali kudanya, kusut masai rambutnya, dan berdebu kakinya. Jika berjaga ia tetap berjaga. Jika bertugas di belakang ia tetap di belakang. Ketika meminta izin tidak diberi izin dan ketika memberi bantuan tidak diperkenankan."

Manurut saya, antum tidak perlu penjelasan tentang hadits tersebut. Yang tentu saja tidak hanya berlaku dalam perang atau kaitannya dengan pangkat dalam militer. Namun ia berlaku bagi semua amal di jalan Allah yang ditujukan untuk berkhidmat bagi Islam.

Selamat bagi siapa saja yang tidak mengagungkan dirinya di jalan Allah. Yang dengan ilmunya ia tidak menghendaki kedudukan, jabatan, ketenaran, atau harta benda. Sikap ini harus selalu ada dalam diri setiap orang yang bekerja untuk Islam. Bahkan termasuk hal utama yang harus dipelajari seseorang ketika mulai menempuh jalan dakwah tersebut.

Ini bukan berarti seseorang harus merahasiakan kemampuannya, mengubur bakatnya, dan mengebiri ide-idenya. Bahkan seharusnya seorang aktivis mengoptimalkan potensinya dan kemampuan intelektual, fisik, serta hartanya yang dibarikan Allah kepadanya untuk memenangkan Islam.

Realita sirah Nabi sangat sarat dengan contoh-contoh ideal. Seperti usulan Hubab bin Mundzir kepada Nabi saw untuk memindah kamp tentara Islam dalam perang Badar. Kendatipun tempat yang semula adalah pilihan Nabi saw. sendiri. Ini tidak membuatnya menahan gagasannya setelah ia memastikan bahwa pendapat Nabi itu semata-semata pertimbangan manusiawinya, bukan bersumber dari wahyu Allah. Maka tidak ada pilihan lain bagi Nabi selain menerima pendapat tersebut lalu beliau memindahkan kamp tentara. Ternyata, ini menjadi salah satu faktor kemenangan kaum Muslimin dalam perang tersebut.

Ini satu sisi, sisi lain, ya akhi, bahwa Sirah juga menjelaskan kepada kita agar ketika menilai seseorang dalam kerja jihad dan dakwah, seharusnya tidak menggunakan neraca duniawi –sebagaimana lazimnya digunakan banyak orang terhadap suatu tugas, pekerjaan, dan jabatan. Pertimbangan usia, level pendidikan, kedudukan, dan kekuatan fisik mestinya tidak dijadikan sebagai skala prioritas dan tidak dijadikan sebagai penentu keputusan. Ada hal-hal lain yang mestinya diprioritaskan seperti ketakwaan, keikhlasan, kemampuan menyelesaikan tugas sebagaimana yang diharapkan, pengetahuan terhadap hukum-hukum syar'i, khususnya yang berkaitan dengan tugas yang diembannya. Disamping itu ia juga memiliki pemahaman segala aturan main yang diberlakukan oleh suatu organisasi, partai, atau gerakan di mana ia berafiliasi kepadanya.

Kita tahu bagaimana Nabi saw. memilih para pimpinan dan panglima. Yang intinya beliau mampu memberdayakan potensi dan menempatkan posisi dengan sangat baik sehingga memberikan kontribusi positif bagi Islam dan kaum Muslimin. Beliau mengangkat Khalid bin Walid -kendatipun masuk Islamnya bekalangan- sebagai seorang panglima di beberapa operasi militer. Padahal yang dipimpinnya para sahabat senior dalam Islam dan jihad. Demikian pula ketika beliau mengangkat Usamah bin Zaid yang umurnya beluam genap tujuh belas tahun sebagai panglima perang, di antara pasukannya terdapat banyak sahabat yang lebih tua dan lebih senior dalam Islam.

Rasulullah tidak mempertimbangkan senioritas dalam Islam dan jihad maupun usia. Beliau melihat potensi dan kemampuan dalam menyelesaikan tugas dengan baik dengan hasil yang diridhai Allah dan bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin.
Rasulullah juga menjadikan Bilal sebagai tukang azan karena suaranya yang merdu. Mengangkat Hasan bin Tsabit sebagai penyair Islam yang berjuang membela agama dan syariah. Bahkan beliau juga memotivasinya dan memberi berita gembira kepadanya tentang dukungan Ruhul Qudus, malaikat Jibril kepadanya. Kendatipun Hasan sendiri tidak ikut terlibat di medan perang. Namun ia berjihad dengan lisan dan syairnya. Nabi pun telah ridha kepadanya dengan model perjuangannya ini bahkan berterima kasih kepadanya.

Rsaulullah juga tidak mau basa-basi kepada seseorang demi kemaslahatan umum, terutama dalam memilih pimpinan. Lihatlah akhi, bagaimana Abu Dzar yang meminta  Nabi agar diangkat sebagai salah satu pimpinan. Dan kendatipun Nabi snagat mencintainya, beliau pun menjawab seraya menepuk pundaknya,
"Abu Dzar, kamu ini orang lemah. Jabatan itu amanah. Dan pada hari Kiamat nanti ia menyebabkan kehinaan dan penyesalan. Kecuali orang yang dapat menunaikan haknya dan menjalankan tugasnya." (Muslim).

Di sini Nabi saw. meringkas kaidah penting dengan dua kata, menunaikan haknya (haqqiha) dan menjalankan tugasnya (adda al-ladzi alaihi fiiha). Betapa mulia Rasulullah dan betapa cerdasnya panglima ulung ini, shalawat dan salam untuknya.

Olah karenanya saya mengajak antum, akhi, pertama-tama mengalamatkan tuduhan kepada diri sendiri. Boleh jadi kita lebih tua, lebih berpendidikan, dan lebih menguasai salah satu bidang. Namun untuk sebuah tugas dakwah boleh jadi kita tidak memiliki sifat-sifat yang semestinya. Atau bisa jadi kita memiliki sebagian sifatnya namun tidak nampak dan tidak menonjol menurut qiyadah antum. Sebab antum belum menunjukkannya atau belum memberitahukan hal itu kepada mereka. Mereka hanya melihat sifat-sifat lain yang menonjol pada diri kita yang tidak dibutuhkan untuk suatu tugas tertentu.

Atau barangkali kondisinya sebaliknya, yakni kita punya sifat-sifat negatif yang tidak kita sadari atau kita menganggapnya tidak mempunyai pengaruh negatif. Namun saudara-saudara dan qiyadah kita melihatnya lain dan menganggapnya serius yang membuat kita tidak layak mengemban tugas tersebut.

Itulah akhi al-karim, beberapa hal yang secara mendasar harus kita sepakati. Setelah itu marilah kita menentukan beberapa langkah strategis sebagaimana yang antum minta. Agar terciptalah keselarasan antar kita dengan Tuhan kita dan saudara kita. Keselarasan yang sesuai kaidah tawazun imani, nafsi, dan da'awi.

Pertama: hendaknya kita mempertanyakan beberapa hal ini kepada diri sendiri:
Mengapa kita di sini? Untuk siapa amal yang kita lakukan? Dan apa yang kita kehendaki dengan amal ini?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan ini perlu kejujuran terhadap diri yang memang sangat sulit. Ya, sungguh sulit. Karena terkadang kita sering berbohong terhadap diri sendiri atau kita menipu diri sendiri. Bisa jadi ada niat-niat lain yang tersembunyi di balik niat yang kita tunjukkan kepada orang lain, dan niat-niat itu yang menggerakkan dan mengarahkan kita.

Apakah kita hanya ingin memuaskan keinginan tersembunyi kita itu hingga kita berharap mendapatkan kedudukan pada suatu kaum agar kita mendapatkan hak untuk memerintah, melarang, dan memutuskan?

Apakah ada keinginan untuk menunjukkan kemampuan dalam diri, di mana kita melihatnya memiliki potensi yang luar biasa dan bakat yang harus dinampakkan?
Apakah ada niat untuk menunjukkan keberanian dan kemampuan kita dalam menyelesaikan suatu tugas yang sulit?

Apakah kita menginginkan kedudukan yang bisa dilihat orang, hingga kita menjadi terkenal dan kita menjadi buah bibir di banyak forum?
Ataukah untuk mendapatkan ridha Allah dan meninggikan kalimat-Nya? Mengharapkan surga dan agar terjaga dari neraka?
Jawabannya ada pada diri kita sendiri...
Untuk siapakah kita beraktivitas?

Apakah kita persembahkan kerja kita untuk atasan dan pimpinan kita dengan mengharapkan pujian dan sanjungan mereka atas kontribusi kita lalu mereka mengalungkan medali pengharagaan? Lebih dari itu agar kita mendapatkan pengharagaan dari pimpinan tertinggi?

Ataukah kita ingin mempersembahkannya kepada Rabb kita agar kiranya Allah memberikan ridha dan surga-Nya kepada kita lalu kedudukan kita menjadi tinggi di akhirat kelak?
Jawabannya juga ada pada diri kita sendiri...

Saya ingin mengingatkan antum dan diri saya sendiri serta kaum Muslimin, bahwa Allah tidak pernah tertipu oleh seseorang. Allah dapat melihat apa saja yang berada di balik dada dan membedah apa yang disembunyikan oleh jiwa. Allah meng-hisab semua hamba-Nya sesuai dengan kenyataan sesungguhnya. Bukan secara simbolis, menipu, atau kamuflase.

Ayat dan hadits tentang hal ini sangat banyak. Misalnya hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya bahwa seseorang datang kepada Nabi saw. seraya berkata,
"Seseorang berperang karena harta rampasan, seseorang berperang karena popularitas, dan seseorang berperang agar kedudukannya bisa diketahui orang. Maka siapakah di antara yang berada di jalan Allah?" Beliau pun menjawab, "Barangsiapa berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka orang itu berada di jalan Allah.

Di Shahih Tirmidzi juga diriwayatkan bahwa (pada hari Kiamat) nanti akan didatangkan seseorang yang terbunuh di jalan Allah (menurut anggapan orang). Allah bertanya kepadanya, "Karena apa kamu terbunuh?" Ia menjawab, "Karena Engkau telah memerintahkan berjihad di jalan-Mu, maka aku berperang lalu terbunuh." Allah berkata kepadanya, "Kamu berbohong." Malaikat juga berkata kepadanya, "Kamu berbohong." Allah berkata, "Sebenarnya kamu ingin agar orang mengatakan, 'si fulan itu memang pemberani.' Dan sudah ada yang mengatakannya.'" Lalu ia termasuk orang pertama yang masuh neraka."

Mari kita lihat, akhi. Seorang Arab Baduwi datang kepada Nabi lalu beriman dan mengikuti beliau kemudian berhijrah ke Madinah. Pada suatu peperangan, Nabi mendapat rampasan seorang wanita lalu diberikan kepadanya. Ia berkata kepada Nabi saw, "Apa?" Beliau berkata, "Aku membaginya untukmu." Ia berkata, "Bukan untuk ini aku mengikutimu, yang aku inginkan adalah sekiranya aku dilempar anak panah ke sini –ia menunjuk ke arah leher- lalu aku mati dan masuk surga." Nabi menjawab, "Jika kamu jujur Allah akan membuktikan (kejujuranmu)." Lalu orang itu pun terbunuh di peperangan. Nabi melihatnya dan orang itu terkena panah di tempat yang ditunjuk itu." Baliau bertanya, "Apakah ia ini orangnya?" Mereka menjawab, "Benar." Beliau bersabda, "Jika kamu jujur Allah akan membuktikan (kejujuranmu)." Lalu beliau mengkafani dengan jubahnya, meletakkannya, dan menshalatinya. Lalu berdoa untuknya, "Ya Allah, hamba-Mu ini keluar untuk berhijrah di jalan-Mu lalu ia terbunuh sebagai syahid dan aku menjadi saksi atasnya." (Imam Nasa'i dengan sanad shahih).

Benar akhi, siapa yang jujur Allah akan membuktikan kejujurannya. Marilah kita duduk dengan penuh kejujuran terhadap diri sendiri. Kita evaluasi niat dan tujuan kita. Tentunya dengan penuh kesadaran bahwa Allah tidak akan menerima amal kecuali yang ikhlas mengharapkan ridha-Nya. Kalau kita mampu memperbaiki niat –dan ini sangat penting namun sangat sulit pada awalnya- itu akan lebih baik bagi kita, dunia dan akhirat. Jika kita tidak mampu dan tetap saja ada ganjalan terhadap qiyadah kita serta tidak ridha terhadap posisinya sekarang ini, bukan berarti kita harus meninggalkan amal atau memutuskan hubungan dengan ikhwah. Namun hendaknya kita tetap berjihad melawan diri kita untuk mendapatkan niat yang diridhai Allah. Tentu saja berbagai kesulitan yang kita hadapi dalam hal ini menjadi asset kebaikan kita di sisi Allah. Ingatlah firman Allah, "Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh mencari jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan kepadanya jalan Kami."

Kedua: Kita menunaikan tugas yang telah dibebankan kepada kita dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai ketidak-puasan kita terhadap posisi kita itu membuat kita malas menunaikan tugas dan kewajiban.

Ketiga: Biasakan menunjukkan keahlian kita dan memperkenalkannya kepada qiyadah. Jangan sampai kita memendam pendapat yang menurut kita bermanfaat. Kendatipun pendapat qiyadah berbeda. Dalam hal ini Hubab bin Mundzir ra. bisa menjadi contoh.

Keempat: Terus terang kepada sesama ikhwah dan qiyadah tentang segala hal yang mengusik kita. Garis lurus itu biasanya lebih dekat dengan kedua titik. Ketahuilah bahwa ketika kita mengeluarkan uneg-uneg akan membuat kita puas dan tentram. Lalu permasalahan menjadi jelas bagi kita dan bagi semuanya. Namun jika masalah kita itu kita pendam tentu kegundahan kian membesar dan kian bercabang, lalu syetan pun beraksi untuk memperbesar dengan godaan dan bisikannya. Kita jadi terbakar dari dalam. Lalu hal itu akan mengganggu keimanan dan kejiwaan kita. Kemudian pada gilirannya berujung pada kerugian yang nyata.

Kelima: Selalu berhadap kepada Allah melalui doa dalam shalat, kita, sujud kita, dan waktu-waktu mulia agar dikaruniakan amal shalih yang mendekatkan kita kepada-Nya. Juga agar Allah menuntun kita untuk melakukan kebaikan, kebenaran, dan merubah kita. Agar kita diselamatkan dari fitnah kedudukan dan kepemimpinan di mana kita tidak mampu menunaikannya. Sebab ia adalah –seperti sabda Rasulullah- amanah, yang pada hari Kiamat nanti menyebabkan kehinaan dan penyesalan. Cukup di sini jawaban untukmu, akhi. Mudah-mudahan dapat menghilangkan ganjalan di hati antum.

Kini tiba saatnya kita berada pada bagian kedua pembicaraan kita. Yang saya tujukan kepada segenap qiyadah harakah dan gerakan Islam. Apa yang saya sampaikan tadi kepada antum akhi, merupakan taujih dan saran. Bukan berarti para qiyadah harakah dan jamaah terlepas dari tanggung jawab. Atau membebaskan mereka dari kesalahan dan dosa. Bahkan mereka memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam masalah ini. Agar parameternya seimbang dan duduk perkaranya menjadi jelas, maka masalah ini harus dilihat dari dua sisi, pribadi dan jamaah, yang terkait dengan hak-hak dan kewajiban.

Pertama: Kewajiban pertama kepada para qiyadah jamaah, agar senantiasa mengikuti manhaj syariah dan cara Nabi dalam memilih pimpinan di berbagai wilayah dalam rangka melaksanakan tugas-tugas dakwah Islam. Hendaknya mereka berupaya menempatkan orang yang lebih cocok. Kata cocok (munasib) di sini adalah sesuai dengan kapasitas syar'i yang membuat orang itu layak menempati sebuah jabatan tertentu. Yakni pada qiyadah tersebut terdapat sifat-sifat positif, dan yang paling penting adalah kafaah dan kemampuan menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Menujukkan keikhlasan dalam memberikan pengarahan kepadanya. Menjadi qudwah bagi bawahannya. Adil dalam suka maupun tidak suka. Tidak menerima perantara. Tidak memihak kepada salah satu pihak. Tidak marah karena nafsunya. Cinta dan benci karena Allah. Tidak merasa lebih tinggi saat menasihati atau mengkritik. Tidak sibuk mencari keuntungan materi maupun non materi dari jabatannya. Bersifat hormat kepada bawahannya, fleksibel dan tidak kaku.

Yang lebih penting lagi agar loyalitasnya diberikan kepada fikrah dan bukan kepada orang-orang yang mengangkatnya. Sifat ini saya sebutkan secara khusus karena sangat urgen. Sebab kadang-kadang sebuah fikrah itu dikesampingkan oleh qiyadah, jadinya loyalitas berubah dari untuk fikrah menjadi untuk pribadi qiyadah, berjalan bersamanya, ke mana saja, lalu berputar bersamanya mengikuti arah angin.

Kedua: Hendaknya qiyadah mendidik para bawahan akan nilai-nilai Islam yang dengan nilai-nilai itu ia dapat menerima berada di bawah kepemimpinan seorang yang lebih muda darinya. Atau tingkat pendidikan dan wawasannya lebih rendah darinya. Atau hal-hal lain yang berkaitan dengan parameter dunia kalau memang parameter syar'i terpenuhi.

Pendidikan nilai-nilai ini mestinya diberikan kepada mereka sebelum fitnah datang menimpa, ambisi pribadi muncul, dan godaan syetan mulai menggejala. Ujian tidak akan datang sebelum ada proses belajar. Sebab kalau tidak, seorang murid akan gagal karena tidak menguasai rumus-rumus dan logaritma yang diujikan. Di mana paramater yang biasa dijumpainya dalam kesehariannya berbeda dengan parameter yang dijumpainya saat ujian.

Ketiga: Para qiyadah hendaknya tidak menjadikan nash-nash syar'i yang menyeru kepada pengingkaran jati diri dan keikhlasan dalam amal, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, sebagai obat bius yang memaksa masing-masing pribadi agar menyerah saja kepada posisi tertentu. Bisa jadi mereka memang punya hak saat ia menolak atau meminta ada perubahan.

Keempat: senantiasa memotivasi masing-masing anggota agar menunjukkan kemampuan mereka serta mengembangkan bakat inovatif mereka. Bukannya memendam dan menahannya. Sangat disayangkan ada sebagian orang yang mencoba intervensi terhadap niat mereka lalu memutuskan persoalan berdasarkan niat tersebut. Seolah-olah ia telah membedah hati mereka dan mengungkap niat itu. Ia menginterpretasikan upaya-upaya mereka dalam rangka menunjukkan kemampuan dan mengklaim mereka memiliki sifat hubbudz-dzuhur (exhibitionisme) atau berambisi kepada jabatan dan rakus kedudukan. Bisa jadi memang benar. Namun orang-orang seperti itu perlu diuji sebelum dihakimi.

Kelima: Anggapan bahwa penilaian qiayadah terhadap anggota, positif maupun negatif, adalah wahyu yang tidak bisa dibantah, yang dengan dasar itu anggota dihukumi kredibel atau tidak. Anggapan tersebut perlu ditinjau ulang dan dikoreksi. Sebab untuk menilai seseorang harus dari berbagai sisi dan setelah melalukan berbagai ujian, untuk menjauhi tendensi pribadi yang kadang bisa mempengaruhi qiyadah kendatipun ia berupaya untuk mengenyampingkannya. Betapapun, qiyadah adalah manusia juga yg tidak terbebas dari kesalahan dan kekeliruan dalam mengambil keputusan.

Keenam: Hendaknya qiyadah bisa menjadi teladan dalam amal shalih. Agar apa yang diucapkan serasi dengan apa yang dikerjakan. Ketahuilah bahwa keteladanan ini mempunyai kesan yang kuat dan mendalam dalam diri anggotanya ketimbang kata-kata yang terucap, apatah lagi kata-kata itu hanyalah pemanis bibir yang tidak ada realita amalnya. Lebih ironis lagi jika amal perbuatannya bertolak belakang dengan pernyataannya dan dengan syariah Islam.

Terakhir, mohon maaf atas jawaban yang bertele-tele ini. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan nasihat ini ikhlas hanya mengharapkan ridha-Nya dan bisa menjadi kontribusi untuk antum, akhi untuk keluar dari cobaan yang menimpa. Wallahu A'lam.

No comments:

Post a Comment

Blog Archive