Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Friday, December 14, 2012

Al-Tsawaabiit wal Mutaghayyiraat


Assalamu’alaikum wr. wb.
Alhamdulillaah wasshalaatu wassalaamu ‘alaa Rasuulillah, wa ‘alaa aalihi wa dhahbihi wa mantabi’ahu wawaalaah. Ammaa Ba’du!

Ikhwah fillaah! Seorang Syeikh mengingatkan muridnya bahwa dakwah harus terus berlangsung dan tidak boleh berhenti sedikit  pun  meski  wadahnya  sebagai  media  aspirasi  perjuangannya  dibubarkan  pemerintah  setempat. “Sekalipun wadah kita bubar, aktivitas dakwah kita tidak boleh bubar dan tidak bisa dibubarkan”, demikian penegasan syeikh tersebut.

Kalimat itu menghentakkan kesadaran muridnya akan kewajiban mereka untuk senantiasa berdakwah dengan berbagai kondisi dan keadaan. Bukan malah bingung untuk melakukan sesuatu lantaran wadahnya sudah dibubarkan. Karena hakikat asasiyat bagi aktivis adalah berdakwah untuk memberikan kontribusi amal shalih dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan kata lain dakwah adalah mutlak bersifat tetap (tsawaabit), artinya tetap harus berlangsung dan di jalankan, sedangkan sarana (wasilah), gaya pendekatan (uslub) dan strategi termasuk hal-hal yang dapat  berubah (mutaghayyiraat)  sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang ada.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Suatu keadaan pahit sering kali membuat orang sock dan berat menerimanya. Meski pun kenyataan berat seperti itu sangat manusiawi. Akan tetapi sebagai aktivis dakwah selayaknya tidak berada pada titik keadaan tersebut.  Namun  hendaknya  menyikapi  situasi  tersebut  dengan  berpegang  pada  dhawabith (patokan-patokan) yang jelas dalam amal dakwah ini. Sehingga tidak kehilangan keseimbangan ketika berada di dalamnya. Melalui patokan itu kita dapat melangkahkan kaki bersama dakwah dengan gegap tanpa ragu dan bingung.

Dhawabit ini akan memandu ke arah mana jalan yang harus ditempuh dan menjadi rambu yang akan memberitahu apa yang mesti dilakukannya.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Keterikatan aktivis terhadap dakwah tidak boleh mengalami penurunan dalam situasi yang terjepit sekalipun. Akan tetapi peningkatan dan pengokohanlah yang mesti dilakukan mereka. Bersama dakwah prinsip hidup mukmin terus terjaga, komitmen kepada Islam semakin kuat. Sebaliknya tanpa bersama dakwah jurang menganga selalu di hadapan dan bahaya senantiasa mengancam. Bahkan yang perlu kita camkan adalah tanpa kesertaan dakwah eksistensi kita dalam barisan itu akan tergantikan oleh mereka yang lebih baik kesertaannya daripada diri kita. Dalam keadaan bahaya sekalipun keterlibatan diri terhadap dakwah harus langgeng apalagi dalam keadaan tenang. Rasulullah SAW. Mengatakan bahwa Islam adalah roda yang berputar maka berputarlah bersama Islam bagaimanapun putarannya. Sebagaimana sabdanya :

عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: أَلاَ إِنَّ رَحَى الإِسْلامِ دَائِرَةٌ، فَدُورُوا مَعَ الْكِتَابِ حَيْثُ دَارَ  (رواه الطبراني)

Dari Muadz bin Jabal RA berkata : “aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Ketahuilah sesungguhnya roda Islam akan terus berputar, maka berputarlah kalian bersama Al-Qur’an kemana Ia berputar” (lihat Al-Mu’jam al-Kabir Litthabrany bab 4 juz 14 hal 499)

Ucapan beliau ini menegaskan bahwa aktivis dakwah harus selalu menyertainya dalam setiap keadaan karena kesertaan yang lemah menjadi sebab
untuk diganti dengan orang lain yang lebih baik. Sebagaimana Allah SWT berfirman :

“………jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti kamu dengan kaum yang lain dan mereka tidak seperti (kualitas) kamu ini”. (QS. Muhammad: 38)

Kontek ayat ini membicarakan tentang seruan berinfak, dan ancaman bagi satu bangsa dan kaum yang tidak mau berinfak, baik infak waktu, tenaga, ide, gagasan, pemikiran dan harta, merka akan digantikan oleh Allah SWT perannya dalam melanjutkan estafeta dakwah ini oleh bangsa lain. Oleh karena itu ikhwah fillah!, ketika kita melibatkan diri kita dalam dakwah ini, dan terus meningkatkan komitmen (iltizam) kita dengan tandzhim harakah ini, menjalankan semampu mungkin segala bentuk wadzhifah mashiriyah-tandzhimiyah, menghadiri liqo-at-liqo’at tandzhimiyah tarbawiyah da’awiyah tasqifiyah siyaasiah, seperti rapat-rapat structural, halaqah, usrah, daurah, dan multaqa siayasy baik internal maupun eksternal, Insya Allah, Allah SWT tidak akan menggantikan kita dengan yang lain. Keterlibatan kita dalam dakwah ini mengharuskan kita tidak boleh kikir dan bakhil, artinya hendaknya kita tidak segan-segan dan selalu bersemangat memberikan kontribusi sebagian waktu, ide, gagasan, pemikiran dan uang yang kita miliki, demi keberlangsungan dakwah ini dan demi bila kita tidak ingin digantikan dengan yang lain.

Imam At-Tabary dalam kitan Tafsirnya menjelaskan ayat ini dengan mengutip hadits riwayat Imam Tarmidzi dari Abu Hurairah RA, Ia berkata :

"نَزَلَتْ هَذِهِ اْلآَيَةِ وَسَلْمَانُ اْلفَارِسِيّْ إِلَى جَنْبِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحُكّ ُرُكْبَتُهُ رُكْبَتَهُ قاَلُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنِ اَّلذِيْنَ إِنْ تَوَلَّيْنَا اِسْتَبْدَلُوْا بِنَا ثُمَّ لاَ يَكُوْنُوْا أَمْثَالُنَا، قَالَ: فَضَرَبَ فَخِذَ سَلْمَانَ ثُمَّ قَالَ: هَذَا وَقَوْمُهُ".
Ayat ini turun pada saat Salman Al-Farisy berada di samping Rasulullah SAW dengan saling berhimpitan lutut keduanya, para sahabat bertanya : Ya Rasulallah!, Siapakah mereka yang apabila kita berpaling mereka akan menggantikan kita dan mereka tidak seperti kita?. Sambil menepuk paha salman Rasulullah SAW bersabda : “Orang ini dan kaumnya (Bangsa Persia)”.

 Abdurrahman bin Jabir dan Syuraih bin Ubaid menafsirkan kaum pengganti dalam ayat tersebut adalah Bangsa Yaman. Hal ini mungkin karena bangsa yang paling dekat dengan bangsa Arab pada saat itu dan yang sudah mulai berbondong-bondong masuk Islam adalah Bangsa Yaman. Wallahu ‘A’lam

Maksudnya adalah bangsa Persia atau Bangsa Yaman  akan menggantikan bangsa Arab dalam memimpin dan mengelola dakwah ini, bila mereka bakhil dan kikir. Walaupun Rasulullah SAW sendiri berasal dari bangsa Arab, tetapi beliau objektif dakwah ini akan dihendel oleh bangsa lain, bila bangsa Arab tidak mau berkorban untuk dakwah ini. Demikian pula hal itu akan terjadi pada kita sekalian Wal – ‘iaadzu billah!!!

Sayyid Qutub dalam Tafsir Dzhilalnya menambahkan penjelasan ayat tersebut di atas dengan mengatakan bahwa ayat tersebut adalah gambaran tentang karakter yang muncul terkait dengan realiita jamaah dakwah pada saat itu (masa Rasulullah SAW), juga terkait dengan realitas setiap manusia yang dihadapkan kekikiran dan kebakhilannya sendiri untuk berkorban demi dakwah dalam segala situasi dan kondisi. Oleh karena itulah Al-Qur’an mengngatkan kita akan ancaman yang dapat membuat kita digantikan oleh yang lain dalam memimpin dan mengelola dakwah ini.


Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Tarbiyah sebagai sarana pembentukan diri bagi aktivis tidak boleh kendur dan macet dalam kondisi apapun, karena hal itu merupakan tsawabit yang tidak boleh hilang dan berhenti. Dan mereka yang berada dalam barisan dakwah mentarbiyah diri menjadi aktivitas yang mesti berjalan tidak mandeg dan berhenti sejenak pun. Karena tarbiyah merupakan titik tolak bagi aktivis dalam membina diri menuju kepribadian muslim yang shalih mushlih. Apalagi iklim yang terjadi di sekitarnya sangat berperan menjadi penghalang untuk mencapai cita-cita mulia tersebut. Tikungan-tikungan tajam yang berbahaya berada di kiri dan kanan jalan yang akan menjerumuskannya ke dalam jurang terjal. Maka tarbiyah sebagai jawaban untuk membina diri bagi aktivis dalam menghadapi keadaan tersebut harus tetap berjalan.

Kemandegan tarbiyah dapat berpengaruh pada ketahanan mental dan ma’nawiyah aktivis yang melemah. Kelemahan ini terkadang menjadi sebab dari berbagai problematika aktivis baik skala personal maupun sosial. Oleh sebab itu tarbiyah dalam situasi apapun harus terus berjalan. Bila ia mendapatkan rintangan dari kiri ia harus memutar haluan dengan cepat ke kanan. Begitu juga bila ada gangguan dari sebelah kanan ia pun harus menyikapinya dengan cepat berbelok ke kiri. Artinya meskipun banyak yang menghalangi, tarbiyah harus terus bergulir dari berbagai arah sehingga ia selalu mengalir dengan lancar.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Banyak kita  temukan  keterangan  dalam  Al  Qur’an  dan  Hadits  yang  menjelaskan  bahwa  berjamaah merupakan suatu keharusan untuk setiap muslim. Oleh karenanya berjamaah dan beramal jama’i juga merupakan tsawabit.   Dengan berjamaah kita dapat keberkahan yang melimpah. Yang lemah akan kuat, yang kurang akan mendapatkan tambahan, yang menyimpang akan terluruskan dan kebaikan lainnya.  Karena itu  berjamaah  menjadi  kebutuhan  yang  asasi  bagi  aktivis.  Ia  akan  mampu menghadapi segala keadaan dengan berjamaah. Keberadaannya dalam jamaah ini tentu bukan sekadar hadir di dalamnya melainkan ia aktif dan terlibat penuh dengan berbagai aktivitasnya. Dengan sikap begitu ia akan merasakan keberadaan jamaah pada dirinya.
Allah SWT. memandang orang mukmin selalu berjamaah sebagaimana shighat dalam nash qur’an. Hal ini sekaligus untuk menyuruh orang-orang mukmin dalam keadaan berjamaah. Orang yang infiradi berpeluang mendapatkan mara bahaya. Apalagi dalam situasi yang terjepit dan sulit. Oleh karena itu Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk selalu berjamaah, sebagaimana sabdanya :

أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ ثَلَاثَ مِرَارٍ قَالَهَا إِسْحَاقُ

“Wahai sekalian manusia!,  Hendaknya kalian berjamaah dan hindarilah perpecahan!, Ishaq meriwayatkan Rasulullah SAW mengucapkan hal itu tigakali”
 (Musnad Ahmad, Ahaditsurrasul min ashaabinnaby juz 47 hal 117)

Abdullah bin Mas’ud juga telah mengingatkan kita agar kita terikat pada jamaah. Beliau berkata :

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ ، فَإِنَّ اللهَ لَنْ يَجْمَعَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ضَلاَلَةٍ حَتَّى يَسْتَرِيْحَ بِرٌّ أَوْ يُسْتَرَاحَ مِنْ فَاجِرٍ

“Hendaknya kalian berjamaah, kaena sesungguhnya Allah SWT tidak mengumpulkan ummat Nabi Muhammad SAW di atas kesesatan, sampai orang yang baik dapat beristirahat tenang  atau tidak disibukkan oleh para durjana dan pembuat dosa”
(Sya’bul Iman lil baihaqi, fashlun fii fadlil jamaa’ah wal ulfah juz 16 hal 65)

Ayyuhal ikhwah rahimakumulla.

Peran Qiyadah dalam hal ini adalah menetapkan suatu kebijakan yang akan menjadi arahan dan patokan yang jelas bagi prajuritnya.   Kebijakan tersebut untuk dilaksanakan oleh bawahannya secara cepat dan tepat. Dalam situasi  yang  pelik  seorang  pemimpin  tidak  boleh  lambat  dalam  mengambil  suatu  keputusan. Keputusan yang lambat dapat membawa kekeliruan dalam menyikapinya. Keliru dalam menyikapi suatu keadaan akan berakibat fatal bagi perjalanan dakwah. Namun keputusan yang cepat tidak berarti asal
ditetapkan sebagai sebuah keputusan melainkan berasal dari pemikiran dan perhitungan yang tajam akan keputusan tersebut.

Di samping itu, peran qiyadah adalah untuk memberikan arahan dan taujihat yang sangat dibutuhkan prajuritnya. Taujihat yang tepat dan mengena dari qiyadah menjadi cucuran air hujan di musim kemarau. Prajurit yang aktif memerlukan arahan apalagi setelah letih melakukan operasional kerja besar. Disinilah perlunya kiadah dan disinilah perlunya tidak semuanya harus terjun ke medan perang, harus adal sebagian yang berkutat dengan ilmu pengetahuan agar dapat memberikan arahan, sebagaimana Allah SWT berfirman :

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya ke medan perang. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka itu dapat menjaga diri”. (QS At Taubah: 122)

Sedangkan  peran  jundiyah  maksudnya  ialah  bersikap  sigap  dan  patuh  dalam  menjalani  tugas  dan kewajibannya. Sikap yang selalu melekat pada setiap prajurit. Bukan sikap ngambek, mutung, apalagi patah semangat dalam menjalani tugas dan kewajibannya. Prajurit yang baik adalah mereka yang selalu berusaha maksimal dalam menjalani  tugasnya.  Ditugaskan di  barisan  terdepan  ia  akan  berada  pada  posisinya. Ditempatkan di bagian belakang ia selalu menunaikannya. Diperintahkan ia laksanakan dengan segera. Sebaliknya prajurit yang diam terpaku dan termenung menghadapi tugasnya akan memperlambat kerja dan tugasnya. Bahkan akan berakibat buruk bagi keseluruhannya.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah

Dalam  perjalanan dakwah dan harakah ada hal-hal yang dapat berubah. Perubahan ini dapat terjadi karena situasi dan kondisi yang berkembang di sekitarnya. Perubahan tersebut asal tidak merubah prinsip dan arah harakah dakwah ini melainkan sebagai upaya untuk tetap melanggengkan perjalanannya. Perubahan itu dapat meliputi perubahan nama, bentuk, mekanisme dan prosedural. Perubahan nama merupakan sesuatu yang biasa dalam dinamika dakwah dan pergerakannya. Perubahan nama dapat terjadi beberapa kali. Hal ini terjadi karena faktor yang tidak dapat memunculkan nama  lamanya sehingga perlu menampilkan diri dengan nama barunya. Perubahan bentuk juga mungkin dapat terjadi hingga beberapa kali untuk dapat diterima masyarakat luas sehingga perjalanannya tetap berkesinambungan. Semua perubahan itu sangat mungkin
dapat terjadi, karenanya aktivis dakwah tidak boleh mengalami sock yang berkepanjangan lantaran hal itu.

Perubahan kebijakan yang dilakukan oleh qiadah, baik melalui mekanisme syuro maupun langsung oleh qiyadah itu sendiri, dapat saja dilakukan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang ada. Walaupun demikian kebijakan yang bersifat langsung dari qiyadah tidak boleh sering terjadi, tetapi sebaiknya lebih banyak dihasilkan melalui mekanisme syura. Disinilah para jundiyah dihadapakan dengan ujian ketsiqohan terhadap qiyadahnya, dan jama’ah sebagai lembaga juga tengah diuji soliditas strukturalnya.

Setiap kebijakan memang seringkali menimbulkan kekagetan dan ketidaksiapan psikologis untuk menerimanya, contohnya ketika terjadi perubahan arah kiblat, dimana kaum Muslimin sudah terbiasa shalat menghadap ke Baitul Maqdis, lalu turunlah firman Allah SWT :
  
142. Orang-orang yang kurang akalnya[93] diantara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus"[94].
143. Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
144. Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96], Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

[93] Maksudnya: ialah orang-orang yang kurang pikirannya sehingga tidak dapat memahami maksud pemindahan kiblat.
[94] Di waktu Nabi Muhammad s.a.w. berada di Mekah di tengah-tengah kaum musyirikin beliau berkiblat ke Baitul Maqdis. tetapi setelah 16 atau 17 bulan Nabi berada di Madinah ditengah-tengah orang Yahudi dan Nasrani beliau disuruh oleh Tuhan untuk mengambil ka'bah menjadi kiblat, terutama sekali untuk memberi pengertian bahwa dalam ibadat shalat itu bukanlah arah Baitul Maqdis dan ka'bah itu menjadi tujuan, tetapi menghadapkan diri kepada tuhan. untuk persatuan umat Islam, Allah menjadikan ka'bah sebagai kiblat.
[95] Umat Islam dijadikan umat yang adil dan pilihan, karena mereka akan menjadi saksi atas perbuatan orang yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat.
[96] Maksudnya ialah Nabi Muhammad s.a.w. sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah.


Rangkaian ayat tersebut di atas intinya berbicara tentang arah perubahan kiblat dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Namun hal itu bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan atau dipertentangkan, sebab yang penting adalah beribadahnya kepada Allah SWT bukan menghadapnya. Baik Masjidil Aqsha maupun Masjidil Haram memiliki kemuliaan  dan warisan sejarah nubuwwah yang sama. Ketetapan Allah SWT merubah arah kiblat kaum Muslimin, semata-mata hanya untuk menjadikan Masjidil Haram dimana Ka’bah berada sebagai sentral persatuan ummat dan focus perjuangan untuk membebaskan Ka’bah dari symbol-simbol kemusyrikan.

Di sisi lain perubahan arah kiblat juga menjadi sarana taqwim bagi para sahabat dalam hal ketsiqohan mereka terjadap Allah SWT dan Rasulullah SAW sebagai qiadah, sebagaimana Allah SWT berfirman :
dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot


Bila kita renungkan perubahan arah kiblat adalah perubahan sebuah kebijakan yang datangnya dari Allah SWT, yang disampaikan melalui lisan Rasul-NYA, di sisi lain perubahan kebijakan ini juga menjadi ujian bagi soliditas dan keutuhan jamaah, ketsiqohan jundi dengan qiyadahnya, apakah merika masih loyal mengikuti Rasulullah SAW atau malah membelot. Memang, terkadang perubahan kebijakan dalam kehidupan berjamaah seringkali menimbulkan kekagetan dan ketidaksiapan psikologis, jangankan kita, seorang sahabat sekaliber Umar bin Khattab RA saja pernah kaget dengan kebijakan Rasulullah SAW yang menerima begitu saja butir-butir kesepakatan perjanjian Hudaybiyah yang disodorkan oleh  delegasi Kafir Quraisy, padahal selama ini kaum Muslimin selalu menunjukan ssemangatnya memnangkan peperangan dan tidak mau dikalahkan begitu saja dalam setiap peperangan melawan kafir Quraisy, sehingga Umar bin Khattab RA berkata kepada Rasul “Fa ‘alaamaa nu’tiihimuddaniyyah?”, “Mengapa kita mau direndahkan begitu saja oleh mereka?”. Namun Rasulullah SAW meyakinkan Umar bahwa sikap yang diambilnya tidak akan sia-sia. Dengan kata lain akan ada hikmah yang dating dari Allah SWT di balik kebijakan ini. Ternyata memang benar, sikap menerima tawaran perdamaian meskipun dirasakan isi perjanjiannya tidak adil dan seimbang, tetapi menjadikan peluang dakwah semakin besar, suasananya semakin aman dan kondusif, serta aman dari ancaman gangguan peperangan.


Demikian pula perubahan-perubahan yang terjadi di jamaah kita ini, sepanjang hal itu ti menyangkut hal-hal yang bersifat muthagayyirot bukan tsawabit, artinya perubahan kebijakn hanyalah perubahan dalam hal uslub dan wasilah, taktis dan pendektan, sepertinya berubahnya format kepengurusan DPP menjadi Tim Pemenangan Pemilu Nasional (TPPN), maka hal itu hendaknya kita sikap dengan ketsiqohan terhadap jajaran qiadah di Majlis Syuro sebagai qaidah fikriyyah dalam merumuskan berbagai ijtihaadat maidaniyyah, demi kemaslahatan dan keberlangsungan dakwah ke depan. Perubahan-perubahan  itu  adalah  bahagian  dari  dinamika  perjalanan  sunnah  dakwah  dari  masa  ke masa. Semoga selalu ada hikmah positif di balik perubahan wasilah dan uslub yang terjadi dalam jamaah ini. Amin Ya Mujiibassaa’ilin. Wallaahu muwaafiq ilaa aqwamitthariq wa a’lamu bisshawab. (DHY & MSD)

No comments:

Post a Comment

Blog Archive