Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Sunday, December 16, 2012

MANHAJUT TATSABBUT WAT TABAYYUN FIL ISLAM (Manhaj Check dan Re-check Informasi Menurut Islam)






Ikhwah wa akhwat Ad-Da’iyyat hafizhakumuLLAH,
Salah satu mawqif (sikap) yang harus dimiliki oleh kader di dalam mengemban amanah dakwah dan jihad menegakkan syari’ah ALLAH SWT di muka bumi ini adalah sikap ber-husnuzhan (berprasangka baik) kepada saudara kita sesama mu’min --siapapun dia dan dari kelompok apapun mereka-- sepanjang ia atau mereka dikenal keikhlasannya dan perjuangannya untuk Islam dan meninggikan kalimatuLLAH, maka hendaklah kita menahan diri dari berprasangka buruk dan apalagi sampai memfitnah atau menyebar isu.
Sesama ikhwah, harakah dan jama'ah adalah kumpulan manusia, maka setiap ijtihad wajib atasnya ihtimal al-khatha' (mengandung peluang untuk salah), sebagaimana perkataan Imam Asy-Syafi'i -rahimahuLLAH- :
رَأْيِي صَوَابٌ وَلَكِنْ يَحْتَمِلُ الْخَطَأُ وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ وَلَكِنْ يَحْتَمِلُ الصَّوَابُ
(pendapatku benar tapi mungkin saja salah, dan pendapat selainku adalah salah tapi mungkin saja benar). Ikhwah wa akhwat fiLLAH mencermati banyaknya kader yang saat ini terjatuh ke jurang kehinaan dengan tertimpa penyakit menyebar issu dan fitnah, maka semoga tulisan ini menjadi bermanfaat.

JIKA  MENERIMA  HADITSUL-‘IFK  MAKA  WAJIB  TABAYYUN/TATSABBUT

Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Al-Hujurat : 6)
Dalam ayat ini ALLAH SWT memerintahkan kepada orang-orang yang benar-benar shadiq kepada ALLAH dan Rasul-NYA (shaddaqu liLLAHI wa rasuliHI), jika ada orang fasik membawa berita tentang sebuah kaum agar dilakukan tabayyun (dalam qira’ah Ahlul-Madinah dikatakan tatsabbut), yaitu jangan langsung diterima tanpa dilakukan pengecekan kebenarannya[1].
Sehingga Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa para ulama tidak mau menerima riwayat dari orang yang majhul (tidak dikenal kepribadiannya) karena khawatir adanya kefasikan dalam dirinya[2]. Sementara Imam Al-Alusi menyatakan bahwa makna fasik ialah orang yang masih suka bermaksiat, atau suka melanggar salah satu aturan agama[3]. Dan caranya adalah hendaklah dengan mengecek ke qiyadah (Nabi SAW), atau kepada Kitab wa Sunnah[4].

ADA  DIKALANGAN  IKHWAH  YANG  DOYAN  MENYEBAR  HADITSUL -‘IFK

Allah berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.” (An-Nuur : 11)
Ayat di atas mengindikasikan kepada kita bahwa diantara para penyebar isu itu ada diantaranya di kalangan para ikhwah kita sendiri, kata-kata ‘ushbah dalam ayat tersebut dimaknai oleh para mufassir sbb ;
1.    Jama’ah diantara kalian[5]
2.    Mereka bukan hanya 1 atau 2 orang diantara Jama’ah, melainkan banyak orang yang ikut pula terlibat[6]
3.    Mereka lalu menjadi suatu firqah yang memiliki satu kesamaan dan saling bekerjasama menyebar isu tersebut[7]
Hal ini memberikan pelajaran yang berharga pada kaum al-muslimin al-mujahidin al-muttaqin bahwa para penyebar isu tanpa didukung fakta itu sudah pernah terjadi di era terbaik, dan oleh karenanya sangat mungkin terjadi di kalangan ikhwah kita saat ini, dan topik isu juga terjadi berkaitan dengan pribadi al-qadah (yaitu Nabi SAW) atau saat ini kepada para qiyadah Jama’ah.

HADITSUL -‘IFK  ITU  ADA  HIKMAHNYA  BAGI  JAMA’AH

Allah berfirman :
“Jangan kalian kira (dampat isu tersebut) buruk bagi kalian namun ada kebaikan (dibalik itu) bagi kalian”. (An-Nuur : 11)
Maknanya jangan kalian mengira dampak isu tersebut buruk bagi yang terkena fitnah tersebut disisi ALLAH dan juga disisi manusia, bahkan ia baik bagi kalian[8]; berkata Ibnu Katsir : Baik bagi kalian di dunia dan di akhirat yaitu, bukti kebenaran ALLAH SWT atas perilaku kalian tersebut di dunia dan kedudukan yang tinggi bagi kalian kelak di akhirat[9]; dan itu berlaku bukan hanya bagi Nabi SAW dan keluarganya, melainkan juga bagi ummat yang lainnya, sebagaimana khithab dalam konteks ayat ini yaitu bagi Shafwan RA dan juga bagi keluarga Abubakar RA[10].

PELAKU  HADITUSL-‘IFK  AKAN  MENDAPATKAN  BALASAN  ALLAH  SWT

Allah berfirman :
Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar”. (An-Nuur : 11)
Maknanya bahwa setiap orang yang punya andil dalam menyebarkan isu tersebut dalam jama’ah telah tetap baginya dosanya disisi ALLAH SWT[11], dan bagi gembong utama para pelaku penyebar isu tersebut (menurut Ibnu Katsir maknanya adalah para pelaku utamanya, yang paling getol menyebarkannya, menambah-nambahinya[12]) baginya azab yang amat pedih (menurut Imam Al-Baghawi maknanya ialah kepastiannya akan dimasukkan ke neraka kelak[13]).

MENJAUHI  SU’UZHAN  dan  MEMASYARAKATKAN  HUSNUZHAN  DIKALANGAN  IKHWAH

Allah SWT berfirman :
"Mengapakah di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: Ini adalah suatu berita bohong yang nyata?!” (An-Nuur : 12)
Berkata Imam At-Thabari bahwa digunakannya kata ‘anfusihim’ dalam ayat ini menunjukkan bahwa kaum mu’minin itu ibarat satu tubuh karena keyakinan mereka satu[14], bahwa para penyebar isu yang busuk tersebut mencerminkan kondisi hati mereka yang juga amat busuk di dalam, bahkan disanalah awal mulanya kebusukan tersebut sehingga mereka menjadi suka menyebar isu, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dalam ayat tersebut setelah lafzh ‘zhanna al-mu’minuna wal mu’minat’ (yang merupakan pekerjaan hati) kemudian diikuti wa qalu (ya’ni bi alsinatihim= yaitu pekerjaan mulut-mulut mereka)[15], Imam Khazin menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa berprasangka baik thd perbuatan ikhwah sblm ada bukti hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib pula jika ada yang menyebar isu tersebut, maka yang mendengarnya wajib mengatakan di depan mukanya : Ini hanyalah kedustaan yang terang-terangan![16]

PENYEBAR  ISU  HARUS  SEGERA  BERTAUBAT  dan  BERHENTI  AGAR  BISA  DITERIMA  TAUBATNYA

Allah SWT berfirman :
“Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (An-Nuur : 14)
Imam At-Thabari menafsirkan makna ‘fadhluLLAH’ dalam ayat ini yaitu terhindar dari disegerakannya turun azab di dunia bagi para pelakunya, sementara ‘rahmatuHU’ dimaknai pengampunan atas dosa2 tersebut[17]; sementara Imam Ats-Tsa’alabiy menambahkan bahwa besarnya dosa pelaku isu adalah karena berita itu semakin menyebar akan semakin bertambah pula kebohongannya, sehingga semakin besar pula dosanya bagi para pelakunya[18]; maka jika penyebar isu seorang mu’min maka hendaklah ia segera bertaubat dan berhenti dari perbuatannya sebagaimana para pelaku isu di masa Nabi SAW yaitu Misthah bin Utsatsah dan Hasan bin Tsabit, atau jika ia tidak mau bertaubat maka baginya azab di akhirat sebagaimana pelaku isu lainnya yaitu AbduLLAH bin Ubay sang munafik, wal ‘iyadzubiLLAH..
PENYEBAR  ISU  MENGIRA  PERBUATANNYA  MENYEBAR  ISU  ITU  DOSANYA  REMEH  SAJA

Allah SWT berfirman :
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (An-Nuur : 15)
Maknanya adalah : Ketika kalian berkata bahwa ia begini dan begitu, padahal kamu tidak mengetahui hakikat kebenaran berita yang kamu katakan tersebut, lalu kalian menyangka membicarakan isu tersebut hal yang sepele saja, padahal disisi ALLAH SWT pembicaraan kalian tersebut adalah suatu dosa yang amat besar[19]. Bagaimana tidak besar dosanya? Sementara dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa nabi SAW bersabda : Ada seseorang yang berbicara dengan satu kata saja yang dibenci ALLAH, yang ia tidak menyadari betapa dosanya, sehingga nanti ia dilemparkan ke neraka dari jarak yang lebih jauh dari Timur dan Barat.”[20]

SIKAP  ORANG  MU’MIN  SAAT  MENDENGAR  HADITSUL-’IFK

Allah SWT berfirman :
Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan hal seperti ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang amat besar.”    (An-Nuur : 16)
Inilah sifat orang yang beriman saat mendengar haditsul-‘ifk, yaitu tidak membenarkannya, Imam Ibnu katsir menyatakan bahwa wajib bagi seorang muslim jika mendengar isu langsung menolaknya dan berprasangka baik, dan jika terasa dihatinya ada hal tidak baik tapi ia tidak memiliki bukti-bukti maka haram baginya menyebarkannya, semoga dengan demikian ia masih diampuni berdasarkan hadits Nabi SAW : “Sesungguhnya ALLAH SWT mengampuni ummatku apa-apa yang ada dalam hatinya, selama tidak ia ucapkan atau ia lakukan.”[21]
Imam At-Thabari menambahkan bahwa kalimat tasbih dalam ayat ini menunjukkan tidak cukup hanya menolak isu, tapi juga harus diikuti sifat bara’ (berlepas-diri) terhadap para penyebar isu tersebut[22]. Oleh karena itu, suatu saat sifat akan menghinggapi orang-orang yang beriman jika tidak diantisipasi dan diluruskan, maka IA Yang maha Rahman-pun mengingatkan kepada hamba-hambaNYA yang beriman dengan firman-NYA: “Wahai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian besar dari prasangka itu adalah dosa...”(Al-Hujurat  :12) ; juga sebagaimana sabda kekasih kita SAW: “Jauhilah prasangka itu, karena prasangka itu sedusta-dusta ucapan.”[23]

MENGULANGI  MENYEBAR  ISU  DAPAT  MENGELUARKAN  SEORANG  DARI  KEIMANAN

Allah SWT berfirman :
Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman. (An-Nuur : 17)
Maknanya adalah ALLAH SWT benar-benar memperingatkan dengan sangat keras (mutawa’idan) agar orang beriman tidak mengulang lagi perbuatan tersebut selama-lamanya (abadan)[24], berkata Imam Al-Biqa’iy bahwa lafzh ‘in kuntum mu’minin’ bermakna : Jika kamu layak untuk disifati beriman maka kamu tidak akan mengulanginya, dan jika kamu mengulanginya maka kamu tidak layak untuk disifati sebagai orang beriman[25].
Berkata Imam Asy-Syaukaniy bahwa dalam ayat ini benar-benar nampak ada dosa yang amat besar dan teguran yang paling keras[26] bagi yang berani mengulangi perbuatan tersebut, Sayyid Quthb menambahkan bahwa lafzh ‘ya’izhukum’ menggunakan uslub-tarbiyyah (gaya mendidik) agar menimbulkan kesan yang mendalam bagi yang mendengar/membaca ayat ini[27].

ORANG  YANG  SENANG  KEBURUKAN  SAUDARANYA  TERSEBAR  KEMANA2  MENDAPAT  2  AZAB

Allah berfirman :
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang Amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui. (An-Nuur : 19)
Maknanya adalah bahwa azab di dunia dalam ayat ini yaitu berupa hukuman dera/cambuk bagi pelakunya dan azab di akhirat yaitu berupa siksa ALLAH SWT[28]. Imam Al-Baghawi berkata bahwa makna ALLAH lebih Mengetahui dalam ayat ini yaitu kedustaan dalam perkataan kalian tersebut[29],  sementara  Imam Al-Alusiy menambahkan  bahwa walaupun telah dilakukan hukum had/dera tapi belum tentu ALLAH SWT mengampuni dosanya tersebut[30]. Oleh sebab itu maka telah bersabda Nabi SAW : Barangsiapa yang menutupi aurat saudaranya sesama muslim di dunia, maka ALLAH SWT akan menutup auratnya di Hari Kiamat nanti[31].

WAJIB  MENYERAHKAN  INFORMASI  dan  MENERIMA  KLARIFIKASINYA  DARI  QIYADAH ‘ULYA
Allah berfirman :
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa: 83)
Berkata Imam Abu Ja’far At-Thabari bahwa maknanya adalah jika ada berita tentang kekalahan kaum beriman oleh musuh, atau adanya isu tentang kekuatan dan persiapan musuh maka mereka segera menyebarkan dan menyiarkannya sebelum menanyakan kebenarannya pd Nabi SAW[32]; sementara Imam Ibnu Katsir menafsirkannya bahwa mereka mudah menyebarkan berita-berita sebelum mengecek kebenarannya, melainkan langsung disampaikan kembali dan disebarkan, tanpa mengetahui ke-shahih-an berita yang mereka dengar tersebut[33];
Padahal menyampaikan berita yang belum pasti (tsabit) kebenarannya adalah terlarang, sehingga Imam Muslim menyebutkan hadits dalam muqaddimmah shahih-nya sbb ; “Cukuplah seorang itu disebut pendusta jika ia menyampaikan semua yang ia dengar (tanpa mencek dulu kebenarannya).”[34] Dalam hadits lainnya Nabi SAW melarang kita untuk melakukan ‘qila wa qala’ (banyak-omong) yang disebutkan oleh beliau SAW, bahwa maknanya yaitu : “Orang yang banyak menyampaikan berita yang banyak dibicarakan orang tanpa melakukan re-check (tatsabbut), juga merenungkan dalam-dalam akan kebenarannya (tadabbur) dan juga mencari bukti-bukti (tabayyun).”[35] Apalagi jika ia sendiri sudah meragukan kebenaran berita tersebut tapi masih juga disampaikannya, perbuatan ini diancam dengan sebuah hadits : “Barangsiapa menceritakan sebuah berita, lalu ia sendiri menyangka bahwa berita tersebut tidak benar, maka ia termasuk diantara 2 orang yang berdusta (bersama pembawa beritanya).” [36]
Kalau engkau katakan padaku, bahwa ayat di atas ini berlaku hanya bagi berita tentang peperangan kaum muslimin dan bukan tentang kebijakan khusus qiyadah, maka aku jawab : Bahkan ayat ini sabab nuzulnya adalah berkaitan dengan isu kebijakan qiyadah (yaitu Nabi SAW) yang kemudian digunjingkan orang (padahal isu tersebut tidak benar), sebagaimana dalam hadits Shahih Bukhari dan Muslim sbb ; Dari Umar Ibnil Khaththab RA mendengar orang-orang mengatakan bahwa Nabi SAW telah menceraikan istri-istrinya , maka iapun datang ketika masuk ke masjid ia mendengar orang-orang menyampaikan kabar tersebut, maka ia tidak berkata-kata melainkan langsung mendatangi Nabi SAW lalu menanyakannya : “Apakah antum benar telah men-thalaq mereka?” Jawab Nabi SAW : “Tidak.” Maka Umar RA langsung ke mesjid lalu berteriak sekuat tenaganya : “ALLAHu akbar! Nabi SAW tidak men-thalaq istri-istrinya!” Maka turunlah ayat ini : “Dan jika mereka mendengar berita ttg keamanan atau ketakutan mereka lengsung menyebarkannya…”[37]
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk dosa-dosa besar, Imam Al-Baghawi dan Imam As-Suyuthi dalam tafsir keduanya sampai langsung menyebutkan bahwa para pelakunya adalah kaum munafiqin[38]; hal ini dikuatkan oleh Sayyid Quthb[39], beliau –rahimahuLLAH- menambahkan bahwa sifat seperti ini hanya keluar dari orang-orang yang munafiq, karena dalam ayat2 sebelumnya telah disebutkan sifat-sifat lain yang mengiringi sifat ini, yaitu : Pertama, mulai berlambat-lambat dalam tugas-tugas dakwah dan jihad (la yubath-thi’anna)[40]; kemudian Kedua, kalau ia melihat ikhwah yang mendapat kesulitan dalam dakwah maka ia berkata ALLAH melindungiku dari tugas tersebut, tapi jika ia melihat ikhwah dapat bagian yang nikmat dari dakwah maka ia menyesal mengapa tidak ialah yang diberi tugas tersebut[41]; lalu Ketiga, mereka selalu bicara ingin berjihad, namun saat sudah diberi tugas jihad maka mereka mundur dan beralasan belum siap dsb[42]; kemudian Keempat, mereka selalu mencela kebijakan qiyadah (Nabi SAW), jika menang maka mereka menyatakan kemenangan ini dari ALLAH, tapi saat kalah atau terjadi kesalahan maka mereka berkata ini dari (kebodohan/kesalahan) kamu wahai Muhammad[43]; lalu Kelima, jika mereka di depan qiyadah maka mereka diam/seolah-olah setuju, tapi begitu di luar maka mereka mengatakan apa yang tidak berani mereka katakan saat di forum qiyadah tersebut[44]; Barulah sifat Keenam dari mereka adalah menyebar isu, yang telah kita bahas di atas, Ya ALLAH lindungi kami dari segala sifat kemunafikan, dan jadikan teguhkan kaki kami untuk menjadi mujahid yang istiqamah menegakkan kalimah-MU, yaitu orang-orang yang sebagaimana disabdakan oleh lisan kekasih kami, Nabi-MU yang mulia SAW :
طُوبَى لِعَبْدٍ آخِذٍ بِعِنَانِ فَرَسِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ، أَشْعَثَ رَأْسُهُ مُغْبَرَّةٍ قَدَمَاهُ ، إِنْ كَانَ فِى الْحِرَاسَةِ كَانَ فِى الْحِرَاسَةِ ، وَإِنْ كَانَ فِى السَّاقَةِ كَانَ فِى السَّاقَةِ ، إِنِ اسْتَأْذَنَ لَمْ يُؤْذَنْ لَهُ ، وَإِنْ شَفَعَ لَمْ يُشَفَّعْ
“Alangkah berbahagianya seorang hamba, yang selalu siap memacu kendaraannya di jalan ALLAH, rambutnya telah kusut-masai dan kakinya telah penuh dengan debu, tetapi jika ia ditugaskan digaris belakang maka ia lakukan dengan sebaik-baiknya, dan jika ia ditugaskan di garis depan maka iapun melakukannya dengan sebaik-baiknya, tetapi jika ia meminta izin maka tidak pernah diizinkan dan jika ia memberi syafa’at maka tidak diterima syafa’atnya (karena miskinnya dan tidak dianggap).” [45]

KEHORMATAN  SEORANG  MUSLIM  HARAM  DILECEHKAN
Alangkah banyaknya taujih dari Yang Maha Rahman kepada kita untuk bagaimana kita selalu mengedepankan prasangka yang baik dan menolak syubuhat yang dituduhkan kepada saudara-saudara kita sesama muslim -siapapun dia dan dari kelompok manapun mereka- jika mereka adalah muslim dan bukan orang yang menunjukkan sifat-sifat kemunafikan maka baginya haram darah, harta dan kehormatannya, sebagaimana dalam hadits shahih dikatakan: “Jangan kalian saling hasad, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, jangan membeli barang yang sudah dibeli oleh saudaramu, dan jadilah kalian hamba-hamba ALLAH yang bersaudara, seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak boleh menzhalimi dan menghina serta mengucilkannya, Taqwa itu disini –sambil beliau SAW menunjuk dadanya 3 kali- cukup disebut seorang itu jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim, setiap muslim atas muslim yang lain haram darahnya, hartanya dan kehormatannya.”[46]

MUDAH  BERPRASANGKA  ADALAH  CIRI  KEMUNAFIKAN
Dan jika kita berinteraksi secara mendalam dengan Al-Qur’an, maka akan kita dapatkan bahwa sifat mudah berprasangka itu merupakan watak dari orang-orang yang kafir dan munafiq, sebagaimana firman-NYA berkenaan dengan sifat orang-orang kuffar : “... mereka tidak lain hanya mengikuti sangkaan-sangkaan, serta apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka ...”[47] Atau firman-NYA dalam ayat yang lain: “Dan mereka tidak memiliki suatu pengetahuanpun ttg itu. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan, sedangkan persangkaan itu tidak bermanfaat sedikitpun thd kebenaran.”[48]
Demikian pula Allah menyebutkan tentang sifat kaum munafiqin yang selalu berprasangka buruk kepada orang-orang yang beriman, dan merasa senang jika orang mu’min mendapat fitnah, sebagaimana dalam taujih-NYA: “... dan kalian menyangka dengan sangkaan yang buruk sehingga kalian menjadi kaum yang binasa.”[49]
Namun kendatipun demikian, ternyata ada pula kalangan kaum beriman (yang mungkin karena belum mengenal saudaranya ataupun mungkin karena kualitas keimanannya yang belum baik) yang terpengaruh dan terjangkiti virus su’uzhan tersebut, bahkan kemudian menelan berbagai isu yang tidak baik itu, bahkan ikut menyebar-nyebarkannya tanpa melakukan tabayyun ke sumber pertama dan tanpa –setelah tabayyun- menunggu klarifikasi dari sumbernya tersebut: Sebenarnya substansi permasalahannya seperti apa? Ataukah dalam konteks apa hal tersebut terjadi atau kata-kata itu diucapkan? Atau bagaimana dikaitkan dengan pribadi yang menyampaikannya, apakah mungkin dengan segala kapasitas kehidupannya, perjuangannya, konsistensinya dalam dakwah dan jihad sampai saat ini ia berani melakukan atau menyampaikan seperti itu? Dst.

PELAJARAN  DARI  SIRAH  PARA  SHAHABAT  R.A
Ketahuilah bahwa hal yang demikian itu pernah terjadi pula pada masa Nabi SAW dan bahkan fitnah itu malah menimpa diri pribadi nabi SAW sendiri dan keluarganya, yaitu isu yang menerpa salah seorang istri beliau SAW, yaitu Ummul Mu’minin A’isyah RA yang diisukan ada ‘affair’ –na’udzubiLLAH- dengan salah seorang sahabat yaitu Shafwan bin Mu’aththal RA yang berwajah ganteng saat pasca perang Bani Musthaliq (hadits selengkapnya dapat dirujuk dalam Kitab Ash-Shahihain[50]), yang jika kita teliti lebih mendalam hadits tersebut maka dapat kita simpulkan beberapa hukum fiqh sebagai berikut :
Bahwa data memang ada (yaitu Aisyah RA berjalan berdua dengan Shafwan RA), namun data tersebut -oleh orang yang menyebarkannya-  tidak dikonfirmasi dahulu kepada sumbernya.  
Kenapa itu sampai terjadi? Lalu kalaupun mereka memang berjalan berdua (tepatnya Shafwan RA menuntun Unta yang membawa Aisyah RA) maka apakah penyebabnya? Lalu apakah benar itu dilakukan oleh mereka dengan sengaja? Lalu apa saja yang mereka lakukan dalam perjalanan tersebut?
Lalu perhatikanlah baik-baik -wahai ikhwah wa akhwat fiddin a’azzakumuLLAH- renungkanlah bagaimana RABB kita, Pemilik kita dan Pembimbing kita yang Maha Mengajari dan Maha Mendidik telah mengajari kita dikala menyampaikan taujih Rabbani-NYA, IA –Jalla wa ‘Ala- yaitu IA tidak langsung memberikan klarifikasi tentang duduk peristiwanya atau benar atau tidaknya tuduhan tersebut, melainkan IA malah meluruskan mawaqif kaum mu’min jika mendengar berita seperti itu, yaitu agar membersihkan hati-hati mereka, mengarahkan ittijah (arah) mereka agar naik ke langit dan agar lepas dari tujuan-tujuan duniawi yang kotor, dan memberikan taujih yang membuat berlinangan airmata orang-orang yang bertaqwa dan gemetar hati orang-orang yang ikhlas:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. Mengapakah di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: Ini adalah suatu berita bohong yang nyata?! Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?!  Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah amat besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan hal seperti ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang amat besar.”[51]

MENYIARKAN  ISU  TANPA  TABAYYUN  ADALAH  DOSA  BESAR
Perhatikanlah bagaimana Allah -Yang tidak pernah tidur dan Maha Mengawasi- menegur dengan amat keras kepada sang penyebar isu dan orang-orang yang membenarkannya, sebagaimana dapat difahami dari susunan kalimat dan gaya bahasa yang digunakan-NYA saat menyampaikan kalimat di surat An-Nuur di atas. Perhatikanlah saat IA berfirman: “...Dan kamu menganggapnya (menyiarkan berita yang belum di-tabayyun itu) adalah suatu (dosa) yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah (dosanya) adalah amat besar.” Imam Ibnu Katsir –rahimahuLLAH- saat menafsirkan ayat ini[52], menukil sebuah hadits yang diriwayatkan dalam Ash-Shahihain: “Ada seorang laki-laki yang mengucapkan 1 kata (yang membuat ALLAH murka) yang ia tidak menyangkanya akan demikian itu, sehingga akibatnya ia dilemparkan ke neraka dari jarak yang lebih jauh dari Timur dan Barat.”[53]
Sementara Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya[54] menyatakan bahwa makna ‘bi-anfusihim’ (terhadap diri mereka sendiri) dalam ayat tersebut sebagai ‘bi-ikhwanihim’ (terhadap saudara mereka sendiri), kemudian beliau –rahimahuLLAH- melanjutkan: “Bahwa ALLAH SWT mewajibkan kepada seluruh orang beriman jika ada orang yang mencela orang lain ataupun menyebarkan isu, sementara yang menyampaikannya tidak dikenal (keadilan dan ke-wara’-annya) maka hendaklah ia menolaknya dan mendustakannya.”

ISU  MEMBONGKAR  KEMUNAFIKAN  dan  KEFASIKAN  PARA  PELAKUNYA
Asy-Syahid (insya ALLAH) Sayyid Quthb –rahimahuLLAH- menegaskan bahwa makna ‘bal huwa khayrul lakum’ (bahkan isu tersebut adalah baik bagi kalian), bahwa maknanya adalah : “karena ia menyingkap tipudaya dan para pelakunya terhadap Islam... dan ia juga menyampaikan kepada seluruh jama’ah islam akan urgensinya diharamkan menuduh dan hukuman dera bagi para pelakunya... sebenarnya yang penting bukan sekedar hukuman tersebut, tetapi perlunya mengarahkan jama’ah ini menuju tujuan yang suci, cita-cita yang tinggi dan perilaku yang bersih dan suci..”[55]
Para Ulama Salafus Shalihin juga memberikan penekanan terhadap hal ini. Berkata Imam Al-Muhasibi –rahimahuLLAH- : Cinta itu ada 3 macam, tidaklah seorang itu disebut sebagai orang yang mencintai ALLAH SWT kecuali dengan ketiga sifat tersebut, yaitu :
1.    Mencintai orang mu’min karena ALLAH dan tanda-tandanya adalah : Menahan diri dari menyakiti mereka, memberikan manfaat pd mereka;
2.    Mencintai Rasul karena ALLAH SWT dan tanda2nya adalah mengikuti sunnahnya;
3.    Dan mencintai ALLAH SWT dan tanda-tandanya adalah dengan taat pada-NYA dan tidak bermaksiat pada-NYA.
Imam al-Muhasibi menambahkan : Dan diantara tanda menahan diri dari menyakiti sesama muslim adalah dengan tidak buruk-sangka kepadanya.
Berkata Imam Al-Qasimi –rahimahuLLAH- : “Dan sebagaimana kamu diwajibkan untuk menghentikan lisanmu dari menyakitinya, maka demikian pula kamu diwajibkan untuk menghentikan hatimu dari menyakitinya pula yaitu dengan tidak berburuk-sangka padanya, karena buruk-sangka adalah meng-ghibbah dengan hati dan sama pula dilarang melakukannya. Maka menutupi aib dan kelemahannya serta melupakannya merupakan salah satu tanda orang-orang yang ahli agama. Dan ketahuilah bahwa tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sesama muslim sama seperti ia mencintai dirinya sendiri. Dan derajat terendah dari ukhuwwah adalah bergaul dengan saudaranya sesama muslim dengan hal yang ia sukai dan melupakan kekurangan dengan menutup kekurangannya dan berusaha menghilangkan sifat iri dan dengki, maka barangsiapa yang masih ada kedengkian dalam hatinya maka saksikanlah bahwa imannya lemah, dirinya berpenyakit dan hatinya busuk sehingga tidak pantas ia untuk berjumpa dengan ALLAH SWT.”
Ikhwah wa akhawat fiLLAH hafizhakumuLLAH,
Kita tidak mengkuatirkan apabila isu dan fitnah itu disebarkan oleh para musuh Islam atau kaum munafiqin, karena mereka memang ditaqdirkan untuk memerangi Islam dan syariat ALLAH SWT, tetapi yang kita kuatirkan adalah jika isu atau fitnah itu disebarkan oleh sesama kaum muslimin –baik itu karena kejahilan atau karena keburukan akhlaq mereka- (kita berlindung kepada ALLAH SWT dari keduanya), bahkan yang lebih parah lagi jika isu itu juga ditelan oleh para kader dakwah, sehingga mereka disibukkan dengan mendengar haditsul-’ifki (berita bohong) sementara wazhifah-yaumiyyah tidak dikerjakan, mereka sibuk membicarakan dan menyebarkannya dalam berbagai liqa’at, sehingga melemahkan shaff dan memudarkan semangat jihad mereka, maka dengan demikian para qiyadah akan disibukkan terus-menerus untuk meng-counter isu demi isu –dan inilah yang diinginkan oleh para musuh Islam- padahal isu tersebut amat jauh dari keadaan mereka, bahkan jangankan mereka berani mengkhianati ummat, sementara anak dan istri merekapun sering terabaikan demi dakwah, pekerjaan tetappun tidak punya dan penghasilanpun tidak jelas karena makin bertambah beratnya beban dakwah dan makin meluasnya jaringan yang harus dikelola. Jikapun kita tidak mau membantu mereka karena kesibukan ma’isyah ataupun studi kita, maka janganlah perberat beban mereka dengan menambah kerja mereka dengan hal-hal yang membuat fikiran semakin penat dan rambut semakin memutih, sebaliknya doakanlah mereka dan mintakan ampun bagi mereka disela-sela sujud dan tahajjud kita semua.
Ikhwah wa akhwat fiddin a’azzakumuLLAH,
Saat-saat jihad siyasah sudah dekat, orang-orang telah merapatkan barisannya untuk menekan kebangkitan ini dan mengalahkan barisan para du’at, genderang perang sudah mulai ditabuh, isu sudah mulai ditebarkan kemana-mana untuk mencerai-beraikan pasukan dan melemahkan semangat juang. Maka al-akh ad-da’i dan al-ukh ad-da’iyyah dituntut untuk berprasangka baik pada dirinya dan orang lain, dan bagi seorang al-akh agar senantiasa berprasangka baik pada qiyadah-nya, murabbi-nya dan para ikhwah-nya yang lain. Dan jangan melawan isu dengan isu, jangan melawan fitnah dengan fitnah pula, jangan melakukan provokasi, karena kita tidak berjuang demi dunia dan kenikmatan sesaat, mendekatlah kepada ALLAH SWT, bersabarlah juga karena ALLAH SWT karena Dia melipatgandakan pahala bagi mereka yang bersabar, ikhlas dan teguhlah dalam berjuang karena kita tidak berjuang karena si Fulan atau si Fulanah, sebab si Fulan atau si Fulanah akan mati dan akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di yaumil Mahsyar, tetapi perjuangan kita adalah demi li I’la kalimatiLLAH, maka siapa yang menyimpang dari tujuan tersebut, maka saksikanlah bahwa ia telah bersiap-siap untuk menyimpang ke neraka. Maka berbaik-sangka pada sesama saudara seiman adalah tanda iman dan merupakan tuntutan ukhuwwah dan tidak ada ukhuwwah tanpanya, sebagaimana sabda nabi SAW : “Jadilah kalian hamba-hamba ALLAH yang bersaudara.”[56] Akhirnya saya akhiri tulisan ini dengan doa seorang hamba yang mu’min dalam Al-Qur’an: “Wahai RABB kami, ampunilah dosa-dosa kami dan saudara-saudara kami yang yang telah mendahului kami dalam keimanan, dan janganlah ENGKAU jadikan dalam hati kami kedengkian thd orang-orang yang beriman, wahai RABB kami, sesungguhnya ENGKAU adalah Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
WAllahu a’lamu bish-Shawaab...
Abi AbdiLLAH


[1] Tafsir At-Thabari, XX/286
[2] Tafsir Ibnu Katsir, VII/370
[3] Tafsir Al-Alusi, VIII/152
[4] Tafsir Al-Biqa’iy, VIII/152
[5] Tafsir At-Thabari, XIX/115
[6] Tafsir Ibnu Katsir, VI/XIX
[7] Tafsir Al-Alusi, XIII/364
[8] Tafsir At-Thabari, XIX/115
[9] Tafsir Ibnu Katsir, VI/25
[10] Tafsir Al-Baghawi, VI/22
[11] Tafsir At-Thabari, XIX/116
[12] Tafsir Ibnu Katsir, VI/25
[13] Tafsir Al-Baghawi, VI/23
[14] Tafsir At-Thabari, XIX/128; dan ini adalah perkataan Al-Hasan RA, lih. Juga Al-Baghawi, VI/23
[15] Tafsir Ibnu Katsir, VI/27
[16] Tafsir Khazin, IV/492
[17] Tafsir At-Thabari, XIX/130
[18] Tafsir Ats-Tsa’alabiy, III/70
[19] Tafsir At-Thabari, XIX/132
[20] HR Bukhari, no. 6478 & Muslim, no. 2988
[21] HR Bukhari, no. 5269 & Muslim, no. 127
[22] Tafsir At-Thabari, XIX/132
[23] HR Bukhari, XVII/210 & Muslim, XVI/413; bahkan Imam Muslim menulis dalam shahih-nya bab: Haramnya Su’uzhan, Mencari2 Kesalahan Orang Lain... (XVI/412)
[24] Tafsir Ibnu Katsir, VI/29
[25] Tafsir Al-Biqa’iy, V/453
[26] Fathul Qadir, V/196
[27] Az-Zhilal, V/268
[28] Tafsir Ibnu Katsir, VI/29
[29] Tafsir Al-Baghawiy, VI/25
[30] Tafsir Al-Alusiy, XIII/379
[31] HR Ahmad, IV/62; Al-Hakim, IV/383; Muslim, VIII/21, dg tambahan : ..Akan ditutupi aibnya baik di dunia maupun di akhirat; Ibnu Majah, II/112, dg tambahan : ..Dan barangsiapa yg membuka aib saudaranya, maka akan dibuka aibnya oleh ALLAAH SWT sampai pada rahasia dlm rumahtangganya.”
[32] Tafsir At-Thabari, VIII/568
[33] Tafsir Ibnu Katsir, II/365
[34] Shahih Muslim, hadits no. 5; Abu Daud, hadits no. 4992
[35] HR Bukhari, no. 1477; dan Muslim, no. 593
[36] HR Muslim, no. 9; Tirmidzi, no. 2662
[37] HR Bukhari, no. 5191; Muslim, no. 1479
[38] Tafsir Al-Baghawi, II/254; Tafsir Ad-Durrul Mantsur, II/601-602
[39] Azh-Zhilal, VI/186
[40] QS An-Nisa’, 4/72
[41] QS An-Nisa’, 4/72-73
[42] QS An-Nisa’, 4/77
[43] QS An-Nisa’, 4/78
[44] QS An-Nisa’, 4/81
[45] HR Bukhari, bab Al-Hirasah fil Ghazwu, juz X/349, hadits no. 3887
[46] HR Muslim, no. 2564; Tirmidzi, no. 1928
[47] QS An-Najm, 53/23
[48] QS An-Najm, 53/28
[49] QS Al-Fath, 48/12
[50] HR Bukhari, Bab: Law Laa Idz Sami’tumuuhu Qultum..., XV/457
[51] QS An-Nuur, 24/11-16
[52] Tafsir Al-‘Azhim, VI/28
[53] HR Bukhari, no. 6478 dan Muslim, no. 2988
[54] Tafsir Al-Ahkam, XII/202
[55] Tafsir Az-Zhilal, V/265
[56] HR Bukhari, XX/205; & Muslim, XVI/400

No comments:

Post a Comment

Blog Archive