Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Thursday, June 14, 2012

Sirah: Sejak Bitsah hingga hijrah ke Habsy


A.  BEBERAPA FAKTA SEJARAH


Pertama
Turunnya wahyu kepada Rasulullah Saw. ketika usianya genap empat puluh tahun, tepat pada tanggal 17 Ramadhan.
Dalam buku Shahih Bukhari, Imam Bukhani meriwayatkan sebuah Hadits dan Aisyah Ra.
“Mulanya Nabi Saw. sering bermimpi melihat sinar, persis seperti sinar di waktu subuh. Kemudian mulailah beliau suka menyepi untuk beribadat, lalu menyendirilah beliau di Gua Hira’ beberapa waktu lamanya. Untuk itu beliau membawa bekal secukupnya. Setelah habis, beliau pun kembali ke rumah untuk mengambil tambahan. Demikianlah perbuatan itu berjalan sedemikian rupa, sehingga beliau menemukan kebenaran dan menerima kedatangan Malaikat Jibnil yang mengatakan: Bacalah! Aku tidak bisa membaca, jawab Nabi. Kemudian Malaikat memeluknya erat-erat dan setelah melepaskannya berkatalah dia: Bacalah! Aku tidak bisa membaca, jawab
Nabi untuk yang kedua kalinya. Malaikat kembali berbuat seperti semula. Setelah lepas, kembalilah dia mengatakan:
Bacalah! Aku tidak dapat membaca, jawab Nabi untuk yang ketiga kalinya. Malaikat kembali lagi memeluknya erat-enat, kemudian melepaskannya lalu mengatakan:

~ Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Menciptakan man usia dan segumpal danah. Bacalah nama Tuhanmu Yang Maha Mulia. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Mengajani man usia apa-apa yang tidak diketahuinya.” (Al-Alaq: 1-5)


Setelah itu Nabi pun segera pulang ke rumah dengan perasaan khawatir dan badan gemetar, me­nemui isterinya, Khadijah binti khuailid. Sesampai­nya di rumah berkatalah beliau, “selimuti aku!” Berulang kali kata-kata ini diucapkannya, sehingga beliau diselimuti oleh isterinya. Ia diam beberapa saat, dan sementara itu rasa takutnya sudah hilang. Diceritakannyalah pada Khadijah peristiwa yang telah terjadi atas dirinya di Gua Hira’ “Sungguh aku khawatir”, ujarnya.
Khadijah mengatakan:
“Tidak usah khawatir .., sekali-kali tidak usah khawatir, katanya. Demi Tuhan Ia tidak akan menghina­kanmu selama-lamanya. Sebab engkau adalah orang yang selalu memelihara silaturrahmi, membantu orang yang tidak punya, menghormati tetamu dan menolong orang yang menderita dalam membela kebenaran.”

Kemudian diajaknya Nabi pergi menemui pamannya, Waraqah bin Naufal, seorang yang beragama Nasrani dan pernah menyalin kitab Injil berbahasa Ibrani. Beliau sudah tua dan tidak dapat melihat lagi. “Wahai paman, dengarkan kemenakan­mu bercerita”, ujar Khadijah. “Wahai anak sauda­raku, apakah gerangan yang telah menimpa dirimu”, katanya balik bertanya yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw. Nabi pun bercerita. Dan setelah Nabi bercerita, Waraqah berkata: “Itu Malaikat yang pennah turun kepada Nabi Musa. Seandainya aku masih hidup dan masih kuat/gagah, pastilah aku akan menolong­mu, karena engkau akan diusir oleh kaummu nanti.”
Rasulullah Saw. kemudian bertanya heran. “Akankah mereka mengusirku?” Tanyanya. “Yaa,” jawab Waraqah singkat. “Tak seorang pun yang mengalami apa yang kau alami ini, kecuali dimusuhi oleh orang­-orang jahil. Dan kalau saja aku ini masih hidup pada waktu engkau diusir nanti, pastilah aku menolongmu,” katanya meyakinkan.
Tidak berapa lama berselang, berpulanglah Waraqah ke hadirat Allah Swt. Sementara Nabi Saw. menanti-nanti wahyu yang ternyata terputus beberapa lama.
Menurut riwayat Ibnu Hisyam dan Ibnu Ishak dikatakan, “Jibril mendatangi Nabi yang sedang tidur di Gua Hira’. Ia membawa sehelai kain sutera yang bertuliskan, lalu menyuruh Nabi membaca. “Maka saya pun membacanya”, kata Nabi, dan Jibril pun segera berlalu dan aku sendiri terba­ngun dari tidurku. “Apa yang saya baca sewaktu tidur tadi itu seakan-akan tertulis pula dalam hatiku”, kata Rasulullah Saw. Selanjutnya aku keluar dan gua itu dan berjalan di atas gunung di mana gua itu terdapat. Tiba-tiba aku mendengar suara dari langit yang mengatakan: “Hai Muhammad, Iihatlah ke angkasa, dan terlihatlah olehku Malaikat Jibril dalam rupa seorang laki-laki, dua kakinya bertengger di atas langit sambil menyerukan, Hai Muhammad, engkau adalah Rasulullah dan aku adalah Jibril”. Saya coba memalingkan wajah pandangan ke arah lain, tapi kemana mataku memaٌdang, maka di sana terlihat lagi Jibril. Aku tetap tidak berjalan maju atau mundur. Tiba-tiba aku sadar di sisiku hadir beberapa orang yang sengaja diutus Khadijah untuk mendapatkanku.”

Kedua
Orang yang pertama sekali beriman dan meme­luk agama Islam ialah isteri Nabi sendiri Khadijah. kemudian masuk Islam pula Ali, yang baru berumur sepuluh tahun, untuk seterusnya disusul oleh Zaid bin Haritsah (pembantu rumah tangga Nabi) dan Abu Bakar Ra. Dari kalangan hamba, yang pertama sekali memeluk Islam ialah Bilal bin Rabah Al­Habsyi. Dengan urut-urutan di atas teranglah, Khadijah merupakan orang pertama mengimani dan memeluk agama Islam. Rasulullah mengerjakan shalat pertama kali pada hari Senin, berjamaah dengan Khadijah. Waktu itu shalat baru dua waktu, yaitu pagi dan petang dengan dua rakaat untuk masing-masing waktu.

Ketiga
Setelah yang pertama, terputuslah penurunan wahyu beberapa waktu. dalam kaitan ini terdapat perbedaan pendapat tentang berapa lamanya masa kosong tersebut. Namun demikian kita berkesim­pulan, lama masa kosong itu maksimum tiga tahun dan minimum enam bulan. Yang terakhir inilah agak­nya yang lebih benar. Keterputusan wahyu menimbulkan kesedihan dan kegelisahan jiwa Nabi, karena ia menduga wahyu yang akan diturunkan kepadanya sudah habis, yang berarti pedoman hidup manusia hanya terdiri dari beberapa ayat saja, yaitu yang telah diturunkan kepadanya di Gua Hira’ saja. Akan tetapi kesedihan itu terobati dengan turunnya wahyu selanjutnya, sebagaimana diceritakan oleh Nabi sendiri dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Jabir bin Abdullah Al-Anshani, Sebagai berikut:

“Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, Nabi bersabda: “Ketika aku berjalan-jalan terdengar olehku suara dari langit lalu aku memandang ke arahnya. Aku melihat Malaikat Jibril yang pernah datang kepadaku di Gua Hira’. Ia duduk di atas Kursi antara bumi dan langit. Karena timbul rasa takut, aku pulang ke rumah dan kembali minta diselimuti kepada Khadijah. Ketika itulah Allah menurunkan wahyu-Nya. Wahai orang yang benselimut, bangunlah dan berikan kabar peningatan. Dan Tuhanmu, agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkan, dan penbuatan dosa tingalkan.”

Keempat
Setelah turun wahyu kedua mulailah Nabi me­ngajak orang memeluk agama Islam dengan caranya sendiri, selama tiga tahun penuh. Hasilnya ialah masuk Islamnya beberapa orang pria dan wanita yang dikenal sebagai orang-orang yang berpikiran waras dan berjiwa bersih.

Kelima
Allah Swt. memerintahkan agar Nabi, dengan pengikut-pengikut yang sudah berjumlah tiga pulu­han melakukan da’wah secara terang-terangan. Perintah ini diturunkan melalui wahyu Ilahi yang berbunyi:

“Maka sampaikanlah secara terang-terangan apa­apa yang dipenintahkan kepadamu dan berpalinglah dan orang-orang Musynik.” (Al-Hijr: 94)

Keenam
Dengan demikian mulailah Nabi dan sahabat­sahabatnya memasuki masa yang penuh rintangan, bahkan tekanan-tekanan. Sebabnya ialah karena kaum Musyrikin khawatir kalau Rasulullah Saw. membongkar kebodohan-kebodohan mereka dan menendahkan Tuhan-tuhannya seraya mengajarkan agama baru yang menyerukan agar manusia mem­pertuhankan Allah Yang Esa.

Ketujuh
Dalam fase da’wah terang-terangan ini Rasu­lullah Saw. selalu mengadakan pertemuan rahasia dengan sahabat-sahabatnya, bertempat di rumah Al-Arqam bin Abu Arqam. Dalam forum itulah Nabi membacakan dan mengajarkan wahyu secara terpe­rinci sejauh yang telah diturunkan Allah Swt.

Kedelapan
Pada saat itu Nabi juga diperintahkan untuk menyeru keluarga dekatnya sendiri, yang merupa­kan pentolan-pentolan suku Quraisy. Mereka diminta oleh Nabi untuk berkumpul lalu dinyatakan ajakan­nya agar mereka masuk ke dalam agama Islam, dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala-­berhala, merangsangnya dengan berita surga dan memperingatkan mereka akan ancaman neraka. Inilah yang membuat marah Abu Lahab, sehingga melontarkan kecaman: “Celaka engkau hai Muhammad, untuk kepenluan inikah engkau mengumpulkan kami di sini?”

Kesembilan
Orang-orang Quraisy berambisi sekali untuk menangkap Nabi, tetapi Abu Thalib selalu menghala­ngi dan tidak mau menyerahkannya kepada mereka. Karena keadaan, maka Abu Thalib minta agar Nabi mengurangi intensitas da’wahnya. Nabi mengira pamannya sudah tidak sungguh-sungguh lagi membelanya, sehingga beliau mengemukakan:
         •                                                                                                                                                                   ,.,               . ~                                       ,
“Demi Allah sekali pun mereka letakkan matahari di pundak kananku dan bulan di pundak kiriku agar aku tinggalkan da’wah ini, niscayalah aku tidak akan mening­galkannya, hingga agama ini tegak atau aku mati kane­nanya.”

Kesepuluh
Gangguan dan penyiksaan dari pihak Quraisy menjadi semakin meningkat, baik kepada beliau sendiri maupun kepada para sahabatnya. Ada di antara mereka yang mati dan banyak pula yang di aniaya.

Kesebelas
Karena melihat betapa teguh para sahabat Nabi memegang aqidahnya, diusahakanlah agar Nabi sendiri bersedia menerima tebusan harta berlimpah atau kedudukan yang tinggi. Tetapi taktik ini pun kandas lagi di hadapan Nabi.

Keduabelas
Karena siksaan yang diderita para sahabat semakin berat, maka Nabi pun memerintahkan mereka hijrah: “Kalau kalian hijrah ke Habasyah, tentulah siksaan ini terhindar, dan di sana terdapat penguasa yang mau melindungi (memberi suaka). Lakukanlah langkah ini, hingga Allah memberi kela­pangan dan jalan keluar dari keadaan yang ada sekarang.”
Terjadilah hijrah yang pertama dengan dua belas orang pria dan empat orang wanita. Setelah mende­ngar masuk Islamnya Umar bin Khattab, kembalilah mereka ke Makkah bersama-sama dengan orang­orang yang sempat di Islamkan selama mengungsi itu. Taktik hijrah ke Habasyah ini agaknya berhasil baik dengan rombongan yang terdiri dan delapan puluh tiga orang pria dan sebelas orang wanita.

Ketigabelas
Orang-orang Musyrik melakukan pemutusan hubungan dengan Nabi, Bani Hasyim dan Bani Muthalib, baik hubungan ekonomi dan perdagangan maupun hubungan pergaulan dan pennikahan. Hal ini berlaku untuk jangka waktu yang tidak ditentu­kan. Dua tahun lebih Nabi, sahabat-sahabat dan kelu­arga besarnya mengalami kesulitan, akibat tindakan kalangan Musyrikin itu. Namun keadaan ini berakhir juga, berkat pertimbangan dan perembukan yang dilakukan oleh pemikir-pemikir Quraisy sendiri.


B.  BEBERAPA PELAJARAN

Pertama
Seorang yang ditakdirkan untuk menjadi penyeru kebaikan tentulah terlebih dahulu tumbuh di hatinya rasa tidak senang terhadap kesesatan dan kerusakan yang dibuat oleh masyarakatnya.

Kedua
Pada mulanya Nabi Muhammad Saw. tidak per­nah mendambakan dan memimpikan akan menjadi Nabi, tetapi Allah menghendaki hal itu. Kesimpulan ini dibuktikan oleh keterkejutan beliau dengan turun­nya wahyu pertama, konsultasinya dengan Khadijah mengenai rahasia peristiwa yang dialaminya di Gua Hira, pendapat Waraqah bin Naufal dan pernyataan Jibril tentang Nabi diangkat menjadi Rasulullah.

Ketiga
Menda’wahkan sesuatu yang asing dan belum terpikirkan oleh publik haruslah terlebih dahulu dengan cara diam-diam (tatap muka) hingga menda­patkan pendukung yang bersedia benkorban sega­lanya untuk itu. Jika pemimpin da’wah mendapat rintangan, diambil-alihlah tugas itu oleh pengikut-­pengikut setianya. Dengan demikian dapat dijamin kelangsungan atau kontinyuitas da’wah.

Keempat
Seruan Nabi Saw. telah mengagetkan masyara­kat. Karena itu mereka bereaksi dan menentangnya mati-matian. Targetnya ialah menghabisi diri Nabi dan sahabat-sahabatnya. Hal ini merupakan sang­gahan historis terhadap propaganda kalangan nasional yang mengatakan, risalah (misi) Muhammad

merupakan manifestasi citra dan cita bangsa Arab zaman itu. Pendapat serupa memang menggeli­kan dan hanya di dasarkan atas kegilaan akan ide nasionalis, sehingga menempatkan Islam sebagai sesuatu yang tumbuh dan kepribadian dan pemi­kiran bangsa Arab semata. Nyata sekali pandangan nasionalis oriented ini mengingkari kenabian Rasu­lullah dan menolak mentah-mentah risalah Islam, walaupun kebenarannya telah disanggah dan diba­talkan oleh fakta sejarah.

Kelima
Ketetapan dan keyakinan orang-orang yang telah beriman, walaupun mereka harus merasakan bermacam-macam siksaan, semua itu merupakan bukti kebenaran iman dan ketulusan hati mereka untuk memegang teguh aqidah dengan kebesaran jiwanya. Dalam keyakinan itu mereka menemukan kesenangan, kejernihan jiwa dan akal yang jauh lebih hebat ketimbang azab dan siksa yang ditujukan kepadanya.
Bagi orang Mukmin yang benar-benar beriman dan bagi da’i yang betul-betul ~ ikhlas, rohanilah yang lebih diutamakan ketimbang jasad. Mereka lebth mementingkan tuntutan-tuntutan rohaniahnya daripada kesenangan dan kenikmatan fisik mate­rial. Inilah rahasia suksesnya da’wah kaum Mukminin itu, dengan inilah pula mereka berhasil membebas-kan masyarakat manusia dan kegelapan dan kebodohan.

Keenam
Pernyataan Nabi yang disampaikan melalui pamannya dan penolakan terhadap tawaran harta dan kedudukan yang ditawarkan oleh tokoh-tokoh Quraisy, kedua-duanya mengandung arti dan bukti kebenaran risalah dan kesungguhannya memenuhi keperluan manusia. Oleh karena itu seharusnya seorang da’i bersungguh-sungguh untuk tetap men­jalankan da’wahnya, sekalipun ia dimusuhi oleh pecinta-pecinta kebatilan dan dibujuk rayu oleh mereka itu dengan harta benda dan pangkat serta kedudukan. Bagi sang da’i, penderitaan dalam da’wah haruslah dianggap sebagai kenikmatan dan pelajaran. Ridha ilahi janganlah ditukarkan dengan kemegahan duniawi.

Ketujuh
Seorang pemimpin da’wah seyogyanya selalu mengadakan pertemuan rutin dengan pengikut­-pengikutnya. Kalau bisa dilakukan secara terbuka, terbukalah dan jika tidak bisa, maka lakukanlah pertemuan dengan tertutup. Isi setiap pertemuan itu dengan pelajaran-pelajaran yang menambah keyakinan mereka akan da’wahnya. Ajarkan kepada­nya taktik, strategi dan etika da’wah.

Kedelapan
Seorang da’i harus memperhatikan karib kerabatnya dengan menyampaikan ajakan-ajakan untuk perbaikan, jika mereka menolak, maka serah­kanlah kepada Allah. Sebab orang lain pun akan tahu buruk atau baiknya mereka yang menolak itu.

Kesembilan
Seorang da’i haruslah membela jiwa dan kepen­tingan para pengikutnya serta aqidahnya. Ia harus memberikan alternatif yang tepat guna menyelamat­kan mereka. Sebab keselamatan pengikut-pengikut itu berarti kelangsungan da’wah terjamin.

Kesepuluh
Dipilihnya tempat hijrah pertama dan kedua, negeri Habasyah, menunjukkan adanya kaitan antara agama dan penganut agama. Kaitan itu jauh lebih kuat ketimbang kaitannya dengan masyarakat yang tidak beragama atau yang mengabdikan diri kepada benda (berhala). Agama-agama samawi itu sebe­narnya bersatu tujuan, terutama tujuan sosialnya, dan bersamaan pula keamanannya, yakni iman kepa­da Allah, Rasul-rasul dan Han Akhirat. Inilah yang membuat jaringan keakraban antara sesama penga­nut agama samawi yang ash itu jauh lebih kuat, ketimbang ikatan atau hubungan kefamilian, darah atau daerah antara mereka dengan penganut-penga­nut ajaran keberhalaan dan dengan orang-orang yang kufur terhadap ajaran Allah Swt.

Kesebelas
Pecinta-pecinta kebathilan tidak akan mudah menyerah dihadapan pembela-pembela kebenaran (haq). Jika mereka itu gagal dengan cara yang satu untuk melawan dan melenyapkan da’wah yang haq akan dicari cara-cara yang lain. ini memang sudah menjadi hukum kehidupan dan merupakan ujian apakah pembela-pembela kebenaran itu cukup mampu dan tangguh untuk mengunggulkan yang haq dan memusnahkan yang bat hil.

No comments:

Post a Comment

Blog Archive