Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Thursday, June 14, 2012

Sirah: DARI HIJRAH KE HABASYAH HINGGA KE MADINAH


A. BEBERAPA FAKTA SEJARAH


Pertama
Wafatnya Abu Thalib pada tahun kesepuluh kenabian Muhammad. Selaina hayatnya, Abu Thalib merupakan pembela Nabi yang gigih, sehingga orang-orang kafir Quraisy tidak berani mengganggu atau menyakiti Nabi secara langsung. Abu Thalib adalah seorang yang terhormat di kalangan mereka. Setelah wafatnya, mulailah. orang-orang Quraisy menghalangi dan mengganggu Nabi. Sehingga Nabi sangat berduka dengan kematian pamannya itu.
Akan tetapi sungguhpun begitu, Abu Thalib hingga menghembuskan nafas terakhir tetap saja tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat, karena ingin mempertahankan wibawa Bani Muthal­lib di mata masyarakat Quraisy secara keseluruhan.

Kedua
Pada tahun yang sama wafat pula isterinya, Khadijah. Dia adalah srikandi yang mampu meringankan penderitaan Nabi, disebabkan tindakan kasar orang-orang kafir Quraisy. Tentu kematiannya juga menimbulkan rasa sedih yang mendalam di hati Nabi Muhammad Saw.
Dengan wafatnya dua orang pembela ini, dinaa­mailah tahun kesepuluh itu dengan sebutan tahun dukacita (amul hazni).

Ketiga
Dengan makin meningkatnya gangguan dan teror serta siksaan kafir Quraisy terhadap kaum Muslimin, maka hijrahlah Nabi ke Thaif, dengan harapan akan memperoleh pertolongan serta peneri­maan yang sebaik-baiknya dan orang-orang Bani Tsaqif di situ.
Akan tetapi kenyataan justru sebaliknya, orang-­orang sana mengerahkan anak-anak agar melempari­nya dengan batu, sehingga Nabi menderita luka-­luka karenanya. Melihat keadaan demikian, Nabi pun berlindung di dalam sebuah kebun dan berdo’a kepada Allah Swt.

Do’a dimaksud berbunyi:
“Wahai Tuhanku, kepada-Mu hamba mengadukan lemahnya kekuatanku, sempitnya upayaku dan hinanya aku di mata manusia.
Wahai Tuhan, Engkaulah yang lebih pengasih dan semua pengasih, Engkaulah pelindung onang-onang yang lemah dan Engkaulah Tuhanku.
Kepada siapakah Engkau akan men yerahkan din hamba mi ? Kepada yang jauh dan menghadapiku den gan muka masamkah, atau kepada musuh yang membenciku?
Kalau Engkau tiada memurkaiku, tiadalah mengapa. Tetapi maafmulah yang sangat kudambakan.
Aku benlindung di bawah nur-Mu yang menerangi semua kegelapan, dan atasnyalah urusan dunia dan akhi rat akan menjadi baik, agar janganlah kiranya Engkau tununkan murka-Mu kepadaku.
Untukmulah aku nela dihinakan, asal saja Engkau masih mencintaiku.
Dan tiada daya dan upaya, tiada kekuatan, kecuali dan-Mu.”

Pelajaran:

Pertama
Seorang da’i boleh saja mengangkat salah seorang anggota keluarganya sebagai pelindung, manakala ia bersedia membela pribadi sang da’i, walaupun dia belum mau menerima isi da’wah sendiri. Fanatisme kesukuan atau kekeluargaan boleh saja dimanfaatkan sejauh tidak menggerogoti da’i dan ajaran-ajaran yang dida’wahkannya. Dengan kata lain sejauh tidak menimbulkan kemungkaran-­kemungkaran.

Kedua
Isteri yang saleh dan yakin akan kebenaran apa yang dida’wahkan suaminya, akan dapat meringan­kan kesulitan-kesulitan yang menghalangi da’wah itu, kalau saja dia terlibat dalam cita-cita da’wah itu. Hal ini akan membantu mengatasi kesu-litan­-kesulitan yang melanda sang suami, sang da’i itu, sehingga dia semakin berketetapan hati untuk meneruskan cita-cita da’wah. Apa yang telah dilaku­kan oleh Sayyidatina Khadijah terhadap Rasulullah Saw. tidak urung lagi merupakan keteladan tentang bagaimana peran yang dapat dimainkan oleh sang isteri, dalam membela da’wah untu.k kebenaran dan kebaikan. Peran yang diambil oleh sang isteri dimak­sud tentulah menunjang kesuksesan sang da’i di satu pihak, dan membuatnya bersemangat untuk terüs menjalankan da’wahnya di lain pihak.

Ketiga
Sedih karena ditinggal pembela da’wah beta­papun sang pembela itu belum beriman terhadap kebenaran isi da’wah dimaksud, dan sedih karena ditinggalkan sang isteri yang sudah beriman dan ikut bertanggung jawab terhadap kesuksesan da’wah, tentulah merupakan kesedihan yang timbul dari sikap ikhlas dan tulus dalam menjalankan da’­wah, dan merupakan tanda penghargaan sang da’i untuk sang isteri yang sanggup berkorban demi kepentingan yang sama. Inilah dasarnya mengapa Nabi Muhammad Saw. selalu mendoakan Abu Thalib yang meninggal dalam keadaan belum mengikrarkan dua kalimat syahadat. Tersebutlah dalam suatu riwayat, Nabi mengucapkan kata-kata sebagai benikut:
             
“Mudah-mudahafl Allah memberikan nahmat dan ampunan-Nya bagimu (Abu Thalib). Aku akan selalu menzintakan ampun untukmu, hingga Allah men cegahku.”


Hadits ini pada masa selanjutnya, dijadikan sebagai dasar hukum oleh kaum Muslimin tentang bolehnya mendoakan nenek moyangnya yang sudah meninggal, tapi belum masuk Islam. Akan tetapi kebiasaan seperti ini dilarang oleh Allah Swt. melalui
   firman-Nya:                                   -


“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang-orang yang Syirik, walau pun mereka itu kaum kerabatnya sendini, sesudah jelas bagi meneka, orang­orang Musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.” (At-Taubah: 113)

Dapat dimaklumi jika Rasulullah Saw. selama hayatnya, senantiasa mengenang jasa-jasa Khadijah, selalu memperlihatkan kasih sayang dan selalu baik kepada sahabat-sahabatnya semasa hidupnya. Siti Aisyah sendiri merasa cemburu lantaran seringnya Nabi menyanjung-nyanjung Khadijah yang justru telah berpulang itu. Imam Bukhani meriwayatkan pertanyaan Aisyah itu, sebagai benikut:
Aisyah mengatakan: “Cemburuku kepada isteri­-isteri Rasulullah yang lain tidaklah sebesar cemburuku kepada Siti Khadijah. Memang aku tidak sempat bertemu muka dengannya, tetapi Nabi sering menyebutnya. Beliau pernah memotong kambing, dan setelah dipotong-potong dibagikan nyalah dagingnya kepada sahabat-sahabat Khadijah. Pernah aku mengatakan kepadanya agaknya beliau (Khadijah) itu merupakan satu-satunya wanita di dunia ini, ya Rasulullah. Nabi menjawab celotehku itu dengan mengatakan seorang wanita yang demikian  demikian   demikian, dan saya dikaruniai keturunan darinya.”

Keempat
Hijrah Rasulullah ke Thaif, setelah penduduk Makkah tak berkenan kepadanya, menandakan kesungguhan dan kemauan keras Nabi untuk meneruskan da’wahnya dan menyatakan, beliau tidak mengenal putus asa, di satu sisi, serta tidak kehilangan akal untuk mencari lapangan (medan) da’wah yang baru, di lain sisi. Kalau begitu arti yang dapat ditangkap dari kehijrahan tersebut, maka lain halnya dengan arti yang terkandung dalam peristiwa pengerahan anak-anak untuk menghajar Nabi ketika berada di Thaif. Pengerahan mi mengandung makna, kejahatan selalu dilakukan dengan menunggangi orang-orang yang tidak mengerti apa-apa.
Seterusnya mengalirnya darah dan kaki Nabi Saw. merupakan peristiwa yang meringankan para da’i akan perlunya ketangguhan mental dalam melaksanakan da’wah kepada yang haq. Sebab tugas mi selalu dihadapkan kepada tantangan dan gang­guan fisik.
Begitulah kesungguhan Rasulullah Saw. mengemban misi suci dan Allah Swt. ditengah­tengah berbagai kesukaran, suatu keseriusan yang dicerminkannya dalam doanya ketika menyelamat­kan diri di dalam kebun. Rasulullah tidak berkebera­tan terhadap segala siksaan yang diterimanya, tetapi justru kemurkaan Allah sajalah yang ia takuti. Ia hanya berkepentingan untuk memperoleh ridha Allah, tidak ridhanya para pemimpin dan pembesar negara dan kerajaan, dan tidak juga keridhaan ma­syarakat umum dan orang-orang yang degil.

Kelima
Mukjizat Isra’ Mi’raj itu mengandung beberapa rahasia. Tetapi di sini akan kita lihat tiga saja yaitu:

1.      Masalah Masjid Al-Aqsha dan sekitarnya (pa­lestina) berkaitan dengan persoalan dunia Is­lam. Oleh karena Makkah telah menjadi pusat dunuia Islam dan merupakan lambang persatuan, dan membela Palestina adalah juga berarti membela Is­lam, maka setiap Muslim wajib melakukan pembela­an itu. Sebaliknya melalaikan pembelaan, berarti mengenyampingkan Islam, yang dengan sendirinya akan merupakan dosa yang akan mengundang murka Allah kepada kaum Mukminin seluruh dunia.

2.      Mu’jizat Isra’dan Mi’raj ini menandakan keting­gian martabat kaum Muslimin, wajibnya
mengutamakan Islam daripada tuntutan hawa nafsu duniawi dan menegaskan pula, ketinggian kedudu­kan dan martabat serta cita-cita Islam itu merupakan monopoli kaum Muslimin.

3.      Mengisyaratkan mungkmnnya dilakukan penje­lajahan ke luar angkasa sepanjang sejarah. Disamping itu diisyaratkan pula mungkinnya kembali dan penjelajahan angkasa luar ke planet bumi ini dalam keadaan selamat. Kalau Rasulullah Saw. dulu mengalami hal itu dengan mu’jizatnya, maka bagi manusia biasa hal tersebut hanya mungkin dengan ilmu dan pemikiran.

Keenam
Diwajibkannya shalat pada waktu Isra’ Mi’raj mengandung hikmah, shalat itu merupakan Mi’raj bagi orang yang beriman. Seakan Allah hendak me­ngatakan kepada manusia, kalau Mi’rajnya Rasu­lullah dijalaninya dengan jasad dan rohnya, maka kamu (kaum Muslimin) hendaknya menjadikan shalat lima waktu sehari semalam itu sebagai Mi’raj­mu, dengan roh dan kalbumu naik kepada-Ku. Dan hendaklah pendakian spiritualmu itu merupakan usaha melampaui nafsu syahwat dan penyaksian sebagian tanda-tanda keagungan, kekuasaan dan keesaan-Ku. Sebab dengan cara itu sajalah kamu sekalian dimungkinkan menjadi pengendali segala sesuatu yang ada di bumi ini. Tidak dengan jalan perbudakan, paksaan ataupun peperangan, melain­kan dengan jalan yang baik dan mulia.

Ketujuh
Kontak yang dilakukan Rasulullah dengan jamaah haji setiap tahun itu menandakan seorang da’i tidak sepantasnya membatasi sasaran dan ling­kup da’wahnya sekitar orang-orang yang ada di sekelilingnya saja. Sebaliknya ia harus menjangkau tempat-tempat orang-orang berkumpul atau mungkin berkumpul di situ. Juga tidak pantas kalau ia cepat putus asa, karena orang-orang enggan mene­rima ajakannya. Sebab Allah telah mempersiapkan pengikut-pengikut setia yang tidak terduga sebelum­nya. Dan seringkali sekelompok kecil orang justru berperan besar dalam mensukseskan da’wah dan memerangi kejahatan, berikut pecinta-pecintanya.

Imannya tujuh orang yang dijumpai Nabi di Aqabah misalnya, ternyata merupakan cikal bakal kaum Anshar, yang di samping menjadi penolong kalangan Muhajirin, juga menjadi landasan yang kokoh bagi berdirinya negara yang memprogramkan penghapusan Syinik dan Musyrik, untuk selanjutnya membangun kekuasaan iman yang kekal abadi.

HIJRAH DAN MENETAP DI MADINAH


A.  BEBERAPA PERISTIWA PENTING

Pertama
Tersebarnya berita masuk Islamnya sekelompok penduduk Yatsrib (Madinah), membuat orang-orang kafir Quraisy semakin meningkatkan tekanan kepada orang-orang Mukmin di Makkah. Lalu Nabi Saw. memerintahkan mereka agar hijrah ke kota Madinah. Sahabat segera berangkat menuju Madinah secara diam-diam, agar tidak dihadang oleh musuh. Namun Umar bin Khattab justru mengumumkan terlebih dahulu rencananya untuk berangkat ke pengungsian kepada orang-orang kafir Makkah, dikatakannya:
“Siapa di antara kalian yang bersedia benpisah den gan ibunya, silahkan hadang aku besuk di lembah anu, besuk pagi saya akan hijrah.” Tidak seorang pun berani menghadang Uman.

Kedua
mengetahui, kaum Muslimin yang hijrah ke Madinah itu ternyata disambut baik dan mendapat penghormatan yang memuaskan dari penduduk, bermusyawarahlah kaum kafir Quraisy di Darun Nadwah untuk merumuskan cara-cara yang akan diambil untuk membunuh Rasululah Saw. yang diketahui belum berangkat bersama rombongan sahabat. Rapat memutuskan untuk mengumpulkan seorang algojo dan setiap kabilah guna membunuh Nabi Saw. bersama-sama. Pertimbangannya ialah, keluarga besar Nabi (Bani Manaf) tidak akan berani berperang melawan semua suku yang telah mengu­tus algojonya masing-masing. Satu-satunya pilihan yang mungkin mereka ambil ialah rela menerima diat (denda pembunuhan) manakala ternyata jiwa Nabi dapat mereka renggut nantinya. Keputusan bersama ini segera dilaksanakan dan para algojo tadi berkumpul di sekeliling rumah Nabi Saw. Mere­ka mendapat instruksi: “Keluarkan Muhammad dari rumahnya dan langsung penggal tengkuknya dengan pedangmu.”

Ketiga
Pada malam pengepungan itu Nabi Saw. tidak tidur. Kapada keponakannya, Ali Ra. beliau meme­rintahkan agar tidur (berbaring) ditempat tidur Nabi dan menyerahkan kembali semua harta titipan penduduk Makkah yang ada di tangan Rasulullah Saw. kepada masing-masing pemiliknya.
Nabi keluar dan rumahnya tanpa diketahui oleh seorang pun di antara mereka, yang sejak senja sudah bersiap-siap untuk membunuhnya. Beliau pergi menuju rumah Abu Bakar yang sudah menyiapkan dua tunggangan (kendaraan) lalu segera berangkat Abu Bakar mencarter Abdullah bin Uraiqith Ad-Daily untuk menunjukkan jalan pintas menuju Madinah.

Keempat
Rasulullah dan Abu Bakar berangkat pada hari kamis tangal 1 Rabi’ul Awwal tahun kelima puluh tiga dan kelahiran Nabi Saw Hanya Ali dan keluarga Abu Bakar saja yang tahu keberangkatan beliau berdua malam itu. Sebelumnya Aisyah dan Asma binti Abu Bakar telah menyiapkan bekal secukupnya. Kemudian beliau berdua berangkat, bersama penunjuk jalan, menelusuri jalan Madinah - Yaman, hingga sampai di Gua Tsur. Nabi dan Abu Bakar berhenti di situ dan penunjuk jalan disuruh kembali secepatniya guna menyampaikan pesan rahasia Abu Bakar kepada Putranya, Abdullah.
Tiga malam lamanya Nabi dan Abu Bakar bersembunyi di gua itu, tetapi setiap malam mereka ditemani oleh Abdullah bin Abu Bakar yang ber­tindak sebagai pengamat situasi dan pembeni informasi.

Kelima
Lolosnya Nabi dan kepungan yang ketat itu membuat kalangan Quraisy hiruk pikuk mencarinya. Jalan Makkah - Madinah sudah dilacak, tetapi gagal menemukannya. Kemudian ditelusurmnya jalan
Yaman - Madinah, dengan dugaan Nabi pasti bersembunyi di Gua Tsur. Setibanya tiem pelacak itu di sana, alangkah bingungnya mereka ketika meithat mulut gua itu tertutup jaring laba-laba dan sanang bunung, hal mana menunjukkan tidak ada onang yang masuk ke dalam gua itu. Mereka tidak dapat melihat apa yang ada dalam gua itu, tetapi orang yang di dalamnya dapat melihat jelas rom­bongan yang berada di luar. Waktu itulah Abu Bakar merasa sangat khawatir akan keselamatan mereka bendua, tetapi Rasulullah mengatakan kepadanya:
 “Hai Abu Bakar, kita ini bendua dan Allah-lah yangketiganya.”

Keenam
Kalangan kafir Quraisy mengumumkan kepada seluruh kabilah : “Siapa saja yang dapat menyerah­kant Muhammad dan kawannya (Abu Bakar) kepada kami hidup atau mati, maka kepadanya akan diberikan hadiah yang bernilai jutaan.” Bangkitlah Suraqah bin Ja’syam mencari dan mengejar Nabi, dengan harapan akan menjadi hartawan dalam waktu singkat.
Sungguhpun jarak antara Gua Tsur dengan rombongan Nabi sudah begitu jauh, namun Suraqah ternyata dapat menyusulnya. Tatkala sudah begitu dekat, tiba-tiba tersungkurlah kuda yang ditungga­nginya, sementara pedang yang telah diayunkannya ke arah Nabi tetap terhunus di tanganunya. Tiga kali ia melibaskan pedangnya ke arah tubuh Nabi, tetapi pada detik-detik itu pula kudanya tiga kali tensung­kur sehingga tak terlaksanalah maksud jahatnya. Kemudian ia menyarungkan pedangnya dalam keadaan diliputi perasaan kagum dan yakin, dia benar-benar berhadapan dengan seorang Nabi yang menjadi Rasul Allah. Ia mohon kepada Nabi agar berkenan menolongnya yakni mengangkat kudanya yang tak dapat bangun karena kakinya terperosok ke dalam pasir. Setelah ditolong oleh Nabi, ia memin­ta agar Nabi berjanji akan membeninya hadiah berupa gelang kebesaran raja-raja. Nabi menjawab:
“Baiklah.”
Kemudian kembalilah ia ke Makkah dengan berpura-pura tak menemukan seseorang dan tak pernah mengalami kejadian apa pun.

Ketujuh
Rasulullah dan Abu Bakar tiba di Madinah pada tanggal 12 Rabi’ul awal. Kedatangan beliau telah dinanti-nantikan masyarakat Madinah. Pagi hari me­reka berkerumun di jalanan, setelah tengah hari barulah mereka bubar. Begitulah penantian mereka beherapa han sebelum kedatangan Nabi. Pada han kedatangan Nabi dan Abu Bakar, masyarakat Madi­nah sudah menunggu berjubel di jalan raya yang akan dilalui Nabi lengkap dengan regu genderang (drum bend). Mereka mengelu-elukan Nabi dan genderang pun gemuruh diselingi nyanyian yang Sengaja di gubah untuk keperluan penyambutan itu.

Bulan purnama telah muncul di ten gah-tengah kita, dan celah-celah bebukitan. Wajiblah kita bensyukun, atas ajakannya kepada Allah. Wahai onang yang dibangkitkan untuk kami, kau datang membawa sesuatu yang ditaati.”

Kedelapan
Di tengah perjalanan menuju Madinah, Rasu­hillah singgah di Quba’, sebuah desa yang terletak dua mil di selatan Madmnah. Dibangunnyalah sebuah Masjid, dan merupakan Masjid pertama dalam scjarah Islam. Beliau singgah di sana selama empat han untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Madinah. Pada Jum’at pagi beliau berangkat dari Quba’ dan tiba di perkampungan Bani Salim bin Auf, persis pada waktu shalat Jum’at, lalu shalatlah beliau di sana. Inilah Jum’at pertama dalam Islam, dan karena itu khutbahnya pun merupakan khutbah yang pertama.
Kemudian Nabi berangkat meninggalkan Bani Salim. Program pertamanya sesampainya di Madi­nah ialah menentukan tempat, dimana akan dibangun Masjid. Tempat itu ialah tempat di mana ontanya berhenti setibanya di Madinah. Ternyata tanah dimaksud milik dua orang anak yatim. Untuk itu Nabi minta supaya keduanya sudi menjual tanah miliknya, namun mereka lebih suka menghadiah­kannya. Tetapi beliau tetap ingin membayar tanah di maksud seharga sepuluh dinar. Dengan senang hati Abu Bakar menyerahkan uang kepada mereka berdua.
Pembangunan Masjid segera dimulai dan seluruh kaum Muslimin ikut ambil bagman, sehingga berdiri sebuah Masjid berdinding bata, berkayu batang korma dan beratap daun korma.

Kesembilan
Kernudian Nabi mempersaudarakan antara orang-orang Muhajirin dengan Anshar. Setiap orang Anshar mengakui orang Muhajirin sebagai saudara­nya sendiri, mempersilahkannya tinggal di rumah­nya dan memanfaatkan segala fasilitasnya yang ada di rumah bersangkutan.

Kesepuluh
            Selanjutnya Nabi Saw. merumuskan piagam yang berlaku bagi seluruh kaum Muslirnin dan orang-orang Yahudi. Piagam inilah yang oleh Ibnu Hisyam disebut sebagai undang-undang dasar negara dan pemerintahan Islam yang pertama. Isinya mencakup tentang prikemanusiaan, keadilan sosial, toleransi beragama, masyarakat dan lain-lain. Saripatinya adalah sebagai
berikut:

1.      Kesatuan umat Islam, tanpa mengenal perbe­daan.
2.      Persamaan hak dan kewajiban
3.      Gotong royong dalam segala hal yang tidak ten­masuk kezaliman, dosa dan permusuhan.
4.      Kompak dalam menentukan hubungan dengan orang-orang yang memusuhi umat.
5.    Membangun suatu masyarakat dalam suatu sis­tem yang sebaik-baiknya, seluruhnya dan seko­koh-kokohnya.
6.    Melawan orang-orang yang memusuhi negara dan membangkang, tanpa boleh memberikan bantuan kepada mereka.
7.    Melindungi setiap orang yang ingin hidup ber­dampingan dengan kaum Muslimin dan tidak boleh berbuat zalim atau aniaya terhadapnya.
8.    Umat yang di luar Islam bebas melaksanakan agamanya. Mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam dan tidak boleh diganggu harta bendanya.
9.    Umat yang di luar Islam harus ambil bagian dalam membiayai negara, sebagaimana umat Islam sendiri.
10.  Umat non Muslim harus membantu dan ikut memikul biaya negara dalam keadaan terancam.
11.  Umat yang di luar Islam, harus saling membantu dengan umat Islam dalam melindungi negara dan ancaman musuh.
12.  Negara melindungi semua warga negara, baik yang Muslim maupun bukan Muslim.
13.  Umat Islam dan bukan Islam tidak boleh melin­dungi musuh negara dan orang-orang yang membantu rnusuh negara itu.
14.  Apabila suatu perdamaian akan membawa keba­ikan bagi masyarakat, maka semua warga negara baik Muslim maupun bukan Muslim, harus rela menenima perdamaian.
15.  Seorang warga negara tidak dapat dihukum karena kesalahan orang lain. Hukuman yang mengenai seseorang yang dimaksud, hanya boleh dikenakan kepada din pelaku sendiri dan keluarganya.
16.  Warga negara bebas keluar masuk wilayah ne­gara sejauh tidak merugikan negara.
17.  Setiap warga negara tidak boleh melmndungi orang yang berbuat salah atau berbuat zalim.
18.  Ikatan sesama anggota masyarakat didasarkan atas prinsip tolong-menolong untuk kebaikan dan ketaqwaan tidak atas dosa dan permusuhan.
19.  Dasar-dasar tersebut ditunjang oleh dua kekuat­an. Kekuatan spiritual yang meliputi keimanan seluruh anggota masyarakat kepada Allah, kei­manan akan pengawasan dan penlindungan-Nya bagi onang yang baik dan konsekwen. Kekuatan material, yaitu kepemimpinan negara yang ter­cerminkan oleh Nabi Muhammad Saw.
20.  gotong royong untuk kebaikan

B.   BEBERAPA PELAJARAN

Pertama
Seorang yang Mukmin yang percaya akan kemampuannya tentu tidak akan sembunyi-sem­bunyi beramal. Sebaliknya ia berterus terang tanpa gentar sedikitpun terhadap musuh, sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab sewaktu dia akan hijrah. Dalam kasus ini ada pelajaran, keberanian bisa membuat musuh merasa ngeri dan gentar. Seandainya orang-orang kafir Quraisy sepakat untuk membunuh Umar, tentulah mereka mampu melaku­kan itu. Akan tetapi sikap Umar yang berarui itulah yang membuat gentarnya kafir Quraisy, dan memang onang-orang jahat selalu merasa takut kehi­langan hidup (nyawa).

Kedua
Ketika ajakan ke arah kebenaran dan perbaikan sudah dapat dibendung, apa lagi pendukung-pendu­kungnya sudah dapat menyelamatkan din, tentulah orang-orang jahat berpikir untuk membunuh pemim­pin da’wah itu. Mereka memperkirakan dengan terbunuhnya sang pemimpin, tamatlah riwayat da’wah yang dilakukannya. Pemikiran semacam ini selalu ada dalam benak orang-orang yang memusuhi kebaikan, dan zaman dulu sampai sekarang.

Ketiga
Prajunit yang sungguh-sungguh ikhlas untuk menyerukan kebaikan tentulah bersedia menyela­matkaku pemimpinnya sekalipun dengan mengor­bankan jiwanya sendiri. Sebab selamatnya pemimpin berarti selamatnya da’wah. Apa yang telah dilakukar. oleh Au yang tidur di tempat Nabi merupakan pe­ngorbanan jiwa raga guna menyelamatkan din Rasulullah.
‘Pada malam itu sangat besar kemungkiflan terbunuhnya Au, karena algojo-algojo yang melaku­kan pengepungan itu tentu akan menduga, Mi itulah Nabi. Akan tetapi hal itu tidak merisaukannya sama sekali, karena yang lebih dipentingkaflflYa ialah keselamatafl Nabi Muhammad Saw.

Keempat
DititipkaflflYa harta benda milik orang-oraflg Musynik kepada Nabi Saw. sementara golongan mereka sendiri memusuhi dan berambisi untuk membunuh Nabi, adalah menunjukkan kepercayaafl mereka akan kelurusan dan Icesucian pribadi Nabi. Mereka juga mengerti benar, Nabi jauh lebih hebat dan lebih bersih hatinya dan pada mereka sendiri. Hanya kebodohan, ketidaktahUafl dan keterikatan mereka kepada tradisi-tradiSi dan kepercayaan kepercayaafl yang salah sajalah yang membuat mereka memusuhi, menghalangi dan mengusahakan membunuh Nabi.

Kelima
Berpikirnya seorang pemimpin da’wah atau kepala negara atau pemimpin suatu pergerakan untuk menyelamatkan din dan ancaman musuh, sehingga ia mengambil jalan lain, tidaklah dapat dianggap sebagai penakut atau tidak benkonban jiwa.

Keenam
Adanya partisipasi Abdullah bin Abu Bakar, dalam penencanaan dan pelaksanaan hijrah Nabi, menunjukkan adanya peranan genenasi muda dalam mensukseskan da’wah. Mereka merupakan penun­jang yang dapat diandalkan bagi mempercepat proses kesuksesan.
Pejuang-pejuang Islam yang pertama dahulu, seluruhnya tendiri dan pemuda. Rasulullah berumur empat puluh tahun, ketika dibangkitkan menjadi Nabi. Abu Bakar berumur tiga puluh tahun, semen­tara Ali paling muda di antara mereka. Demikian pula Usman, Abdullah bin Mas’ud, Abdurrahman bin Auf, Arqam bin Abu Arqam, Sa’id bin Zaid, Bilal bin Rabah, Amman bin Yasir dan lain-lain, seluruhnya adalah pemuda-pemuda. Mereka sanggup memikul tanggung jawab da’wah dengan segala pengorbanan dan berbagai macam denita, dan ternyata mereka mampu memenangkan Islam. Dengan kesungguhan­nya beserta kaum Muslimin lainnya berdirilah negara Islam, ditundukkanlah berbagai negeri, dan sampailah Islam ke tangan generasi benikutnya, hingga kini.

Ketujuh
Partisipasi Aisyah dan Asma binti Abu Bakar dalam pelaksanaan hijrah Nabi Saw. mengisyaratkan, kaum wanita bukannya tidak diperlukan dalam suatu perjuangan. Kaum hawa yang berperasaan halus itu mudah diberi kepercayaan. Mereka banyak sekali membantu sang suami mengurusi anak-anak dan keluarga.
Dalam pada itu perjuangan kaum wanita di zaman Rasulullah dahulu mengesankan kita sekarang, suatu gerakan Islamiyah akan berjalan seret dan kurang membekas di kalangan masyarakat, manakala di dalamnya kaum wanita belum ikut ambil peranan. Bila sudah, maka itu berarti terben­tuknya suatu genenasi wanita atas dasar keimanan, akhlak mulia, kesabaran dan kesucian. Mereka akan lebih mudah menyebarkan nilai-nilai luhur yang dibutuhkan oleh dunia dewasa ini ke dalam masya­nakatnya sesama kaum wanita, ketiinbang kaum pnia. Tetapi hal ini tidak berarti mereka boleh untuk tidak menjadi isteni dan ibu rumah tangga yang baik.
Dalam rangka mendidik generasi muda, pada zaman Nabi, kaum wanita ini telah memberikan sumbangafl yang tinggi nilainya. Merekalah yang banyak berbuat untuk menumbuhkan suatu generasi penerus yang berakhlak Islam, mencintal Islam dan Rasulnya serta berjuang untuk Islam. Untuk ini dapatlah dikatakan, kaum wanita itu lebih berhasil membentuk sebaik-baik generasi penerus perjuangan Islam. Kini kita harus belajar dan sejarah di atas, harus benusaha membawa kaum waiuta dan ibu-ibu, gunamencetak mereka menjadi perancang panji-panji Is­lam di tengah-tengah masyarakat, mengingat kuan­titasnya melebihi separoh penduduk dunia. Hal itu menuntut kita untuk mendidik putni-putni dan sau­dari-saudanj, lembaga-lembaga pendidikan Islam, guna mempelajani berbagai ajanannya. Banyaknya jumlah mereka yang paham akan agama Islam, hukum, sejarah dan lain-lain ilmu, dan banyak mere­ka yang berakhlak seperti akhlak Nabi Saw. dan isteni-istenmnya, tentulah kita akan dapat lebih cepat lagi memacu perbaikan yang berdasarkan ajanan Islam dan menciptakan masyarakat yang mentaati selunuh ketentuannya.

Kedelapan
Tidak terlihatnya Nabi Saw. oleh mata orang­orang yang mengejarnya di Gua Tsur, dan adanya sarang laba-laba serta sarang-sarang burung yang sedang bertelur seperti dalam cenita, kedua-duanya merupakan contoh adanya pentolongan Ilahi kepada Rasul-Nya dan bagi pembela-pembela agama-Nya. Allah Swt. tidak membiarkan cita-cita itu gagal di tangan onang-onang Musyrik. Ia selalu akan membeni jalan bagi hamba-hamba-Nya yang ikhlas karenanya.
Allah Swt. berfirman:
            
“Sesungguhnya Kami pasti menolong Rasul-nasul Kami dan onang-onang yang beniman, di dunia mi dan di akhinat nanti.” (Gha fir: 51).

Kesembilan
Kekhawatiran Abu Bakar Ra. kalau musuh meli­hat mereka yang bersembunyi di dalam gua adalah menunjukkan betapa sayangnya sang pengawal kepada pimpinannya yang sedang terancam bahaya, melebihi sayangnya terhadap dirinya sendiri. Sean­daiٌya ia mementingkan din sendini, tentulah dia tidak bersedia menemani Rasulullah dalam suatu perjalanan yang penuh bahaya itu. Ia bukannya tidak tahu, manakala Nabi Saw. tertangkap dan dibunuh, maka dia pun akan dibunuh.

Kesepuluh
Jawaban Rasulullah yang bermaksud menenang­kan Abu Bakan pada saat itu merupakan kata-kata yang menunjukan betapa yakin-Nya Nabi Kepada Allah yang pasti menolong hamba-Nya dan betapa tulusnya beliau bertawakkal kepada-Nya. Dan menu­pakan bukti nyata kebenaran da’wah kenabiannya. Betapapun beliau dalam keadaan sangat sulit dan terjepit, namun dia yakin, Allah Swt. tidak pernah melepaskannya sesaat pun, karena dirinya itu diutus­Nya untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.
Di sinilah beda Nabi dengan orang yang se­tengah-setengah dalam menyenu mلnusia ke jalan Allah dan juga dengan orang yang benpura-pura.
Kesebelas
Apa yang telah terjadi atas din Suraqah yang gagal total membunuh Nabi Saw. juga merupakan bukti kenabian Nabi Saw. Setiap kali ia mengarahkan kudanya ke arah tubuh Nabi, terjerembablah kuda itu dan kakinya tenggelam ditelan pasin. Tapi jika diputar haluan, kembalilah kuda itu bangun dan berjalan seperti biasa. Bukankah ini pentolongan Allah Swt. kepada Rasul-Nya? Ambisi Suraqah untuk memperoleh hadiah yang melimpah sebagaimana yang dijanjikan pemimpin-pemimpin kafir Qunaisy, temyata tidak dapat mengalahkan kekuasaan Allah yang menghendaki keselamatan Rasul-Nya. Oleh karena usahanya mengejar Nabi itu demi harta benda, maka ia pun merasa puas dengan janji Nabi untuk menghadiahkan sesuatu kepadanya.

Keduabelas
Janji Rasulullah akan menghadiahkan kepadanya pakaian kebesaran kaisar, setelah kegagalan Suraqah itu adalah juga suatu mu’jizat yang dimiliki Nabi. Seonang manusia biasa yang sedang lan dan kepungan musuhnya tentulah tidak lagi sempat membayangkan, dia akan mampu menaklukkan dan menampas mahkota raja. Tetapi kanena beliau memang benar-benar seorang Nabi, masth segarlah dalam benaknya, pada akhinnya beliau akan dapat menaih mahkota naja-raja, dan apa yang dijanjikannya kepada Suraqah niscaya akan benan­benar tenlaksana.
Dalam suatu peperarigan yang dimenangkan oleh umat Islam benikut harta nampasan yang tertimbun, terlihatlah oleh Suraqah sepasang gelang raja. Lalu ia minta kepada Umar bin Khattab agar gelang itu diberikan kepadanya, sebagai realisasi janji Rasulullah kepadanya dulu. Umar pun meme­nuhi permintaan itu dengan disaksikan oleh sahabat­sahabat Nabi lainnya.

Ketigabelas
Kegembinaan peduduk Madinah dengan keda­tangan Rasulullah Saw. menupakan kegembinaan yang sesungguhnya bagi kaum Muhajinin dan Anshar, tetapi semu bagi kaum Yahudi. ‘Mereka turut bergembira di lahinnya, tapm dengki di dalam batin­nya, karena orang yang mereka sambut itulah yang akan mengambil alih kepemimpinan dan kewibawa­an yang selama irü ada di tangan mereka. Bagi orang­orang Yahudi Madinah, kedatangan Rasulullah itu akan membuat meneka tidak lagi bisa berbuat seenaknya terhadap jiwa dan hanta benda nakyat.
Sungguh pun kedengkian dan keengganan tunduk kepada hukum pada mulanya berhasil mere­ka tutup-tutupi, namun akhinnya terbuka juga. Isi piagam pensaudaraan yang telah mereka sepakati di hadapan Nabi dan kaum Muslimin dulu mulai diingkarmnya satu persatu. Ini berarti, mereka tidak rela dan tidak suka hidup damai. Memang meneka rupanya sejak dulu selalu ingin mengobarkan api peperangan. Akan tetapi api yang dikobarkannya itu akan selalu dapat dipadamkan, sebagaimana dijanjikan Allah Swt. dalam firman-Nya:
                             

“Setiap kali meneka mengobankan api pepenangan, maka setiap kali itu pula Allah memadamkannya.” (Al­Maidah: 64)

Keempatbelas
Dan penistiwa hijnah ke Madinah nyatalah yang pentama kali dilakukan oleh Rasulullah ialah mem­bangun Masjid. Selama empat han benmalam di Quba’, dibangunnya Masjid Quba’. Selanjutnya beliau membangun sebuah Masjid di perkampungan Barn Salim, yang terletak antana Quba, dan Madinah. Begitu pula di Madinah sendiri. Yang pertama kali dilakukannya ialah membangun Masjid Madinah. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya Masjid dalam Islam.
Semua ibadat yang terdapat dalam Islam bertujuan untuk mensucikan jiwa, meningkatkan akhlak, mempenkuat pensaudaraan dan kegotong­royongan antara sesama Muslim. Shalat berjamaah, shalat Jum’at dan shalat dua han raya adalah cen­minan persaudaraan sosial, persatuan kata dan tuju­an dengan demikian tidaklah teningkari lagi Masjid itu membawa misi sosial kemasyanakatan dan kerohaniaan yang sangat besan maknanya bagi masyarakat Islam.
sejarah menyatakan dan Masjidlah tentara Islam berangkat untuk menyebanluaskan hidayah Allah (agama Islam) ke seluruh penjuru dunia. Dan Masjidlah diolah dan dikembangkan kebudayaan Islam. Abu Bakar, Umar, Ali, Khalid, Said, Abu Ubadah dan lain-lain pembesar dalam sejarah Islam adalah tamatan madrasah Islamiyah yang berpusat di Masjid.
Hal lain yang perlu dicatat ialah Masjid menu­pakan sarana pendidikan Islam yang bensifat masal dan mingguan. Setiap minggu (yaitu pada han Jum’at) dicanangkan seruan untuk mengikis habis kemurtgkaran di samping perintah untuk menegak­kankebenaran dan keadilan. Dan dalam Masjid itu diberikan pula peningatart bagi orang yang lupa pada Islam, diserukan persatuan umat, diprotes segala bentuk kezaliman berikut pelaku-pelakunya. Bukan­kah dulu dan Masjidlah digalang persatuan dan semangat juang umat Islam untuk mengenyahkan penjajah, baik yang bernama impenialisme Perancis, Inggris, belanda dan konco-konconya, maupun yang bennama Zeonisme Yahudi? Jika dewasa ini Masjid tidak difungsikan sebagaimana mestinya lagi, maka itulah kesalahan khatib-khatib yang rela membelok­kan ajaran agama, hanya karena keselamatan pribadi dan kepentingan perut dan kedudukannya.
Sangat beruntung jika dalam keadaan tidak berfungsinya Masjid-masjid dewasa ini bangkit ulama, yang ikhlas demi Allah, menyerukan agar kembali menjadikan Masjid sebagai sentral da’wah Islamiyah. Dan sanalah kita bina masyarakat Islam, kita bina dan cetak kader-kaden, dan kita siapkan pahlawan-pahlawan agama. Dan sanalah kita pe­nangi kejahatan dan kemungkaran, guna memudah­kan terbentuknya masyarakat Islam yang diidam­idamkan. Kemudian pendinian seperti ini disadari dan dilanjutkan oleh generasi muda Islam yang su­dah benilmu dan berakhlak bagaikan akhlaknya Rasulullah Saw.

Kelimabelas
Pensaudaraan yang dibina Rasulullah antana kaum Muhajirin dan Anshar adalah juga merupakan kenyataan dan keadilan Islam yang berpnikemanu­siaan bermoral dan konstruktif. Kaum Muhajinin telah meninggalkan negeni kelahirannya dengan tidak membawa hanta benda, sedangkan kaum Anshan nata-rata merupakan orang-orang kaya dengan hasil pertanian dan industri.
Oleh karena itu pantaslah jika mereka turun tangan mengatasi kesulitan-kesulitan yang didenita oleh saudara-saudaranya yang Muhajinin, baik perbuatan yang berkeadilan sosial, yang melebihi keadilan sosial yang diajankan oleh Islam dan dipraktekkan oleh Nabi Saw ini?
Atas dasar di atas dapatlah dikatakan, onang­orang yang mengingkari adanya keadilan sosial dalam Islam, adalah onang yang memutarbalikkan fakta setidak-tidaknya, benmaksud agar ajaran ini ditinggalkan sedikit demi sedikit, atau agar orang
yang belum memeluknya sama sekali menjadi tidak senang kepadanya. Kalau orang yang mengingkan­nya itu adalah onang Islam sendini, maka pastilah mereka itu onang yang jumud (tidak mengerti) yang tidak suka akan kata “keadilan sosial” itu saja. Sejarah telah membuktikan hal ini, Nabi Saw. sendiri telah menegakkannya dan sekaligus menjadikannya landasan bagi berdininya masyarakat dan negara Islam yang dipimpinnya sendini.
Keenambelas
Dalam piagam persaudaraan antara kaum Muhajinin dan kaum Anshar, di satu pihak, dan piagam kenjasama antara kaum Muslimin dengan non Muslim di lain pihak, terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan Daulah Islamiyah itu ditegakkan di atas pninsip keadilan, asas hubungan antara Muslimin dan non Muslimin adalah perdamaian. Dalam piagam tersebut ditegaskan pula kebenanan, keadilan, gotong royong dalam kebaikan dan dalam mengikis segala akibat yang ditimbulkan oleh ke­mungkaran, yang telah melanda masyanakat menu­pakan thema-thema yang selalu dibawa oleh agama Islam. Daulah Islamiyah itu, dimana dan kapan pun adanya, haruslah ditegakkan di atas pninsip-prinsip yang sebenar-benarnya dan seadil-adilnya. Pninsip­pninsip dimaksud tentulah yang terbaik di antana prinsip-pninsip kenegaraan yang ada dan dipnaktek­kan dewasa ini.  Usaha-usaha masyarakat Islam ada­lah sangat relevan dengan penkembangan pemikiran
manusia tentang kenegaraan, hal mana masyarakat Islam sendiri harus mencontoh ajaran Islam sendini.
Di negeri Islam, kaum Muslimin tetap dilarang mengganggu kawan-kawannya yang non Muslim, dilarang menganggu gugat keyakinan lain itu dan dilarang memperkosa hak-hak mereka. Mengapa orang-orang masih tidak setuju memberlakukan hukum Islam di negerinya masing-masing, padahal hukum Islam ii cukup adil, benar, kokoh, memen­tingkan keadilan sosial yang berasaskan persau­daraan, cinta mencintai dan tolong menolong?
Kepada selunuh umat Muslimin patutlah dipe­ningatkan, penjajahan, dalam segala bentuk dan manifestasinya, tidaklah akan terkikis habis, melain­kan dengan cara menerapkan Islam. Inilah inti perjuangan kita semua dewasa ini.
Perhatikan firman Allah berikut ini:
                                 

“Sekinanya penduduk negeri sudah beniman dan bentaqwa, pastilah akan Kami limpahkan kepadanya kebenka tan dan langit dan bumi.” (Al-A’raf: 96)
                         ~                                                    .
“Dan yang Kami penintahkan ini adalah jalan yang lurus, maka tunutilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, kanena jalan-jalan yang lain itu mencerai-benaikan kamu dan membelokkan dan jalan­Nya.” (Al-An’am: 153)
     
“Dan siapa saja yang bentakwa kepada Allah, niscaya Dia dican membenikan jalan keluan. Dan membeninya rezki dan jalan yang tiada disangka-sangka, dan siapa saja yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Ia akan mencukupkan kepenluan nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan u rusa n yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah men gadakan ketentuan bagi segala sesuatu.” (At-Thalaq: 2-3)
               
“Dan siapa saja yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia, menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (At-Thalaq: 4)

No comments:

Post a Comment

Blog Archive