Oleh: Hadi Teguh Yudistira[1]
Sejak
Nabi Adam a.s. diturunkan oleh Allah SWT ke bumi, Allah telah menurunkan nikmat
ilmu pengetahuan (sains). Allah telah mengajar nabi Adam a.s. tentang
benda-benda yang ada di muka bumi. Selanjutnya pengetahuan yang diperoleh oleh
nabi Adam a.s. berkembang sampai saat ini sehingga melahirkan teknologi yang
merupakan perpaduan antara sains dan nilai-nilai lain seperti seni, budaya,
ekonomi, dsb. Teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan
barang-barang yg diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.(1)
Teknologi sudah diperkenalkan sejak zaman pra sejarah. Pada zaman tersebut,
manusia pra sejarah sudah menggunakan teknologi. Pembabakan zaman prasejarah
berdasarkan arkeologi terbagi atas dua zaman yaitu zaman batu dan zaman logam.(2)
Pada zaman batu, manusia prasejarah sudah mengenal teknologi yang terbukti
dengan ditemukan peninggalan prasejarah berupa kampak dari batu. Kampak ini
merupakan hasil teknologi manusia pra sejarah yang digunakan untuk
keberlangsungan hidup mereka.
Teknologi
merupakan perpaduan antara sains dan seni (science
and art). Hal ini yang telah dilakukan oleh manusia pra sejarah. Mereka
membutuhkan suatu alat yang digunakan untuk memburu hewan dan juga mengambil
tumbuh-tumbuhan. Dengan adanya kebutuhan tersebut, manusia pra sejarah berusaha
membuat suatu alat yang memiliki bentuk yang cocok dengan anatomi tangan
manusia (seni) dan yang cukup tajam untuk memotong (sains). Tetapi saat ini,
teknologi bukan hanya perpaduan sains dan seni tetapi perpaduan sains, seni dan
nilai ekonomi (science, art and economic).
Jika suatu teknologi tidak memiliki nilai ekonomi yang bersaing di pasar maka
teknologi tersebut akan punah. Perubahan perpaduan makna teknologi ini
dikarenakan kebutuhan manusia.
Sains
memiliki peran dalam transformasi teknologi. Baik secara langsung maupun tidak
langsung, teknologi dapat mempengaruhi budaya yang berkembang di kehidupan
masyarakat dan begitu juga sebaliknya budaya yang berkembang di tengah
masyarakat akan menentukan teknologi tersebut dapat diterima atau tidak. Oleh
karena itu konsep Islam diperlukan dalam perkembangan sains maupun teknologi.
Pentingnya nilai-nilai Islam dalam pengembangan sains dan teknologi tidak hanya
dipicu oleh faktor pengaruh terhadap budaya namun lebih jauh karena sains yang
berkembang pada era iptek yang bertumpu pada paradigma probabilistik
relativistik Newton yang berkembang sebelum abad 20 sangat bertentangan dengan
nilai-nilai Islam. Paradigma probabilistik relativistik artinya sesuatu
memiliki banyak kemungkinan alternatif pemecahan persoalan, sehingga iptek pun
mempunyai kemampuan prediksi yang lebih baik dalam pemecahan masalah. Iptek
yang bertumpu pada paradigma ini kemudian melahirkan masyarakat yang
sekuleristik dan mengabaikan nilai-nilai agama (mengabaikan unsur-unsur Tuhan
karena berfikir bahwa mereka mampu memprediksi apa yang akan terjadi). Benturan
iptek dan agama semakin hebat terjadi tatkala pada abad ke-19 muncul buku The Original Spesies karya Charles
Darwin. Dan selama puluhan tahun lamanya buku ini dijadikan diktat kuliah pokok
di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi termasuk di Indonesia.
Pergeseran nilai-nilai sains inilah
yang memicu para ilmuwan muslim dan para filsuf muslim kontemporer memuculkan
konsep Islamisasi sains. Mereka prihatin terhadap pergeseran nilai metodologi
keilmuan yang memang telah menghasilkan temuan dan produk ilmu pengetahuan yang
sangat bermanfaat. Namun dibalik itu semua sesungguhnya kebenaran dan
kemanfaatan yang dihasilkan meniscayakan ketimpangan dari suatu objek kajiannya
dengan melakukan reduksisasi dan manipulasi kebenaran. Dampak yang dirasakan
oleh umat manusia diantaranya menjadikan sains penguasa kehidupannya,
seolah-olah nasib manusia ditentukan dan ditaklukan oleh sains bahkan sains
menghilangkan jati dirinya. Begitu pula dalam kehidupan: terpinggirkannya
nilai-nilai kemanusiaan, moral, agama dan nilai-nilai budaya yang luhur. Pernah
menonton film 2012? Itulah salah satu contohnya, bahwa ternyata kekuatan sains
dan teknologi menurut “prediksi” ilmuwan barat non muslim dapat menghindari
takdir yang sudah pasti terjadi, yakni kiamat. Atau kasus lain, ditemukannya
DNA (Deoksirobosa Nucleid Acid)
sebagai konsitusi genetik makhluk hidup disatu sisi meningkatkan kualitas
genetik manusia, namun
disisi lain jika salah penerapan seperti klonning pada manusia maupun hewan,
jika disikapi dengan minimnya keimanan kepada Sang Maha Pencipta akan
menimbulkan perasaan lebih unggul dari Tuhan karena merasa telah berhasil
menciptakan produk yang lebih unggul lewat eksperimen DNA. Bahaya lain bagi
manusia yakni akan menghancurkan martabat manusia itu sendiri sebagai makhluk
rasional yang seharusnya mampu menjalankan amanah Allah swt.
Keprihatinan yang dihasilkan oleh metodologi sains
barat modern inilah yang memunculkan metodologi keilmuan kontemporer yang
intinya memberikan solusi agar kebenaran dan produk IPTEK yang dihasilkan
mengarah pada kebenaran eksistensi dan esensi obyeknya. IPTEK bukan merupakan
hasil rekayasa manipulatif manusia atau bukan pula hasil seeing is beliving semata yang merupakan paradigma metodologi ilmu
pengetahuan modern selama ini. Secara umum metodologi sains Islam berangkat
pada beberapa hal:
1.
Alur pemikiran filosofis-analitis, metode ini
menekankan pada penafisran yang islami atas sains-sains yang dipelajari dan
dikembangkan. Sehingga kesimpulan akhir sains mengarah pada pengakuan dan
keyakinan adanya zat yang Maha Kuasa serta tetap mempertahankan eksistensi umat
manusia dan jagad raya(4).
2.
Alur pemikiran metodologi metodis-praktis, metode ini
menekankan pada upaya metodis dalam kerja aktivitas sains sehingga meniscayakan
lahirnya sains yang rahmatan lil’alamin(4).
3.
Applied
Ethics, yakni menerapkan aplikasi moral dalam membuat keputusan moral tentang
tindakan tertentu yang menyangkut kebijakan profesional dalam membuat keputusan
teknologi. Kriterianya digali dari teori moral: HAM dan keadilan, sehingga
keputusan yang dibuat diikuti dengan filter azas manfaat(5).
Islamisasi sains merupakan istilah
yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Istilah ini bukan berarti bahwa semua
sains saat ini tidak Islami. Kebingungan dengan istilah Islamisasi merupakan
suatu hal kewajaran. Hal ini dikarenakan dari cara berfikir yang tidak
membedakan antara ilmu sains dan fenomena alam. Allah SWT menurunkan
fenomena-fonemena alam namun tidak menurunkan formulasinya. Ilmu sains adalah
aproksimasi fenomena-fenomena alam tersebut, sehingga keduanya tidak selalu
sama persis.(6) Proses Islamisasi ilmu adalah proses pengembalian
atau pemurnian ilmu pengetahuan yang ada kepada prinsip yang hakiki, yakni
tauhid, kesatuan makna kebenaran dan kesatuan sumber. Melalui prinsip pertama
(tauhid), sains tidak hanya digunakan pada praktis, tetapi juga digunakan untuk
memahami eksistensi yang hakiki alam dan manusia. Prinsip kedua (kesatuan makna
kebenaran) akan membebaskan ilmu sains dari sekularisme. Dalam prinsip ini
tidak ada istilah kebenaran ilmiah dan kebenaran relijius. Dikarenakan sains
telah membenarkan isi dari Al-Qur’an. Hal ini berbeda dengan kasus kebenaran
yang dikeluarkan oleh pihak gereja pada masa lalu (sekitar abad 17). Kebenaran
yang dikeluarkan gereja ternyata salah berdasarkan penemuan yang dilakukan oleh
Galileo. Prinsip ketiga menjadikan alam dan Al-Qur'an sebagai sumber ilmu
sains. Dari prinsip ketiga ini dapat disimpulkan bahwa ayat kauniyah maupun ayat
qouliyah merupakan sumber ilmu sains. Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa
Al-Qur’an bukanlah sebuah kitab ilmu sains. Walaupun beberapa ayat Al-Qur’an
berisikan tentang sains, tapi Al-Qur’an harus tetap dalam posisi petunjuk hidup
umat manusia.(6,7)
Secara sunatullah, para ilmuwan di
bumi ini melakukan penelitian sesuai dengan arahan dalam Al-Qur’an. Dalam
Al-Qur’an mengatakan bahwa bumi akan hancur dikarenakan oleh perbuatan manusia,
dan saat ini banyak para ilmuwan telah memperhatikan isu ramah lingkungan dalam
menghasilkan teknologi. Di salah satu international conference tahun 2009,
seorang peneliti sudah memberikan alasan kebijakan kelompok risetnya untuk
melakukan riset yang ramah lingkungan untuk menghindari pemanasan global.(3)
Dalam bidang Teknik Kondisi Lingkungan (TKL), beberapa peneliti sudah mulai
melakukan penelitian untuk menemukan refrigerant yang ramah lingkungan
(non-CFC). Saat ini, teknologi bukan hanya perpaduan antar sains, seni dan
nilai ekonomi saja tetapi sudah memasukan ramah lingkungan sebagai factor
tambahan. Sudah saatnya ilmuwan muslim memiliki etika dalam melakukan
penelitian yang sesuai dalam Al-Qur’an.
Selain konsep Islamisasi sains yang
digagas oleh para ilmuwan dan filsuf muslim kontemporer, juga muncul paradigma
keilmuan integratif-interkonektif. Konsep dasarnya sebenarnya sama dengan
Islamisasi sains. Paradigma keilmuan inegratif-interkonektif lebih menegaskan
bahwa Islam tidak mengenal adanya dikotomi antara ilmu dan agama. Kita memahami
agama sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan serta sedikit
pengetahuan, tetapi agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan. Disinilah adanya peran interkonektif, yakni
sains juga harus memiliki hubungan yang harmonis dengan ilmu-ilmu lain,
diantaranya sosial-humaniora, budaya, ekonomi, dll. Dalam tataran aplikatif
konsep interkonektif sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, sebab sebagimana
dikemukakan di atas bahwa sejak zaman pra sejarah pun manusia purba telah mampu
mensinergikan antara teknologi dengan seni.
Mengintegrasikan disini juga tidak
berarti menyatukan atau mencampuradukan. Namun masing-masing entitas keilmuan
yang dipadukan semestinya tetap dipertahankan sehingga tidak mengaburkan makna.
Dengan adanya paradigma integratif-interkonektif diharapkan ilmu yang lahir
dari induk agama, menjadi ilmu yang obyektif artinya jika sains itu lahir dari
agama yang berbeda tidak lantas menimbulkan ilmu yang tidak normatif. Contoh
obyektifitas ilmu optik dan aljabar tidak harus dikaitkan dengan budaya Islam
pada era Ibnu Haitam dan Al-Khawarizmi, ilmu akupuntur dipraktekan oleh umat
Islam tanpa harus percaya dengan konsep ying-yang
Taoisme, dan yoga tanpa harus percaya dengan ajaran Hinduisme.
Paradigma integratif-interkonektif
dan islamisasi sains sesungguhnya mengajarkan kepada umat Islam bahwa ilmu
apapun yang kita pelajari pada dasarnya adalah ilmu agama. Tidak ada
parsialisme bahwa ilmu agama hanyalah ilmu hadits, sunnah dan Al-Qur’an (milik
anak-anak pesantren). Justeru konsep ini mengajarkan kepada umat Islam
bagaimana Al-Qur’an, hadits, dan sunnah kita integrasi-interkoneksikan ke dalam
bidang ilmu kita masing-masing. Ini mensyaratkan adanya perpaduan tiga entitas
dalam pengembangan sains dan teknologi.
Gambar 5. Integrasi-interkoneksi tiga entitas sumber sains
Saat
ini tugas ilmuwan (ilmuwan muslim pada khususnya) masih banyak. Ayat-ayat Allah
di muka bumi ini masih banyak yang belum terungkap. Tugas para ilmuwan untuk
mengungkapkan ayat-ayat Allah tersebut dalam suatu pendekatan model persamaan
yang selanjutnya menjadi sains. Dengan penemuan baru yang ditemukan oleh para
ilmuwan diharapkan akan melakukan transformasi sains ke arah yang benar.
Disinilah
pentingnya transformasi sains dalam kehidupan umat Islam. Dr Fathi Yakan (1996)
mengatakan bahwa diantara karakeristik khusus yang dimiliki proyek Islamisasi
adalah sebuah gerakan transformatif (mempunyai misi perubahan) dan tidak
menyediakan tempat bagi unsur adaptasi(8). Zainal Abidin sebagaimana
dikutip oleh Prof. Dr. Amril M. dalam tulisannya mengatakan bahwa sains Islam
adalah sistem sains yang diilhami oleh nilai-nilai Islami, atau merupakan
manifestasi ajaran-ajaran Islam dalam sains. Oleh karena itu, metodologi
sebagai dasar dari pengembangan sains perlu direkonstruksi sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Dengan menempatkan Islam atau Al-Qur’an sebagai dasar
filosofi sains, akan sangat meniscayakan terimplementasinya pandangan dunia (world view) Islam bagi para ilmuwan. Hal
ini sangat menentukan metodologi ilmiah, cita-cita, dan tujuan ilmu yang akan
didalami atau dikembangkan dalam setiap aktivitas ilmiah. Begitu pula dengan
menjadikan sistem Islam sebagai pedoman sebagai aktivitas ilmiahnya, akan
sangat memungkinkan para ilmuwan untuk
selalu terbimbing oleh nilai-nilai Islami sehingga produk yang dihasilkan
adalah produk yang tepat guna dan jelas manfaatnya. Tegasnya, sains dan
nilai-nilai Islam akan menjadi pembeda sains Islam dengan sains non-Islam.
Melalui karakter dasar sains inilah meniscayakan akan menghasilkan sains-sains
yang rahmatan lil’alamin dan sarat
dengan nilai-nilai ilahiyah dan kemanusiaan(4).
Penelitian
yang dilakukan oleh para ilmuwan tidak hanya berkaitan menemukan sains baru
tetapi juga bisa untuk menggunakan sains yang ada. Dari sains yang ada, ilmuwan
bisa menciptakan suatu teknologi yang tepat guna. Maksud dari teknologi tepat
guna ini adalah teknologi yang mempunyai fungsi untuk membantu kehidupan umat
manusia dan tidak memberikan efek negatif terhadap umat manusia.
Sebagai
kesimpulan, sains merupakan komponen utama untuk menciptakan suatu teknologi.
Sains dianugerahkan oleh Allah SWT kepada manusia sejak dari nabi Adam A.S.
Semua sains yang ada merupakan hasil pendekatan terhadap fenomena-fenomena
alam. Tugas ilmuwan untuk menemukan ayat-ayat Allah menjadi suatu sains. Para
ilmuwan bisa menggunakan sains yang ada untuk menciptakan suatu teknologi tepat
guna.
Reference:
(1) Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
(2) Dra. Dwi Hartini.Masyarakat Prasejarah Indonesia. Modul
Sejarah Nasional dan umum, ebooks.lib.unair.ac.id
(3) International
Conference Flexible Printed Electronic 2009. Jeju Island: Korea.
(4) Prof. Dr. Amril M., MA. Artikel: Sains Islam (Sebuah Refleksi
Metodologis)
(5) Noeng Muhadjir. 1998. Fisafat Ilmu. Rake Sarasin: Yogyakarta
(6) Rohadi Awaludin. Konsep Islamisasi Iptek. Tarbiyyah
Digital Journal Al-Manar edisi I/2004
(7) Chairil Anwar. Islamisasi Ilmu, Al-Qur'an dan Sains. Tarbiyyah Digital
Journal Al-Manar edisi I/2004
(8) Sayyid Qutb. 1968. Karakteristik Konsepsi Islam. Pustaka:
Bandung.
No comments:
Post a Comment