Revolusi Akademik! Menyeimbangkan
Da’wah Kampus Yang Belum Tuntas!
Oleh : Arie Wibowo S.T
Sejak
masuk dan bergulirnya da’wah Islam di kampus-kampus hingga saat ini, telah
banyak perkembangan dan perubahan serta hasil-hasil yang terlihat dari sepak
terjang dan formulasi yang dilakukan dalam mengarahkan dan pengelolaan da’wah kampus. Bergulirnya secara masif konsep
dan format da’wah kampus yang didasarkan pada
tiga kompetensi peran dan fungsi mahasiswa telah juga memperlihatkan
capaian–capaian dan perkembangan yang dapat dicermati. Mengacu pada konsep dan
format da’wah kampus yang telah digulirkan, yaitu bahwa mahasiswa memilki
setidaknya 3 peran dan fungsi besar diantaranya;
1. Peran dan fungsi da’wiyah, sebagai
benteng moral
Dimana
seorang mahasiswa muslim dengan keIslamannya menjadi sesosok manusia
berkepribadian Islam yang hidup ditengah masyarakat kampus dan menyebarkannya
kepada yang lainnya. Dengan berpagar pada prinsip, nilai dan norma Islam,
pribadi–pribadi ini hidup bersama dan berjalan dalam lingkungan kampus, yang
dikemudian hari diharapkan terbangun sebuah komunitas mahasiswa sebagai sebuah
entitas moral yang masif (moral
credibility).
2.
Peran dan fungsi intelektual, sebagai iron
stock (cadangan keras)
Tak
dapat dipungkiri, keberadaan mahasiswa di kampus pada dasarnya mereka adalah
orang-orang yang mencari tetes demi tetes tinta ilmu yang mengalir dalam bangku
kuliah. Ini adalah misi asasi ketika seseorang memasuki dunia kampus sebagai
mahasiswa. Sehingga budaya, kebiasaan dan cara berfikirnya pun di sinergikan
dengan berbagai hal yang melingkupinya sebagai intelektual. Cerdas, objektif ,argumentatif,
ilmiah dan semangat berprestasi. Itulah kira-kira serentetan sosok yang melekat
pada dirinya.
Dan
secara futuristik kelompok masyarakat terbatas inilah yang akan banyak berperan
dalam banyak partisipasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara langsung.
Jumlahnya memang terbatas dibandingkan orang kebanyakan. Karena memang
kesempatan memperoleh pendidikan yang layak di negeri ini masih terbatas.
Inilah yang coba dikembangkan oleh da’wah kampus untuk membangun barisan
intelektual yang cerdas, objektif, argumentatif, ilmiah dan semangat
berprestasi yang berafiliasi pada Islam. Sehingga komintas yang terbangun
menjadi sebuah entitas intelektual yang bervisi keummatan (Intelectual credibility).
3. Peran dan fungsi siyasiyah sebagai agent of change (agen perubahan).
Sudah
menjadi tabiat sosial politik di dunia berkembang, dimana dalam proses
penyelenggaraan bernegara dan bermasyarakat acapkali terjadi ketimpangan sosial
yang tak terjembatani dan unbalancing power. Pada kondisi seperti
ini biasanya, kampus dan mahasiswa sebagai bagian dari gerakan pro-demokrasi
dan perubahan, memainkan perannya secara signifikan sebagai jembatan sosial dan balancing
power. Tak pelak lagi, layaknya kekuatan politik, gerakan mahasiswa
mengambil perannya sebagai ‘oposisi’ bagi
kekuasaan dengan ciri dan gayanya yang khas. Dalam kondisi yang demikian,
da’wah kampus mengambil bagian perannya dalam menjembatani ketimpangan sosial
tersebut, dan menjadi penyeimbang
kekuasaan melalui gerakan mahasiswanya, dan tentunya dengan visi mengarahkan
itu semua agar terjadi perubahan kearah yang lebih baik serta berpihak kepada
ummat (Social Political Crediblity).
Demikianlah
peran dan fungsi mahasiswa muslim,
seperti yang dirumuskan oleh para mu’asis da’wah kampus dengan kejelian
bashirah dan keluasan wawasan yang jauh kedepan serta bacaannya pada medan yang
cukup tajam. Lalu pertanyaannya adalah: “Sudah sejauh apakah perjalanan da’wah
kampus yang sudah bergulir sedemikian lama dan penuh dinamika?” “Juga seberapa
pesat perkembangan dan capaian-capaian yang terjadi dari apa yang telah digariskan dalam ketiga peran dan
fungsi yang dirumuskan?”
Da’wah K ampus Mengevaluasi Diri
Pada
mulanya da’wah kampus memberikan fokus yang sangat besar hanya pada peran dan
fungsi da’wiyah. Ini ditandai dengan banyaknya upaya perekrutan (tarbiyah) yang
dilakukan oleh aktifis da’wahnya. Disamping syi’ar-sy’iar Islam yang terus
dikembangkan. Hal ini terus menerus dilakukan hingga saat ini. Bahkan,
formulasi dan modifikasinya juga terus berkembang lebih maju dan modern,
sejalan dengan semakin menjamurnya lembaga da’wah kampus di setiap kampus yang
ada, sebagai basis pergerakan, pemikiran dan konsolidasi kekuatan Da’wah dalam
kelembagaan formal dan terlegitimasi.
Prestasi
besar yang pernah tercatat dalam kaitan peran ini dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan adalah dengan diizinkannya pelajar dan mahasiswi muslimah
mengenakan jilbab sebagai tuntutan syari’at dan indentitas muslimah. Selain itu
kultur dan kebiasaan Islam seperti
pengucapan salam, pakaian Islami, penerbitan buku dan majalah Islam, dan
lain-lain kini marak ditemukan dalam suasana yang masif. Pengaruh ini juga
membias di dalam kehidupan masyarakat umum. Sampai saat ini, peran dan fungsi
yang satu ini terus mengartikulasikan peran dan fungsinya dalam skala
kualitatif dan kuantitatif. Bisa dikatakan untuk peran dan fungsi yang sudah
cukup lama dilakukan ini, da’wah kampus hanya melanjutkan apa yang sudah ada
dan menjadi nafas da’wah, sambil mengoreksi dan memodifikasinya sesuai tuntutan
zaman.
Pada
perkembangannya kemudian, da’wah kampus yang sebelumnya hanya memainkan peran
dan fungsi da’wiyah serta berbasis di masjid dan musholla, dengan payung
Lembaga Da’wah Kampus, dalam bentuk syi’ar dan mentoring keislaman,
mengembangkan peran dan fungsi siyasiyah sebagai agen perubahan, dengan mulai berpartisipasi dalam dunia kemahasiswaan
yang lebih umum. Da’wah kampus bermetamorfosa
dalam bentuknya yang lebih ‘umum’ dan partisipatip dengan terlibat dalam
aktivitas kemahasiswaan di lembaga kemahasiswaan umum, seperti Senat Mahasiswa,
Himpunan Mahasiswa Jurusan, Koperasi Mahasiswa, Kelompok Studi Mahasiswa dan lain-lain.
Para aktifis da’wah kampus merasa perlu mengembangkan dan memperluas wilayah
da’wahnya ditempat lain, selain masjid dan musholla dengan gaya serta cara yang
‘berbeda’.
Memang
diawalnya ada kegamangan dari aktifis da’wah kampus pada waktu itu. Baik dalam
sikap terhadap keputusan tersebut maupun cara dan gaya yang harus dikembangkan.
Cukup lama inkubasi da’wah yang dihadapi pada waktu itu untuk bisa
mendapatkan proporsi dan posisi yang
seimbang dalam kerangka da’wah. Apalagi menanggulangi ekses negatif dari sebuah
konsekwensi ekspansi da’wah. Seperti misalnya, terjadinya ketimpangan SDM
antara yang terlibat dalam menopang
fungsi dan peran Da’wiyah dengan Siyasiyah. Atau ekses, shock culture yang terjadi dikalangan aktifis da’wah kampus,
dikarenakan ekslusivitas yang selama ini terbangun baik sengaja atau tidak
disengaja. Namun lambat laun sebagai The
Fast Learner, aktifis da’wah kampus mampu menanganinya secara wajar dan
seimbang hingga saat ini. Mereka terus berinovasi dan mengembangkan model serta
pendekatannya terhadap peran dan fungsi siyasi ini.
Bahkan
dikemudian hari, peran dan fungsi yang satu ini, menemukan momentum dan
sejarahnya yang pas pada kondisi sosial
politik Indonesia mutakhir. Hal ini ditandai dengan terlibat secara aktif dan
berpengaruhnya aktifis da’wah kampus memainkan peran dan fungsi siyasi sebagai
agen perubahan dalam peta demokrasi dan politik Indonesia. Tinta emas sejarah
mencatat dengan sangat kuat ketika pada tahun 1998, ketika gelombang Reformasi
dinegeri ini bergejolak dengan sangat kuat hingga melengserkan simbol orde baru
dari kursi kepemimpinannya. Dimana orde baru ini diyakini sebagai sumber
pengekangan, otoriterianisme, kediktatoran, anti demokrasi dan perubahan,
pemasungan hak–hak asasi manusia serta
penghalang kebangkitan dan kebebasan da’wah Islam. Pada waktu itu elemen
yang paling kritis dan berani mengoreksinya adalah mahasiswa dengan payung
kemahasiswaannya semisal Senat Mahasiswa. Dimana pada saat itu Lembaga-lembaga
Kemahasiswaan yang ada, dipimpin oleh aktifis da’wah kampus sebagai hasil dari
investasi fungsi dan peran siyasi yang sejak lalu dilakukan. Ditambah lagi
dengan terkonsolidasinya kekuatan Lembaga Da’wah Kampus dengan payung Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang sangat memainkan peran perubahan
di negeri ini. Tercatatlah beberapa tokoh aktifis da’wah sebagai pelopor
bergulirnya Gelombang reformasi, mereka menjadi tokoh nasional bahkan
internasional karena dianggap mempelopori dan menggerakan arus reformasi di
negeri ini. Sejak saat itu hingga kini peran siyasi dalam konteks perubahan
yang dimainkan oleh aktifis da’wah tetap berjalan disetiap rezim yang ada di
negara ini.
Ada
satu sisi peran dan fungsi lain dari da’wah kampus yang tertinggal dan belum
menampakan wujud dan pergerakannya secara konsolidatif dan jama’i. Kalaupun ada
pertumbuhan dan perkembangan lebih banyak disebabkan oleh faktor pribadi dan
‘pembawaan sejak lahir’. Yaitu peran dan fungsi intelektual sebagai iron
stock. Memang sejak digulirkannya da’wah kampus hingga kini, laju peran dan
fungsi intelektual sebagai iron stock ini jauh tertinggal
dibelakang peran dan fungsi da’awi dan siyasi. Seolah-olah satu peran dan
fungsi ini diserahkan oleh da’wah kampus sepenuhnya kepada tanggung jawab
pribadi. Sehingga yang terjadi cukup dramatis. Bahwa tradisi kejama’ian aktifis da’wah kampus hanya hadir pada segmen
kerja yang sifatnya sy’iar dan pembinaan atau da’wah siyasi. Tetapi untuk
masalah akademis dan study masuk kewilayah privacy dan nafsi-nafsi.
Ekses
yang terjadi akibat hal ini juga sangat dramatis, aktifis da’wah kehilangan
kesempatan untuk berprestasi, menjalani tradisi intelektual yang dinamis dan
berbobot, membangun lingkar kerja dan da’wah yang luas, serta berpartisipasi
atas keilmuan yang dimilikinya selain membiaskan masa depan yang dibangunnya. Memang
membincangkan satu hal ini sangat sensitif lantaran berkaitan dengan kemampuan intelegence dan kerajinan seseorang.
Tetapi bukan kemudian da’wah tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap
permasalahan ini, apalagi melalaikannya secara sistemik dengan tidak adanya
orang atau badan yang berusaha mengelola dan menangani perkembangan serta
pertumbuhan sisi tersebut. Adakalanya memang seseorang memiliki kemampuan
intelegensia yang biasa-biasa saja, tetapi treatment
yang wajar dan perhatian yang seimbang sebenarnya bisa sedikit mengatasi
permasalahan tersebut. Tetapi ada juga beberapa aktifis da’wah yang memiliki
prestasi yang cukup baik dikampus lantaran kemampuan pribadi.
Pada realitas yang sebenarnya, terjadi gejala yang fenomenal, bahwa
seolah-olah ada keterpisahan jarak yang cukup dalam antara progresifitas
da’wiyah dan siyasiyah dengan akademis. Siyasi dan Da’wy di sebuah gunung yang sama, sementara akademik di sebuah lembah
yang lain, ironis! Ada beberapa kemungkinan faktor yang mempengaruhi mengapa
laju peran dan fungsi akademik (fanniyah) tidak begitu cepat progresnya
dibandingkan peran dan fungsi siyasi dan da’wy, diantaranya :
1.
Tidak
seimbangnya para aktifis da’wah kampus memahami manhaj da’wah kampus. Hal ini
mudah terlihat dari tidak diberikannya perhatian yang cukup memadai terhadap
fungsi dan peran fanniyah (akademik)
2.
Tidak
seriusnya penataan dan penanganan seputar permasalahan akademik dikalangan
aktifis da’wah kampus. Misalnya, minimnya konsolidasi yang dilakukan untuk
mem-backup permasalahan akademik seperti konsolidasi dosen aktivis, konsolidasi
orang-orang pintar dll.
3.
Cara
pandang yang salah terhadap komunitas ‘orang-orang pintar’ dikampus yang tidak
terlibat dalam ‘kegiatan’ teknis dilapangan da’wah kampus. Ada kesan bahwa
komunitas orang-orang pintar tersebut pragmatis dan egois, sehingga dijauhi
dari perputaran da’wah, padahal mereka bisa diajak beramal islami dalam wilayah
yang lain.
4.
Paradigma
terbalik yang sering menjadi kebiasan mahasiswa umum, bahwa menjadi aktifis
harus berantakan kuliahnya menyergap dan diamini secara diam-diam ataupun
terang-terangan oleh aktifis da’wah juga.
5.
Mentalitas
terbelakang dan primitif tentang makna prestasi yang belum menjadi atmosfir dan
kebiasaan dikalangan ADK.
6.
Tidak
ada treatment yang seimbang terhadap pengembangan dan peningkatan permasalahan
ini. Kalau di kampus ada daurah/training tentang da’wah ataupun siyasi mengapa
tidak difasilitasi daurah/training serupa untuk kebutuhan akademik, seperti
training kecapakan akademik berupa, kemampuan membaca dan menghapal cepat, cara
belajar ffektif, atau asistensi dan mentoring mata kuliah dengan pengajar dari
komunitas orang-orang pintar, dll.
7.
Sempitnya
pemahaman amal jama’I. Seolah-olah amal jamai hanya milik kegiatan syiar atau
siyasi, tetapi untuk akademik nafsi-nafsi..
Padahal
membicarakan peran dan fungsi intelektual ini, begitu penting dan urgentnya
sebagaimana peran dan fungsi lainnya. Seperti dikemukakan di awal, bahwa peran
dan fungsi yang berbasis kepada kemampuan dan penguasaan disiplin ilmu ini
sangatlah investatif, karena dengan penguasaan dan kemampuan tersebut, kekuatan
kaum muslimin dapat memainkan perannya secara langsung dalam berbagai peran
kehidupan, disektor-sektor strategis dengan kredibilitas intelektualnya. Dan
tidak banyak orang yang mendapat kesempatan untuk mereguk dan menguasai
berbagai disiplin ilmu selain mahasiswa muslim yang study di kampus. Merekalah
cadangan masa depan yang siap menggantikan generasi yang rapuh dan tua dinegeri
ini. Lima, sepuluh, duapuluh tahun dan hari-hari kedepan adalah milik mereka
yang memiliki kompetensi keilmuan dan professional. Apalagi mencermati gejala
globalisasi yang semakin dahsyat dan akan mengancam, apabalia da’wah tidak siap
mengahadapinya. Ketika zaman semakin meritokratif,
the right man on the right place!
Peran
dan fungsi fanniyah dari da’wah kampus ini, sebenarnya lebih kedepan juga
merupakan anak tangga yang sangat diharapkan bisa mengisi diwilayah-wilayah
da’wah profesionalitas berdasarkan pada kompetensi yang dibangunnya dikampus.
Melihat peta dan perkembangan amal da’wah mihani (profesi) kekuatan ummat Islam
masih belum cukup memadai untuk hal tersebut. Siapa lagi yang paling mungkin
memberikan raw material yang mumpuni
terhadap da’wah profesi yang memiliki imbas da’wah yang signifikan dalam
kehidupan nyata, kalau bukan support dari
da’wah kampus.
Dr. Musthafa Muhammad
Thahhan mengatakan dalam bukunya Khuttah Amal Thullaby, bahwa :
“
Amal Thullabi yang terefleksi pada buku, guru/dosen, sekolah, kampus, tulisan
ilmiah, lembaga kemahasiswaan, baik di tingkat fakultas atau perguruan tinggi, adalah lingkaran
awal masyarakat madani. Selanjutnya diikuti oleh organisasi profesi yang
mengembangkan amal thullabi di berbagai spesialisasi profesi, diteruskan oleh
partai yang menjaga iklim kemerdekaan dan demokratisasi sebagai lingkaran akhir
untuk membentuk masyarakat dengan nilai-nilai Islam yang lurus. Dengan semua
itu, ummat akan mampu memperoleh tempatnya yang terhormat di tengah masyarakat
manusia “
Simultansi
antara da’wah
kampus, da’wah
profesi
dan partai
politik merupakan sebuah estafeta yang berkelanjutan dalam membangun
ummat serta anak tangga yang harus dilalui. Sudah saatnya da’wah kampus kini
menyeimbangkan kembali peran dan fungsinya secara proporsional agar kerja-kerja
da’wahnya memberikan arti dan sumbangan yang bukan hanya signifikan dalam akses dan ekses, tetapi dia juga bisa menjadi
pijakan yang kuat bagi keberlanjutan da’wah pada anak tangga berikutnya. Sekarang
pertanyaannya kemudian, apa yang harus dilakukan untuk menyeimbangkan fungsi dan
peran yang sudah berjalan ini? Saat ini masanya da’wah kampus melakukan penataan ulang
tawazunitas dan sinergisitas dakwah
kampus, terhadap sistem penataan da’wah, paradigma, semangat (spirit),
mentalitas, perhatian (concern), kultur dan kebiasaan, serta perangkat
pendukungnya, baik secara individu maupun sistem yang bekerja didalamnya, agar
da’wah yang sudah digariskan dapat berjalan secara seimbang, faktual dan kokoh
serta berkelanjutan dengan tetap komitmen merujuk pada trilogi dakwah kampus, yakni:
Þ
Membangun kompetensi
akademik dan persiapan profesi
Þ
Membangun pemahaman sosial dan politik
Þ
Melaksanakan tugas harokah dan dakwah
Ada beberapa konsideran penting dan
mendesak yang bukan lagi untuk didiskusikan, tetapi lebih kepada langkah taktis
dan teknis yang harus dilakukan sehubungan dengan Revolusi Akademik ini,
diantaranya :
1.
Secara
manhaji fungsi dakwah kampus yang belum tertangani dengan sistemik adalah
fungsi akademik, selain yang telah mapan tarbiyah, dan yang nampak semakin
mapan fungsi social politik.
2.
Tantangan
perguruan tinggi yang semakin pragmatis menuju dunia kerja dan masa kuliah yang
semakin pendek dengan jadual yang padat, harus dijawab dengan amal khidamy di
bidang akademik. Lagi pula prestasi
akademik adalah nilai tertinggi yang mengikat dan menjadi kepentingan seluruh
civitas akademika.
3.
Tahap
berikutnya pasca dakwah kampus adalah dakwah profesi baik itu sebagai
akademisi, entrepreneur maupun professional.
4.
Selain
fungsi dakwah kampus di bidang tarbiyah yang ditandai oleh terkelolanya
lembaga-lembaga keagamaan di kampus, dan fungsi social politik yang ditandai
oleh terkelolanya BEM/Senat Mahasiswa, pada tahap berikutnya dakwah kampus
harus merambah ke himpunan-himpunan mahasiswa jurusan untuk meningkatkan
kompetensi dibidang ilmu yang digelutinya dan membina jaringan profesinya
sedini mungkin, selain meningkatkan skill dan kompetensi ilmiah setiap
individu..
5.
Kebutuhan
dakwah di mihwar muasasi dan persiapan ke arah mihwar dauliy kelak sangat
membutuhkan SDM, konsep, dan infrastruktur yang matang. Proses Islamisasi negara dan sebuah peradaban
pada umumnya membutuhkan proses Islamisasi mulai dari tingkat normative, teory,
hingga ke tingkat model-model aplikatif.
Hal ini mau tidak mau, siap tidak siap, bisa tidak bisa harus dimulai
dari fungsi akademik dakwah kampus.
6.
Jaringan
di dunia akademik tanpa tapal batas.
Apabila berkembang ikatan, asosiasi, atau lembaga-lembaga atas dasar
bidang akademik tertentu akan terjalin suatu “benang hijau” yang menjadi
infrastruktur dakwah ditingkat ‘alamiy (internasional)
Ada beberapa hal penting yang perlu
diperhatikan secara seksama dari para penyelenggara da’wah kampus (semacam
kaidah), agar Revolusi Akademik ini
berjalan secara efektif dan efesien serta meminimalisir ekses yang mungkin
terjadi dari sebuah perubahan dan reengineering da’wah kampus, diantara kaidah
itu adalah :
1.
Tidak Menjadi Bandul Pergerakan.
Belajar dari pengalaman yang
pernah ada dan dilakukan dari proses da’wah kampus yang telah lampau, dimana
menjadi kebiasan yang tidak baik dalam pergerakan da’wah kampus, selalu terjadi
ketidakseimbangan sistem, baik tingkat distribusi SDM maupun performance kerja,
dalam setiap perubahan dan ekspansi da’wah ke wilayah garap yang baru. Ini
pernah terjadi ketika fungsi siyasi waktu itu baru dihembuskan urgensi dan
kepentingannya. Maka banyak kampus mengalami bandul pergerakan yang tak
seimbang, dimana para aktifis da’wahnya berbondong-bondong aktif berpartisipasi
dalam aktifitas lembaga kemahasiswaan umum (bedol ikhwah) sehingga yang menjaga
gawang peran dan fungsi da’awy tidak ada serta tidak menarik lagi, sehingga pembinaan (tarbiyah) dan
syi’ar tidak berjalan sebagaimana mestinya. Walaupun kemudian recovery
permasalahan ini cepat tertangani. Hal ini terjadi lantaran aktifis da’wah
kampus terlalu kaget dengan kejutan-kejutan
pergerakan yang memang sudah menjadi tabi’atnya senantiasa dinamis dan
penuh pergerakan. Revolusi Akademik yang didengungkan nanti tidak harus memunculkan kejutan-kejutan
pergerakan yang akan menyebabkan terganggunya sistem yang sudah berjalan.
Disamping apa yang selama ini sudah berjalan (da’wiyah dan siyasiyah) tidak
harus terbengkalai dengan adanya peneguhan dan perbaikan fungsi yang lainnya (fanniyah)
2.
Spesialisasi Bukan Parsialisasi
Tiga peran dan fungsi yang telah
digariskan dalam manhaj da’wah kampus sebenarnya hendak menjadikan mahasiswa
dalam peran strategisnya itu menjadi gerakan yang dinamis dan masif, bukan pada
upaya mengklasisfikasi, mengkotakkan peran dan fungsi apalagi kalau dipandang
sebagai sebuah parsialisasi peran dan fungsi. Ketiganya adalah
peran dan fungsi umum yang harus dimainkan dan dimasifkan secara bersamaan
sabagai sebuah komunitas dan indentitas. Walaupun pada kenyataannya dilapangan
masing-masing peran dan fungsi tersebut menemukan wilayah dan kecenderungan yang berbeda terhadap berbagai
jenis dan tipe orang. Akhirnya yang ada adalah sebuah upaya memberi jalan bagi
kecenderungan yang lebih besar dari para aktifis da’wah sebagai spesialisasi
peran dan fungsi yang dimilikinya. Tetapi ketiga tetap harus berjalan beriring
bersamaan, tidak saling mengeliminasi.
3.
Dari dalam keluar dan dari luar ke dalam
Revolusi Akademik ini, harus mampu melakukan mobilisasi
pergerakan atas nama intelektualisme, kesegenap elemen dan masyarakat yang ada
didalam kampus.Dalam hal ini mahasiswa muslim secara umum. Ada proses timbal
balik antara aktifs da’wah dan masyarakat kampus yang ammah baik dosen maupun mahasiswanya. Misalnya, mentoring dan
asistensi yang diperuntukan mahasiswa muslim diisi oleh dosen / mahasiswa
dengan fasilitatornya aktifis da’wah. Atau membuka networking kerja –kerja
ilmiah dan akademis, seperti asisten lab, asdos, penelitian dll, dengan para
dosen potensial dsb.
Diantara ciri khas manhaj Islam adalah bersifat
utuh dan menyeluruh serta meliputi berbagai sistem yang dapat memenuhi beraneka
kebutuhan manusia. Sedangkan sektoralisasi (juz’iyah)
sama ibaratnya seperti mempreteli sebuah alat yang tersusun dari beberapa
bagian yang saling menyempurnakan. Akibatnya alat tersebut akan rusak dan tidak
akan berfungsi lagi. Seperti itulah logika dakwah kampus harus menjaga
keutuhannya. Maka disini berlaku logika tawazun dalam membangun dakwah kampus.
Jika totalitas dan integralitas adalah suatu kewajiban dalam dakwah, maka
tawazunitas dakwah kampus tidak diragukan lagi merupakan tuntutan yang harus
dipenuhi. Jika setiap lini dakwah tidak mensinergikan dirinya dalam mata rantai
perjuangan dakwah kampus, niscaya kegiatan-kegiatan siyasi, da’awi maupun ilmi
akan tetap merupakan aktivitas individu, sektoral, temporal, terancam
eksistensinya serta memperlambat kemenangan dakwah kampus. Sebab dakwah yang
syamil mensyaratkan keterlibatan seluruh potensi yang dimiliki oleh para
kadernya.
No comments:
Post a Comment