Sejak
awal, Islam sudah membina manusia untuk menjadi manusia global. Manusia yang
diproses malalui mekanisme dakwah dan pendidikan akan melahirkan manusia muslim
yang memiliki karakter Islami. Islam dalam ritme kehidupan jelas bukan sekedar
simbol, namun dia merupakan aktualisasi yang tercermin dalam berbagai dimensi
kehidupannya. Anis Matta(1) menjelaskan bahwa ada tiga tangga untuk
mengaktualisasikan Islam dalam berbagai aspek kehidupan seorang muslim, yakni
afiliasi, partisipasi, dan kontribusi.
Afiliasi adalah memahami dengan baik alasan
kita memilih Islam sebagai agama dan jalan hidup. Disini, seseorang akan
memiliki kecenderungan terhadap nilai-nilai Islami. Proses penanaman afiliasi
pada seorang muslim setidaknya mampu melahirkan tiga komitmen, yakni komitmen
terhadap akidah atau ideologi Islam, komitmen terhadap metodologi/syariah, dan
komitmen terhadap sikap/akhlak. Tahapan afiliasi ini merupakan tahapan
seseorang untuk membentuk iklim sholeh secara pribadi.
Setelah
seorang muslim melalui tahap sholeh secara pribadi dalam lingkaran khusyuk
terhadap iman dan amal sholeh, maka ia akan mulai terlibat dalam kehidupan
sosial masyarakat muslim sebagai salah satu peserta sosial yang sadar dan
proaktif. Sadar dan proaktif disini berarti mampu mendistribusikan kesholehan
pribadi kepada orang lain agar terjadi kesalehan secara sosial. Paradigma partisipasi yang harus kita bangun adalah
partisipasi integral yang menyangkut semua ranah kehidupan. Dalam tahap ini,
seorang muslim perlu memiliki komitmen sense
in-group yakni rasa keterlibatan dengan kaum muslimin, merasa sebagai
bagian dari kaum muslimin dan memiliki perhatian yang tinggi terhadap
problematika kaum muslimin. Selain memiliki
sense in-group, partisipasi juga harus memiliki sejumlah pengetahuan sosial
humaniora yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuannya agar
keterlibatannya dalam masyarakat dapat dilakukan secara terarah, sadar, benar,
dan dewasa. Ilmu yang harus dikuasai dalam hal ini yakni komunikasi efektif. Dalam
tangga partisipasi ini, seoarng muslim juga harus mengetahui dan menguasai peta
dan medan lingkungan sosial budaya tempat kita hidup. Tujuannya agar kita tahu
cara memasuki dan mengubah masyarakat ke arah Islam. Pada tangga partisipasi
inilah, seorang muslim menjadi dai.
Tangga
yang ketiga yakni kontribusi. Kontribusi
adalah bahwa seorang muslim harus memilih satu bidang spesialisasi ilmu atau
profesi yang diyakini dapat menjadi expert
dan unggul. Kemampuan manusia sifatnya terbatas, oleh karena itu, sebagai
kontributor hendaknya mengetahui titik kekuatan kita. Kemudian, berikanlah karya
terbaik kita kepada Islam sebagai persembahan yang setulus-tulusnya kepada
Islam dan umatnya. Dalam hal ini, Anis Matta mengusulkan agar manusia muslim
dapat menempati empat bidang kontribusi, yakni wilayah pemikiran/ilmiah
(ilmuwan), kepemimpinan, profesional (profesi) dan finansial. Pada tangga
kontribusi inilah seorang muslim berperan sebagai mujahid.
Merumuskan Arah Kompetensi untuk Menjadi Mahasiswa Muslim Profesional
Mahasiswa muslim adalah para pemuda yang akan
terlibat dalam sektor perjuangan, yakni sektor kemerdekaan dan kebebasan dari
berbagai penindasan dan kedzaliman, sektor pemikiran dan opini yang diracuni oleh
perang pemikiran dan perang budaya terutama sekuleristik liberalistik, sektor iman
dan amal dengan aktivitas pendidikan dan dakwah ke berbagai lapisan masyarakat,
dan sektor perubahan melalui kekuatan moral dan intelektualnya untuk mendorong
perubahan dalam berbagai bidang kehidupan.
Seorang
mahasiswa muslim dirancang untuk mengemban misi peradaban dan kemajuan umat. Model mahasiswa muslim
diibaratkan seperti sebuah bangunan yang utuh. Bangunan ini memuat visi, misi,
jalan hidup, kompetensi, profesionalitas, kontribusi dan nilai-nilai lain yang
seharusnya ada dan mampu membentuk paradigma, mentalitas, dan karakter
seseorang tanpa mengesampingkan keunikannya secara individu. Keistimewaan manusia dalam bidang ini
adalah suatu kodrati yang membedakannya dari makhluk lain dan menjadi suatu
keniscayaan baginya untuk memanifestasikan demi keberlangsungan hidup. Dari
fenomena ini, manusia kemudian menyusun pengetahuan tersebut secara sistematis
dan terstruktur untuk dijadikan pijakan dalam mempengaruhi kehidupannya yang
kompleks ini. Hasilnya, dari pengetahuan ini lahirlah apa yang dinamakan IPTEK
(ilmu pengetahuan dan teknologi) yang terus berkembang pesat sampai saat ini.
Mahasiswa
muslim merupakan aset yang sangat berharga bagi umat dan ini adalah hal yang
harus dipikirkan secara serius bagi keberlangsungan peradaban umat. Hasil dari
suatu pekerjaan sangat ditentukan oleh siapa pelakunya. Identitas diri sebagai
muslim bukan hanya sekedar identitas simbol atau label semua umat yang mengaku
Islam, tapi dia harus terinternalisasi dalam ruang-ruang kepribadian yang
tercermin dalam value and action-nya termasuk dalam ruang aktualisasi
ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika perbaikan diri mahasiswa muslim secara personal
dilakukan secara berkelanjutan dan berkesinambungan, niscaya perbaikan dan
pengembangan khasanah ilmu dan teknologi akan segera terwujud. Dengan kata lain
lewat sosok ini telah mulai dibangun kembali peradaban untuk menciptakan
peradaban baru bagi kebangkitan umat Islam.
Sebagaimana dituturkan di atas bahwa kompetensi
merupakan kebutuhan pokok mahasiswa yang memungkinkan dirinya untuk
berkontribusi terhadap masyarakat. Kompetensi inilah yang perlu ditempa oleh setiap mahasiswa muslim.
Pemberian tutorial sejak dini, penjagaan IPK, bimbingan karier sejak tingkat 2,
persiapan paska kampus sejak tingkat 4 adalah bentuk afiliasi dari lingkup
kompetensi. Kompetensi
juga mutlak diperlukan tatkala alumni melakukan mobilitas
vertikal paska kampus. Dimana pada fase ini, mereka akan dihadapkan pada realita dunia profesi. Setiap sektor profesi (public sector, private sector, dan third
sector) membutuhkan kompetensi yang berbeda untuk bisa masuk kedalamnya.
Kompetensi
memang tidak dapat diukur hanya dengan value, sebagaimana intelegence juga tidak hanya diukur oleh value (prestasi akademik). Hasil survey Tempo (2007) terhadap
realitas dunia profesi memberikan gambaran yang cukup jelas, bahwa untuk
menjadi lulusan berkualitas tidak hanya dinilai berdasarkan penguasaan
kompetensi akademik spesialisasinya. Aktif berorganisasi menempati prosentase
tertinggi (20,38%), kemudian mengasah bahasa Inggris (18,60%), tekun belajar
(17,70%), mengikuti perkembangan informasi (15,98%), mengikuti pergaulan luas
(15,07%), dan mempelajari aplikasi komputer (12,32%). Sementara hasil survey
Tempo (2007) untuk kategori pekerja super, bekerja keras menempati prosentase
tertinggi (9,03%), kemudian kepercayaan diri tinggi (8,75%), memiliki visi
kedepan (8,37%), bisa bekerja dalam tim (8,07%), memiliki perencanaan matang
(7,91%), mau berfikir analitis (7,82%), mudah beradaptasi (7,12%), mampu
bekerja dalam tekanan (5,91%), cakap berbahasa Inggris (5,27%), dan mampu
mengorganisasi pekerjaan (5,26%)(3).
Menjadi Mahasiswa Muslim Profesional
yang Excellent
Karakter-karakter
tersebut mempertegas bahwa seorang mahasiswa muslim harus mampu mensinergikan
seluruh potensinya untuk menjadi seorang mahasiswa muslim yang profesional dan
berkarakter. Kemampuan soft skill
seperti yang banyak disebutkan di atas tentu tidak dapat diperoleh dibangku
kuliah, maka belajar berorganisasi dan komitmen terhadap pembinaan Islamiyah
sangat penting kedudukannya untuk membangun skill
ini. Maka, menjadi mahasiswa muslim profesional berkarakter bukan berarti harus
study oriented yang benar-benar hanya
study, tapi juga diimbangi dengan
aktivitas lain yang bermanfaat dan mampu mengasah potensi soft skill sekaligus hard
skill.
Reza M. Syarief(4) menyebutkan bahwa ada beberapa
indikator yang menentukan sehingga seseorang dikatakan memiliki personal excellent. Pertama, the best appearance,
penampilan yang terbaik. Mengapa harus penampilan terbaik? Penampilan memang
bukan yang utama, tetapi dia menjadi hal utama di dalam kesan pertama
pergaulan. Orang mungkin belum bisa menebak isi hati dan pikiran kita pada
pertemuan pertama, tapi yakinlah dia akan punya kesan positif atau negatif
dengan menilai penampilan luar kita. Nah disini menjadi satu hal yang sangat
penting bagaimana kita membuat penampilan pertama yang positif sehingga orang
akan menilai kita baik. Disini berlaku kaidah how to give the first positive impression ‘bagaimana kita bisa
memberikan kesan pertama yang positif’ kepada lawan bicara kita.
Kedua, the best attitude, sikap yang terbaik. Jika kita bicara sikap tentu berkaitan erat dengan
masalah akhlak. Muslim profesional
excellent yang berkarakter harus memiliki suatu sikap yang terbaik dan
sikap terbaik ini memiliki sifat-sifat positif. Diantara sikap positif yang
harus senantiasa dipupuk adalah sikap positive
thinking dan proaktif. Positive
thinking adalah bagaimana kita memandang setiap peristiwa kehidupan ini
dengan sudut pandang yang tepat, sedangkan proaktif adalah bagaimana kita
selalu menghadapi segala macam stimulasi atau rangsangan baik itu yang positif
atau negatif (ex: ujian/musibah)
dengan sikap positif.
Ketiga, the best achievement, prestasi yang terbaik. The best achievement
dipahami prestasi terbaik dalam dua hal, yakni be outstanding person, jadilah kita orang yang diatas rata-rata. Contohnya
ketika dosen menyarankan mahasiswanya agar memiliki IPK rata-rata minimal 3,0
maka seseorang dikatakan memiliki outstanding
result ketika dia mendapatkan angka IPK nya 3,25 atau lebih besar dari itu.
Saat kita diminta menghadiri suatu pertemuan pukul 08.00 dan kita sudah hadir
pukul 07.50, maka dikatakan kita sudah termasuk personal excellent with
outstanding result. Namun yang terjadi kebanyakan dikalangan mahasiswa
adalah sebaliknya, IPK seringkali terjun payung dan yang lebih parah adalah
manajemen waktu yang teramat buruk. Prestasi yang kedua yakni be extra ordinary person, jadilah orang
yang diluar kebiasaan, sekaligus orang yang luar biasa. Yakinlah, bahwa
semenjak kita masih dalam kandungan ibunda, kita adalah manusia yang luar
biasa. Betapa tidak, kita lahir sebagai pemenang atas kompetisi jutaan sel
sperma atau ovum. Dan kitalah yang menang.
Karakter mahasiswa muslim profesioanl terakhir adalah
sebagaimana yang digambarkan oleh Allah berikut :
“Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang
saleh, dan berkata: "Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah
diri?" (QS.
Fushilat: 33)
Membentuk manusia muslim yang berkarakter diperlukan suatu
proses kaderisasi. Kaderisasi harus mendapatkan perhatian yang intensif serta
untuk mempercepat pertumbuhan umat, sehingga harus dilakukan secara masif.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kaderisasi adalah suatu proses pembinaan
atau rekayasa sosial (social engineering)
atau proses rekonstruksi untuk membangun inti dari bangunan masyarakat.(2)
Maka dapat dikatakan bahwa tahapan pertama yang harus dilakukan untuk membentuk
manusia muslim adalah tahapan pembinaan.
Reference:
(1)
M.
Anis Matta. 2006. Model Manusia Muslim
Abad 21. Syamil Cipta Media: Bandung.
(2)
M.
Anis Matta. 2004. Mencari Pahlawan
Indonesia. Tarbawi Center: Jakarta.
(3)
Koran
Tempo edisi ...... tahun 2007
(4) Reza
M. Syarif. 2005. Life Excellent.
Prestasi: Jakarta.
(5)
Slide
Presentasi Ellita Permata W. S.S.
(6)
Slide
Presentasi Haryandi.
No comments:
Post a Comment