Urgensi Dakwah dan Landasannya
Dakwah
sebagaimana lazim kita ketahui, berasal dari kata da’a yad’u da’watan wadi’ayatan, artinya adalah panggilan, seruan,
ajakan dan segala kata yang semakna dengan itu. Dalam lingkup pergerakan Islam
kontemporer, dakwah ini bisa diartikan sebagai mengajak manusia dengan hikmah
dan pengajaran yang baik sehingga mereka mengingkari thagut dan beriman kepada
Allah serta keluar dari kegelapan menuju cahaya Islam. Itu menunjukkan bahwa
obyek dakwah pada dasarnya adalah umat manusia seluruhnya, tanpa kecuali. Bukan
hanya bagi orang-orang yang sudah beragama Islam namun juga bagi orang-orang
yang berada di luar Islam. Terhadap mereka yang sudah beragama Islam diupayakan
agar keislamannya semakin baik, sedangkan terhadap mereka yang belum beragama
Islam diupayakan agar bisa semakin dekat dengan Islam(1).
Setiap
hari kita dihadapkan pada realitas kehidupan yang diwarnai dengan sisi-sisi
yang saling berhadapan. Realitas ini akan selalu ada dengan dinamika yang khas.
Kebenaran itu bisa terkalahkan oleh kebatilan, kebaikan bisa terkikis oleh
kejahatan, kebersihan bisa dimanipulasi oleh kekotoran, namun berlaku pula
sebaliknya. Islam memberikan ajaran dalam rangka mengarahkan dinamika tersebut,
menuju kondisi yang lebih baik. Dakwah, amar ma’ruf dan nahi munkar adalah
ajaran Islam yang memberikan solusi atas dinamika kehidupan kemanusiaan
tersebut.
Allah
swt telah mewajibkan kaum muslimin dan muslimat untuk menyeru kepada manusia,
berdakwah ke jalan Allah sebagaimana firman-Nya:
äí÷$# 4n<Î)
È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$#
( Oßgø9Ï»y_ur
ÓÉL©9$$Î/
}Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u
uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã
¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur
ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
“Serulah
manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (An-Nahl: 125).
Ayat
Makiyah tersebut mengandung unsur perintah dari Allah untuk mengajak manusia ke
jalan-Nya. Rasullullah saw dan seluruh pengikutnya dari kaum muslimin dan
muslimat mukallaf terkena beban kewajiban dakwah. Allah swt juga memerintahkan
untuk membentuk umat yang senantiasa melakukan dakwah, amar ma’ruf dan nahi
munkar sebagimana firman Allah:
“Dan
hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan,
menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah
orang-orang yang beruntung”
(Ali-Imran: 104)
Para
ulama telah bersepakat atas kewajiban dakwah, kendatipun mereka berbeda
pendapat mengenai jenis kewajibannya. Sebagian memahami sebagai wajib kifayah
dengan berdalih pada makna min dalam
ayat waltakumminkum sebagai min tab’idhiyah yang menyatakan
sebagian. Sebagian memahami sebagai wajib ‘ain
karena mengambil min dalam ayat
tersebut sebagai min bayaniyah yang
menunjukan penjelasan bukan pembatasan. Dakwah jikapun dipahami sebagai fardu ‘ain atau fardu kifayah, tetap menghajatkan keterlibatan seluruh potensi kaum
muslimin. Tidak boleh ada sebagian kaum muslimin yang merasa terbebaskan dari
kewajiban dakwah karena telah ada sekelompok orang yang melakukannya(2).
Grand Strategy Dakwah
Perubahan
yang dikehendaki oleh dakwah adalah perubahan yang sifatnya luas, bukan individu
ataupun golongan, yakni perubahan individu, dari lingkungan terkecil rumah
tangga, masyarakat, bangsa dan negara bahkan seluruh dunia dengan segala
dimensinya (ekonomi, sosial, politik, budaya, dsb). Maka dakwah meniscayakan
strategi yang sedemikian rupa sehingga dakwah dapat tercapai dengan
sebaik-baiknya. Dalam kerangka itulah dibutuhkan adanya al-khuthuth al-‘aridah (grand
strategy dakwah) yang harus ditetapkan oleh para pemikir dakwah(1).
Pertama,
gerakan kultural (strategi mobilisasi horizontal) yaitu penyebaran para da’i ke berbagai kalangan lapisan
masyarakat untuk menggerakan peran serta masyarakat dalam mentransformasi diri
menuju kondisi sosial-budaya yang Islami. Dalam gerakan kultural ini, para dai
secara individu maupun kelembagaan melakukan penyuluhan dan perbaikan terhadap
masyarakat secara bottom-up. Dimana
mereka juga bergerak bersama-sama dengan masyarakat berpartisipasi dalam
membangun seluruh dimensi kehidupan(1).
Kedua,
yakni gerakan struktur (mobilitas vertikal), yakni penyebaran kader-kader
dakwah ke dalam lembaga-lembaga politik, sosial, budaya, pendidikan maupun
sektor lain dalam kerangka melayani, membangun, dan memimpin bangsa melalui
makanisme konstitusional. Tujuan dari strategi ini adalah memberikan kontribusi
yang nyata dalam membangun sistem, membuat kebijakan politik, regulasi, dan
perundang-undangan secara struktural dan secara top-down digunakan sebagai pedoman dalam rangka transformasi
terhadap masyarakat. Kedua sayap ini, baik kultural maupun struktural harus
berjalan secara sinergi, seirama dalam gerak dan satu tarikan nafas. Ibarat dua
sisi mata uang, maka keduanya tidak dapat dipisahkan, jadi komunikasi yang
harus dijalin bukan sekedar saling memahami melainkan satu nyawa dalam satu
tubuh(1).
Dakwah
merupakan merupakan proses at-tahawwul
wat-taghayyur yang meniscayakan kekokohan pergerakan, maka perlu dipahami
pula tentang pilar-pilar dakwah yang harus dipahami oleh setiap kadernya.
Pilar-pilar ini merupakan bingkai yang akan menjadi pijakan dalam setiap gerak
dan langkah pergerakan dakwah. Pilar-pilar dakwah secara garis besar dibagi
kedalam tiga hal pokok, yakni ilmu, tarbiyah, dan jihad.
Menjadi Pribadi Pembelajar dengan Berdakwah
Selain
kewajiban syariat, dakwah juga merupakan kebutuhan manusia secara universal. Artinya,
setiap manusia dimanapun dia berada tidak akan pernah bisa hidup tanpa dakwah,
bahkan ada filosofi yang mengatakan jika ingin sholeh ya harus berdakwah.
Disini dipahami bahwa dakwah adalah human
basic need (kebutuhan dasar manusia) sehingga ketika kita merasa kesulitan
untuk menjadi baik, maka dakwah inilah yang akan membantu kita memudahkannya.
Semakin kita merasa berat meniti jalan Islam, semakin besar pula kebutuhan kita
terhadap dakwah.
Suatu
kenyataan yang harus kita sadari, jika dengan mengajar kita akan bisa optimal
dalam belajar, maka dengan dakwah kita akan bisa lebih optimal menjadi baik
sebab ini menyangkut tanggungjawab sosial kita. Artinya jika kita mengajak
orang lain pada kebaikan, pada saat yang sama sesungguhnya kita juga mengajak
diri kita sendiri untuk menjadi seperti apa yang kita ajakan kepada orang lain.
Fitrah kemanusiaan kita akan menggerakkan kita untuk melangkah kesana secara
otomatis. Rasa tanggungjawab bukanlah sesuatu yang taken from granted, melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang
seiring dengan kedewasaan kemanusiaan kita. Semakin dewasa maka akan semakin
besar tanggungjawab kita, dan aktivitas dakwah akan menumbuhkan karakter ini.
Salah
satu pilar dakwah adalah ilmu, sehingga aktivitas dakwah juga harus aktif dalam
melakukan proses takwin (pembinaan)
atas dirinya. Ilmu bagi aktivis dakwah adalah senjata yang harus selalu diasah
sehingga tidak tumpul. Pembinaan dalam hal ini menyiapkan pribadi, keluarga dan
masyarakat untuk dapat melaksanakan syariat Islam secara kaafah (menyeluruh) dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan
sunnah yang berperan sebagai pedoman hidup untuk Islam. Pembinaan menjadikan
umat taat kepada apa yang didakwahkan. Pembinaan juga merupakan cara yang
paling efektif bagi pembentukan kepribadian umat. Sampai-sampai Rasulullah saw
mengatakan “Saya tidak melihat cara yang lebih cepat untuk membangun peradaban
Islam kecuali dengan cara ini (tarbiyah)” meskipun butuh waktu yang lama untuk
mencetak individu berkepribadian Islami, namun tidak ada cara yang lebih cepat
selain tarbiyah (pembinaan).
Dakwah
adalah jalan orang-orang yang mulia sepanjang masa. Saking mulianya jalan
tersebut, Allah swt sampai menyebutnya sebagai jalan yang terbaik. “Siapakah yang lebih baik perkatannya
daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal sholeh dan berkata
‘sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Fussilat:
33) Karena itu sangatlah ironis jika ada seorang muslim yang secara sengaja
meninggalkan jalan dakwah.
Untuk
berdakwah, kita perlu memahami tahapan dakwah. Secara umum, ada dua tahapn
dakwah, yakni dakwah umum (ammah) dan
dakwah khusus (khoshos). Dakwah ammah adalah dakwah yang ditujukan
kepada masyarakat umum tanpa adanya hubungan yang intensif antara da’i (orang
yang berdakwah) dengan mad’u (orang
yang didakwahi). Sebagian besar fenomena yang ada di masjid-masjid dan media
massa adalah contoh dakwah ammah. Follow-up (kelanjutan) dari dakwah ammah adalah dakwah khoshos yakni dakwah yang ditujukan untuk orang-orang yang terbatas
dan bersungguh-sungguh ingin mengamalkan Islam. Umumnya da’i dan mad’u
dikumpulkan dalam kelompok-kelompok kecil (halaqoh) berjumlah sekitar 3-12
orang. Di beberapa kalangan kelompok-kelompok ini juga biasa disebut mentoring,
usroh, liqo’, ta’lim, dll(3).
Persiapan Aktivis Dakwah(5)
1.
Persiapan
maknawiyah (spiritual)
Sebagaimana disebutkan dalam kaidah
fiqh dakwah pertama alqudwah qobla da’wah
(memberikan keteladanan sebelum berdakwah), maka seorang aktivis dakwah harus
senantiasa belajar menyelaraskan antara perkataan dan amalnya. “Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan
kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu
membaca Al-Kitab. Apakah kamu tidak berfikir?” (Al-Baqarah: 44) Maka dakwah
menuntut sikap ikhlas, tanggungjawab dan tawakal kepada Allah dengan diperkuat
oleh hubungan ibadah yang kuat kepada Allah swt.
2.
Persiapan
intelektual
Selain persiapan maknawiyah, aktivis dakwah juga harus memiliki wawasan yang luas,
sebab banyak hal yang harus diketahui dan dikritisi dengan adanya perkembangan
zaman dan semakin kompleksnya problematika umat dewasa ini.
3.
Persiapan
fisik
Fisik juga perlu dipersiapkan,
sebagimana Rasulullah saw bersabda “Mukmin
yang kuat itu lebih baik dan lebih
disukai disisi Allah daripada mukmin yang lemah, dan meskipun pada keduanya ada
kebaikan, ...” (HR Muslim)
4.
Persiapan
materi
Dakwah harus berdiri diatas
kemandirian ekonomi yang kokoh. Allah tidak pernah melarang umat Islam untuk
berusaha menjadi kaya. Justeru Allah memerintahkan kaum muslimin secara langsung
atau tidak untuk berusaha menjadi kaya. Perintah-perintah menegakkan shalat
dalam Al-Qur’an hampir selalu diikuti dengan perintah untuk mengeluarkan zakat.
Itu artinya setiap muslim diwajibkan untuk menjadi muzakki bukan mustahiq,
dan itu artinya materi kita harus berkecukupan.
“Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka
membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di
dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah: 111)
“Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah
beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut 2-3)
Paradigma yang harus
dipahami dalam dakwah adalah bahwa syiar dakwah adalah semakin komitmen dengan
Islam, selalu mengumandangkan hakikat Islam, dan bahwasannya dakwah itu
bersumber dari Islam dan aqidahnya. Dakwah juga bersifat menyeluruh, sebagimana
Islam juga bersifat universal dan syumuliah sehingga dakwah Islam haruslah
menyentuh seluruh aspek kehidupan. Karena itu, orang yang menyeru kepada dakwah
dan tarbiyah serta meninggalkan aspek lain seperti politik, ekonomi, ilmu
pengetahuan, atau memberatkan pada bagian-bagian tertentu, mereka adalah
orang-orang yang tidak memahami dakwah(6).
Reference:
(1) Miswan Tahahdi. 2008. Quantum Dakwah dan Tarbiyah.
Al-I’tishom: Jakarta Timur
(2) Cahyadi Takariawan. 2009. Menyongsong Mihwar Daulah. Era Adicitra
Intermedia: Solo
(3) Satria Hadi Lubis. 2003. Menjadi Murobbi Sukses. Kreasi Cerdas
Utama: Jakarta Selatan
(4) Buku Panduan PPK Fakultas Saintek
UIN. 2008. Fak Saintek UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta
(5) Muhammad Abduh. 2004. Memperbarui Komitmen Dakwah. Rabbani
Press: Jakarta
No comments:
Post a Comment