(Oleh: Dr. Muhammad Yasir Yusuf. MA)
Ketua IKADI Aceh
Subhanallah, tanpa terasa perubahan hari demi hari di bulan Ramadhan 1434 H, telah menghantarkan kita dipenghujung Ramadhan 1434 H. Ada rasa keharuan yang amat dalam dengan berpisahnya kita dengan puasa Ramadhan. Muncul berbagai pertanyaan dalam hati, apakah ibadah yang dilakukan di Ramadhan ini sudah maksimal dan diterima Allah? Apakah Allah masih memberikan peluang bagi kita untuk berjumpa dengan Ramadhan di tahun depan? Apakah Allah telah menghapuskan segala dosa yang kita produksi selama ini?.
Ramadhan hanya tersisa beberapa hari lagi, kita masih punya peluang besar untuk memaksimalkan segala kebaikan di bulan suci ini. Peluang untuk menikmati segala bentuk ibadah dari shalat fardhu, shalat tarawih, membaca al Qur’an dan memberikan kebaikan untuk orang-orang yang ada disekitar kita. Sungguh naïf (rugi) jika peluang yang tersisa ini tidak bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Bukankan kita mengharapkan ampunan Allah, kebebasan dari api neraka dan berharap dapat menapaki kaki-kaki kita dalam indahnya taman-taman syurga. 10 hari terakhir di setiap Ramadhan, Allah menghadiahkan kepada kita 1 malam yang lebih baik dari 1000 bulan yaitu malam lailatul qadar. 10 malam terakhir, Rasulullah mengajak semua keluarganya untuk meningkatkan amal ibadah dengan cara ber-i’tikaf di Mesjid.
I’tikaf ialah usaha mendiami dan menetap diri di dalam masjid oleh seseorang yang tertentu dengan cara-cara tertentu, ia juga dikenal dengan "Jiwar" (Al-Majmu' Al-Nawawi, 6: 407). Makna yang lebih sederhana, i’tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Penggunaan kata i’tikaf di dalam Al-Qur’an terdapat pada firman Allah SWT yang artinya: Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertaqwa (QS 2:187).
Dalam aturan Islam, seseorang bisa beri’tikaf di masjid kapan saja. Namun dalam konteks bulan Ramadhan, Rasulullah SAW beri’tikaf selama sepuluh hari terakhir. Sehinga kalau diperhatikan diantara amal-amal utama dan menjadi unggulan Rasulullah di bulan Ramadhan adalah i’tikaf. Karena i’tikaf merupakan sarana muhasabah dan kontemplasi yang efektif bagi muslim dalam mengevaluasi apa yang sudah dilakukan setahun lepas dan merencanakan serta meningkatkan keberagamaan untuk tahun depan.
Kebanyakan ulama telah berijma’ bahwa i’tikaf khususnya 10 hari terakhir bulan Ramadhan merupakan suatu ibadah yang disyariatkan dan disunnahkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari. Hal ini berdasarkan penuturan A’isyah bahwa Nabi SAW selalu beri’tikaf pada sepuluh akhir pada bulan Ramadhan hingga diwafatkannya oleh Allah SWT, kemudian (diteruskan sunnah) i’tikaf selepasnya oleh para isterinya. (Al-Bukhari, no hadist: 2026, Muslim, no hadist: 1772). Hal ini dilakukan oleh Nabi hingga wafat, bahkan pada tahun wafatnya, Rasulullah beri’tikaf selama 20 hari. Abu Hurairah, berkata : Nabi SAW selalu beri’tikaf pada tiap-tiap Ramadhan sepuluh hari (akhirnya). Manakala pada tahun baginda diwafatkan, baginda beri’tikaf dua puluh hari. (Al-Bukhari, no hadist: 2024).
Adapun tujuan i’tikaf disyariatkan adalah untuk mensucikan jiwa dengan berkonsentrasi semaksimal mungkin dalam kekusyukan beribadah dan bertaqarrub kepada Allah pada waktu-waktu tertentu akan tetapi teramat tinggi nilainya. Jauh dari rutinitas kehidupan dunia, fokus dengan ibadah disertai dengan berserah diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta. Bermunajat sambil berdo’a dan beristighfar kepadaNya sehingga saat kembali lagi dalam aktivitas keseharian dapat dijalani secara lebih berkualitas dan berarti. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Qayyim, “i’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati ber-i’tikaf dan bersimpuh dihadapan Allah, ber-khalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah”.
Adapun tujuan khusus kita beri’tikaf di sepuluh akhir Ramadhan adalah: pertama, menjauhkan diri dari pada kesibukan dunia dan anak isteri, demi mencari kejernihan jiwa dan mengumpulkan kekuatan sebagai bekal dalam menghadapi perjalanan hidup pasca Ramadhan. Kita telah bekerja selama 11 bulan, tiba masanya mengisi perbekalan dan meningkatkan stamina ruhaniah kita dalam menghadapi berbagai problematikan hidup. Kedua, penggalan terakhir Ramadhan adalah pembebasan dari api neraka, maka ini peluang utama untuk memastikan kita tidak lalai untuk menggapai cita dan impian masuk syurga. Ini menjadi tempat kita menumpahkan air mata penyesalan terhadap kekhilafan yang telah kita lakukan guna meraih ampunan dari Allah. Kalaulah ini Ramadhan terakhir bagi kita, maka jangan sia-saikan ia karena tidak ada jaminan kita akan bertemu dengan Ramadhan berikutnya. Ketiga, i’tikaf menjadi sarana utama bagi mendapatkan Lailatul Qadar, hal ini sebagaimana disunnahkan oleh sunnah Rasulullah SAW.
Untuk itu, saudara-saudaraku marilah kita beri’tikaf pada Ramadhan tahun ini. Sebab sangat sedikit kaum muslimin yang mau beri’tikaf pada sepuluh akhir Ramadhan berbanding dengan jumlah kaum muslimin yang menghabiskan malam-malamnya dengan kesibukan berbelanja dan menyiapkan kebutuhan hari raya. Itulah sebabnya Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sungguh heran sekali situasi ummat Islam ! Mereka sanggup tidak beri’tikaf (sepuluh akhir Ramadhan) sedangkan Nabi SAW tidak pernah meninggalkan i’tikaf sejak baginda datang ke Madinah al-Munawwarah hingga Allah mewafatkannya. (Fathul Bari, 285/4). Apakah pastas kita mengaku mencintai Rasulullah, Rasullah tidak pernah meninggalkan i’tikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan sedangkan kita enggan melakukannya. Apakah kita yakin dosa-dosa kita sudah diampuni, disaat Rasullah serius meminta ampunan dalam do’a-do’a ketika beri’tikaf, sedangkan kita tertidur dengan nyenyak diranjang yang empuk. Ya Allah bantu kami untuk kuat melaksanakan i’tikaf dan muliakan kami dengan malam lailatul qadar. Wallahu’alam.
Ketua IKADI Aceh
Subhanallah, tanpa terasa perubahan hari demi hari di bulan Ramadhan 1434 H, telah menghantarkan kita dipenghujung Ramadhan 1434 H. Ada rasa keharuan yang amat dalam dengan berpisahnya kita dengan puasa Ramadhan. Muncul berbagai pertanyaan dalam hati, apakah ibadah yang dilakukan di Ramadhan ini sudah maksimal dan diterima Allah? Apakah Allah masih memberikan peluang bagi kita untuk berjumpa dengan Ramadhan di tahun depan? Apakah Allah telah menghapuskan segala dosa yang kita produksi selama ini?.
Ramadhan hanya tersisa beberapa hari lagi, kita masih punya peluang besar untuk memaksimalkan segala kebaikan di bulan suci ini. Peluang untuk menikmati segala bentuk ibadah dari shalat fardhu, shalat tarawih, membaca al Qur’an dan memberikan kebaikan untuk orang-orang yang ada disekitar kita. Sungguh naïf (rugi) jika peluang yang tersisa ini tidak bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Bukankan kita mengharapkan ampunan Allah, kebebasan dari api neraka dan berharap dapat menapaki kaki-kaki kita dalam indahnya taman-taman syurga. 10 hari terakhir di setiap Ramadhan, Allah menghadiahkan kepada kita 1 malam yang lebih baik dari 1000 bulan yaitu malam lailatul qadar. 10 malam terakhir, Rasulullah mengajak semua keluarganya untuk meningkatkan amal ibadah dengan cara ber-i’tikaf di Mesjid.
I’tikaf ialah usaha mendiami dan menetap diri di dalam masjid oleh seseorang yang tertentu dengan cara-cara tertentu, ia juga dikenal dengan "Jiwar" (Al-Majmu' Al-Nawawi, 6: 407). Makna yang lebih sederhana, i’tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Penggunaan kata i’tikaf di dalam Al-Qur’an terdapat pada firman Allah SWT yang artinya: Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertaqwa (QS 2:187).
Dalam aturan Islam, seseorang bisa beri’tikaf di masjid kapan saja. Namun dalam konteks bulan Ramadhan, Rasulullah SAW beri’tikaf selama sepuluh hari terakhir. Sehinga kalau diperhatikan diantara amal-amal utama dan menjadi unggulan Rasulullah di bulan Ramadhan adalah i’tikaf. Karena i’tikaf merupakan sarana muhasabah dan kontemplasi yang efektif bagi muslim dalam mengevaluasi apa yang sudah dilakukan setahun lepas dan merencanakan serta meningkatkan keberagamaan untuk tahun depan.
Kebanyakan ulama telah berijma’ bahwa i’tikaf khususnya 10 hari terakhir bulan Ramadhan merupakan suatu ibadah yang disyariatkan dan disunnahkan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari. Hal ini berdasarkan penuturan A’isyah bahwa Nabi SAW selalu beri’tikaf pada sepuluh akhir pada bulan Ramadhan hingga diwafatkannya oleh Allah SWT, kemudian (diteruskan sunnah) i’tikaf selepasnya oleh para isterinya. (Al-Bukhari, no hadist: 2026, Muslim, no hadist: 1772). Hal ini dilakukan oleh Nabi hingga wafat, bahkan pada tahun wafatnya, Rasulullah beri’tikaf selama 20 hari. Abu Hurairah, berkata : Nabi SAW selalu beri’tikaf pada tiap-tiap Ramadhan sepuluh hari (akhirnya). Manakala pada tahun baginda diwafatkan, baginda beri’tikaf dua puluh hari. (Al-Bukhari, no hadist: 2024).
Adapun tujuan i’tikaf disyariatkan adalah untuk mensucikan jiwa dengan berkonsentrasi semaksimal mungkin dalam kekusyukan beribadah dan bertaqarrub kepada Allah pada waktu-waktu tertentu akan tetapi teramat tinggi nilainya. Jauh dari rutinitas kehidupan dunia, fokus dengan ibadah disertai dengan berserah diri sepenuhnya kepada Sang Pencipta. Bermunajat sambil berdo’a dan beristighfar kepadaNya sehingga saat kembali lagi dalam aktivitas keseharian dapat dijalani secara lebih berkualitas dan berarti. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Qayyim, “i’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati ber-i’tikaf dan bersimpuh dihadapan Allah, ber-khalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah”.
Adapun tujuan khusus kita beri’tikaf di sepuluh akhir Ramadhan adalah: pertama, menjauhkan diri dari pada kesibukan dunia dan anak isteri, demi mencari kejernihan jiwa dan mengumpulkan kekuatan sebagai bekal dalam menghadapi perjalanan hidup pasca Ramadhan. Kita telah bekerja selama 11 bulan, tiba masanya mengisi perbekalan dan meningkatkan stamina ruhaniah kita dalam menghadapi berbagai problematikan hidup. Kedua, penggalan terakhir Ramadhan adalah pembebasan dari api neraka, maka ini peluang utama untuk memastikan kita tidak lalai untuk menggapai cita dan impian masuk syurga. Ini menjadi tempat kita menumpahkan air mata penyesalan terhadap kekhilafan yang telah kita lakukan guna meraih ampunan dari Allah. Kalaulah ini Ramadhan terakhir bagi kita, maka jangan sia-saikan ia karena tidak ada jaminan kita akan bertemu dengan Ramadhan berikutnya. Ketiga, i’tikaf menjadi sarana utama bagi mendapatkan Lailatul Qadar, hal ini sebagaimana disunnahkan oleh sunnah Rasulullah SAW.
Untuk itu, saudara-saudaraku marilah kita beri’tikaf pada Ramadhan tahun ini. Sebab sangat sedikit kaum muslimin yang mau beri’tikaf pada sepuluh akhir Ramadhan berbanding dengan jumlah kaum muslimin yang menghabiskan malam-malamnya dengan kesibukan berbelanja dan menyiapkan kebutuhan hari raya. Itulah sebabnya Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sungguh heran sekali situasi ummat Islam ! Mereka sanggup tidak beri’tikaf (sepuluh akhir Ramadhan) sedangkan Nabi SAW tidak pernah meninggalkan i’tikaf sejak baginda datang ke Madinah al-Munawwarah hingga Allah mewafatkannya. (Fathul Bari, 285/4). Apakah pastas kita mengaku mencintai Rasulullah, Rasullah tidak pernah meninggalkan i’tikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan sedangkan kita enggan melakukannya. Apakah kita yakin dosa-dosa kita sudah diampuni, disaat Rasullah serius meminta ampunan dalam do’a-do’a ketika beri’tikaf, sedangkan kita tertidur dengan nyenyak diranjang yang empuk. Ya Allah bantu kami untuk kuat melaksanakan i’tikaf dan muliakan kami dengan malam lailatul qadar. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment