Social Icons

twitterfacebookgoogle pluslinkedinrss feedemail

Monday, December 31, 2012

Budaya Saling Menasihati Sesama Kader Dakwah


Sendi stabilitas dunia ada empat: Keberdayaan ulama (dengan ilmunya), keadilan para penguasa, kedermawanan orang-orang kaya dan doa para fuqara. Bila salah satu sendi tak berfungsisebagaimana mestinya, maka akan terjadi instabilitas dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Ulama secara etimologis adalah jama’ dari kata ‘alim’ yang artinya orang yang memiliki ilmu yang membawanya takut hanya kepada Allah :
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS Al Fathir: 28.)
Dari sini berarti pengertian ulama tidak hanya terbatas pada orang-orang yang memiliki kafa’ah syar’ iyah saja, tapi juga mencakup semua ahli dalam bidang keilmuan apapun yang bermanfaat, dengan syarat ilmu yang dikuasainya
membawa dirinya menjadi orang yang memiliki rasa khasyyah (rasa takut) kepada Allah. Rasa khasyyah inilah yang mendorong para ulama untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Karenanya dalam pengertian ini para kader dakwah adalah para ulama yang berperan sebagai ‘waratsatul anbiya’ (pewaris para nabi) yang selalu melakukan tawashau bil haqqi dan tawashau bis shabri (saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran).
Ada beberapa hal yang menuntut para kader dakwah untuk melakukan tawashau bil haqqi dan tawashau bis shabri:
1.    Khairiyyatul haadzihil ummah (kebaikan umat ini) terletak pada konsistensi pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi munkar. Bila amar-ma’ruf dan nahi munkar tidak dilaksanakan maka akan hilanglah salah satu ciri kebaikan umat Islam ini.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُون
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS Ali Imran: 110)
2.    Kader dakwah adalah stabilisator umat yang menjadi tumpuan utama masyarakat. Ciri utama kader yang menjadi stabilisator umat adalah senantiasa melakukan ‘ishlah’ (perbaikan). Seorang kader tidak cukup hanya menjadi seorang yang shalih saja tapi harus menjadi seorang ‘mushlih’ (men’shalih’kan orang lain). Orang-orang yang shalih saja tidak cukup untuk menjadi penyelamat umat dari kehancuran.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah pernah ditanya, “Apakah kita akan dihancurkan walaupun di antara kita terdapat orang-orang sholihin”? Rasulullah menjawab, “Ya”, bila terdapat banyak kebobrokan/keburukan. Allah SWT menegaskan dalam surat Huud ayat 117 yang artinya: Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim sedang penduduknya orang-orang yang melakukan ishlah (perbaikan).
3.    Di antara ciri manusia yang tidak akan merugi adalah sebagaimana yang diungkap dalam surat Al-Ashr, yaitu senantiasa saling menasihati dengan kebenaran (saling menasihati untuk melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah) dan saling menasihati dengan kesabaran (maksudnya saling menasihati untuk bersabar menanggung musibah atau ujian). Surat ini amat penting sehingga ada riwayat dari Imam At-Thabrani dari Ubaidillah bin Hafsh yang menyatakan bahwa dua orang sahabat nabi bila bertemu, maka tidak berpisah kecuali membaca surat Al-Ashr, kemudian mengucapkan salam untuk perpisahan. Imam As-Syafi’i pernah mengatakan, “Seandainya manusia mau merenungi kandungan surat Al-Ashr, pasti cukuplah itu bagi kehidupan mereka”. (lihat Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, Juz III hal 674)
4.    Di antara hak seorang muslim dengan muslim lainnya adalah bila dimintai nasihat oleh saudaranya tentang sesuatu maka ia harus memberinya, dalam artian ia harus menjelaskan kepada saudaranya itu apa yang baik dan benar. Dalam sebuah hadits disebutkan:
إِذَا اسْتَنْصَحَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَنْصَحْ لَه
“Bila salah seorang dari kamu meminta nasihat kepada saudaranya maka hendaknya (yang diminta) memberi nasihat”. (HR Bukhari)
Dalam hadits lain disebutkan:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
Artinya: Agama adalah nasihat bagi Allah, bagi Rasul-Nya, untuk para pemimpin umat Islam dan untuk para orang awamnya. ( H.R Bukhari)
Maksud hadits di atas adalah:
1.    Agama adalah nasihat, maksudnya bahwa sendi dan tiang tegaknya agama adalah nasihat. Tanpa saling menasihati antara umat Islam maka agama tidak akan tegak. 
2.    Agama adalah nasihat bagi Allah artinya: Sendi agama adalah beriman kepada-Nya, tunduk dan berserah diri kepada-Nya lahir dan batin, mencintai-Nya dengan beramal shalih dan mentaati-Nya, menjauhi semua larangan-Nya serta berusaha untuk mengembalikan orang-orang yang durhaka agar bertaubat dan kembali kepada-Nya.
3.    Agama adalah nasihat bagi Rasulullah SWT, maksudnya: sendi tegaknya agama adalah dengan meyakini kebenaran risalahnya, mengimani semua ajarannya, mengagungkannya, mendukung agamanya menghidupkan sunnah-sunnahnya dengan mempelajarinya dan mengajarkannya, berakhlaq dengan akhlaqnya, mencintai keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya.
4.    Agama adalah nasihat bagi para pemimpin umat Islam, maksudnya adalah bahwa tegaknya agama dengan mendukung dan mentaati mereka dalam kebenaran, mengingatkan mereka dengan kelembutan bila lalai/lengah, meluruskan mereka bila salah
5.    Agama adalah nasihat bagi orang awam dari umat Islam (rakyat biasa bukan pemimpin), maksudnya bahwa tegaknya agama hanyalah dengan memberikan kasih sayang kepada orang-orang kecil, memperhatikan kepentingan mereka, mengajari apa-apa yang bermanfaat bagi mereka dan menjauhkan semua hal yang membahayakan mereka dsb.
Saling menasihati di antara kader adalah kewajiban. Karena di satu sisi bangkit dengan kebenaran adalah sangat sulit sementara di sisi lain hambatan-hambatan untuk menegakkannya sangat banyak, misalnya: hawa nafsu, logika kepentingan, tirani thaghut, dan tekanan kezhaliman.
Pemberian nasihat merupakan pengingatan, dorongan dan pemberitahuan bahwa kita satu sasaran dan satu tujuan akhir. Semua kader senantiasa bersama-sama dalam menanggung beban dan mengusung amanat. Bila saling menasihati ini kita lakukan bersama-sama, dimana berbagai kecenderungan individu bertemu dan saling berinteraksi, maka akan menjadi berlipat gandalah kekuatan kita untuk menegakkan kebenaran. Masyarakat Islam tidak akan tegak kecuali dijaga oleh sekelompok kader yang saling tolong menolong, saling menasihati dan memiliki solidaritas yang tinggi.
Para salafus shalih telah memberikan contoh luar biasa dalam hal saling menasihati. Sebagai contoh adalah Umar bin Al Khatab ra, pada suatu kesempatan ketika banyak pembesar sahabat yang mengelilinginya tiba-tiba salah seorang sahabat berkata: Ittaqillaha ya Umar.(Bertaqwalah kepada Allah wahai Umar!) Para sahabat yang mengetahui kedudukan keislaman Umar marah
kepadanya, namun Umar r.a mencegah kemarahan sahabat-sahabatnya seraya berkata: Biarkanlah dia berkata demikian, sesungguhnya tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau mengatakannya, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau mendengarnya.”
Itulah Umar yang termasuk dalam golongan sepuluh orang yang mendapat kabar gembira dijamin masuk surga, beliau sangat perhatian terhadap setiap nasihat yang benar yang ditujukan kepadanya.
Kita sebagai kader dakwah yang menjadi stabilisator umat, harus saling menasihati dan saling menerima berbagai nasihat yang baik dengan lapang dada, bahkan harus berterima kasih kepada yang mau memberi nasihat.
Terutama dalam kaitannya dengan aktivitas dakwah yang menginginkan kebaikan dalam segala kehidupan umat, berbangsa dan bernegara, kehidupan individu, social dan politik, sehingga adanya saling nasihat menasihati, dan menerima nasihat antar sesama kader, kader dan qiyadah, qiyadah dan kader yang pada akhirnya dapat saling memberikan ishlah, tawaddud, tarahum antar sesam.
Wallahu a’lam.

BERSIKAP LEMBUT DAN RENDAH HATI



فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ ... (آل عمران:159)
“Maka disebabkan rahmat Allah atasmu, kamu berlaku lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkan mereka dan mohonkanlah ampun bagi mereka…”(QS.:3:159)
            Ikhwan dan akhwat fillah, sejarah telah memaparkan pancaran pesona akhlaq Rasulullah dalam perjuangan dakwah beliau sebagai suri teladan bagi kita (QS.:33:21). Kemudian Allah SWT menguatkan dengan firman-Nya “wa innaka la’alaa khuluqin ‘azhiim”(QS.:68:4). Tentunya ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Rumusan nyata dan gamblang tentang model manusia terbaik. Maka siapa yang ingin berhasil dalam mengemban tugas dakwah sebagaimana Rasul, hendaklah mengikuti jejak langkah Rasulullah dan menerapkan akhlaq Rasulullah dalam segenap aktivitas kehidupannya.
            Dulu sering kita jumpai keluhan-keluhan dan kekecewaan terhadap penanganan dakwah di kalangan para mutarobbi. Fenomena berjatuhannya para aktivis dakwah, ditambah lagi dengan ketidaksukaan mereka terhadap pola dakwah ternyata - menurut mereka - disebabkan karena seringnya mereka menerima perlakuan yang tidak bijaksana.
            Jawaban sederhana dari permasalahan di atas boleh jadi karena ketidak utuhan kita dalam meneladani Rasul atau bahkan mungkin karena kita belum mampu menanamkan akhlaq Rasul pada diri mereka. Akibatnya kita sering tidak sabar dan tidak bijaksana menyikapi mereka, sementara merekapun terlalu mudah tersinggung dan cengeng menyikapi teguran  dan nasihat yang mereka anggap sebagai pengekang kebebasan.  Komunikasi yang tidak sehat ini sebenarnya bisa diatasi dengan menyadari sepenuh hati akan begitu pentingnya penanaman dan penerapan akhlaq Rasulullah dalam berbagai pendekatan dakwah. Ditinjau dari segi juru dakwah, keinginan meluruskan, teguran, penugasan, sindiran dan sebagainya sebenarnya dapat dikemas dengan akhlaq. Begitupun dari segi mad’u, ketidakpuasan, ketersinggungan, perasaan terkekang dan kejenuhan juga dapat diredam dengan akhlaq. Akhlaq menuntun kepada kemampuan untuk saling menjaga perasaan, saling memaklumi kesalahan dan mengantarkan kepada penyelesaian terbaik.
            Banyak murabbi yang dikecewakan dan ditinggalkan binaaanya, tapi dia mampu mengemas luka itu dengan empati dan terus mendoakan kebaikan bagi binaannya. Bahkan diiringi harapan suatu saat Allah mengembalikan binaannya dalam aktvitas dakwah, walaupun mungkin bukan dalam penanganannya. “Mungkin dengan saya tidak cocok, tapi semoga dengan murabbi lain cocok”. Ada mutarabbi yang diperlakukan tidak bijaksana oleh murabbinya namun akhlaq menuntunnya untuk mengerti dan menyadari bahwa murabbinya bukan nabi, sehingga dia tidak dendam dan menjelek-jelekkan murabbinya, melainkan tetap merasa bahwa murabbi dengan segala kekurangannya telah berjasa banyak padanya. Dia tidak membenci dakwah meskipun dia dikecewakan oleh seorang aktivis dakwah.
            Di antara nilai-nilai akhlaq yang semuanya mesti kita tanamkan dalam diri, ada dua nilai yang cukup relevan dengan kelancaran dakwah, yaitu kelembutan dan rendah hati. Kelembutan adalah perpaduan hati, ucapan dan perbuatan dalam upaya menyayangi, menjaga perasaan, melunakkan dan memperbaiki orang lain. Kelembutan adalah kebersihan hati dan  keindahan penyajian yang diwujudkan dalam komunikasi lisan maupun badan. Bukanlah kelembutan bila ucapannya lembut tapi isinya penuh dengan kata-kata kasar menyakitkan (nyelekit). Bukan pula kelembutan bila menyampaikan kebenaran tapi dengan caci maki dan bentakan. Berwajah manis penuh senyum, memilih pemakaian kata yang benar dan pas (qaulan syadidan), memaafkan, memaklumi, penuh perhatian, penuh kasih sayang adalah tampilan kelembutan. Wajah sinis, penuh sindiran yang terkadang tanpa tabayyun, buruk sangka, ghibah, pendendam, emosional merupakan kebalikan dari sifat kelembutan.
            Rendah hati merupakan perpaduan hati, ucapan dan perbuatan dalam upaya mendekatkan/mengakrabkan, melunakkan keangkuhan, menumbuhkan kepercayaan, membawa keharmonisan dan mengikis kekakuan. Angkuh, sok pintar dan hebat, merasa paling berjasa, merasa levelnya lebih tinggi, minta dihormati, enggan menegur/menyapa lebih dulu, tidak mau diperintah, sulit ditemui/dimintai tolong dengan alasan birokratis, menganggap remeh, cuek dan antipati merupakan lawan dari rendah hati. Allah berfirman dalam surah Asy Syu’araa ayat 215 “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang beriman yang mengikuti kamu.” Bila Rasulullah saja dengan berbagai pesona dan kelebihannya diperintah untuk tawadhu (dan Rasul telah menjalankan perintah itu), tentulah kita yang apa adanya ini harus lebih rendah hati. Rendah hati terhadap murabbi,   rendah hati terhadap mutarabbi dan rendah hati terhadap seluruh orang-orang beriman menunjukkan penghormatan kita pada Rasul dan pada kebenaran Al Qur’an. Sebaliknya, keangkuhan dan perasaan lebih dari orang lain menandakan masih jauhnya kita dari Qur’an dan. Hadist
            Marilah kita lebih mengaplikasikan apa-apa yang sudah kita ketahui. Betapa pemahaman kita tentang pentingnya akhlak dalam mengantarkan pada kesuksesan dakwah mungkin sudah cukup mumpuni. Namun tinggal bagaimana kita terus meningkatkan penerapan nilai-nilai akhlaq itu dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam mengemban tugas dakwah. Telah dan akan terus terbukti bahwa sambutan masyarakat terhadap dakwah adalah di antaranya karena pesona akhlaq kita, kelembutan  kita memaklumi, mengingatkan dan meluruskan mereka dan kerendahhatian kita untuk terus bersabar mendekati dan menemani hari-hari mereka dengan dakwah kita. Dalam konteks khusus pun demikian, betapa kelembutan dan kerendahhatian ternyata lebih melanggengkan/mengawetkan binaan-binaan kita untuk terus berdakwah bersama kita.
Ikhwan dan akhwat fillah, hendaknya dari hari ke hari kita terus mengevaluasi diri, membenahi akhlaq kita dan memantaskan diri (sepantas-pantasnya) sebagai seorang juru dakwah. Memang kita manusia biasa yang penuh salah dan kekurangan, namun janganlah itu menjadi penghalang kita untuk memujahadah diri menuju kepada kedewasaan sejati. Masa lalu yang kasar dan angkuh hendaklah segera pupus dari diri kita. Kita mulai membiasakan diri untuk lembut di tengah keluarga, di antara aktivis dakwah hingga ke masyarakat luas.  Kita mesti melatih kerendahhatian di tengah murid-murid kita, dengan sesama aktivis, pada murabbi kita hingga ke seluruh masyarakat. Dan pada akhirnya nanti insya Allah kita dapatkan keberhasilan dakwah Rasulullah terulang kembali, lewat hati, ucapan dan perbuatan kita yang telah diwarnai nilai-nilai akhlaq.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (النحل:125)
“Serulah mereka  ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS 16:125)

Sunday, December 30, 2012

Fannut Ta’amul ma’al Akharin


(PANDUAN BERINTERAKSI SOSIALDALAM KEHIDUPAN MUSLIM)


A. Mukaddimah
Manusia adalah makhluq sosial, dia tidak bisa hidup seorang diri, atau mengasingkan diri dari kehidupan bermasyarakat. Dengan dasar penciptaan manusia yang memikul amanah berat menjadi khalifah di bumi, maka Islam memerintahkan ummat manusia untuk saling ta’awun, saling tolong mneolong bagi tersebarnya nilai rahmatan lil ‘alamin Islam. Maka dalam hal ini, Islam hanya menganjurkan ummatnya untuk ta’awun dalam kebaikan saja, dan tidak membenarkan ummatnya untuk ta’awun dalam kejahatan (lihat QS Al Maidah: 2).

Oleh sebab itu manusia selalu memerlukan kepada orang lain untuk terus mengingatkannya, supaya kembali memakai kompas yang ada, supaya tidak tersesat jalan. Dan Allah swt telah mengajarkan kepada ummat-Nya bahwa peringatan sangat bermanfaat bagi kaum mukminin (lihat QS 51 : 55). Bahkan Allah swt menjadikan orang-orang yang selalu ta’awun dalam kebenaran dan kesabaran dalam kelompok mereka yang tidak merugi dalam hidupnya. (lihat QS Al Ashr).

Ummat Islam perlu mempraktekkan kembali prinsip ta’awun ini dalam kehidupannya, misalnya dengan melakukan hal-hal berikut:
1.      Dengan saling mengingatkan akan pentingnya mengisi waktu secara maksimal untuk beribadah di bulan ini, atau saling membangunkan untuk menyantap hidangan sahur dengan mengetuk pintu tetangga atau via telepon, pager dan lain-lain.
2.      Mempergunakan sarana-sarana yang disyari’atkan Allah swt untuk membina ta’awun, dengan membuka lebar-lebar pintu yang dapat mengundang kepada hal-hal yang menggembirakan hati orang lain dan dengan menutup segala pintu yang dapat mengundang perselisihan, apalagi perpecahan. Karena itu, Islam mengharamkan tindak penyebaran isu yang tidak ditopang dengan bukti-bukti nyata, demikian juga ghibah, namimah, berprasangka buruk dengan sesama, saling menghina dan merendahkan, memanggil orang dengan sebutan yang tidak pantas, memata-matai setiap gerak temannya ataupun merasa tinggi hati (lihat QS Al Hujurat : 11 – 12). Dalam kaitan ini ta’awun tidak akan mungkin terwujud dari hati  yang tidak padu.
3.      Dan diantara perbuatan-perbuatan yang dianjurkan Islam untuk memperkuat ‘alaqah ijtima’iyyah (interaksi sosial) adalah:
a.      Silatur-rahim
Islam sangat menganjurkan silatur-rahim antar keluarga, baik dekat maupun  jauh, baik mereka mahram ataupun bukan. Apalagi terhadap kedua orang tua. Islam bahkan mengkategorikan tindak “pemutusan hubungan silatur-rahim” sebagai dosa besar. Rasulullah saw bersabda: “Tidak masuk surga orang yang memutuskan hubungan silatur-rahim”. (HR Bukhari dan Muslim).
b.      Memuliakan tamu
Tamu dalam Islam mempunyai kedudukan yang sangat terhormat. Dan menghormati tamu merupakan salah satu indikasi iman seseorang. Rasulullah saw bersabda: “…barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya”. (HR Bukhari dan Muslim).
c.       Menghormati tetangga
Demikian juga menghormati tetangga, ia merupakan salah satu indikator apakah seseorang beriman dengan benar atau belum. Rasulullah saw bersabda: “… barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia memuliakan tetanggana”. (HR Bukhari dan Muslim).
d.      Saling Menziarahi
Rasulullah saw sering menziarahi para sahabatnya. Beliau pernah menziarahi Qais bin Sa’ad bin Ubadah di rumahnya dan mendo’akannya: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu serta rahmat-Mu buat keluarga Sa’ad bin Ubadah”. Beliau juga menziarahi Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim, Jabir bin Abdillah dan sahabat-sahabat lainnya. Ini menunjukkan bahwa ziarah memiliki nilai positif dalam mengharmoniskan hidup bermasyarakat.
e.       Memberi ucapan selamat
Islam sangat menganjurkan perbuatan ini. Dan ucapan itu bisa dilakukan ketika acara pernikahan, kelahiran anak baru, menyambut bulan puasa, menyambut lebaran dan lain-lain. Sedangkan sarana yang dipakai bisa disesuaikan dengan zamannya. Untuk sekarang bisa dilakukan dengan mengirim kartu ucapan selamat, atau mengirim telegram indah, atau pesan lewat pager, atau saling kontak via telepon atau sarana-sarana lain yang bisa dimanfaatkan.
f.        Saling memberi hadiah
Hadiah meski sekecil apapun, sangat bernilai bagi si penerima. Ia dapat menumbuhkan rasa saling mencintai antara yang memberi dan yang menerima. Inilah yang diisyaratkan oleh sabda nabi Muhammad saw: “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai”.
g.      Peduli dengan aktifitas sosial di sekitarnya
Orang yang peduli dengan aktifitas orang disekitarnya, serta sabar menghadapi resiko yang mungkin akan dihadapinya, seperti cemoohan, cercaan serta sikap apatis masyarakat, adalah lebih baik daripada orang yang pada asalnya sudah enggan untuk berhadapan dengan resiko yang mungkin menghadang, sehingga ia lebih memilih untuk mengisolir diri dan tidak menampakkan wajahnya di muka khalayak.
h.      Memberi bantuan sosial
Islam sangat memperhatikan orang-orang lemah. Maka orang yang tidak terbetik hatinya untuk menolong kalangan ini, atau mendorong orang lain untuk melakukan amal mulia ini, dikatakan sebagai orang yang mendustakan agama (lihat QS Al Ma-‘un: 1 - 3). Sedang memberi buka kepada orang yang berpuasa, Allah akan menyediakan ganjaran seperti yang didapat oleh orang yang berpuasa itu (HR At-Tirmidzi dan An-Nasa-i).

Dengan merealisasikan beberapa hal di atas, insya-Allah ta’awun akan dapat terbina, karena ta’awun baru akan dapat terealisasi apabila ada kesatuan jiwa. Dengan jiwa yang satu, akan tercapailah satu tujuan yang dicita-citakan.

Saturday, December 29, 2012

Kejarlah Kebajikan Sampai ke Liang Lahat


Waktu adalah ladang amal. Allah menyediakannya agar kita menggunakannya sebagai modal penting menggapai ridha-Nya. Keutamaan seseorang di sisi Allah, selain ditentukan oleh keimanan dan amal shalihnya adalah faktor keterdahuluannya dalam keimanan dan amal shalihnya. Tidaklah sama antara orang-orang yang terdahulu masuk Islam (As-Sabiqunal Awwalun) dan orang-orang yang belakangan. Tidak sama antara jamaah yang berada di shaf awal dalam shalat dengan yang berada di barisan paling belakang. Berbeda derajat orang yang hadir di shalat Jum'at paling awal dengan yang paling akhir.

Menyegerakan amal, itulah ajaran Islam kepada ummatnya. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. menasihati para sahabatnya untuk selalu menyegerakan amal saleh, kendati mereka itu manusia-manusia yang teruji keimanannya. Kata Nabi kala itu,
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
"Bersegeralah melakukan amal-amal saleh (kebajikan). (Sebab) sebuah fitnah akan datang bagai sepotong malam yang gelap. Seseorang yang paginya mukmin, sorenya menjadi kafir. Dan seseorang yang sorenya bisa jadi kafir, paginya menjadi mukmin. Ia menjual agamanya dengan harga dunia." (Muslim)

Akhi dan ukhti fillah…
Demikian pesan Nabi mulia itu juga disampaikan untuk kita. Adakah di antara kita yang selama sehari semalam penuh menjadi seorang mukmin sejati? Bisakah dan mampukah kita selama 24 jam tidak melakukan dosa dan sikap kufur sekecil apapun kepada Allah swt.? Padahal ketika Allah memberikan waktu 24 jam sehari, transaksinya adalah untuk dipersembahkan kepada Allah semuanya. Pada setiap shalat kita selalu mengumandangkannya kepada Allah.

"Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam."

Bukankah ketika kita tidak berempati atas nasib kaum lemah dan tertindas adalah bentuk kekufuran terhadap nikmat? Bukankah di saat kita tidur dan bangun tidur tanpa mengingat Allah tanda kita lupa kepada Allah? Bukankah lupa adalah bagian dari kekufuran kita kepada Sang Khaliq?

Sesungguhnya fitnah itu lebih cepat bergerak. Sekali kita membiarkannya maka selanjutnya ia akan bersemayam dan berkembang dalam tubuh kita. Begitu cepat dan samarnya sampai menjadikan orang pindah agama menggadaiaknnya dengan sedikit kesenangan dunia

Wajar jika sampai-sampai Rasulullah saw. mengingatkan para sahabatnya itu, walau Nabi tahu keimanan para sahabat itu tak akan tertandingi oleh orang-orang sesudahnya.

Dengan apa kita menutup pintu fitnah? Ya, dengan amal saleh. Apa saja dalam hidup orang beriman bisa menjadi amal kebaikan. Kita membuang sampah pada tempatnya itu amal baik. Berniat tidak bohong itu amal mulia. Mengucapkan salam kepada kawan itu amal yang terpuji. Mendo'akan saudara seiman kendati mereka tak tahu juga amal saleh. Dan masih banyak lagi amal saleh/kebajikan yang bisa kita lakukan, sekalipun kita tak memiliki sesuatu.

ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
"Orang-orang kaya pergi mendapatkan pahala. Mereka shalat sebagaimana kita shalat, mereka puasa sebagaimana kita puasa. Namun mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka." Rasulullah bersabda, "Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian apa bisa kalian sedekahkan? Sesungguhnya satu tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amar ma'ruf adalah sedekah, nahi munkar adalah sedekah, dan pada hubungan (dengan istri) kalian adalah sedekah." Mereka bertanya, "Ya Rasulullah, apakah seseorang mendatangi istrinya karena syahwatnya, apakah ia mendapatkan pahala?" Beliau bersabda, "Apa menurut kalian kalau dia meletakkannya pada yang haram. Bukankah baginya dosa? Demikian pula jika diletakkan pada yang halal, padanya ada pahala." (Bukhari Muslim).

Allah dengan keadilan-Nya memberikan peluang amal kepada masing-masing hamba. Baik orang miskin maupun kaya, masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan kebajikan dan mendapatkan ridha Allah. Lebih dari itu, suatu amal tidak dilihat dari kuantitasnya, tapi dilihat dari motivasi dan niatnya. Kualitas amal seseorang tergantung kepada nmotivasi dan niatnya.

Akhi dan ukhti fillah…

Boleh jadi infak seorang buruh sebesar 1000 rupiah, itu sama nilainya dengan infak seorang direktur sejumlah Rp. 1000.000.000,00. Seorang murid barangkali lebih mulia dengan seorang gurunya, karena si murid lebih sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Sementara sang guru merasa cukup dengan ilmunya.

Menyegerakan amal kebajikan tentu akan memberi nilai tambah bagi pelakunya sendiri. Menyegerakan berbuat baik berarti mempercepat dirinya mendapatkan ampunan (maghfirah) dari Allah. Kenapa? Sebab, kita telah berupaya menutup pintu-pintu kemungkaran dan kebathilan. Dengan demikian pula, Allah akan membukakan kebahagiaan, yakni, surga. Itu semua hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bertaqwa.
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Ali Imran 133).

Mengapa kita mesti menyegerakan amal?
  1. Karena asset waktu yang kita miliki hanyalah saat ini. Apa yang terjadi nanti dan esok hari kita tidak tahu. Kemarin bukan lagi milik kita, ia telah berlalu dan tidak akan kembali lagi. Kebaikan dan keburukan yang kita kerjakan kemarin tidak bias kita ulang lagi. Ia menjadi kenangan saat ini. Jika kebaikan, bersyukurlah kita, dna jika keburukan menyesallah bersama orang-orang yang menyesal. Masih beruntung jika kita bersyukur hari ini, bukan saat di mana penyesalan tidak ada artinya lagi. Esok hari juga belum menjadi milik kita, ia ada di alam gaib yang hanya Allah yang tahu. Kita tidak tahu apakah esok hari masih bisa menghirup udara pagi?
  2. Karena amal kita tidak mungkin dikerjakan orang lain. Masing-masing orang akan datang kepada Allah dengan amal perbuatan yang dikerjakannya sendiri di dunia. Keshalihan orang tua tidak bisa diandalkan anaknya. Seorang suami tidak akan selamat dari murka Allah karena amal perbuatan istrinya. Kita  boleh bangga terhadap pemimpin, orang tua, anak, guru, dan suami atau istri kita karena keshalihan mereka. Kebanggaan kita tidak bisa berbicara banyak di hadapan pengadilan Allah.
  3. Karena kemuliaan derajat seseorang di sisi Allah disebabkan oleh kesungguhannya dalam merespon seruan kebajikan dan mengamalkannya. Orang tua akan senang jika menyuruh anaknya mengerjakan sesuatu lalu dikerjakan segera. Sebaliknya ia akan marah jika si anak menunda-nunda mengerjakannya. Demikian pula Allah Ta'ala. Seruan kebajikan dikumndangkan untuk segera diamalkan.
  4. Karena setiap waktu ada momennya sendiri. Setiap waktu ada tuntutan amalnya. Banyak sekali amal perbuatan yang sangat terkait dengan waktu. Yang ketika waktunya berakhir, berakhir pula kesempatan untuk mengerjakannya. Seperti shalat, puasa, haji, berkurban, dan lain sebagainya.
  5. Kesempatan beramal juga diberikan kepada seseorang pada waktu-waktu tertentu. Orang kaya diberi kesempatan beramal dengan kekayaannya. Orang berilmu diberi kesempatan beramal dengan ilmunya. Seorang pimpinan diberi kesempatan beramal dengan kekuasannya. Jangan sampai Allah mencabut kesempatan itu dan tidak bias lagi berbuat. Kesehatan, waktu luang, hidup, masa muda, dan kekayaan adalah kesempatan untuk beramal.

Akhi da ukhti fillah…
Tidak ada waktu lagi untuk berpikir. Saat inilah waktumu. Segeralah beramal sesuai dengan tuntuwan waktunya. Kejarlah kebajikan sampai ke liang lahat. Wallahu A'lam.

Friday, December 28, 2012

Intima Kepada Gerakan Dakwah


Jika kita memperhatikan perjalanan hidup kita, kita akan menemukan bahwa Allah telah memberikan kita nikmat dan karunia yang tidak terhingga kepada kita. Dimulai ketika kita terlahir dalam keluarga muslim dan hingga sekarang Allah masih memberikan kita nikmat iman dan Islam. Berapa banyak manusia yang terlahir dalam lingkungan keluarga non-muslim hingga dewasa, bahkan sampai ajal menjemput. Mereka tetap tidak mendapatkan atau menjaga fitrah penciptaannya, yaitu Islam seperti disebutkan dalam hadits “kullu mauluudin yuuladu ‘alal fithrah” (tiap bayi dilahirkan atas fitrah Islam). Bukankah ini karunia besar yang patut kita syukuri? Allah mencela dan mengancam orang yang tidak mensyukuri nikmat dengan siksa yang pedih nanti di akhirat,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Ibrahim:7)
Kelimpahan nikmat dan kebaikan yang Allah berikan kepada manusia disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya:
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Mulk:1)
Al-Quran mengungkapkan keberlimpahan kebaikan Allah dengan ungkapan “tabaarak” yang arti sebenarnya adalah Maha Pemberi kebaikan yang berlimpah dan tak terhingga. Pengertian ini dapat kita lihat di ayat lain yang menyebutkan,
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا
Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, kalian tidak akan dapat menghitungnya. (Ibrahim:34)
Hal di atas cukup untuk menjadi alasan pribadi bagi seorang muslim untuk bersyukur dan membela Islam. Dalam tinjauan yang lebih luas lagi, Islam bukan hanya agama pribadi, tetapi juga sebuah arus dan ideologi yang harus diperjuangkan agar nilai-nilainya berjalan di muka bumi. Untuk tujuan ini, maka intima atau berafiliasi kepada Islam dan perjuangan dakwah Islam menjadi suatu keharusan dan wujud dari rasa syukur manusia kepada Allah.
Islam adalah ideologi dan risalah Allah yang harus sampai kepada seluruh manusia atau menjadi rahmat bagi semesta. Tugas besar ini memerlukan orang-orang yang memiliki komitmen dan loyalitas serta keterikatan yang kuat kepada Islam. Pembelaan dan keberpihakan kita kepada Islam merupakan wujud intima kita kepada Islam dan gerakan dakwah. Ekspresi kesyukuran kita atas semua nikmat ini harus benar-benar terwujud.
Ikhwati fillah…..
Intima kepada Islam bukan berarti mengungkung manusia, mengikat manusia dan merasa tidak merdeka. Sisi lain dari pemahaman intima yang dapat diwujudkan adalah seperti yang dikatakan Imam Syafi’i dalam suatu syi’irnya,
الحُرُّ مَنْ رَاعَى وِدَادَ لحَظَةٍ             أَو انْتَمَى لمِنَ أَفَادَهُ لَفْظَة
Orang yang merdeka adalah orang menjaga (merawat) kasih sayang (ukhuwah) yang hanya sebentar atau orang yang berafiliasi kepada orang yang telah memberikan manfaat meski hanya satu kata.
Dakwah dan tarbiyah telah memberikan sesuatu yang banyak kepada kita. Kita bukan hanya menerima ukhuwah sesaat dari ikhwah lainnya, bahkan bertahun-tahun kita telah hidup menjalin ukhuwah. Ilmu dan nilai yang bermanfaat buat kehidupan telah banyak kita dapatkan dari murabbi kita, dari qiyadah kita dan ikhwah sejawat kita. Jadi kita telah banyak berutang kepada dakwah dan pelaku dakwah itu sendiri, apalagi kepada Allah, sumber segala kebaikan.
Dengan banyaknya kebaikan yang kita dapatkan dari dakwah dan tarbiyah, maka kita belum dapat dikatakan merdeka jika kita tidak dapat berterima kasih kepada para dai, murabbi, qiyadah, masul kita yang telah menunaikan hak ukhuwah kepada kita. Bukan hanya “lahzhah,” beberapa menit, tetapi bertahun-tahun kita merasakan kebaikan ukhuwah tersebut.
Manfaat yang kita dapatkan dari perkataan murabbi kita bukan hanya “lafzhah” sepatah dua patah, tetapi ribuan kata dalam bentuk arahan, taujih, materi dan berbagai pelajaran telah kita dapatkan, bahkan sebagian kita ada yang membukukan materi yang mereka dapatkan.
Sudah sepantasnya dan tanpa ragu-ragu, kita harus memberikan kontribusi kita kepada dakwah dan gerakan dakwah ini sebagai wujud dan bukti intima kita kepada Islam.
Misi dakwah telah dibebankan kepada para dai. Mereka adalah manusia. Kepada merekalah kita menunjukkan intima Islam kita. Kepada murabbi, kepada naqib, kepada masul, kepada qiyadah dan kepada mereka yang urusan kita menjadi tanggungannya kita bekerja sama dan beramal jamai.
Ketaatan kita kepada qiyadah dan masul merupakan cerminan intima kita kepada gerakan dakwah, karena Allah memerintahkan kita untuk taat kepada pemimpin.
Jika nikmat keislaman kita syukuri dengan berwala kepada Allah, Rasul dan pemimpin Islam, maka nikmat berukhuwah dapat kita syukuri dengan senantiasa berafiliasi kepada gerakan dakwah dalam kerja dan ketaatan kepada kebijakan dakwah. Wallahu a’lam

Wednesday, December 26, 2012

Kewajiban Lebih Banyak Dari Waktu Yang Dimiliki


Ikhwah wal akhwat rahimakumullah
Kebanyakan orang memahami kewajiban sebagai beban berat yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan di hadapan pemberi kewajiban itu. Sehingga yang terbayang adalah pemberat-pemberat yang ada di pundak. Dan semakin banyak kewajiban yang ada maka semakin terasa berat pula beban hidupnya. Sungguh kasihan hidup yang penuh beban, selalu merasa dalam penderitaan dan tekanan.
Berbeda dengan orang beriman, ia memahami kewajiban yang telah Allah tetapkan dengan pemahaman yang indah dan menyenangkan, ia memahami kewajiban itu sebagai :
·    Peluang terbesar untuk mendekatkan diri kepada-Nya,
·    Peluang untuk meningkatkan kualitas diri, dan
·    Tangga untuk memperoleh cinta Allah, yang dengan cinta itu manusia akan terjaga dirinya,
·    Menjauhkan diri dari tarikan dunia dan menfokuskan diri pada sikap rabbani.
Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya Allah swt berfirman dalam hadits Qudsi. “Barang siapa yang memusuhi kekasih-Ku maka Aku nyatakan perang kepadanya. Dan tidak ada amal ibadah yang dilakukan hamba-Ku untuk mendekatkan diri kepada-Ku lebih Aku cintai dari pada kewajiban yang telah Aku tetapkan atasnya. Dan hamba-Ku akan terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka ketika Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang dia gunakan untuk mendengar, mata yang dipergunakan untuk melihat, tangan yang dipergunakan untuk memegang, kaki yang dipergunakan untuk berjalan. Jika ia meminta-Ku pasti akan Aku berikan, dan jika ia meminta perlindungan-Ku pasti akan Aku lindungi. (HR Bukhari).

Ikhwani wa akhawati hafidzamumullah
Allah swt telah mendistribusikan kewajiban bagi manusia ini sesuai dengan kapasitas dan kemampuan setiap orang, Firman Allah: “Dan Allah tidak membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang dimampui”. (QS. 2/Al Baqarah: 286)
Kewajiban guru berbeda dengan kewajiban murid, kewajiban imam berbeda dengan kewajiban makmum, kewajiban orang miskin berbeda dengan kewajiban orang kaya dan seterusnya masing-masing telah mendapatkan porsi kewajiban yang sebanding dengan kebutuhan kebaikan yang hendak dicapai; Kewajiban dzatiyah (pada diri sendiri) menjadi kebutuhan orang untuk mendapatkan kualitas pribadi yang unggul, sehingga ia menjadi shalih bagi dirinya secara fisik, intelektual, dan spiritual. Dan Kewajiban kepada Allah, berfungsi untuk tautsiqushshilah (menguatkan hubungan dengan Allah), sehingga setiap saat pertolongan Allah dapat diraih untuk mendapatkan sukses hidup dunia dan akhirat. Kewajiban kepada sesama manusia berfungsi untuk menata harmoni kehidupan dalam ikatan nilai dan kebaikan.
Dimana posisi kita dari semua kewajiban diatas?
·    Jika kita hanya dapat menunaikan kewajiban dzatiyah maka, kita baru dapat menshalihkan diri sendiri, secara fisik, intelektual, dan spiritual. Dan jika kita tidak mampu menshalihkan diri dalam apek-aspek penting itu, bagaimana mungkin kita akan mampu meshlihkan orang lain.
·    Jika kewajiban kepada Allah tidak terpenuhi dengan baik, maka akankah ada kedekatan jarak dengan Allah? Jika tidak dekat dengan Allah, akankah pertolongan Allah dapat diterima.
·    Jika kewajiban kepada sesama manusia dalam berbagai statusnya tidak dapat dilaksanakan dengan baik, akankah mereka bersimpati dan berbaik sikap dengan kita? Rasulullah saw yang senantiasa bersikap baik, menunaikan kewajiban kemanusiaan kepada siapapun masih saja mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan.

Ikhwah wal wakhwat yar’akumullah
            Dari ketiga model kewajiban diatas, sebagai kader dakwah yang memiliki komitmen melakukan perbaikan internal dan eksternal, kita sadar bahwa dihadapan kita segudang kewajiban yang harus kita tunaikan, baik kewajiban kepada kedua orang tua, kewajiban suami isteri, kewajiban kepada anak, kewajiban kepada kerabat, kewajiban kepada tetangga, kewajiban kepada saudara, dan kewajiban kepada manusia pada umumnya serta kewajiban kepada jamaah dan dakwah.
Semakin besar pemahaman kita terhadap kewajiban yang kita emban maka semakin besar pula kesadaran akan kurangnya waktu yang disediakan, sehingga memacu kita untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar tidak terlewatkan begitu saja.
Rasulullah saw bersabda :
اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِك
“Jagalah 5 perkara sebelum datang 5 perkara lainnya: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, waktu sehatmu sebelum waktu sakitmu, waktu kayamu sebelum datang waktu miskinmu, waktu senggangmu sebelum datang waktu sibukmu, dan waktu hidupmu sebelum datang kematianmu”. (HR. Baihaqi dan Hakim)
Manusia banyak terlena dengan kesempatan yang dimiliki dan tidak mampu menjadikannya sebagai peluang untuk berbuat baik dan melaksanakan kewajiban secara maksimal. Padahal dihadapannya begitu banyak kewajiban yang sudah menunggu. Namun bagi seorang kader tidak boleh demikian, karena tidak ada waktu istirahat baginya kecuali kematian itupun pada –la samahallah- pada kemaksiatan dan keburukan, namun terhadap kebaikan hidupnya di dedikasikan untuk mencarinya dan menggapainya sebanyak-banyaknya. Sebagaimana dalam doa yang diajarkan nabi saw kepada kita :
وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ
“Dan jadikanlah kematian sabagai masa istirahat (penghenti) bagi saya dari segala kejahatan” (HR. Muslim)
Ikhwah wal akhawat as’adakumullah hayatakum
Prinsip seorang kader adalah sebagaimana firman Allah : “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. (Al-Insyirah : 7)  Sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) telah selesai berdakwah Maka beribadatlah kepada Allah; apabila kamu telah selesai mengerjakan urusan dunia Maka kerjakanlah urusan akhirat, dan ada lagi yang mengatakan: apabila telah selesai mengerjakan shalat berdoalah.
Dan keberuntungan seseorang dalam hidupnya setelah keimanan adalah orang yang mampu memanfaatkan masa hidupnya untuk beramal shaleh dan berdakwah (saling berwasiat pada kesabaran dan kebaikan). Allah berfirman : “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (Al-‘Ashr : 2-3)
Karena itulah waktu untuk kepentingan dakwah dan  penataan kehidupan yang lebih baik dan lebih mulia. Tidak akan berarti apa-apa keshalihan pribadi yang kita bangun tinggi jika tidak memberi dampak bagi keshalihan lingkungan.
Semakin banyak peran yang ingin kita mainkan, maka semakin banyak pula kewajiban yang harus kita tegakkan. Banyak peran dengan sedikit kewajiban tertunaikan adalah kebangkrutan, dan banyak kewajiban tanpa peran adalah kemandulan. Dan kita hanya ingin memiliki kader yang berperan aktif, produktif, dan dinamis. Dan untuk semua itu, kewajiban di semua tingkatan harus terpenuhi. Wallahu a’ lam.

Monday, December 24, 2012

KHULAFA AL-RASYIDIN



أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنِّي قَدْ وُلِّيْتُ عَلَيْكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ فَإِنْ أَحْسَنْتُ فَأَعِيْنُوْنِي وَإِنْ أَسَأْتُ فَقَوِّمُوْنِي اَلصِّدْقُ أَمَانَةٌ وَاْلكِذْبُ خِيَانَةٌ وَالضَّعِيْفُ فِيْكُمْ قَوِيٌّ عِنْدِي حَتَّى أُرِيْحَ عَلَيْهِ حَقَّهُ إِنْ شَاءَ اللهُ وَاْلقَوِيُّ فِيْكُمْ ضَعِيْفٌ حَتَّى آَخُذَ اْلحَقَّ مِنْهُ إِنْ شَاءَ اللهُ لاَ يَدَعُ قَوْمٌ اَلْجِهَادَ فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ ضَرَبَهُمُ اللهُ بِالذُّلِّ وَلاَ تَشِيْعَ اْلفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ إِلاَّ عَمَّهُمُ اللهُ باِلْبَلاَءِ أَطِيْعُوْنِي مَا أَطَعْتُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَإِذَا عَصَيْتُ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَلاَ طَاعَةَ لِي عَلَيْكُمْ قُوْمُوْا إِلَى صَلاَتِكُمْ يَرْحمَْكُمُ اللهُ.

“Wahai manusia!, sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian, namun bukan berarti aku yang terbaik di antara kalian, bila aku berbuat kebaikan maka bantulah aku, namun bila aku berbuat keburukan maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah dan dusta merupakan penghianatan. Yang lemah di antara kalian menjadi yang kuat di sisiku, sehingga hak-haknya akn aku  serahkan kepadanya Insya Allah, dan yang kuat di antara kalian menjadi lemah di sisiku, sehingga aku mudah mengambil hak orang lain yang ada padanya Insya Allah. Tidaklah satu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah melainkan  Allah akan menimpakan mereka kehinaan, dan tidaklah kekejian merebak di tengah masyarakat melainkan Allah akan menebarkan bala bencana kepada mereka. Taatilah aku sepanjang aku taat kepada Allah dan Rasul-NYA, namun apabila aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-NYA maka kalian tidak perlu mentaatiku. Bangunlah kalian untuk shalat kalian, Allah akan merahmati kalian”
Ikhwah Fillah.................!
Paparan tersebut di atas adalah rangkaian pidato khalifah Abu Bakar As-Siddiq pada saat setelah dilantik sebagai khalifah. Kesuksesan khalifah Abu Bakar dalam memimpin dan mengelola umat dapat dilihat dari paparan pidatonya yang mencerminkan kekuatan kepribadian dan kesungguhan azamnya. Dari paparan pidatonya ada beberapa hal yang dapat dijelaskan secara lebih mendalam, mengapa Abu Bakar RA sukses dalam mengelola kekhalifahan dalam waktu yang relatif singkat?
Pertama : Sikap Tawaddu’. Ikhwah Fillah!, Beliau menegaskan sikap tawaddunya sebagai qiadah di awal pidatonya, seraya menunjukkan bahwa beliau bukanlah orang yang terbaik di antara kaumnya. Beliau menyadari tanpa support dan dukungan umat beliau tidak dapat berbuat banyak. Ketawaaddu’an seorang qiadah merupakan salah satu kunci kesuksesan dalam memimpin, karena pemimpin yang tawaddu’ akan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat diktator dan otoriter, tetapi selalu bersemangat untuk menyelenggarakan bursa ide dan melakukan “share” , baik dalam hal gagasan maupun tindakan (syuro dan amal jama’i)
Kedua, Ikhwah Fillah!, :  Terbuka terhadap kritik. Abu Bakar RA, meskipun beliau seorang sahabat senior (As-Saabiquunal Awwaluun), namun beliau sangat ternuka untuk dikritik atau diluruskan bila ada sikap-sikap yang dipandang negatif. Namun beliau minta dibantu dan didukung bila kebijakan dan pandangannya dianggap sesuatu yang baik.
Ketiga : Membela kaum Dhu’afa, orang yang kuat (aghniya) di mata Abu Bakar RA  Ikhwah fillah, itu dianggap lemah, sehingga mudah untuk mengambil hak kaum  dhu’afa dari mereka, sebaliknya kaum dhu’afa di matanya adalah orang-orang yang kuat, sehingga tidak main-main dan tidak menganggap enteng untuk segera memenuhi hak-haknya. Tipologi kepemimpinan Abu Bakar bila dilihat dari pernyataannya dan sikapnya terhadap aghniya dan dhu’afa, adalah tipe kepemimpinan yang populis, pro rakyat dan mengedapankan perjuangan kepentingan wong cilik..
Keempat : Mengorbankan semangat jihad, agar kekejian tidak merebak. Ikhwah Fillah, “Al-Wa’yu al-jihady”, kesadaran berjihad, tetap diingatkan oleh Abu Bakar  meskipun setelah wafatnya Rasulullah SAW jumlah kaum Muslimin telah menjadi mayoritas di tiga kota besar Mekkah, Madinah, Thaif dan sekitarnya, dan manusia telah berbondong-bondong masuk Islam menjelang wafatnya Rasulullah SAW, “wa ra aitannaasa yadkhuluuna fi diinillaahi afwaaja”. Masuk Islamnya bangsa Arab di akhir kerasulan Nabi Muhammad SAW, masih perlu ditaqwim kembali, karena tidak tertutup kemungkinan mereka masuk Islam hanya karena faktor kharisma dan kewibawaan Nabi, juga bisa jadi karena mereka tidak ada pilihan lain saat itu kecuali bergabung dengan kaum muslimin dan mengikuti agamanya. Ternyata benar, setelah Rsulullah SAW wafat, hampir 2/3 jazirah Arab murtad. Abu Bakra RA tidak kompromi dalam hal ini, segera menjihadi mereka demi menyelamatkan akidah umat dan perbaikan masyarakat. Sedangkan juhad di era kita sekarang ini, dapat mengambil bentuk minimal takhfifuddarar qabla izaalatiddarar. Meminimalisasi mudarat bila belum dapat menghilangkan sama sekali. Melalui dakwah dan jihad siyasi di segala level dan jenjang.
Ikhwah Fillah!, yang kelima Abu Bakar mengingatkan bahwa ketaatan kaum Muslimin kepadanya adalah ketaqwaan yang bersarat, yaitu sepanjang dirinya bertaqwa kepada Allah SWT dan taat kepada Rasul-NYA, serta tidak bermaksiat kepada-NYA, maka Abu Bakar RA mengatakan dirinya berhak ditaati. Ikhwa Fillah kelima hal ini merupakan gambaran kesuksesan Khalifah Abu Bakar RA dalam memimpin dan mengelola ummat sebagai Khalifah Rasulillah SAW. Hendaknya hal ini dapat disuritauladani oleh seluruh jajaran qiadah da’wah dalam jamaah kita ini. Amin!
Ikwah Fillah....!
Kalau Abu Bakar sukses dalam “Al-Muhafadzah alal Ashalah”, maka Khalifah Umar bin Khattab RA meneruskan apa yang telah dicapai oleh pendahulunya. Pada saat perang Qadisiyah Umar bin Khattab menyerukan Jihad besar dengan mobilisasi besar-besaran, Khalifah memerintahkan para gubernurnya : “kerahkan seluruhnya siapa saja yang memiliki senjata, kuda, para pemimpin, pemikir, orator dan penyair untuk menghadapku”. Maka terbentuklah pasukan inti terdiri dari 99 veteran badar, 319 sahabat yang masuk Islam setelah bai’aturridwan, 300 sahabat yang menyaksikan fathu Makkah dan 700 anak-anak para sahabat.
Lalu Khalifah menyurati Saad bin Waqqash sebagai komandan lapangan seraya berkata :
      “Jangan berkecil hati terhadap mereka, mintalah pertolongan kepada Allah dan bertawakkallah, kirimlah beberapa orang yang pandai berdiplomasi untuk mendakwahkannya, agar mereka semakin gentar dan lemah. Laporkan kepadaku perkembangan dari hari ke hari (uktub ilayya fi kulli yaumin)”
 Ikhwah Fillah! Ibroh apa yang dapat kita ambil dari Khalifah Umar bin Khattab dalam memenangkan pertempuran, terkait dengan kemenangan jihad siasy (Pilkada dan Pemilu). Artinya ikhwah fillah!, kita harus mengerahkan segala potensi yang kita miliki, kekuatan dana, simpul massa, vote getter untuk memenangkan pertarungan. Juga jangan diabaikan ikhwah fillah!, memantau perkembangan laporan dari hari- ke hari, hal ini penting untuk mengukur sejauh mana kemampuan yang telah dimiliki dan sejauh mana kekuatan yang dimiliki memungkinkan untuk memenangkan pertarungan.
Ikhwah Fillah……..!,
Kemenangan jihad siasy tidak hanya kemenangan angka perolehan suara, akan tetapi harus juga dibarengi dengan kemenangan dakwah, dengan semakin banyaknya para pendukukng dan pembela dakwah, bukan hanya datang dukungan dan pembelaan itu dari  jajaran kader, tetapi dari seluruh lapisan masyarakat. Disinilah, Ikhwah Fillah!,  pentingnya kita memainkan peran “Handasah Ijtima’iyah, Social engineering”, atau rekayasa sosial.  Dakwah ini tidak cukup memiliki kekuatan, bila kita tidak mengikutsertakan masyarakan luas untuk ikut mengusung dan menguatkan. Oleh karena itu marilah kita teladani ikhwah Fillah!, semangat Khulafa arrasyidin, khususnya Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab RA.

Blog Archive